Anda di halaman 1dari 13

1.

MATERI DAN METODE


1.1. MATERI
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, kain saring, blender, toples,
panci, kompor, kain saring, pengaduk, dan timbangan analitik.
1.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang diperlukan untuk praktikum ini antara lain, tulang dan kepala ikan
bawal, enzim papain komersial, garam, gula kelapa dan bawang putih.
1.2.

METODE
Tulang dan kepala ikan bawal
dihancurkan dan disiapkan 50 gram.

Dimasukkan ke dalam toples.

Ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%,


0,4%, 0,6%, 0,8% dan 1%.

Toples ditutup rapat dan dilakban.

Diinkubasi (fermentasi) pada


suhu ruang selama 4 hari.
1

Hasil fermentasi disaring

Filtrat direbus 30 menit, setelah mendidih ditambah


bumbu-bumbu yang sudah dihaluskan (50 gram
bawang putih, 50 gram garam, 1 butir gula kelapa).

Setelah direbus 30 menit dan agak dingin,


dilakukan penyaringan kedua.

Dilakukan pengamatan sensoris meliputi warna, rasa,


penampakan dan aroma, serta pengamatan salinitas
menggunakan refraktometer.

2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kecap ikan dengan penambahan enzim papain dapat dilihat di Tabel
1.
Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain
Kel.
E1
E2
E3
E4
E5

Perlakuan
Enzim papain 0,2%
Enzim papain 0,4%
Enzim papain 0,6%
Enzim papain 0,8%
Enzim papain 1%

Keterangan:
Warna :
+
: tidak coklat gelap
++
: kurang coklat gelap
+++
: agak coklat gelap
++++ : coklat gelap
+++++ : sangat coklat gelap
Rasa :
+
: sangat tidak asin
++
: kurang asin
+++
: agak asin
++++ : asin
+++++ : sangat asin

Warna
+++
++++
+++
++++
+++

Rasa
++++
+++++
+++++
++++
+++++

Aroma
++++
+++
++++
+++
+++

Penampakan
++
+++
++
++
++

Salinitas (%)
5,0
9,0
5,5
5,5
6,0

Aroma :
+
: sangat tidak tajam
++
: kurang tajam
+++
: agak tajam
++++ : tajam
+++++ : sangat tajam
Penampakan :
+
: sangat cair
++
: cair
+++
: agak kental
++++ : kental
+++++ : sangat kental

Berdasarkan Tabel 1. di atas, dapat diketahui bahwa penggunaan enzim papain dengan
konsentrasi yang berbeda-beda pada masing-masing kelompok memberikan hasil yang
berbeda. Pada hasil pengamatan warna, warna kecap ikan yang coklat gelap diperoleh
pada kecap ikan dengan penggunaan enzim papain dengan konsentrasi 0,4% (kelompok
E2) dan konsentrasi 0,8% (kelompok E4), sedangkan warna kecap ikan yang dihasilkan
pada kelompok E1, E3 dan E5 berwarna agak coklat gelap. Pada pengujian rasa, rasa
yang sangat asin diperoleh pada kecap ikan pada kelompok E3 dan E5 dengan
konsentrasi papain 0,6% dan 1%; dan rasa asin terdapat pada kecap ikan kelompok E1,
E2 dan E4 dengan konsentrasi papain 0,2%, 0,4% dan 0,8%. Pada pengujian aroma,
diketahui aroma tajam pada kelompok E1 dan E3. Sedangkan aroma dari kelompok E2,
E4 dan E5 adalah agak tajam. Berdasarkan penampakannya, kecap ikan yang cair
didapatkan pada kelompok E1, E3, E4 dan E5. Kecap ikan yang agak kental didapatkan
oleh kelompok E2. Pada pengukuran kadar salinitas, tingkat salinitas yang paling tinggi

didapatkan pada kelompok E2 yang menggunakan kosentrasi enzim papain 0,4%. Kadar
salinitas paling kecil terdapat pada kelompok E1 yaitu 5%.
3. PEMBAHASAN
Ikan merupakan bahan pangan yang tinggi kandungan protein hewani. Namun, hasil
pembuangan pengolahan ikan tidaklah diperhatikan dan menjadi limbah yang tidak
memiliki nilai ekonomi. Sebenarnya limbah ikan dapat dimanfaatkan untuk dibuat
menjadi kecap ikan (Witono, et al., 2015). Kecap ikan merupakan makanan berbasis
fermentasi dari limbah ikan yang paling terkenal. Citarasa dari kecap ikan berbeda-beda
pada setiap negara. Di negara kamboja dan vietnam, kecap ikan disebut nuoc nam, di
Thailand nam-pla dan di Jepang shottsuru. Kecap ikan dibuat melalui proses
pencampuran garam dan ikan yang kemudian difermentasi pada suhu ruang dengan
waktu tertentu. Di negara asia, kecap ikan digunakan sebagai saus cocolan untuk
makanan (Khairi, et al., 2014).
Pada praktikum ini bahan baku utama yang digunakan adalah limbah ikan bawal. Ikan
bawal yang digunakan adalah ikan bawal air tawar. Ikan ini banyak mengandung nutrisi,
dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Namun selama ini limbah ikan bawal belum
termanfaatkan, sehingga diperlukan pengujian untuk membuat kecap ikan menggunakan
limbah ikan bawal. Klasifikasi ikan bawal yang digunakan adalah:
Filum : Chordata
Subfilum : Craniata
Kelas : Pisces
Subkelas : Neopterigii
Ordo : Cypriniformes
Subordo : Cyprinoidea
Famili : Characidae
Genus : Colossoma
Species : Colossoma macropomum
Saanin (1984)
Menurut Afrianto & Liviawaty (1989) kecap ikan memiliki ciri ciri sebagai berikut: rasa
asin, warna kuning muda hingga coklat muda, dan kandungan nitrogen terlarut tinggi.

Menurut Lopetcharat & Park (2002), Keberhasilan pembuatan kecap ikan ditentukan
beberapa faktor yaitu:

konsentrasi garam yang ditambahkan.


Waktu fermentasi
Enzim dan bahan lain yang ditambahkan
kebersihan alat
kondisi fermentasi (kadar garam dan suhu).

Lamanya proses fermentasi menjadi kendala dalam membuat kecap ikan (Moeljanto,
1992). Untuk mempercepat proses fermentasi berlangsung maka diperlukan tambahan
enzim proteolitik. Enzim hidrolisis protein yang digunakan dapat berasal dari hewan
maupun tumbuh-tumbuhan. Contoh enzim proteolitik adalah papain, bromelin, pepsin,
tripsin

dan

pankreatin.

Enzim-enzim

tersebut

memiliki

kemampuan

untuk

menghidrolisa protein ikan (Himonides, et al., 2011). Dengan menggunakan enzim


tersebut proses fermentasi dapat dipersingkat menjadi beberapa hari. Untuk itu perlu
diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi aktivitas dari enzim yang
digunakan. Faktor yang berpengaruh terhadap aktivitas enzim adalah konsentrasi
substrat, konsentrasi enzim, suhu dan pH. Enzim bekerja secara optimal pada suhu
18C-23C. Suhu diatas 45C enzim akan terjadi denaturasi (Gaman & Sherrington,
1994). pH optimum untuk enzim tersebut adalah pH4-8.
Bahan baku pembuatan kecap ikan adalah tulang ikan, sisik, sirip, kulit dan kepala ikan
(tanpa mata). Pada pembuatan kecap ikan, bagian organ dalam menambahkan bahwa
penggunaan organ intestinal ikan justru tidak disarankan dalam pembuatan kecap karena
mengandung racun tetrodotoksin (Harada, et al., 2007). Pertama-tama daging ikan
difillet hingga tidak ada bersisa. Tulang, sirip, kulit dan kepala ikan yang sudah bersih
dimasukkan ke dalam blender. Penghancuran bahan dengn blender adalah agar senyawa
flavor lebih mudah keluar (Saleh, et al., 1996). Selanjutnya masing-masing kelompok
mengambil 50 gram bahan untuk dimasukkan ke dalam toples sebagai wadah
fermentasi. Untuk mempercepat proses fermentasi ditambahkan enzim papain komersial
dengan konsentrasi yang berbeda untuk tiap kelompoknya. Perlakuan penambahan
enzim papain kelima kelompok secara berturut-turut adalah 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8%,
1%. Selain mempercepat proses fermentasi, penambahan enzim digunakan untuk
menghidrolisis protein yang terdapat pada bahan melalui aktivitas proteolitik. Kemudian

dilakukan inkubasi selama 4 hari pada suhu ruang. Tahap inkubasi ini disebut juga tahap
fermentasi. Pada proses ini enzim papain yang

termasuk dalam enzim protease

sulfhidril akan menguraikan protein miofibril yang terdapat bahan menjadi peptida,
peptone, dan asam amino (Lay, 1994). Komposisi peptida, pepton dan asam amino ini
lah yang menghasilkan cita rasa yang khas. Namun, yang perlu diperhatikan pada tahap
fermentasi adalah waktu fermentasi dan kondisi anaerob. Fermentasi tidak dapat
dilakukan dengan waktu terlalu singkat maupun terlalu lama. Apabila waktu terlalu
cepat, reaksi enzim belum optimal bekerja, namun apabila terlalu lama maka terlalu
banyak enzim yang dihasilkan sehingga mengganggu aroma yang dihasilkan (Astawan
& Astawan, 1988). Pada tahap fermentasi, toples harus ditutup serapat mungkin untuk
mencegah terjadinya kontaminasi atau dengan kata lain toples dalam kondisi anaerob.
Setelah proses fermentasi selesai, toples dibuka dan ditambahkan air sebanyak 300 ml.
larutan kemudian diaduk agar merata dan disaring. Pada penyaringan ini filtrat
dipisahkan dari ampas limbah ikan. Filtrat dimasukkan ke dalam panci bersama dengan
bumbu dapur seperti garam 50 gram; bawang putih 50 gram yang sudah dikupas dan
dimemarkan serta gula jawa 50 gram. Pemasakan dilakukan selama 15 menit. Menurut
Witono, et al. (2015), penambahan gula jawa selain sebagai pemanis dari kecap ikan,
gula jawa dapat menurunkan nilai Aw, menghambat pertumbuhan mikroorganisme, dan
berpengaruh terhadap warna, flavor dan kekentalan dari kecap ikan tersebut. Warna
coklat yang ada selain berasal dari warna gula jawa, dapat pula berasal dari proses
karamelisasi yang terjadi karena adanya reaksi antara gula dan asam amino. Semakin
banyak gula jawa yang ditambahkan warna kecap akan semakin gelap, dan terjadi
peningkatan kekentalan kecap ikan. Bumbu lain yang ditambahkan adalah bawang putih
dan garam. Bawang putih digunakan karena dapat memberikan aroma dan cita rasa
yang khas, serta dapat sebagai pengawet pada kecap ikan karena mengandung senyawa
antimikroba (allicin) (Fachruddin, 1997). Garam yang ditambahkan berguna untuk
memberikan rasa asin, mengawetkan kecap ikan karena menurunkan Aw (Water
Activity), sehingga kecap ikan memiliki umur simpan yang lebih lama (Desrosier &
Desrosier, 1977). Setelah diangkat, kecap ikan dibiarkan agak dingin untuk selanjutnya
disaring. Penyaringan ini bertujuan untuk menyaring ampas dan kotoran yang berasal
dari bumbu. Kecap ikan selanjutnya diuji secara sensoris yang meliputi warna, rasa,
aroma, dan penampakan. Selain uji sensoris dilakukan pula uji salinitas dengan

menggunakan hand refractometer, sebanyak 1 ml kecap ditambahkan 9 ml aquades


yang kemudian dilakukan uji salinitas. Hanson (2006) menjelaskan bahwa refraktometer
adalah alat digunakan untuk mengukur indeks bias zat cair. Refraktometer ini memiliki
ketelitian hingga empat angka di belakang koma.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa penggunaan enzim papain dengan
konsentrasi yang berbeda-beda pada masing-masing kelompok memberikan hasil yang
berbeda. Pada hasil pengamatan warna, warna kecap ikan yang coklat gelap diperoleh
pada kecap ikan dengan penggunaan enzim papain dengan konsentrasi 0,4% (kelompok
E2) dan konsentrasi 0,8% (kelompok E4), sedangkan warna kecap ikan yang dihasilkan
pada kelompok E1, E3 dan E5 berwarna agak coklat gelap. Warna kecap ikan yang
coklat sesuai dengan teori yang mengungkapkan bahwa warna dari kecap ikan adalah
coklat (Ibrahim, 2010). Menurut Witono, et al. (2015), penambahan gula jawa
berpengaruh terhadap warna, semakin banyak gula jawa yang ditambahkan warna kecap
akan semakin gelap. Selain itu, warna coklat dapat berasal dari proses karamelisasi yang
terjadi karena adanya reaksi antara gula dan asam amino. Namun hasil penelitian tidak
sesuai dengan teori dari Astawan & Astawan (1988), yang menyatakan semakin banyak
enzim proteolitik pada bahan ikan kecap ikan akan berwarna lebih coklat, sehingga
semakin banyak enzim yang ditambahkan, maka warna akhirnya akan semakin coklat
gelap. Ketidaksesuaian ini disebabkan oleh adanya pemanasan yang tidak standar.
Menurut Petrucci (1992), pada suhu yang tinggi, cairan akan menjadi lebih gelap dan
pekat.
Pada pengujian rasa, rasa yang sangat asin diperoleh pada kecap ikan pada kelompok E3
dan E5 dengan konsentrasi papain 0,6% dan 1%; dan rasa asin terdapat pada kecap ikan
kelompok E1, E2 dan E4 dengan konsentrasi papain 0,2%, 0,4% dan 0,8%. Pada
pengujian aroma, diketahui aroma tajam pada kelompok E1 dan E3. Sedangkan aroma
dari kelompok E2, E4 dan E5 adalah agak tajam. Menurut Astawan & Astawan (1988)
semakin banyak jumlah enzim papain yang ditambahkan, kemampuan enzim untuk
memecah protein semakin besar, sehingga senyawa-senyawa hasil pemecahan protein
yang dapat pembentuk cita rasa, seperti amilase, maltase, fosfatase, lipase, dan
proteinase semakin banyak. Senyawa senyawa inilah yang menghasilkan rasa yang kuat,

sehingga dapat disimpulkan kecap ikan dengan penambahan enzim paling banyak
merupakan kecap ikan yang paling asin. Namun hasil yang didapatkan berbeda, hal ini
dapat disebabkan oleh adanya penambahan bumbu atau rempah-rempah lainnya
sehingga memberikan rasa yang berbeda (Astawan & Astawan, 1988).
Berdasarkan penampakannya, kecap ikan yang cair didapatkan pada kelompok E1, E3,
E4 dan E5. Kecap ikan yang agak kental didapatkan oleh kelompok E2. Kecap ikan
dengan penambahan enzim terbanyak akan menghasilkan penampakan kecap ikan yang
sangat cair, karena enzim papain akan menguraikan protein menjadi peptida, pepton,
dan asam amino yang akan menurunkan viskositas (Astawan & Astawan, 1988). Namun
pada

hasil

pengamatan

terjadi

ketidaksesuaian

antara

teori

dengan

hasil.

Ketidaksesuaian ini dapat terjadi dikarenakan penambahan enzim yang tidak sesuai dan
uji sensoris yang dilakukan bersifat subjektif, sehingga penilaian sulit untuk
distandarisasi (Aitken, et al., 1982).
Berdasarkan hasil pengujian salinitas, Pada pengukuran kadar salinitas, tingkat salinitas
yang paling tinggi didapatkan pada kelompok E2 yang menggunakan kosentrasi enzim
papain 0,4%. Kadar salinitas paling kecil terdapat pada kelompok E1 yaitu 5%. Hal ini
tidak sesuai dengan teori dari Astawan & Astawan (1988) semakin banyak jumlah
enzim papain yang ditambahkan, kemampuan enzim untuk memecah protein semakin
besar, sehingga senyawa-senyawa hasil pemecahan protein yang dapat pembentuk cita
rasa, seperti amilase, maltase, fosfatase, lipase, dan proteinase semakin banyak.
Senyawa senyawa inilah yang menghasilkan rasa yang kuat, sehingga dapat
disimpulkan kecap ikan dengan penambahan enzim paling banyak merupakan kecap
ikan yang paling asin. Namun hasil yang didapatkan berbeda, hal ini dapat terjadi
karena proses pemanasan dengan waktu dan suhu yang berbeda, selain itu penilaian
dilakukan oleh seorang panelis sehingga penilaian dapat bersifat subjektif. Pembacaan
hand refractometer yang tidak sesuai juga dapat membuat kadar salinitas berbeda.
Pembuatan kecap ikan di Jepang memiliki kemiripan dengan pembuatan kecap ikan di
Indonesia. Hasil ekstrak limbah yang sudah ditambahkan bumbu-bumbu ditambahkan
dengan koji, air dan garam, yang selanjutnya difermentasi selama 6 bulan. Hasilnya
disaring dan dipasteurisasi (Murakami et al.,2009).

Gambar 1. Proses produksi kecap ikan di Jepang


Koji merupakan sejenis kecap ikan namun merupakan hasil fermentasi dari gandum
atau kacang kedelai. Mikroorganisme yang biasa digunakan adalah Aspergillus spp.
Koji ini digunakan sebagai campuran untuk membuat kecap ikan di negara Jepang (Giri,
et al., 2012).
4. KESIMPULAN

Keberhasilan pembuatan kecap ikan ditentukan beberapa faktor yaitu konsentrasi


garam yang ditambahkan,

waktu fermentasi, enzim dan bahan lain yang

ditambahkan, kebersihan alat dan kondisi fermentasi (kadar garam dan suhu).

Faktor yang berpengaruh terhadap aktivitas enzim adalah konsentrasi substrat,


konsentrasi enzim, suhu dan pH.

Warna coklat yang ada dapat berasal dari proses karamelisasi yang terjadi karena
adanya reaksi antara gula dan asam amino.

10

Semakin banyak enzim proteolitik pada bahan ikan kecap ikan akan berwarna lebih
coklat, sehingga semakin banyak enzim yang ditambahkan, maka warna akhirnya
akan semakin coklat gelap.

Kecap ikan dengan penambahan enzim paling banyak merupakan kecap ikan yang
paling asin karena kemampuan enzim untuk memecah protein semakin besar,
sehingga senyawa-senyawa hasil pemecahan protein yang dapat pembentuk cita
rasa, seperti amilase, maltase, fosfatase, lipase, dan proteinase semakin banyak.

Kecap ikan dengan penambahan enzim terbanyak akan menghasilkan penampakan


kecap ikan yang sangat cair, karena enzim papain akan menguraikan protein
menjadi peptida, pepton, dan asam amino yang akan menurunkan viskositas

Semarang, 3 November 2015


Praktikan,

Maudy Josephine M.S.

Mengetahui,
Asisten Dosen:

Michelle Darmawan

NIM 13.70.0029
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Aitken, A.; I. M. Mackie.; J. H. Merrit & M. L. Windsor. (1982). Fish Handling and
Processing 2nd Edition. Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food. USA.
Aristotelis T. Himonides, Anthony K. D. Taylor, Anne J. Morris.2011. A Study of the
Enzymatic Hydrolysis of Fish Frames Using Model Systems. Food and Nutrition
Sciences, 2011, 2, 575-585
Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat
Guna. CV Akademika Pressindo. Jakarta.
Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.

11

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.


Gaman, P. M. & K. B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi
dan Mikrobiologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Giri, Anupam , Midori Nasu, Toshiaki Ohshima.2012. Bioactive properties of Japanese
fermented fish paste, fish miso, using koji inoculated with Aspergillusoryzae.
International Journal of Nutrition and Food Sciences 2012;1(1):13-22
Hanson,
J.
(2006).
Refractometry.
Chemistry
Lab
Techniques.
http://www2.ups.edu/faculty/hanson/labtechniques/refractometry/theory.htm.
Harada, K.; T. Maeda; M. Honda; T. Kawahara; M. Tamaru; & T. Shiba. (2007).
Antioxidative Activity of Puffer Fish Sauce (Review). Journal of National Fisheries
University, Vol. 56 (1) : 99-105.
Ibrahim, S. M. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce
Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10 : 169-172.
Khairi, Intan Nadiah Binti Mohd, Nurul Huda, Wan Nadiah Wan Abdullah and Abbas
Fadhl Mubarek Al-Karkhi. 2014. Protein Quality of Fish Fermented Product: Budu and
Rusip. Asia Pacific Journal of Sustainable Agriculture Food and Energy (APJSAFE)
ISSN: 2338-1345 Vol. 2 (2): 17-22. Malaysia
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall, Inc. New York.
Lopetcharat, K. & J. W. Park. (2002). Characteristics of Fish Sauce Made from Pacific
Whiting and Surimi By-products During Fermentation Stage. Journal of Food Science.
Vol. 67, No. 2.
Miyuki Murakami, Masataka Satomi, Masashi Ando, Yasuyuki Tukamasa and Ken-ichi
Kawasaki. 2009. Evaluation of new fish sauces prepared by fermenting hot water
extraction waste of stock from dried fish using various kojis. Journal of Food,
Agriculture & Environment Vol.7 (2) : 1 7 5 - 1 8 1.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Petrucci, R. H. (1992). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Erlangga. Jakarta.

12

Saanin, H. (1984). Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta. Bandung.
Saleh, M; A. Ahyar; Murdinah & N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi
Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.
Witono, Yuli, Wiwik Siti Windrati, Asmak Afrilia, Imeilda Nury Prasvita. 2015.
Production of Inferior Fish Hydrolyzate Sauce Under Different Concentration of
Coconut Sugar and Caramel. International Journal of ChemTech Research ISSN: 09744290 Vol.8, No.1, pp 37-43.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan

Rumus :

Salinitas =

hasil
1000

x 100%

Kelompok E1

Salinitas =

50
1000

x 100% = 5%

Kelompok E2
Salinitas =

90
1000

x 100% = 9%

Kelompok E3
Salinitas =

55
1000

x 100% = 5,5%

Kelompok E4
Salinitas =

55
1000

x 100% = 5,5%

Kelompok E5
Salinitas =

60
1000

x 100% = 6%

6.2. Laporan Sementara

13

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal

Anda mungkin juga menyukai