Disusun oleh :
1. HILMA FITRIA NUR FAIZ
2. LADY SEPTIANI
012106183
012106203
Pembimbing :
dr. Wignyo Santosa,Sp.An
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
Fakultas
Kedokteran Umum
Universitas
Tingkat
Bagian
Ilmu Anastesi
Judul
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan
membutuhkan pengobatan operasi pada anak-anak dan dewasa di bawah umur 50
tahun, dengan puncak kejadian pada usia dekade kedua dan ketiga yaitu usia 10-20
tahun. Apendisitis merupakan kasus emergensi obstetrik yang paling sering pada
wanita hamil, terjadi sering pada trisemester kedua 1.
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan di
Negara berkembang yang banyak mengonsumsi makanan berserat. Di Amerika
Serikat, jumlah kasus apendisitis dilaporkan oleh lebih dari 40.000 rumah sakit tiap
tahunnya. Laki-laki memiliki rasio tinggi terjadi apendisitis, dengan rasio lakilaki:perempuan yaitu 1,4:1, dengan resiko seumur hidup apendisitis yaitu pada lakilaki 8.6% dan 6.7% pada perempuan1.
Di Indonesia, insiden apendisitis akut jarang dilaporkan. Insidens apendisitis
akut pada pria berjumlah 242 sedangkan pada wanita jumlahnya 218 dari keseluruhan
460 kasus. Pada tahun 2008, insiden apendisitis mengalami peningkatan. Hal ini
disebabkan karena peningkatan konsumsi junk food daripada makanan berserat.
Apendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka diperlukan
tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium,
USG, laparoskopi, dan CT scan. Tingkat akurasi diagnosis apendisitis akut berkisar
76-92%. Pengobatan untuk apendisitis akut adalah pembedahan, apendiktomi.
Sebelum pembedahan, pasien diberikan antibiotik perioperatif yang spectrum luas
untuk menekan insiden infeksi luka postoperasi dan pembentukan abses
intraabdominal2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada.
Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit
atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.
2.1.1.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan
yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda
vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paruparu, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada
anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan
anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi,
tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk
diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk
anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas wajah
yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus
bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular
Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan
untuk dilakukan intubasi trakeal.
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek
samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA
diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk
ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga
berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah
satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi perioperatif, maka tidak
mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus
fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik
monitoring4.
Tabel 2.1 Klasifikasi ASA
Kelas I
Kelas II
Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi aktivitas
sehari-hari.
Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.
Kelas III
Kelas IV
Kelas V
Kelas VI
E
Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun tanpa
operasi.
Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan operasi
sebagai upaya resusitasi.
Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil untuk
tujuan donor
Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I VI diatas.
Indikasi
Pada semua pasien (periksa konsentrasi glukosa
darah jika glukosa urine positif)
Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua bedah
mayor
Bedah mayor
Umur > 50 tahun
Umur > 60 tahun
Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.
Test
Darah Lengkap
Elektrokardiografi
Indikasi
Anemia dan penyakit hematologik lainnya
Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi
Penyakit ginjal
Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus
Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan elektrolit
atau menunjukkan efek toksik dari adanya
abnormalitas elektrolit seperti digitalik, diuretic,
antihipertensi, kortikosteroid, hipoglikemik agent.
Diabetes Mellitus
Penyakit hati yang berat
Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru
kronik
Diabetes Mellitus
Chest X-ray
Skreen koagulasi
10
Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler
Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti COPD,
bronchiectasis
Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral
(warfarin) atau heparin
Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alcohol
Tumor dengan metastase ke hepar
Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor pituitari
Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari yang 1
minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG),
sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam keadaan berikut;
Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah
Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk hipokalemia,
terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan gagal ginjal, produk
darah untuk koreksi koagulopati.
2.1.1.4 Informed Consent
Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent. Inform
consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada
tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi
yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya.
2.1.2 Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang
menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa)
selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.
Tabel 2.4 Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist, 2011)5
Usia pasien
< 6 bln
6 bln 5 thn
>5 thn
Adult,
op. pagi
Adult,
op.
siang
Intake oral
Clear fluid
Breast milk
Formula milk
Clear fluid
Formula milk
Solid
Clear fluid
Solid
Clear fuid
Solid
Clear fluid
Solid
puasa yg diberikan
2
20 cc/kg
3
4
2
10 cc/kg
4
6
2
10 cc/kg
6
2
Puasa mulai jam 12
mlm
2
Puasa mulai jam 8
pagi
Jumlah
4 mL/kg/jam
+ 2 mL/kg/jam
+ 1 mL/kg/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit
cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan
maintenance dengan waktu puasa.
2.1.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:
Dosis (Dewasa)
5-10 mg
1 mg/kgBB
1 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 g/kgBB
Disesuaikan
0,1 mg/kgBB
4-8 mg (iv) dewasa
10 mg (iv) dewasa
Dosis disesuaikan
menit sebelum induksi anestesia. Komposisi dan dosis obat premedikasi yang akan
diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang
dijumpai pada pasien4.
2.1.5 Persiapan Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
Scope
Tubes
Airways
Tapes
Introducer
C
S
Connector
Suction
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada pasien
dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipemukaan dapat dilakukan teknik
anestesi lokal atau umum.
2. Status fisik pasien
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui apakah
pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah ada komplikasi
anestesi dan paska pembedahan yang dialami saat itu. Pertanyaa mengenai
riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada tidaknya gejala penyakit
kardiorespirasi, kebiasaan merokok, meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus
menajadi
suatu
perhatian
saat
pasien
memakai
obat
pelumpuh
otot
bila
keadaan
pasien
anestesi
memang
dapat
diperhatikan
memungkinkan
dan
dan
tidak
2.3
Penatalaksanaan
1. Apendiktomi adalah terapi utama
2. Antibiotic pada apendisitis digunakan sebagai:
a. Preoperative, antibiotik broad spectrum intravena diindikasikan
untuk mengurangi kejadian infeksi pasca pembedahan.
b. Post operatif, antibiotic diteruskan selama 24 jam pada pasien
tanpa komplikasi apendisitis
c. Antibiotic diteruskan sampai 5-7 hari post operatif untuk kasus
apendisitis ruptur atau dengan abses.
d. Antibiotic diteruskan sampai hari 7-10 hari pada kasus
apendisitis rupture dengan peritonitis diffuse.
Tata Laksana Anestesi dan Terapi Intensif pada Tindakan Apendiktomi
1. Batasan
Tindakan anestesi yang dilakukan pada operasi pengangkatan
appendix.
2. Masalah anestesi dan terapi intensif
Ancaman depresi nafas akibat manipulasi abdomen
Perdarahan luka operasi
3. Penatalaksanaan Anestesi dan terapi intensif
Penilaian status pasien
Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi
4. Persiapan Pra Operatif
Persiapan rutin
Persiapan donor
5. Premedikasi
Diberikan secara intravena 30 45 menit pra induksi dengan obatobat sebagai berikut:
Ondancentron 4 mg
Fentanyl : 1-2 g/kgBB
6. Pilihan Anestesi
Anestesi umum inhalasi (imbang) dengan pemasangan LMA atau
pipa endotrakea.
7. Terapi Cairan dan Tranfusi
Diberikan cairan pengganti perdarahan apabila perdarahan yang
terjadi < 20 % dari perkiraan volume darah dan apabila > 20%, berikan
tranfusi darah.
8. Pemulihan Anestesi
Segera setelah operasi, hentikan aliran obat anesthesia, berikan
oksigen 100%
Berikan obat penawar pelumpuh otot
Bersihkan jalan nafas
Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan adekuat serta
jalan nafas sudah bersih
9. Pasca bedah/anestesi
Dirawat diruang pulih, sesuai dengan tata laksana pasca anestesi
Perhatian khusus pada periode ini adalah ancaman depresi nafas
akibat nyeri dan kompresi luka operasi
Pasien dikirim kembali keruangan setelah memenuhi kriteria
penegeluaran
A. General Anestesi
Tindakananestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien
dalam keadaan bugar. Tujuan kunjungan praanestesi adalah untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan.
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksianestesi diberi
1. Obat Premedikasi
a. Ondansetron
Merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat efektif yang dapat
menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan
radiasi. Ondansetron mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan
pengosongan basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang
sehingga dapat terjadi konstipasi. Ondansetron dieliminasi dengan cepat
dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara hidroksilasi dan
konjugasi dengan glukonida atau sulfat dalam hati. Dosis ondansentron
yang biasanya diberikan untuk premedikasi antara 4-8 mg. Dalam suatu
penelitian kombinasi antara Granisetron dosis kecil yang diberikan sesaat
sebelum ekstubasi trakhea ditambah Dexamethasone yang diberikan saat
induksi anestesi merupakan suatu alternatif dalam mencegah muntah
selama 0-2 jam setelah ekstubasi trakhea daripada ondansetron dan
dexamethasone.
b. Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid
dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150
mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang
ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat
onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan depresi pernapasan
residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan selama operasi dapat
dengan
haloperidol)
diberikan
bersama-sama
untuk
2. Obat Induksi
Profofol
Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan
karakter recoveryanestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual.
Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam
lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh
GABA. Propofol adalah obatanestesi umum yang bekerja cepat yang efek
kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit
infuse. Dosis sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang
berumur diatas 55 tahun dosis untuk induksi maupun maintanance anestesi
itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien dewasa menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga
asetilkolin tidak dapat bekerja.
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya
selama 20-45 menit dan dapat meningkat menjadi 2 kali lipat pada suhu 250
C, kecepatan efek kerjanya 1-2 menit.
Penawar pelumpuh otot atau
antikolinesterase
bekerja
pada
tak iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesik lemah,
tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Padaanestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi
dikombinasi dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan sebaagainya.
Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar
mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia
difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100%
selama 5-10 menit.Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan
efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi
80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila
digunakan pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi,
emboli udara dan timpanoplasti.
b. Sevoflurane
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesilebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat
dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi disampinghalotan.Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan
belum ada laporan toksik terhadaphepar. Setelah pemberian dihentikan
sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.Walaupun dirusak oleh kapur soda
(soda lime, baralime), tetapi belum ada laporanmembahayakan terhadap
tubuh manusia
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Alamat
: Ny. NS
: 58 tahun
: Perempuan
: Karangkimpul, Kaligawe Semarang
Agama
Suku
Kewarganegaraan
Pekerjaan
Status Pernikahan
Tanggal MRS
No. RM
Berat Badan
Tinggi Badan
: Islam
: Jawa
: Indonesia
: Ibu Rumah Tangga
: Menikah
: 7 Juni 2015
: 01130xxx
: 60 kg
: 154 cm
3.2 Pre-Operasi
3.2.1 Anamnesa Kunjungan Pre-Operasi (8 Juni 2015)
maupun asma.
M (Medication): tidak sedang menjalani pengobatan apapun.
P (Past Medical History): tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas akibat sesak dan
tidak ada gangguan pada aktifitas sehari-hari. Pasien memiliki riwayat BAB tidak
lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari. Riwayat anastesi dan anastesi sebelumnya
belum ada. Operasi ini merupakan pengalaman pertama pasien mengalami
pembedahan anastesi. Merokok (-), konsumsi minuman beralkohol (-). Keadaan
B1-Breathing
o Airway paten, nafas spontan, RR 20 kali/menit
o Wajah dan rongga mulut: bentuk wajah dalam batas normal, buka mulut lebih
o
o
dari 3 jari, mallampati 1, gigi utuh dan baik, kebersihan rongga mulut baik.
Hidung: perdarahan (-), deviasi septum (-), polip (-), PCH (-)
Leher: leher gemuk (-), leher ekstensi bebas, trakea di tengah, massa regio
colli (-)
B5-Bowel
Flat, soefl, bising usus (+) menurun, nyeri tekan (+) McBurney
B6-Bone/Body
Mobilitas (+), edema =|=, sianosis =|=, anemis =|=, ikterik =|=, CRT <2 detik,
skoliosis (-), lordosis (-), hemiparesis (-), distrofi otot (-), motorik dan sensorik
normal.
Satuan
Nilai Rujukan
Kesan
13.50
g/dL
11.4-15.1
Normal
Darah Lengkap
Hemoglobin
Eritrosit
4.82
106/mm3
4.0 5.0
Normal
Leukosit
18.00
103/mm3
4,7-11,3
Normal
Hematokrit
41.10
38 - 42
Normal
Trombosit
337
103/mm3
142 424
Normal
MCV
78.40
fL
80 93
Normal
MCH
26.80
Pg
27 31
Normal
MCHC
34.10
gr%
32 36
Normal
RDW
14.00
11,5 - 14,5
Normal
PPT
11.4
Detik
11.8
Normal
INR
0.98
APTT
26.4
Detik
28.2
Normal
Natrium (Na)
138
136 145
Normal
Kalium (K)
3.51
Mmol/L
Mmol/L
3.5 5.0
Normal
108
Mmol/L
98 - 106
Normal
Faal Hemostasis
Elektrolit Serum
Klorida (Cl)
Urinalisis
Kekeruhan
Jernih
Warna
Kuning
pH
8.0
4.5 - 8.0
Normal
Glukosa
Negatif
Negatif
Normal
Protein
Negatif
Negatif
Normal
Lekosit
Trace
Negatif
Normal
Darah
+1
Bakteri
63.9
Negatif
3
10 /mL
Normal
3
93x10 /mL
Normal
Pregnancy Test
Test Kehamilan
Negatif
3.2.4 Planning
: 9 Juni 2015
: General Anestesi Inhalasi
: Laparatomi - Appendiktomi
1. Premedikasi
Atropin 0,25 mg
2. Diagnosis Pra Bedah
: Apendisitis Akut
: General Anestesi
5.
Teknik :
Inhalasi,
pernafasan
diambil,
: Propofol 100 mg
7. Pemeliharaan
8. Obat-obat
9. Jenis Cairan
: Ringer laktat
: Supine
Infus
Antibiotik
Analgetik
Anti muntah
Lain-lain
Jika sadar penuh, Peristaltik (+) , mual (-), muntah (-), coba minum makan
perlahan.
:Perdarahan 80 cc
B3 (Brain)
: Pupil Isokor
B4 (Bladder)
B5 (Bowel)
: BU (-)
B6 (Bone)
: Intak
Jam II
Jam III
Jam IV
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis apendisitis akut pada pasien ini ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan fisik melalui palpasi ditemukan adanya nyeri pada perut bagian
kanan bawah, nyeri semakin hebat jika pasien beraktivitas serta di tunjang oleh
pemeriksaan apendikogram.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA I dalam hal ini
pasien tidak memiliki riwayat alergi. Teknik general anestesi inhalasi pada pasien
ini dilakukan atas pertimbangan lama waktu operasi yang relatif lama, yaitu
sekitar 1 jam.
Pada pasien ini diberikan premedikasi berupa ondancentron 4 mg
intravena, Sulfas Atropin 0,25 mg dan fentanil 50 mcg. Induksi anestesia
dilakukan dengan pemberian propofol 100 mg (2 2,5 mg/kgBB) (intravena),
setelah refleks bulu mata menghilang segera dilakukan pemasangan ET no. 7.
Untuk maintenance selama operasi berlangsung diberikan N2O 50%, O2 50%, dan
Sevoflurane 2 vol % dengan cara inhalasi dengan mesin anestesia. Selama operasi
berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi untuk membantu ahli anestesi
mendapatkan informasi fungsi organ vital selama perioperasi, supaya dapat
bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik membantu ahli anestesi
mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus menerus. Selama operasi
berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena RL. Pada saat dilakukannya
operasi diberika injeksi ketorolac 30mg intravena sebagai analgesik untuk
mengurangi nyeri setelah operasi dan anestesi selesai. Setelah operasi selesai,
dilakukan tindakan suction dan reoksigenasi menggunakan face mask dengan
Oksigen 2-3 liter/menit.
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor
Aldrete. Bila pasien tenang dan Aldrete Score 8 dan tanpa nilai 0, pasien dapat
dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrete Score-nya sebesar 10 dengan
rincian yaitu aktivitas 2 ( dapat menggerakan 4 extrimitas setelah diperintah),
respirasi 2 (dapat bernafas dalam dan batuk), sirkulasi 2 (perubahan tekanan darah
< 20 mmHg dari tekanan darah preoperasi), kesadaran 1 (dapat dibangunkan dan
membuka mata ketika diperintah), saturasi oksigen 2 (saturasi oksigen 99-100%
diudara kamar). Setelah dinilai Aldrete skornya dan nilainya > 8, pasien
dipindahkan ke bangsal.
DAFTAR PUSTAKA
Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams &
Wilkins..
Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI.
Keat Sally, Simon T, Alexander B, Sarah L. 2013. Anaesthesia on the
move 1th editional. U.K. Hodder Arnold
Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg
1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin
Anesth 1995;7:89.
Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison,
Jean Kwo, dan Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The
Massachusets General Hospital 7th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.