Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya pada kami sehingga kami dapat menyelesaikan laporan refreshing dengan judul
Kegawat Daruratan Pada Penyakit Kulit sesuai pada waktu yang telah ditentukan.
Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta
para pengikutnya hingga akhir zaman. Laporan ini kami buat sebagai dasar kewajiban dari
suatu proses kegiatan yang kami lakukan yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk praktik
kehidupan sehari-hari.
Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh pembimbing yang telah membantu kami
dalam kelancaran pembuatan laporan ini, dr. Nurhayati Sutarman. Sp.KK. Semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk menambah kesempurnaan
laporan kami.

Jakarta, Maret 2015

Penyusun

PEMBAHASAN
Kegawat daruratan pada penyakit kulit adalah suatu kondisi kulit yang progresif dan
berpotensi mengancam nyawa. Kegawat daruratan dapat terjadi pada seseorang maupun
sekelompok orang pada setiap saat dan di mana saja. Hal ini dapat berupa serangan penyakit
secara mendadak, kecelakaan atau bencana alam. Keadaan ini membutuhkan pertolongan
segera yang dapat berupa pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara
mantap di rumah sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa,
mencegah dan membatasi cacat serta meringankan penderitaan penderita. Kegawat daruratan
pada penyakit kulit adalah kondisi kulit yang progresif dan berpotensi mengancam nyawa.1
Pertolongan pertama biasanya diberikan oleh orang-orang di sekitar korban.
pengenalan awal sangat penting untuk menerapkan perawatan suportif dan terapi yang cepat
dan tepat. Pertolongan ini harus diberikan secara tepat sebab penanganan yang salah justru
dapat berakibat kematian atau cacat tubuh.Pertolongan selanjutnya diberikan setelah
penderita tiba di rumah sakit, dilakukan oleh dokter umum atau dokter spesialis yang
mempunyai kompetensi untuk melakukan tindakan pada kasus tersebut.1
Pada penyakit kulit, dikenal beberapa penyakit yang dianggap sebagai suatu kasus
kegawat daruratan. Dimana kasus-kasus tersebut membutuhkan pertolongan yang cepat dan
tepat agar tidak menimbulkan kecacatan sampai kematian.1

Beberapa Macam Kegawat daruratan pada Penyakit Kulit


Di klinik tidak jarang kita menemukan kasus-kasus emergensi yang memerlukan penanganan
segera dan tepat. Kasus-kasus tersebut adalah sebagai berikut: 1,2
1. Angioedema
2. Staphylococcus Scaled Skin Syndrome
3. Steven Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal NekrolisiS
4. Erythroderma
5. Necrotising fasciitis

1. Angioedema
Definisi
Angioedema dan urtikaria memberikan manifestasi yang berbeda dengan proses patologi
yang sama.Kedua-dua kondisi menunjukkan terdapat kebocoran cairan dan edema pada hasil
postcap. Walaubagaimanapun,angioedema melibatkan pembuluh darah pada superficial dermis di
lapisan kulit.Hasil ini menunjukkan gambaran klinis yang berbeda.Respon diatas diperantarai oleh
histamine, serotonin dan kinin (contohnya; bradikinin) yang menyebabkan dilatasi arteriol dimana
junction diantara sel endotel longgar dari kapilari dan arteriol. Angioedema muncul sebagai
gambaran klinis dari mekanisme imunologi dan inflamasi atau bisa juga idiopatik. Angioedema
bisa muncul selepas terjadi reaksi IgE atau IgE reseptor dengan disertai abnormality sistem
komplemen dan sistem efektor plasma setelah degranulasi mast sel dan berhubung dengan aktivasi
asam arakidonat seluler pada metabolic pathways. Angioedema adalah penyakit biasa dimana
tergantung kepada faktor usia, bangsa, sex, pekerjaan dan lokasi geografi serta musim,angioedema
bisa mungkin menjadi proses akut jika kurang dari 6 minggu. Angioedema dengan urtikaria atau
tidak diklasifikasikan kepada alergik, hereditary atau idiopatik. 3,4,5
Gambaran Klinik1

Edema pada muka,extremitas,mungkin sedikit nyeri tanpa pruritus,bisa terjadi beberapa


hari.Melibatkan juga bibir,dagu,area periorbital,lidah dan laring.

Angioedema bisa juga pada system organ vital contohnya traktus respiratorius.

Pembengkakan superficial dermis dengan wheals yang ditandai dengan warna pink dan
pruritus dimana area angioderma sering pucat dan nyeri.

Penatalaksanaan1
1. Penjagaan prehospital
o

Menghindari pemicu

Menjaga jalan nafas

Intubasi nasofaringeal

Steroids epeniferin subcutaneous

2. Emergency department care


o

Menjaga jalan nafas

Intubasi nasofaringeal

Steroids epeniferin subcutaneous

Angioedema kronik merespon baik pada steroids dan H2 blockers.


Angioedema herediter lebih melawan kepada penggunaan epineferin subcutaneous,antihistamin dan
steroid.
Stanozolol,anabolic steroid,danazol,inhibitor gonadotropin.
Asam aminocaproic untuk seimbangkan pregantian C11NH untuk mengelakkan serangan.Fresh
frozen plasma mungkin bisa digunakan untuk sementara.

2. Staphylococcal scalded skin syndrome


Definisi
Staphylococcal scalded skin sindrom pertama kali di laporkan oleh ritter von
rittershain pada tahun 1956 dan di kenal sebgai penyakit ritter von rittershain dan sering di
singkat penyakit ritter saja.4
Pada waktu itu belum di kenal istilah S.S.S.S, kemudian lyel pada tahun 1956
memasukanya kedalam nekrolisis epidermal toksik (N.E.T). Barulah pada tahun 1970 berkat
penyelidikan Milish dan Glasgow dengan model tikus dan berkat berbagai penelirtian klinis
di ketahui ternyata penyakit berbeda dengan N.E.T.4
Epidemiologi

SSSS lebih sering muncul pada anak-anak dibawah 5 tahun, biasanya pada neonatus.
Antibody pelindung terhadap eksotoksin staphylococcal biasanya didapat ketika usia anakanak yang menjadikan SSSS lebih jarang terjadi pada remaja dan dewasa. Kurangnya
imunitas spesifik terhadap toksin dan system renal clearance yang immature (toksin biasanya
dikeluarkan dari tubuh lewat ginjal) menjadikan neonatus sebagai yang palin berisiko.4
Individu dengan immunokompromi dan individu dengan gagal ginjal, tanpa mengira
umur, bisa juga berisiko menndapat SSSS.4
Patofisiologi
SSSS bermula dari infeksi staphylococcus yang memproduksi 2 eksotoksin (toksin
epidermolitik A dan B). kedua-dua toksin ini menyebabkan pemisahan intraepidermal ke
lapisan granular oleh desmoglein 1 yang merupakan protein desmosomal yang memediasi
pelekatan sel-sel keratinosit dalan lapisan granular sehingga akhirnya menyebabkan kulit
menjadi tidak utuh.4,5
Pembawa dewasa yang asimtomatik memaparkan bakteri kausatif ini di tempat
penjagaan anak. Pembawa S aureus lewat nasal yang asimtomatik muncul 20-40% pada
orang sehat, yang mana organisma tersebut terisolasi di tangan, perineum dan axilla dalam
proporsi kecil dari seluruh populasi.4,5
Gambaran Klinik
Gejala klinis staphylococcal skaled skin syndrom pada umumnya terdapat demam yang tinggi
disertai dengan infeksi di saluran nafas bagian atas. Kelainan kulit yang timbul akibat infeksi
adalah yang pertama kali akan timbul tanda-tanda kemerahan yang timbul mendadak pada
muka, leher, ketiak, dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam. Dalam waktu
24-48 jam akan timbul bula-bula besar berdinding kendur. Jika kulit yang terlihat norma di
tekan lalu di geser kulit tersebut akan terkelupas sehingga memberikan tanda nikolskly
positif. Dalam waktu 2-3 hari akan terjadi pengeriputan spontan di sertai dengan
pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga akan tampak daerah yang erosif. Daerah
tersebut akan mengering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi. Deskuamasi pada
daerah yang tidak terkelupas akan terjadi dalam waktu 10 hari. Meskipun bibir sering terkena
infeksi akan tetapi daerah mukosa jarang terkena. Proses penyembuhan penyakit akan terjadi
dalam 10-14 hari tanpa di sertai sikatrik. 4,5

Pengobatan
Pengobatan ialah antibiotik, jika dipilih derivat penisilin hendaknya yang juga efektif
bagi Staphylococcus aureus yang membentuk penisilinase, misalnya kloksasilin dengan dosis
3x 250 mg untuk orang dewasa sehari per oral. Pada neonatus (penyakit Ritter) dosisnya
3x50 mg per os. Obat lain yang dapat diberikan ialah klindamisin dan sefalosporin generasi I.
Topikal dapat diberikan sofratulle atau krim antibiotik. Selain itu juga harus diperhatikan
keseimbangan cairan dan elektrolit.4
Prognosis
Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia dibawah setahun, yang berkisar
antara1-10%. Penyebab utama kematian adalah tidak adanya keseimbangan cairan/elektrolit
dan sepsis.4

3. Sindrom Stevens Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik


Pendahuluan
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) dan Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah reaksi
mukokutaneus yang mengancam jiwa yang ditandai dengan nekrosis luas dan pelepasan
epidermis. Stevens dan Johnson pertama kali melaporkan dua kasus penyebaran erupsi kulit
terkait dengan erosif stomatitis dan keterlibatan okular yang parah. Pada tahun 1956, Lyell
menjelaskan pasien dengan kehilangan epidermal sekunder untuk nekrosis dan pertama kali
memperkenalkan istilah nekrolisis epidermal toksik. SSJ dan NET ditandai oleh keterlibatan
kulit dan membran mukosa. Makula eritematosa, terutama mengenai lengan dan tungkai
proksimal, berkembang secara progresif dan menyebabkan pelepasan epidermis. Karena
kesamaan dalam temuan klinis dan histopatologi, etiologi obat, dan mekanisme, kedua
kondisi ini merupakan varian keparahan proses identik yang hanya berbeda dalam persentase
permukaan tubuh yang terlibat. Oleh karena itu lebih baik menggunakan sebutan nekrolisis
epidermal, seperti yang diusulkan oleh Ruiz-Maldonado (penyebaran nekrosis epidermal
akut) dan Lyell (nekrolisis eksantema).4
Etiologi
Patofisiologi NE masih belum jelas. Namun, sekarang ditetapkan bahwa obat adalah faktor
etiologi yang paling penting. Lebih dari 100 obat yang berbeda telah dilaporkan sebagai
kemungkinan penyebabnya. Pentingnya satu obat dapat ditetapkan sekitar 70 persen kasus.

Studi berbasis populasi retrospektif atau serangkaian kasus tidak cukup akurat untuk
mengukur risiko obat. Suatu perkumpulan berbagai bangsa menganalisa studi kasus-kontrol
NE dengan obat tertentu. Kurang dari selusin obat yang "berisiko tinggi" sebagian terlibat
pada kasus NE di Eropa. Obat berisiko tinggi ini adalah antibiotik sulfonamid, antikonvulsan
aromatik, allopurinol, obat anti-inflamasi nonsteroid oxicam, lamotrigin, dan nevirapine.
Risiko terlihat pada 8 minggu pertama pengobatan. Penambahan dosis secara perlahan dapat
menurunkan tingkat ruam dengan lamotrigin dan nevirapine, tetapi tidak ada bukti bahwa hal
itu mengurangi risiko NE. Oxcarbazepine, turunan 10-keto dari carbamazepine, yang
dianggap membawa risiko yang lebih rendah, tampaknya secara signifikan bereaksi silang
dengan carbamazepine. Banyak obat anti-inflamasi nonsteroid yang diduga terkait dengan
NE, terutama derivat oxicam dan diklofenak. Sebuah risiko yang signifikan tetapi jauh lebih
rendah juga telah dilaporkan antibiotik non-sulfonamide seperti aminopenicillins, kuinolon,
sefalosporin, dan tetrasiklin. Peran kortikosteroid pada NE masih belum jelas. Dalam studi
kasus-kontrol, kortikosteroid yang ditemukan terkait dengan risiko relatif tinggi, terlepas dari
penyakit yang mendasari.4
Peran agen infeksi dalam perkembangan NE jauh kurang menonjol dibandingkan eritema
multiforme. Namun, beberapa kasus NE berhubungan dengan infeksi Mycoplasma
pneumoniae, penyakit virus, dan imunisasi telah dilaporkan. Pengamatan langka
menggarisbawahi fakta bahwa obat bukan satu-satunya penyebab NE, namun masih ada
sedikit bukti bahwa infeksi dapat menjelaskan kasus yang memiliki persentase yang sangat
kecil.4
Kasus NE telah dilaporkan setelah transplantasi sumsum tulang. Beberapa bentuk ekstrem
dari penyakit akut cangkokan-lawan-host sulit untuk dinilai karena lesi kulit dan fitur
histologis kulit hampir tidak bisa dibedakan.4
Akhirnya, mekanisme fisik seperti radioterapi disamping pengobatan dengan obat antiepilepsi seperti phenytoin, fenobarbital, atau carbamazepine dapat memicu NE pada tempattempat radiasi.4
Patogenesis
Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui. Pada lesi SSJNET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga menyebabkan apoptosis luas.
Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik

terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin terlibat dalam patogenesis penyakit ini, yaitu IL-6,
TNF-a, IFN-y, IL-8, Fas-L, granulisin, perforin, granzim-B.4
Sebagian SSJ-NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai obat dilaporkan merupakan
penyebab SSJ-NET. Obat-obatan yang sering menyebabkan SSJ-NET adalah sulfonamidea,
anti-konvulsan

aromatik,

alopurinol, AINS,

dan

nevirapin.

Pada

beberapa

obat

tertentu,misalnya karbamazepin dan alopurinol, faktor genetik yaitu sistem HLA berperan
pada proses terjadinya SSJ-NET. Infeksi juga dapat menjadi penyebab SSJ NET, namun tidak
sebanyak pada kasus eritema multiforme; misalnya infeksi virus dan Mycoplasma.
Gambaran Klinis
Gambaran SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu setelah awal pajanan obat.
Sebelum terjadi lesi kulit, dapat timbul gejala non-spesifik, misalnya demam, sakit kepala,
batuk/pilek, dan malaise selama 1-3 hari. Lesi kulit tersebar secara simetris pada wajah.
Badan dan bagian proksimal ekstremitas, berupa makula eritematosa atau purpurik, dapat
pula dijumpai lesi target. Dengan bertambahnya waktu, lesi kulit meluas dan berkembang
menjadi nekrotik, sehingga terjadi bula kendur dengan tanda nikolsky positif. Keparahan dan
diagnosis bergantung pada luasnya permukaan tubuh yang mengalai epidermolisis. Lesi pada
mukosa berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai minimal pada 2 lokasi, yaitu mulut dan
konjungtiva, dapat juga ditemukan erosi dimukosa genitalia. Keterlibatan organ dalam juga
terjadi, namun jarang, misalnya paru, saluran cerna dan ginjal.4
Cara menilai prognosis SSJ-NET berdasarkan Scorten yang memberi nilai 1 untuk
hal-hal berikut:4,5
SCORTEN
Prognostic Factors

Points

Age > 40 yr

HR > 120 beats/min

Cancer or hematologic malignancy

Body surface area involved > 10 %

Serum urea level > 10 mM

Serum bicarbonate level < 20 mM

Serum glucose level > 14 mM

SCORTEN

Mortality Rate (%)

0-1
2

3,2

12,1

35,8

>5

58,3
90

Tabel 1. SCORTEN: Sistem Skor Prognosis untuk pasien dengan NE


Diagnosa
Dasr diagnosis SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis perjalanan
penyakit, disertai hubungan waktu yang jelas dengan konsumsi obat tersangka; dan gambaran
klinis lesi kulit dan mukosa. Diagnosis SSJ ditegakan bila epidermolisisnya hanya ditemukan
pada < 10% LPB, NET bila epidermolisisnya >30% LPB, dan overlap SSJ-NET bila
epidermolisisnya >10-30% LPB.4
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk menunjang diagnosis.
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk evaluasi keparahan dan untuk tatalaksana
pasien.4
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah: darah tepi lengkap, analisa gas darah,
kadar elektrolit, albumin dan protein darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, GDS, dan foto
rontgen paru. Selama perawatan, perlu diwaspadai tanda-tanda sepsis secara kinis dan
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis sepsis.4
Tatalaksana
SSJ-NET adalah penyakityang mengancam nyawa yang membutuhkan tatalaksana
yang optimal berupa: deteksi dini dan penghentian segeraobat tersangka, perawatan suportif
di rumah sakit. Sangat disarankan untuk merawat pasien SSJ-NET di ruang perwatan khusus.
Perawatan suportif mencakup: mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, suhu
lingkungan optimal 28-30oC, nutrisi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan asupan
makanan, perawatan kulit secara aseptik tanpa debridement, perawtan mata dan mukosa
mulut. Berbagai terapi spesifik telah dipakai untuk mengatasi penyakit ini, namun belum
diperoleh hasil yang jelas karenan sulitnya mengadakan uji klinis untuk penyakit yang jarang
ini. Penggunaan kortikosteroid sistemik sampai saat ini, hasilnya masih sangat beragam,
sehingga penggunaannya masih belum dianjurkan. Kebijakan yang dipakai di ruang rawat

ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM adalah menggunakan kortikosteroid sistemik
untuk setiap kasus SSJ-NET, dengan hasil yang cukup baik dengan angka kematian pada
periode 2010-2013 sebesar 10,5%.4
IVIg. Siklosporin A, siklofosfamid, plasmaferesis dan hemodialisis juga telah
diginakan di berbagai negara dengan hasil yang bervariasi.4

4. Erythroderma
Definisi
Erythroderma dan dermatitis exfoliative biasanya dipakai untuk menjelaskan penyakit
yang sama dalam literatur. Terma sebelumnya menjelaskan eryhtroderma sebagai dilatasi
yang menyebar dari penbuluh darah kutaneus. Apabila proses inflamasi disertai dengan
erythroderma secara substantial akan meningkatkan proliferasi sel epidermal dan mengurangi
waktu transitsel epidermal melalui epidermis yang bisa menimbulkan sisik bertanda. 4
Istilah red man syndrome biasanya digunakan pada dermatitis exfoliatif yang
idiopatik yang mana tidak ditemukan penyebab primer walaupun telah menjalani beberapa
serial pemeriksaan dan tes. Erythroderma idiopatik ini ditandai dengan keratoderma
palmoplantar, limfadenopati dermatopati dan peningkatan kadar serum immunoglobulin E
(IgE). Istilah Ihomme rouge merujuk kepada dermatitis exfoliatif yang merupakan limfoma
sel-T sekunder.4
Epidemiologi
Pada orang dewasa, penyakit kulit dini, beberapa keganasan atau malignancy dan
allergi obat-obatan bisa menyebabkan erythroderma, namun pada variabel, beberapa pasien
mengalami erythroderma tanpa penyebab yang jelas. Kecuali apabila kondisi ini menyangkut
atau disebabkan oleh dermatitis atopik, dermatitis seborrhoeic, atau ichtyosis herediter,
erythroderma biasanya muncul selepas usia 40 tahun. Laki-laki dikatakan berpotensi untuk
terkena erythroderma dua kali lipat berbanding wanita.4
Patofisiologi
Penyebab utama nya sampai saat ini belum jelas, namun diduga berhubungan dengan
suatu agen di dalam tubuh, sehingga tubuh bereaksi dengan terjadinya pelebaran pembuluh
darah kapiler (eritema) yang universal. Kemungkinan berbagai sitokin ikut berperan dalam
proses terjadinya penyakit.4

Eritema berarti terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke
kulit meningkat sehingga kehilangan panas bertambah. Akibatnya pasien merasa dingin dan
menggigil. Pada eritro derma kronis dapat terjadi gagal jantung.4

Klasifikasi dan Gejala Klinis1,2,4


Eritroderma di klasifikasikan kedalam tiga bagian ;
1. Ertroderma akibat alergi obat
2. Ertroderma akibat perluasan penyakit kulit
3. eritroderma akibat penyakit sistemik dan keganasan
I. Ertroderma akibat alergi obat
Untuk menetukan diagnosa di perlukan anamnesa yang teliti, yang di maksud dengan
alergi obat adalah masuknya obat kedalam tubuh dengan cara apa saja. Waktu masuknya obat
hingga timbul penyakit biasanya bervariasi dapat segera sampai dengan 2 minggu. Gambaran
klinis nya adalah eritema yang universal.4
II. Eritoderma akibat perluasan penyakit kulit
Pada penyakit ini yang paling sering terjadi adalah akibat psoriasis dan dapat pula
akibat dermatitis seboroik. oleh karena itu hanya kedua penyakit tersebut yang akan di
jelaskan.4
a. Eritroderma karena psoriasis (psoriasis ertrodermik)
Penyakit psoriasis dapat menjadi psoriasis karena dua hal, di sebabkan oleh
penyakitnya sendiri atau karena pengobatan yang terlalu kuat. pada umumnya
didapati ertema yang tidak merata. pada tempat predileksi psoriasis dapat di temukan
kelainan yang lebih ertomatosa dan agak meninggi daripada di sekitarnya dan skuama
di tempat tersebut lebih tebal.4
b. Penyakit leiner / eritoderma deskuamativum
Proses terjadinya penyakit ini belum di ketahui pasti namun menurut beberapa
sumber penyakit ini di sebabkan oleh dermatitis seboroika yang meluas, karena pada
pasien penyakit ini selalu didapati kelainan yang khas untuk dermatitis seboroik.4

Usia penderita antara 4 minggu sampai 20 minggu. keadaan umumnya baik,


biasanya tanpa keluhan. kelainan kulityang didapati berupa eretema universal di sertai
skuama yang kasar.4
III. Eritoderma akibat penyakit sistemik dan keganasan
Berbagai penyakit kulit atau kelainan alat dalam dapat menyebabkan kelainan kulit
berupa ertoderma. jadi setiap kasus ertoderma yang tidak termasuk kedalam golongan I dan II
harus di cari penyebabnya, yang berati harus di periksa secara menyeluruh. Apakah ada
penyakit pada alat dalam dan harus di cari pula, apakah apakah ada infeksi alat dalam dan
infeksi fokal. Ada kalanya terdapat leukositosis namun tidak di temukan penyebabnya, jadi
terdapat infeksi bakteri tersembunyi (occult infection) yang perlu di obati.4

Gambar 4. Erytroderma
Tatalaksana4
a. Nonmedikamentosa

Pada eritroerma gololngan I, obat yang diduga sebagai penyebab harus segera
dihentikan.

Diet tinggi protein pada eritroderma kronis

b. Medikamentosa

Golongan I yang disbabkan oleh alergi obat sistemik, dosis prednison 4x10 mg

Golongan II yang disebabkan akibat perluasan penyakit kulit, dosis mula


prednison 4x10-15 mg sehari, dosis dapat dinaikan jika setelah beberapa hari
tidak ada perbaikan, jika ada perbaikan dosis diturunkan perlahan-lahan.

Eritroderma akibat psoriasis bisa diberikan asetretin.

Pada pengobatan jangka lama dengan kortikosteroid yang melebihi 1 bulan


lebih baik digunakan metilprednisolon.

Kelainan kulit perlu juga diolesi emolien untuk mengurangi radiasi akibat
vasodilatasi oleh eritema, misalnya dengan salp lanolin 10% atau krim urea
10%.

5. Necrotizing Fascitis
Necrotizing fasciitis adalah suatu inflamasi progresif yang cepat dari fasia dengan
nekrosis sekunder dari jaringan subkutan. Kecepatan penyebaran berbanding lurus dengan
ketebalan lapisan subkutan. Necrotizing fasciitis bergerak pada sepanjang bidang fasia.1,5
Necrotizing fasciitis juga telah disebut sebagai gangren streptococcal gangrene,
Meleney ulcer, acute dermal gangrene, hospital gangrene, suppurative fasciitis, and
synergistic necrotizing cellulitis. Fournier gangren adalah bentuk necrotizing fasciitis yang
terlokalisasi pada skrotum dan daerah perineum. 1,5
Necrotizing fasciitis dapat terjadi sebagai komplikasi dari berbagai prosedur bedah
atau kondisi medis, termasuk kateterisasi jantung, vena sclerotherapy,

dan laparoskopi

diagnostik, dan dapat juga bersifat idiopatik. 1,5


Necrotizing fasciitis adalah suatu kondisi langka yang ditandai dengan nekrosis luas pada
fasia dan jaringan subkutan. NF dibagi menjadi 2 berdasarkan mikroba penyebabnya: 1,5
1. Tipe 1 adalah infeksi polimikroba oleh bakteri aerobik dan anaerobik pada orang
dengan immunocompromised atau penyakit kronis seperti diabetes.
2. Tipe 2 melibatkan kelompok A Streptococcus GAS) dengan atau tanpa infeksi
staphylococcal yang menyertai yang dapat terjadi dalam setiap kelompok usia bahkan
tanpa penyakit medis yang rumit.
Gejala Klinis

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan


informasi perjalanan penyakit mulai dari rasa nyeri hebat, kulit eritem, udem dan timbulnya
bula yang kemudian menjadi nekrosis, adanya krepitasi pada palpasi dan adanya gambaran
emfisema subkutis pada rontgen cruris sinistra. Pasien juga mengalami demam dan malaise,
gejala klinis yang tampak menunjukkan tanda-tanda infeksi yang mengarah ke necrotizing
fasciitis.1
Gejala-gejala NF berikut dikumpulkan dari Center for Disease Control and Prevention
and the National Necrotizing Fasciitis Foundation:1
Gejala awal (biasanya dalam waktu 24 jam):

Biasanya telah terjadi trauma ringan atau luka terbuka lainnya (luka tidak selalu
muncul terinfeksi)

Beberapa nyeri umumnya di area cedera. Belum tentu di tempat cedera, tetapi di
daerah atau ekstremitas tubuh yang sama

Rasa sakit biasanya tidak proporsional terhadap cedera dan mungkin awalnya
dirasakan sebagai sesuatu yang mirip dengan tarikan otot, tetapi menjadi lebih dan
lebih nyeri lagi

Seperti gejala flu mulai terjadi, seperti diare, demam, mual, bingung, pusing,
kelemahan, dan malaise

Dehidrasi

Gejala terbesar adalah gabungan semua gejala. Secara umum Anda mungkin akan
merasa lebih buruk daripada yang pernah dirasakan dan tidak mengerti mengapa.

Lanjutan gejala (biasanya dalam 3-4 hari):

Tungkai atau daerah yang nyeri mengalami mulai membengkak, dan mungkin
menunjukkan ruam keunguan

tungkai mungkin mulai memiliki tanda besar gelap, yang akan menjadi lepuh berisi
cairan kehitaman

Lukanya mulai nekrotik dengan bintik-bintik seperti sisik berwarna kebiruan, putih
atau gelap

Gejala kritis (biasanya dalam 4-5 hari):

Tekanan darah akan turun sangat

Tubuh mulai mengalami syok septik dari racun bakteri

Hilang kesadaran akan terjadi ketika tubuh menjadi terlalu lemah untuk melawan
infeksi ini.

Gold standard untuk mendeteksi infeksi necrotizing jaringan lunak adalah biopsi jaringan
yang diperoleh pada saat eksplorasi luka dan debridement. Selama eksplorasi luka, integritas
jaringan dan kedalaman invasi juga dapat dievaluasi. Adanya nekrosis fasia dan myonecrosis
adalah indikasi dari necrotizing fasciitis. Sebuah prosedur diagnosis bed side yang dapat
membantu adalah finger test. Sebuah sayatan 2-cm ke fasia profunda dibuat di bawah anestesi
lokal, dan tingkat fasia dangkal kemudian diperiksa. Kurangnya perdarahan, nanah berbau
'air cucian' busuk, dan resistensi jaringan minimal untuk diseksi jari menunjukkan tes jari
positif, dan dianggap diagnostik necrotizing fasciitis. Pewarnaan gram jaringan yang terkena
dapat digunakan untuk diagnosis mikrobiologis di NF. Darah dan debridement jaringan juga
harus dikirim untuk kultur. 1,5

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk NF adalah kombinasi dari debridement, antibiotik yang tepat
dan oksigenasi yang optimal dari jaringan yang terinfeksi. NF adalah penyakit menantang
dan berpotensi mematikan, diagnosis dini sangat penting dan pengobatan multidisiplin yang
agresif adalah wajib. Diagnosis dini dan pengobatan dengan debridement yang luas dan
antibiotik dapat mencegah penyebab fulminan dengan hasil yang fatal. Prioritas dalam setiap
kasus adalah untuk melanjutkan ke debridement radikal. Setelah didiagnosis NF semua

pasien harus diobati dengan debridement bedah segera, dan kombinasi antibiotik spektrum
luas terhadap kuman anaerob, gram negatif dan gram positif basil, yang diubah menjadi
kombinasi antibiotik lainnya sebagaimana ditentukan sesuai dengan sensitivitas kultur isolat
mikroba dan klinis dari pasien. Isolat mikrobiologi yang polibacterial didapatkan pada
sebagian besar pasien dengan baik idiopatik atau sekunder NF. Oleh karena itu, pemberian
antibiotik spektrum luas tampaknya menjadi penting dalam pengelolaan pasien. 1,5
Terapi antibiotik untuk NF berdasarkan mikroba penyebabnya:

Mixed infection: (Ampicillin-sulbactam atau pipellacillin-tazobactam) + clindamycin


atau ciprofloxacin. Bisa juga (Imipenem/cilastatin atau Meropenem atau Cefotaxime)
+ metronidazole atau Clindamycin

Infeksi streptococcus: Penicilin+clindamycin

Infeksi S.aureus: Cefazolin atau vancomycin atau clindamycin

Infeksi Clostridium: Clindamycin atau penicilin.

Daftar pustaka
1. Zhen NY, Verbov J. Dermatology: Handbook for medical students & junior doctors.
British Association of Dermatologists, 2014; p. 28-35
2. Freiman A, Borsuk Daniel, Sasseville D, et al. Practice: Dermatologic emergencies.
CMA Media Inc 2005;173(11):1317-1319.
3. Weller K, Groffik A, Magerl M, Tohme N, Martus P, Krause K, Metz M, Staubach P,
Maurer M. Development and construct validation of the angioedema quality of life
questionnaire. Allergy 2012; 67: 12891298.
4. Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke tujuh.
Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta. 2015
5. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Varicella and
Herpes Zoster. In :Fitzpatrick. Dermatology in General Medicine. 7 thed. New York :
McGraw Hill Company.2008.
6. Bratdorff D, Roemmele J. National Necrotizing Fasciitis Foundation (NNFF) 19972009. Available athttp://www.nnff.org. Accessed: September 14, 2015.

Anda mungkin juga menyukai