Anda di halaman 1dari 14

1.

Pendahuluan
Korupsi di Indonesia sudah menjalar pada seluruh elemen bangsa Indonesia. Korupsi di
Indonesia bukan hanya dilakukan oleh para pejabat atau penyelenggara negara saja, namun
juga dilakukan hampir pada berbagai level masyarakat. Bahkan, korupsi seakan sudah
menjadi budaya yang biasa dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Sejak jaman
kerajaan, masyarakat Nusantara telah mengenal adanya perilaku korupsi. Perilaku korup pada
era kerajaan didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita.
Pada era setelah kemerdekaan, yaitu pada era Orde Lama dan Orde Baru, korupsi di
Indonesia bahkan semakin meluas. Korupsi yang terjadi pada era Orde Lama dan Orde Baru
lebih kepada Kolusi dan Nepotisme, yaitu pemanfaatan jabatan dan kewenangan untuk
kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Hampir setiap lini pemerintahan dan bisnis-bisnis
strategis dikuasai oleh tentara pada saat itu.
Reformasi pada tahun 1998, mulai membuka jalan kepada masyarakat dan media untuk
dapat ikut bersuara dan berperan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, bukan
berarti korupsi sepenuhnya hilang dari Nusantara setelah era Reformasi. Kenyataannya,
setelah lebih dari 16 tahun Reformasi berjalan, perilaku pejabat, penyelenggara negara,
penegak hukum, dan masyarakat Indonesia belum juga lepas dari korupsi. Praktik korupsi di
era sekarang tidak hanya terjadi di lingkungan pemerintahan, tetapi juga perilaku sehari-hari
masyarakat yang sering berperilaku korup seperti berbuat curang, menyuap dsb.
Berbagai upaya yang dilakukan belum membuahkan hasil yang memuaskan sampai
dengan saat ini. Oleh karena itu, diperlukan sebuah rancangan baru dan juga perbaikan pada
berbagai aspek pencegahan dan pemberantasan korupsi yang saat ini telah berjalan di
Indonesia.
2. Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi
sejak era orde lama sampai dengan era reformasi sekarang ini. Upaya-upaya yang dilakukan
antara lain:
a. Era Orde Lama
1

Pemerintah orde lama membentuk Badan Pemberantasan Korupsi, yaitu Panitia


Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang dibentuk berdasarkan UU Keadaan Bahaya.
Kemudian pada tahun 1963, melalui Keppres No 275 tahun 1963, dibentuk sebuah lembaga
yang dikenal sebagai Operasi Budhi. Sasaran utama Operasi Buhdi adalah perusahaanperusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik
korupsi dan kolusi.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan dalam kurun
waktu tersebut. Namun, Operasi Budhi akhirnya dihentikan karena dianggap mengganggu
prestise Presiden. Opreasi Budhi kemudian berganti nama menjadi Kotrar (Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi). Sejak penghentian Operasi Budhi, pemberantasan
korupsi di Indonesia akhirnya mengalami stagnasi.
b. Era Orde Baru
Upaya pemberantasan korupsi pada era orde baru diawali dengan dibentuknya Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai oleh Jaksa Agung. Namun, TPK dianggap tidak
serius dalam melakukan pemberantasan korupsi. Presiden akhirnya membentuk Komite
Empat yang beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof
Jonhannes, I.J Kasimo, Mr. Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas utama Komite Empat adalah
membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom,
dan Pertamina. Namun komite ini ternyata hanya dianggap macan ompong karena hasil
temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon Pemerintah.
Selain TPK dan Komite Empat, sempat pula dibentuk Opstib (Operasi Tertib) namun
kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat karena adanya perbedaan pendapat
antara Laksamana Sudomo dan Nasution mengenai metode atau cara pemberantasan korupsi.
Seiring berjalannya waktu, Opstib pun hilang tanpa bekas sama sekali.
c. Era Reformasi
Pemberantasan korupsi pada era reformasi diawali dengan diterbitkannya UU Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari KKN dan diikuti

dengan pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau Lembaga
Ombudsman. Kemudian pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2000. Diterbitkannya UU No 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU
No 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga tidak memberikan
efek signifikan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi pada era reformasi
bukan hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif dan lembaga penegakan hukum saja, lembaga
legislatif yang seharusnya bertugas menjalankan fungsi pengawasan juga ikut terserang
Virus Korupsi.
Pada tahun 2002, Pemerintah menerbitkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bersama dengan UU tersebut kemudian dibentuk
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi
dan memberantas korupsi yang semakin merajalela di Indonesia. Namun, sampai sekarang,
masih banyak terjadi kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan para penyelenggara negara.
Bahkan banyak kasus-kasus yang melibatkan penegak hukum sendiri seperti Kehakiman,
Kejaksaan dan Kepolisian.
Belum maksimalnya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia disebabkan oleh tidak
adanya dukungan dan perbaikan dari lingkungan pemerintahan sendiri dan belum adanya
hukuman yang cukup tegas dan bisa menimbulkan efek jera kepada pelaku korupsi. Upaya
pemberantasan korupsi yang di lakukan pemerintah melalui KPK sering mendapat benturan
dengan pemerintah sendiri karena kasus-kasus yang KPK tangani memang sering melibatkan
para pejabat dalam lingkungan pemerintahan.
3. Pemberantasan Korupsi di Negara Lain
a. Tiongkok
Pada era pemerintahan Mao Tse Tung (1949-1976) dalam pemeberantasan korupsi yang
dilakukan Tiongkok adalah dengan melakukan gerakan tiga anti (san fan) dan lima anti (wu
fan). Pada akhir tahun 1951 dilaksanakan kampanye tiga anti yaitu pencurian, pemborosan
3

dan birokratisme. Sanfan merupakan kampanye melawan korupsi dan inefisiensi birokrasi.
Gerakan ini terutama ditujukan kepada kader-kader kota yang korup, lebih-lebih yang
berkecimpung di departemen keuangan dan ekonomi. Tujuannya untuk menakut-nakuti
siapa saja yang mempunyai akses ke uang pemerintah agar tidak korup. Pemerintah
menghukum mati, memenjarakan dan memecat pejabat-pejabat yang melakukan korupsi
(Jung Chang dalam Darini 2010).
Pada bulan Januari 1952 diberlakukan Gerakan Lima Anti (wu fan) yang ditujukan
kepada golongan masyarakat yang lebih luas terutama kaum kapitalis. Gerakan ini ditujukan
untuk menumpas lima macam kejahatan: suap-menyuap, tidak membayar pajak, pencurian
uang negara, menipu kontrak dengan pemerintah dan mencuri informasi ekonomi milik
negara. Sejak kedua kampanye itu sangat sedikit orang yang berani menggerogoti uang
negara.
Kedua gerakan anti korupsi ini merupakan mekanisme kontrol yang dikembangkan
partai komunis, dan merupakan kampanye massa yang dipimpin oleh badan-badan yang
disebut tim kerja. Namun, kampanye ini juga banyak membawa korban orang-orang yang
tidak bersalah karena kampanye dilaksanakan berdasarkan kriteria yang tidak jelas dan
dendam pribadi, bahkan gossip pun dapat dijadikan sebagai dasarnya.
Komitmen kuat penguasa Tiongkok untuk memberantas korupsi dimulai sejak masa Zhu
Rongji (1997-2002). Ucapannya yang sangat terkenal adalah Beri saya 100 peti mati,
Sembilan puluh sembilan akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor, dan satu
untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi. Bentuk keseriusan pemerintah
Tiongkok dalam pemberantasan korupsi salah satunya juga diwujudkan dengan ikut
meratifikasi Konvensi PBB melawan korupsi yang memasukkan suap kepada pejabat publik
sebagai tindak kriminal oleh Kongres Rakyat Nasional pada bulan Oktober 2005.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Tiongkok mengatur mereka yang
menawarkan dan menerima suap bisa dihukum. Hukuman mati bagi penerima suap dan
hukuman seumur hidup bagi pemberi suap. Hukuman mati merupakan hukuman terberat

yang dapat diberikan kepada koruptor. Hukuman mati ini juga diterapkan kepada pejabat
tinggi negara, bukan hanya kepada pejabat rendah atau orang-orang biasa.
b. Singapura
Kerangka konseptual dalam pemberantasan korupsi di Singapura, yakni:
1)
2)
3)
4)

Hukum tentang anti korupsi yang efektif;


Aparat anti korupsi yang efektif;
Keputusan pengadilan tentang kasus korupsi yang efektif;
Administrasi pemerintahan yang efisien.

Dengan dasar keinginan politik dari negara singapura tersebut, dengan dilaksanakan 4
(empat) kerangka konseptual dalam pemberantasan korupsi di Singapura, maka korupsi
bisa di kendalikan dan pemerintahan di singapura akan menjadi pemerintahan yang good
governance.
Instrumen utama perundang-undangan di Singapura terkait dengan pemberantasan
korupsi, yaitu :
1) Prevention of Corruption Act (PCA);
2) Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation of
Benefits) Act.
Beberapa hal penting yang dapat digaris bawahi dan menjadi pelajaran dalam PCA
adalah:
1) Pengembalian hasil korupsi kepada Negara;
2) Ketidaksesuaian antara kekayaan dengan pendapatan dapat dijadikan bukti di
pengadilan;
3) Pernyataan di bawah sumpah atas kekayaan yang dimiliki seseorang(khususnya
pejabat publik), pasangan, maupun anak-anaknya;
4) Menyelidiki kasus korupsi di sektor publik maupun swasta.
Pada tahun 1952 Pemerintah Singapura di bawah Perdana Menteri Lee Kuan Yew
membentuk lembaga yang disebut Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). Terkait
dengan fungsi pencegahan korupsi di Singapura, CPIB menempuh beberapa cara yang
akan dijabarkan sebagai berikut:

1) Review of Work Methods. CPIB melakukan evaluasi di seluruh instansi pemerintah


dimana cara dan prosedur kerja ditingkatkan untuk mempercepat proses perijinan dan
mencegah pegawai negeri menerima suap dari masyarakat;
2) Declaration of Non-Indebtedness. Setiap pegawai negeri di Singapura diharuskan untuk
membuat pernyataan bahwa ia bebas dari hutang budi yang terkait dengan uang
(pecuniary embarrassment) setiap tahunnya;
3) Declaration of Assets and Investments. Aturan ini mewajibkan setiap pegawai negeri
menyatakan kekayaan dan investasinya pada saat ia diangkat menjadi pegawai negeri
dan setiap tahunnya setelah menjadi pegawai negari, termasuk pasangan dan anakanaknya;
4) Non-Acceptance of Gifts. Pegawai negeri di Singapura dilarang untuk menerima hadiah
uang atau sejenisnya dari masyarakat yang dilayaninya;
5) Public Education. Sebagai bagian dari upaya mencegah korupsi, CPIB melakukan
diseminasi mengenai buruknya dampak korupsi kepada pegawai negeri, khususnya
mereka yang bekerja di instansi-instansi penegakan hukum dan mereka yang berpeluang
untuk menerima suap dan tindak korupsi lainnya.
Disamping pencegahan yang dilakukan oleh CPIB, terdapat juga komitmen pemerintah
Singapura dalam pemberantasan korupsi yang tidak terbatas hanya pada kegiatan penindakan
semata namun juga pada kegiatan pencegahan dan pendidikan masyarakat. Beberapa kegiatan
pencegahan yang pantas diteladani dari pemerintah Singapura diantaranya:
1) Pemerintah memotong peluang korupsi melalui penyederhanaan prosedur administratif,
menghilangkan berbagai pungutan dan menghukum kontraktor pemerintah yang
terlibat kasus suap.
2) Secara periodik mereview legal framework yang sudah ada dengan terus menganalisa
perlunya amendemen yang mungkin dibutuhkan dalam menyikapi perubahan situasi
dan kondisi terkini di Singapura.

3) Meningkatkan

gaji

pegawai

layanan

publik menjadi lebih memadai dan tidak

tertinggal jauh dengan gaji di sektor swasta. Oleh karena itu saat ini gaji pegawai
pemerintah di Singapura merupakan gaji pegawai pemerintahan tertinggi di dunia.
c. Jepang
Kunci utama dari pencegahan dan pemberantasan korupsi di Jepang adalah pendidikan
karakter sejak dini yang membentuk perilaku anti korupsi di masyarakat. Di Jepang,
pendidikan karakter diajarkan dalam pelajaran seikatsuka atau pendidikan tentang
kehidupan sehari-hari. Siswa SD diajari tatacara menyeberang jalan, adab di dalam kereta,
yang tidak saja berupa teori, tetapi guru juga mengajak mereka untuk bersama naik kereta
dan mempraktikkannya. Norma dalam masyarakat Jepang sangat terkait dengan ajaran Shinto
dan Budha, tetapi menariknya agama ini tidak diajarkan di sekolah dalam bentuk pelajaran
wajib, seperti halnya di Indonesia. Nilai-nilai agama diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari
di sekolah. Karenanya, pendidikan moral di sekolah Jepang tidak diajarkan sebagai mata
pelajaran khusus, tetapi diintegrasikan dalam semua mata pelajaran. Pencegahan korupsi di
Jepang juga dibuat dengan membuat serangkaian kebijakan kebijakan yang bisa
menghindarkan/mengurangi kesempatan ataupun niat untuk melakukan perbuatan korupsi.
d. Finlandia
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingkat korupsi di Finlandia tergolong rendah,
antara lain:
1) Faktor Sistem Administrasi
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan sistem administrasi di Finlandia dapat berjalan
dengan baik dan dapat meminimalisir korupsi. Yang pertama adalah budaya umum
administrasi di Finlandia yang memang sudah baik. Struktur sistem administrasi Finlandia
relatif "rendah" (yaitu dengan beberapa tingkat birokrasi), dengan tingkat otonomi pada
tingkat kota setempat. Sistem pendidikan memungkinkan bagi siapa saja yang bercita-cita
untuk karir yang baik, dengan promosi berdasarkan meritokrasi. Yang kedua, struktur
pengambilan keputusan secara kolektif dan berpendidikan. Korupsi paling mudah terjadi
ketika keputusan dibuat oleh satu orang saja, karena suap dapat memfokuskan semua upaya

pada satu orang ini. Korupsi menjadi lebih sulit ketika banyak orang yang terlibat. Yang
ketiga, adanya publisitas dan transparansi kerja pejabat publik. Keterbukaan luas administrasi
publik selalu menjadi prinsip dasar di Finlandia. Keputusan harus dapat diakses publik, dan
mereka terbuka untuk dikritik oleh pejabat publik lainnya, oleh masyarakat dan media. Yang
terakhir adalah adanya pengawasan terhadap suatu keputusan. Sistem Finlandia memiliki
beberapa metode pengawasan keputusan yang diambil oleh otoritas administratif. Selain
kemungkinan menundukkan keputusan untuk mengajukan banding dan review oleh tingkat
yang lebih tinggi, legalitas keputusan diawasi oleh Kanselir Kehakiman dan Parlemen
Ombudsman.
2) Faktor Penegakan Hukum dan Sistem Peradilan
Finlandia tidak memiliki unit terpisah yang mengkhususkan diri secara khusus dalam
penyelidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi terkait. Finlandia mengikuti model
Jerman memiliki sistem pengadilan bipartit, satu untuk kasus "biasa" dan satu untuk kasuskasus administratif. Kedua sistem pengadilan memiliki peran dalam pencegahan korupsi.
Sistem pengadilan "biasa" berkaitan dengan kasus-kasus perdata dan pidana, dan dengan
demikian akan berurusan dengan tuduhan korupsi. Peran sistem pengadilan administrasi
adalah untuk meninjau apakah keputusan administratif telah dibuat dalam urutan yang tepat
dan dengan alasan yang tepat.
3) Faktor Sosial
Sistem pendidikan di Finlandia telah diidentifikasi sebagai salah satu yang paling efektif
di dunia, dan tingkat melek huruf orang dewasa hampir 100%. Dari sudut pandang
pencegahan korupsi, kesetaraan dalam pendapatan, dikombinasikan dengan standar hidup
yang tinggi, dapat dilihat sebagai disinsentif untuk menerima suap: tingkat kemiskinan yang
rendah.
Secara umum, media memiliki peran penting dalam pencegahan korupsi. Mereka dapat
mengajukan pertanyaan dan memulai diskusi tentang transparansi dan keadilan, berurusan
dengan solusi yang berbeda. Peran media mungkin sangat kuat di Finlandia, di mana
pembaca surat kabar dan penggunaan internet adalah salah satu yang tertinggi di dunia.
8

4) Kebijakan Anti Korupsi


Anti-korupsi telah diintegrasikan ke dalam kebijakan umum. Hal ini karena korupsi
dipandang sebagai bagian dari kriminalitas dan sebagai bagian dari pemerintahan dan/atau
politik yang buruk. Pencegahan korupsi juga melibatkan menciptakan dan mengamati normanorma etika perilaku, meningkatkan transparansi, meminimalkan peluang dan meningkatkan
efektivitas pengawasan.
4. Desain Perbaikan Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia
a. Perbaikan Peraturan Perundang-undangan dan Penegakan Hukum
Salah satu penyebab semakin menjamurnya korupsi di Indonesia adalah karena hukuman
yang ada kepada para pelaku korupsi saat ini masih kurang tegas dan kurang menimbulkan
efek jera. Ketegasan pemimpin dan penegakkan hukum diperlukan untuk dapat melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang telah diterbitkan. Dalam hal, ketegasan pemimpian dan
penegakkan peraturan dan hukuman bagi para koruptor, Indonesia dapat mencontoh dari
ketegasan Mao Tse Tung di Tiongkok pada saat menjalankan gerakan tiga anti (san fan) dan
lima anti (wu fan). Kelebihan dari gerakan san fan yang sempat diterapkan di Tiongkok
adalah adanya ketegasan hukuman bagi para koruptor misalnya dengan menghukum mati,
memenjarakan dan memecat pejabat-pejabat yang melakukan korupsi. Sementara wu fan
yang ditujukan kepada golongan masyarakat yang lebih luas terutama kaum kapitalis dan
pengusaha-pengusaha swasta. Wu fan ditujukan untuk menumpas lima macam kejahatan:
suap-menyuap, tidak membayar pajak, pencurian uang negara, menipu kontrak dengan
pemerintah dan mencuri informasi ekonomi milik negara. Ketegasan hukuman dalam kedua
gerakan di Tiongkok ini dapat memberikan efek jera sehingga pada era Mao Tse Tung, tingkat
korupsi di Tiongkok tergolong rendah. Namun, kebijakan di atas juga memiliki kekurangan,
yaitu adanya potensi gerakan tersebut dimanfaatkan oleh pemimpin untuk kepentingannya
sendiri. Sehingga, jika Indonesia ingin mengadopsi kebijakan tersebut harus ada suatu
pengendalian untuk mencegah kebijakan disalahgunakan.

Selain adopsi dari Tiongkok, Indonesia juga dapat mengadopsi penerapan Prevention of
Corruption Act (PCA) di Singapura. Beberapa hal penting yang dapat digaris bawahi dan
menjadi pelajaran dalam PCA adalah:
1) Pengembalian hasil korupsi kepada Negara;
2) Ketidaksesuaian antara kekayaan dengan pendapatan dapat dijadikan bukti di
pengadilan;
3) Pernyataan di bawah sumpah atas kekayaan yang dimiliki seseorang (khususnya
pejabat publik), pasangan, maupun anak-anaknya;
4) Menyelidiki kasus korupsi di sektor publik maupun swasta.
Saat ini, peraturan terkait korupsi di Indonesia belum memfasilitasi keempat hal tersebut
diatas. Hal-hal seperti pengambalian hasil korupsi kepada Negara dan kewenangan untuk
menyelidiki korupsi di sektor publik maupun swasta diharapkan akan dapat mengurangi
angka korupsi di Indonesia dengan peraturan yang lebih luas dan tegas.
Komitmen dan ketegasan pimpinan, sistem perundangan dan peradilan yang tegas dan
penegak hukum yang mumpuni adalah cara-cara yang dapat ditempuh oleh Indonesia
untuk dapat memberantas korupsi. Hal penting lain adalah adanya lembaga anti korupsi
yang kuat karena terkait dengan penegakkan aturan dan hukum di atas.
b. Penguatan Lembaga Anti Korupsi
Saat ini, di Indonesia, lembaga yang memiliki wewenang dalam pencegahan dan
pemberantasan korupsi adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, sejak KPK
dibentuk tahun 2003 sampai sekarang, pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum
membuahkan hasil yang maksimal. KPK belum optimal karena masih banyaknya gangguan,
tentangan dan kepentingan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun dari sesama
penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian.
Salah satu contoh lembaga anti korupsi yang cukup baik dapat diadopsi oleh Indonesia
adalah Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). Salah satu fungsi pencegahan CPIB
yang dapat diadopsi adalah melakukan Review of Work Methods. CPIB melakukan evaluasi di
seluruh instansi pemerintah dimana cara dan prosedur kerja ditingkatkan untuk menghindari

10

penundaan pemberian ijin atau lisensi dan mencegah pegawai negeri menerima suap dari
masyarakat untuk mempercepat proses perijinan.
Fungsi pencegahan lain seperti Declaration of Non-Indebtedness mewajibkan setiap
pegawai negeri untuk membuat pernyataan bahwa ia bebas dari hutang budi yang terkait
dengan uang (pecuniary embarrassment) setiap tahunnya. Hal ini untuk mencegah adanya
rasa hutang budi dan memiliki kewajiban tertentu yang menjadikannya tidak obyektif dalam
melayani masyarakat dan menjadi rentan melakukan korupsi.
KPK saat ini membutuhkan penguatan payung hukum dan perluasan kewenangan untuk
dapat memberantas korupsi di berbagai lini pemerintahan. Selain itu, KPK juga harus
memiliki pemimpin yang tidak ada benturan kepentingan dengan penguasa untuk dapat
meningkatkan independensi KPK. Diperlukan juga adanya kejelasan wewenang antara KPK,
Polri dan Kejaksaan agar dapat bersama-sama memberantas korupsi di Indonesia.
c. Ketegasan Pemimpin dan Perbaikan Sistem Politik
Masalah terbesar dalam sistem politik di Indonesia adalah terpilihnya orang-orang yang
tidak kompeten untuk menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan. Hal ini terjadi
sebagai dampak dari sistem demokrasi yang kurang baik. Banyak legislatif yang terpilih dari
hasil money politics. Sementara pada lembaga eksekutif ditempati oleh orang-orang terdekat
maupun orang-orang yang berjasa bagi pemimpin yang terpilih berdasarkan sistem koalisi
partai politik. Pemilihan pejabat-pejabat secara politik tidak sepenuhnya salah apabila orang
yang ditunjuk untuk menjalankan suatu jabatan memang berkompeten dalam bidang tersebut.
Namun, yang terjadi di Indonesia adalah banyak orang-orang yang tidak tepat dan tidak
kompeten menduduki jabatan strategis di ekesekutif dan yudikatif sehingga rawan benturan
kepentingan dan penyalahgunaan kewenangan. Pada lembaga legislatif misalnya, para
pejabat DPR/DPRD sudah biasa untuk melakukan negosiasi dan menjadi makelar proyek
pada saat penyusunan anggaran. Sebagai regulator, legislatif juga memiliki kekuatan untuk
mengurangi wewenang KPK dengan merevisi Undang-Undang.
Masalah yang cukup kompleks pada sistem politik tersebut dapat diselesaikan jika
Presiden sebagai pemimpin tertinggi di Indonesia memiliki ketegasan dan komitmen untuk
11

perbaikan sistem politik di Indonesia. Salah satu bentuk ketegasan pemimpin adalah seperti
yang ditunjukkan oleh Mao Tse Tung di Tiongkok dan Lee Kuan Yew di Singapura yang
berani secara tegas menerapkan peraturan pemberantasan korupsi di Negara mereka.
Sedangkan sistem demokrasi di Indonesia juga perlu diperbaiki, salah satu caranya adalah
dengan membatasi jumlah Partai Politik agar tidak terjadi kebingungan di tengah masyarakat.
Indonesia juga dapat mengadopsi peraturan perundang-undangan mengenai pendanaan partai
politik seperti yang diterapkan di Finlandia sebagai sarana untuk meningkatkan transparansi
pendanaan partai politik dan mencegah adanya kepentingan para pejabat yang berasal dari
partai politik untuk mencari keuntungan dari uang Negara untuk partainya.
Sementara itu, agar jabatan-jabatan strategis dapat ditempati oleh orang yang tepat dan
kompeten, perlu diterapkan sistem meritokrasi seperti yang diterapkan di Finlandia.
Sehingga, orang yang naik ke tingkat atas betul-betul orang yang memiliki kompetensi.
d. Pendidikan Moral Sejak Dini
Poin penting dari keberhasilan Jepang dan Finlandia dalam pencegahan dan
pemberantasan korupsi adalah adanya pendidikan moral yang baik yang ditanamkan kepada
masyarakat mereka sejak dini. Pada sekolah tingkat dasar, fokus pelajaran anak-anak di
Jepang dan Finlandia bukan pada matematika ataupun sains seperti di Indonesia. Anak-anak
setingkat SD di Jepang diajarkan tentang tata tertib, budi pekerti, dan moral. Sitem
pengajaran kepada anak-anak itu dilakukan dengan contoh dan penerapan dalam kehidupan
sehari-hari. Suksesnya sistem pendidikan seperti ini juga memerlukan peran serta dan
dukungan dari masyarakat dalam mendidik anak-anak di lingkungan keluarganya saat di luar
sekolah.
Sementara itu di Finlandia, kepintaran anak-anak tidak diukur sama sekali selama enam
tahun pertama pendidikan mereka jadi tidak ada yang lebih pintar atau lebih bodoh karena
setiap anak diperlakukan setara. Anak-anak di Finlandi dibiarkan berkembang sesuai dengan
bakat dan minat masing-masing. Guru-guru di Finlandia dipilih dari para lulusan terbaik
perguruan tinggi dan minimal bergelar master. Sistem pendidikan yang baik di Finlandia

12

menghasilkan SDM dengan kompetensi yang baik dan kompeten saat dipercaya menjadi
pejabat publik sehingga dapat meminimalisir terjadinya korupsi.
Sistem pendidikan di Indonesia saat ini belum mampu memperbaiki moral anak-anak.
Justru kurikulum yang terlalu berat dan ketat dengan batas kelulusan tertentu menjadikan
para pelajar mencari cara instan yaitu dengan melakukan kecurangan dalam menyelesaikan
ujian di sekolah. Indonesia kiranya perlu melakukan perbaikan sistem pendidikan dengan
melakukan studi pada negara-negara maju seperti Jepang dan Finlandia. Dari perbaikan
sistem pendidikan moral sejak dini diharapkan dapat membuahkan masyarakat yang lebih
anti korupsi di masa depan.
e. Partisipasi Masyarakat
Proses pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak bisa dilepaskan dari peran serta dan
kesadaran dari masyarakat dan sektor swasta untuk secara bersama-sama mendukung
pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Perbaikan dalam peraturan
hukum, perbaikan lembaga, dan perbaikan pendidikan tidak dapat maksimal tanpa dukungan
dan peran serta masyarakat. Contoh peran masyarakat adalah bagaimana Partai Komunis
Cina (PKC) di tiongkok sebagai wakil dari masyarakat ikut mengawasi pemeberantasan
korupsi di Tiongkok. Dengan pengawasan dari masyarakat, para penyelenggara negara
diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam bertindak.
Pemerintah juga harus memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk
melakukan laporan apabila mereka menemukan ada indikasi korupsi yang dilakukan oleh
penyelenggara negara di lapangan. Sebagaimana yang dilakukan di Finlandia, Indonesia juga
harus bisa menyediakan fasilitas pengaduan korupsi. Selain itu, peran masyarakat dapat pula
diwakili oleh media yang terus menyoroti setiap kasus korupsi yang terjadi. Namun, peran
media disini juga harus diawasi dan diperbaiki karena media di Indonesia saat ini sudah ada
beberapa yang memiliki kepentingan politik. Peran lain dari masyarakat adalah membantu
menyukseskan program pendidikan moral di usia dini kepada anak-anak dengan

13

menanamkan contoh moral dan perilaku yang baik dan anti korupsi kepada masyarakat.
Masyarakat harus mulai sadar dan berubah dari kebiasaan-kebiasaan korup dan curang.
5. Kesimpulan
Perbaikan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan
secara menyeluruh yaitu mulai dari perbaikan peraturan perundang-undangan, perbaikan
penegakan hukum, penguatan lembaga anti korupsi, perbaikan sistem politik yang didukung
dengan ketegasan pemimpin, perbaikan sistem pendidikan moral kepada anak-anak di usia
dini serta dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan
korupsi.
6. Daftar Pustaka
Tim Penulis. (2011). Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Kemendukbud.
Darini, Ririn. 2010. Korupsi di Indonesia: Perspektif Historis. Jurnal Ilmiah. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Khurrohman, A.H., dkk. (2015). Pemberantasan Anti Korupsi di Negara China. Tangerang
Selatan: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Kuswanadji, Arief., dkk. (2015). Pemberantasan Korupsi di Jepang. Tangerang Selatan:
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Sanusi, A.M. Yuqbal., dkk. (2015). Pemberantasan Korupsi di Singapura. Tangerang Selatan:
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Wijaya, Andre., dkk. (2015). Korupsi dan Upaya Pencegahan Korupsi di Negara Finlandia.
Tangerang Selatan: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.

14

Anda mungkin juga menyukai