PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) pertama kali diperkenalkan oleh Ashbaugh
pada tahun 1967, merupaka sindrom klinis yang ditandai dengan dispnea dengan onset cepat,
hipoksemia, dan infiltrate paru luas yang menyebabkan terjadinya gagal nafas (gagal respirasi).
Penyebab dari kelainan ini dapat berupa cedera yang langsung mengenai jaringan paru maupun
penyakit-penyakit yang berada di luar jaringan paru. Sindrom ini awalnya disebut acute
respiratory distress in adults (untuk membedakan dengan neonatus).3,4
2.2 EPIDEMIOLOGI
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan suatu jenis keadaan yang
membutuhkan penanganan kegawatdaruratan di bidang kedokteran. Pada ARDS akan terjadi
perlukaan pada jaringan paru oleh berbagai macam sebab yang ditandai dengan adanya
peningkatan permeabilitas membrane alveolus-kapiler secara difus, yang kemudian akan
mengakibatkan terjadinya edema dan inflamasi luas pada jaringan paru. Pada keadaan seperti ini,
proses difusi udara respirasi melalui membran alveolus-kapiler akan terhambat mengakibatkan
terjadinya sintas (shunting) dan hipoksemia pada penderitanya. Pada era penanganan kedokteran
yang modern sekalipun (dengan penanganan di Intensive Care Unit dan menggunakan
ventilator), angka kematian yang disebabkan ARDS masih tinggi berkisar antara 40% hingga
50%.3,4
Penyakit ini tidak saja disebabkan oleh proses-proses kerusakan yang langsung mengenai
jaringan paru, namun disebabkan pula oleh proses yang berlangsung sistemik. Disebabkan oleh
hal tersebut di atas, maka kecurigaan untuk munculnya ARDS pada seseorang harus tetap
diwaspadai, terutama pada pasien dengan penyakit sistemik yang berat dan multiple.3,5,6
Insidens dari ARDS adalah sebesar 58,7/100000. Di Amerika Serikat diperkirakan setiap
tahunnya terdapat 141.500 kasus ARDS, menyebabkan kematian sekitar 74.500 penderitanya,
dan menambah 3,6 juta dari hospitalisasi yang dibutuhkan, sedangkan data di Indonesia belum
ada. Secara umum angka kematian pada pasien ARDS adalah sebesar 50-70%, dimana angka
kematian ini dapat ditekan hingga berkisar 30-40% setelah era penggunaan ventilator.3,5
2.3 ETIOLOGI
Inflamasi ekstensif luas paru-paru pada ARDS merupakan proses patogenesis dalam
respon terhadap berbagai penyebab yang menyebabkan kerusakan paru secara langsung maupun
tidak langsung. Beberapa penyebab dari ARDS dapat dilihat pada tabel 1.Acute Lung Injury
(ALI) merupakan bentuk kelainan serupa dalam spektrum yang lebih rendah, namun potensial untuk
berevolusi menjadi ARDS.3,5
Pneumonia
Sepsis
Trauma berat
Kontusio paru
Kasus tenggelam
Iga gambang
Trauma Kepala
Luka Bakar
Transfusi berulang
Overdosis Obat
Pankreatitis
Paska Pintas Kardiopulmoner
Dikutip
dari:
3,4
2.4 PATOFISIOLOGI
Ketika kapiler paru dan epitel alveoli mengalami kerusakan, plasma dan darah akan
bocor menuju ke interstisial dan ruang-ruang intraalveolar. Hasilnya, terjadi penumpukan cairan
dan atelektasis pada alveolus. Atelektasis merupakan mekanisme yang mengikuti upaya paru
untuk mengurangi aktivitas surfaktan. Kerusakan ini tidak bersifat homogen dan hanya
4
mempengaruhi daerah paru yang terkena. Dalam dua sampai tiga hari, terjadi inflamasi
interstisial dan bronkoalveolar serta poliferasi sel-sel interstisial dua hingga tiga minggu
kemudian. Perubahan patologis ini mengakibatkan penurunan komplikasi paru, menurunkan
kapasitas residual fungsional, ketidakseimbangan ventilasi/perfusi, hipoksemia hebat, serta
hipertensi pulmonal.1
Pada ARDS, paru-paru akan melalui tiga fase: eksudatif, proliferasi, dan fibrosis, tetapi
tentu saja masing-masing fase dan perkembangan penyakit secara keseluruhan bervariasi. Pada
tahap eksudatif, kerusakan pada epitel alveolar dan endoteliium vaskular mengakibatkan
kebocoran cairan, protein, sel inflamasi dan sel darah merah ke lumen alveolus dan interstitium.
Perubahan ini disebabkan oleh interaksi kompleks dari mediator pro-inflamasi dan anti-iflamasi.1
Sel alveolar tipe I mengalami kerusakan ireevrsibel dan ruang yang rusak diisi oleh
protein, fibrin, dan debris sel, dan memproduksi membran hialin, sementara cedera pada sel-sel
penghasil surfaktan tipe II megakibatkan kolaps alveolar. Pada fase proliferatif, sel tipe II
berpoliferasi dengan beberapa regenerassi, reaksi fibroblastik, dan remodeling sel epitel. Pada
beberapa pasien, ini berkembang menjadi fase fibrosis ireversibel melibatkan deposisi kolagen
pada alveolar, vaskuler, dan interstisial dengan pengembangan microcysts.1
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik,
meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum awitan,
misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya terdapat periode laten sekitar 18-24
jam dari waktu cedera paru. Durasi sindom dapat beragam dari beberapa hari sampai beberapa
minggu. 5
yang emnunjukkan PaO2 kurang dari 50-55 mmHg dan pulse oymetry mencatat kurang dari 85%
saturasi O2 arterial.2,3,5,6
2.6 DIAGNOSIS
6
Pendekatan klinik untuk mendiagnosis ARDS dilakukan dengan beberapa cara, pertama
melalui pemerikasaan radiografi dada, pada kasus yang berkembang menjadi ARDS gambaran
radiografinya menunjukkan infiltrat alveolus bilateral difus yang konsisten dengan edema paru,
onset awal infiltrat biasanya bervariasi dari ringan atau padat, insterstitial atau alveolus, tersebar
atau konfluen. Infiltrat di rontgen dapat tidak berhubungan dengan derajat hipoksemia, sebagai
contoh pasien dengan stadium awal ARDS mengalami hipoksemia berat dengan gambaran
infiltrat tersebar asimetris yang diinterpretasikan sebagai pneumonia.2,3,5,6,7
Variabel Klinik
Onset
Hipoksemia
Radiografi dada
Penyebab nonkardiak
ALI
Akut
PaO2/FiO2 300 mmHg
Infiltrat bilateral
Tidak ada bukti klinik
Hipertensi atrium kiri atau
Pulmonary capillary wedge
Pressure 18 mmHg
ARDS
Akut
PaO2/FiO2 200 mmHg
Infiltrat bilateral
Tidak ada bukti klinik
Hipertensi atrium kiri atau
Pulmonary capillary wedge
Pressure 18 mmHg
Dikutip dari: 3
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang akan
menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Protease merusak matrik
ekstraseluler paru yang akan mempermudahkan migrasi neutrofil dari kapiler ke ruang udara.
Enzim protease yang dominan dilepaskan oleh neutrofil pada ARDS adalah neutrofil elastase.
Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas yang akan
mempengaruhi oksigenasi mitokondria dan siklus GMPs. Akibat dari proses tersebut endotel
menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel
tersebut menyebabkan terjadinya kebocoran vascular (vascular leak) sehingga menyebabkan
kerusakan organ multipel.6,9
beratnya kerusakan dan buruknya prognosis. Pada sejumlah percobaan model binatang,
pengobatan dengan hambatan terhadap aktivasi neutrofil atau hambatan terhadap fungsinya dan
mencegah perkembangan ke arah acute lung injury. 6,8,9
pembersihan neutrofil yang normal. Neutrofil yang diisolasi melalui bilasan bronkoalveolar dari
pasien ARDS mempunyai penurunan kadar apoptosis. Pada hewan percobaan, induksi apoptosis
neutrofil memperbaiki ARDS, dan onset apoptosis neutrofil terjadi secara bersamaan dengan fase
resolusi kerusakan paru. 6,7,8
B. Kemokin
Sitokin kemotaktik (kemokin) adalah peptide yang berperan primer dalam penarikan dan
aktivasi leukosit selama inflamasi. Tanda infiltrasi paru yang dihubungkan dengan terjadinya
ARDS adalah adanya infiltrasi leukosit. Migrasi leukosit ynag berlangsung secara besar
dilakukan oleh kemokin. Hubungan timbal balik dari respon awal sitokin, molekul adhesi, dan
susunan neutrofil mengerahkan neutrofil ke dalam paru (Gambar 4).6,7,8
Sejumlah unsure telah dikenali sebagai kemoatraktan neutrofil, diantaranya adalah
interleukin-8 (IL-8) dan leukotrin B4. Interlukin-8 (IL-8) merupakan sitokin inflamasi yang
fungsi utamanya sebagai kemoatraktan dan faktor aktivasi neutrofil. Interleukin-8 merupakan
activator poten neutrofil dengan kapasitas untuk meregulasi ekspresi molekul adhesi pada
permukaan neutrofil, meningkatkan peningkatan leukotrin B4 (LTB4), menginduksi kemotaksis
neutrofil dan meningkatkan perlengketan neutrofil pada sel endotelial dan epitelial. IL-8
berperan dalam sejumlah besar sekuester neutrofil dan bertahan di vaskuler alveolus serta
berakumulasi di ruang alveolus pada beragam penyakit, salah satunya termasuk ARDS.
Penelitian oleh Goodman dkk tahun 1998 mununjukkan bahwa IL-8 diproduksi dalam jumlah
yang lebih besar dibandingkan kemokin lainnya oleh makrofag alveolar manusia pada stimulasi
dengan lipoplisakarida (LPS). Hal ini menunjukkan bahwa LPS merupakan salah satu sumber
peningkatan IL-8. 6,7,9,10
Makrofag alveoli merupakan sumber utama kemokin, produksi IL-8, peptide growth
related oncogen (GRO), dan protein epithelial neutrophil activating (ENA) dalam ruang alveoli.
Makrofag alveoli merespon langsung produk-produk bakteri seperti lipopolisakarida bakteri dan
prodeuk-produk dinding sel gram positif seperti asam leipotechoic. Berdasarkan jumlahnya, IL-8
diproduksi berlebihan mengikuti stimulus LPS. Sel-sel lain dalam alveoli juga memproduksi
11
kemokin dan serta memproduksi sitokin proinflamasi TNF- dan IL-1. Kemokin
proinflamasi CXC, GRO, CINC-2 (cytokine-induced neutrophil chemoattractant), dan MIP-2
(macrophage imflammatory protein) juga merupakan kemoatraktan neutrofil. Vanderbilt and
colleagues melaporkan bahwa isolasi sel alveoli tipe II meununjukkan mRNA kemokin ini
dengan kadar yang lebih tinggi daripada isolasi dari sel tipe I atau makrofag alveoli. Sel tipe II
juga mengekspresikan CXCR2, reseptor untuk kemokin ini. Perlukaan paru karena P. aeruginosa
muga menyebabkan peningkatan sel alveoli tipe II yang menunjukkan mRNA kemokin dan
protein GRO.6,8,9
Tabel 3. Kemokin yang terlibat dalam migrasi neutrofil
Kemokin
Reseptor
Interleukin-8
CXCR2
CXCR2
CXCR1
CXCR1
CXCR2
Dikutip dari: 3
Ekspresi MCP-1 (monocyte chemoattractant protein) yang berlebihan pada paru tidak
menyebabkan inflamasi paru tetapi mengakibatkan peningkatan infiltrasi monosit dan limfosit ke
dalam jalan napas. Pada penelitian, setelah provokasi endotoksin padan baboon, ada peningkatan
kadar TNF- pada 2 jam setelahnya, yang diikuti 4 jam kemudian kadar puncak MCP-1.
Penambahan MCP-1 eksogen melindungi tikus dari lethal challenge bakteri atau endotoksin;
MCP-1 keseimbangannya bergeser ke arah sitokin antiinflamasi, dengan peningkatan IL-10 dan
penurunan IL-2.6,7,8
C. Komplemen
Sistem komplemen adalah komponen sentral dari pertahanan penjamu. Aktivasi
komplemen dapat dihasilkan dari satau dari 3 jalur: 1.Jalur klasik, yang diaktivasi oleh kompleks
antigen-antibodi; 2.Jalur pengikatan lektin, yang diaktivasi oleh komponen polisakarida bakteri;
12
dan 3.Jalur alternativ, yang diaktivasi oleh kumpulan protein, endotoksin, dan berbagai senyawa
tidak larut. Ketiga jalur bertemu di level C3 convertase dan pada akhirnya menyebabkan
pembentukan MAC (membrane attack complex) dan lisis mikroorganisme.6,8,10
Komponen aktivasi komplemen dapat mengaktivasi sel endotel untuk memproduksi
radikal oksigen dan molekul adhesi, dapat menginduksi ekspresi kemokin, dan dapat menjadi
kemotaktik langsung neutrofil. Sebenarnya semua komponen komplemen dapat diproduksi
secara lokal di paru oleh sel alveolar tipe II, makrofag alveoli, dan fibroblast paru. Jadi sebagai
bagian dari eradikasi mikroorganisme, kaskade komplemen juga penting secara bermakna
memperbesar inflamasi paru dan akibatnya terjadi kerusakan paru.6,7,8
Beberapa percobaan dan data klinik menunjukkan peranan aktivasi komplemen pada
patofisiologi ARDS. Pada binatang percobaan, aktivasi sitem komplemen menyebabkan ARDS
dengan histopatologi yang sama pada ARDS manusia. Penghambatan kaskade komplemen
melalui deplesi komplemen umum atau melalui hambatan spesifik dari konversi C5a melindungi
binatang percobaan dari ARDS. Pasien dengan ARDS secara umum menunjukkan bukti aktivasi
komplemen yang luas (peningkatan kadar plasma komponen komplemen C3a dan C5a), dan
tingkat aktivasi komplemen dihubungkan dengan perkembangan dan dampak ARDS.6,8,9,10
2.7.2 KERUSAKAN ENDOTEL VASKULER PARU
Sel endotel (endothelial cells/ECs) sangat penting dalam pertahanan tuan rumah,
perbaikan, dan fisiologi inflamasi. Selain itu, endotel merupakan bagian penting antara inflamasi
dan jalur trombotik oada sepsis dan ARDS. Interaksi yang tidak teratur antara aktivasi atau
kerusakan endotel dengan leukosit sangat penting dalam eksperimen dan klinis sepsis, dan
menyebabkan sekuestrasi leukosit di intravaskuler paru-paru dan di dalam kompartemen alveoli.
Baru-baru ini studi di model murine menunjukkan bahwa sekuestrasi leukosit di paru-paru yang
diinduksi oleh LPS sebagian besar karena aktivasi endotel. Sel endotel yang dilepaskan ke dalam
sirkulasi pada pasien sepsis 3,5,6,8
Aktivasi endotel vaskuler paru dapat disebabkan oleh sitokin, lipopolisakarida, dan
produk mikroba, dan perubahan ekstrim yang lain. Aktivasi endotel sebagian dibatasi dan
13
mempunyai respon bolak-balik terhadap inflamasi yang terjadi secara lokal atau sistemik, proses
aktivasi endotel ini menjadi tidak teratur dan tidak terkontrol pada ARDS.2,4,5,6
pertukaran gas yang ada. Pada keadaan ini membrane hialin (hialinisasi) juga terbentuk dalam
alveoli.3,5,7,8
Berdasarkan hukum starling, maka mekanisme utama terjadinya ekstravasi bahan bahan
intravascular ke dalam jaringan paru disebabkan oleh karena adanya peningkatan dari
permeabilitas kapiler, bukan oleh karena adanya peningkatan tekanan hidrostatik intravascular
sebagai mana terlihat pada edema pulmonal kardiogenik. Normalnya barier epitel alveolar sangat
rapat, melawan gerakan pasif walaupun molekul kecil seperti protein termasuk juga albumin dan
immunoglobulin. Sambungan protein yang rapat ini dipertahankan oleh sel epitel alveolar tipe 1
dan tipe II. Epitel alveolar mempunyai fungsi khusus pertukaran gas. Sel epitel alveolar tipe II
adalah sumber material aktif permukaan yang penting untuk memelihara stabilitas alveolus pada
pengisian gas paru. Sel epitel alveolus tipe I sama dengan sel tipe II, mempunyai kapasitas
memindahkan cairan alveoli yang berlebihan melalui transport ion. Sistematika patofisiologi
ARDS dapat dilihat diatas.3,5
Secara lebih terperinci patofisiologi ARDS berjalan melalui 3 fase, yitu fase eksudatif,
fase proliteratif, fase fibrinolitik.
mengakibatkan penurunan kemampuan sawar alveolar untuk menahan cairan dan makromolekul.
Gambaran histologis berupa eosinofilik padat membrane hialin dan kolaps alveoli. Sel endotel
membesar, sambungan interselular melebar dan vesikel pinocytic meningkat, menyebabkan
membrane kapiler terganggu dan mengakibatkan kebocoran kapiler. Pneumosit tipe I juga
membesar dengan vacuola sitoplasmik, yang sering terlihat di membrane basal. Lebih lanjut lagi
kelainan ini akan mengakibatkan terjadinya edema alveolar yang disebabkan oleh akumulasi selsel radang, debris selular, protein plasma, surfaktan alveolar yang rusak, menimbulkan
penurunan aerasi dan atelektaksis. Keadaan tersebut kemudian akan diperburuk dengan adanya
oklusi mikrovascula dan menyebabkan penurunan dari kemampuan perfusi darah menuju ke
daerah ventilasi.2,3,5,7,8
Akumulasi dari kondisi tersebut di atas akan menyebabkan terjadinya sintas (shunting)
interpulmonal dan hipoksemia ataupun pada keadaan lanjut hiperkarbia, disertai dengan
peningkatan kerja nafas yang ditandai dengan gejala dispnea, takipnea, atau gagal nafas pada
pasien. Secara radiologis, kalainan ronsen thorax yang dapat dijumpai pada fase awal
perkembangan ARDS ini, dapat berupa opasitas alveolar dan interstisial yang melibatkan
setidaknya dua per tiga dari keseluruhan lapangan paru. Lebih lanjut lagi, untuk membedakan
gambaran radiologis ARDS dengan gambaran radiologis edema pulmonal kardiogenik ialah pada
karakteristik ARDS jarang dijumpai kardiomegali, efusi pleura atau redistribusi vascular
pulmonal.2,3,5,7
Fase Proliferatif
Fase perkembangan selanjutnya dari ARDS adalah fase proliferative yang terjadi pada
hari ke-7 hingga ke-21 dari awal gejala. Secara histologis akan terjadi perbaikan dari
mikrostruktur jaringan paru, ditandai dengan munculnya sel-sel pneumosit tipe 1 dan
pembentukan kembali surfaktan paru oleh sel pneumosit tipe2. Perubahan ini akan terlihat di
sepanjang membrane basal alveolar.2,3,5,8
Fase proliferatif ditandai dengan organisasi eksudat dan fibrosis. Paru-paru yang tetap
berat dan solid, dan secara mikroskopik integritas arsitektur paru-paru menjadi lebih kaku,
kapiler jaringan rusak dan ada progresifitas penurunan profil kapiler di jaringan. Proliferasi
intimal jelas dalam pembuluh darah kecil lebih lanjut mengurangi daerah luminal. Ruang
17
interstisial menjadi nekrosis yang melebar, dan mengisi lumen alveolar dengan leukosit, sel
darah merah, fibrin, dan puing-puing sel. Sel alveolus tipe II berkembang dalam upaya untuk
menutupi epitel permukaan yang gundul dan berdiferensiasi menjadi sel tipe I. Fibroblas menjadi
jelas dalam ruang interstisial dan kemudian di alveolar lumen. Hasil dari proses ini adalah
penyempitan ekstrem atau bahkan kolapnya ruang udara. Fibrin dan puing-puing sel digantikan
oleh fibril kolagen. Tempat utama fibrosis adalah ruang intra-alveolar, tetapi juga terjadi di dalam
interstitium.2,3,5,8,10
Secra klinis akan terlihat perbaikan pada pasien, walaupun biasanya masih dijumpai
gejala-gejala seperti dyspnea, takipnea, dan hipoksemia. Pada beberapa pasien akan terjadi
perburukan keadaan histologis jaringan paru yang ditandai dengan perlukaan paru yang progresif
dan perubahan dini dari fibrosis pulmoner.2,3,5,8
18
I dan III dan fibronectin. Penemuan fibrosis alveolitis pada biopsi paru dihubungkan dengan peningkatan
angka kematian ARDS. 2,3,5,8,10
Hematologi.
Pada
pasien
sepsis,
leucopenia
atau
leukositosis
dapat
dicatat.
Trombositopenia dapat diamati pada pasien sepsis dengan adanya koagulasi intravaskuler
diseminata (DIC). Factor von Willebrand (Vwf) dapat meningkat pada pasien beresiko
mungkin dari iskemia ke ginjal. Fungsi ginjal harus diawasi secara ketat.
Hepatik. Kelainan fungsi hati dapat dicatat baik dalm pola cedera hepatoseluler atau
kolestasis.
Sitokin. Beberapa sitokin, seperti interleukin (IL) I, IL-6, dan IL-8, yang meningkat
dalam serum pasien pada resiko ARDS.
b. Radiologi
19
Pada pasien dengan onset pada paru langsung, perubahan fokal dapat terlihat sejak dini
pada radiograf dada. Pada pasien dengan onset tidak langsung pada paru, radiograf awal
mungkin tidak spesifik atau mirip dengan gagal jantung kogestif dengan efusi ringan. 1 Gambaran
dominan ARDS pada scan tomografi (CT) dada adalah konsolidasi difus dengan air
bronchograms, bula, efusi pleura, pneumomediastrium, dan pneumotoraks. CT scan dada harus
dipertimbangkan pada pasien gagal pernapasan untuk membantu koreksi klinis. CT scan dapat
mendeteksi komplikassi ARDS dan yang terkait dengan penempatan kateter dan tabung seperti
pneumotoraks, pneumomediastrium, pneumonia fokal, malposisi kateter, dan infark paru.1
c. Invasif hemodinamikmonitoring
Karena diagnosis diferensial ARDS meliputi edema paru kardiogeni, pemantauan
hemodinamk daengan kateter arteri pulmonalis (Swan-Ganz) dapat membantu dalam
membedakan edema paru kardiogenik dari noncardiogenic. 2 Kateter arteri pulmonal melalui
introducer yang ditempatkan dalam vena sentral, biasanya vena jugularis atau subklavia kanan
internal. Hal ini memungkinkan pengukuran tekanan atrium kanan, tekanan ventrikel kanan,
tekanan arteri pulmonalis, dan tekanan oklusi arteri paru (PAOP)2
d. Bronkoskopi
Bronkoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi kemungkinan infeksi pada
pasien akut dnegna infiltrate paru bilateral. Sampel dapat diperoleh dengan bronkoskop bronkus
subsegmental dalam dan mengumpulkan cairan yang dihisap setelah memberikan cairan garam
nonbacteriostatic (bronchoalveolar lavage;UUPA). Cairan di analisis untuk diferensial sel,
sitologi, perak noda, dan Gram stain dan pemeriksaan kauntitatif.2
e. Pemeriksaan histologi
Perubahan histology dalam ARDS adalah kerusakan alveolar difus. Fase eksudatif terjadi
dalam beberapa hari pertama dan ditandai oleh edema interstisial, perdarahan dan edema
elveolar, kolaps alveolar, kongesti kapier paru, dan pembentukan membrane hialin. Perubahan
histolohi tidak spesifik dan tidak memberikan informasi yang akan memungkinkan ahli patologi
untuk menentukan penyebab ARDS.8
2.9 PENATALAKSANAAN
20
tekanan arteri pulmonal berarti dapat membantu mengurangi kebocoran kapiler paru. caranya
ialah dengan retraksi cairan, penggunaan diuretic dan obat vasodilator pulmonary (nitric
oxide/NO). 4 Kebanyakan obat vasodilator arteri pulmonal seperti nitrat dan antagonis kalsium
juga dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik sehingga dapat sekaligus menyebabkan hipotensi
dan perfusi organ yang terganggu. Obat-obat inotropik dan vasopresor seperti dobutamin dan
noradrenalin mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah sistemik dan curah
jantung yang cukup terutama pada pasien dengan sepsis (vasodilatasi sistemik). Inhalasi NO
telah digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonal yang selektif. Karena diberikan secara
inhalasi sehingga terdistribusi pada daerah di paru-paru yang menyebabkan vasodilatasi.
Vasodilatasi yang terjadi pada alveoli yang terventilasi akan memperbaiki disfungsi
ventilasi/perfusi sehingga dengan demikian fungsi pertukaran gas membaik. NO secara cepat
diinaktivasi oleh hemoglobin mencegah reaksi sistemik.4,7
21
Jika terjadi sepsis akibat ARDS, terapi empiric antibiotic mesti dimulai selagi kultur
dikerjakan. Kultur yang dipakai bisa berasal dari sputum atau aspirasi trakea. Kultur ini
membantu mendeteksi superinfeksi paru secara dini serta memantau terapi antibiotic. Untuk
memperkuat imunitas pencernaan, sebaiknya dalam 48 hingga 72 jam pasien sudah harus
dibiasakan makan dengan saluran pencernaan normal (jalur enteral). 3,6 Kebanyakan pasien
memerlukan intubasi endotrakea dan ventilasi buatan dengan ventilator mekanis. Intubasi
endotrakea dan PPV face mask mesti dikerjakana jika frekuensi napas lebih dari 30 kpm atau jika
FiO2 lebih besar dari 60%. Tindakan ini dapat menjaga PO2 arteri tetap berada sekitar 70 mmHg
selama lebih dari beberapa jam. Sebagai alternative intubasi, continous positive airway pressure
(CPAP) dapat memberikan PEEP pasien ARDS sedang atau berat secra efektif. Prmasangan
masker napas ini mesti dipertimbangkan pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran
karena beresiko aspirasi dan mesti digantikan dengan ventilator jika pasien mengalami
perburukan gejala ARDS.1,3
Pengaturan ventilator secara konvensional pada ARDS ialah kisaran volum tidal 10
hingga 15 mL/kg. PEEP 5-10 cm H2O, FiO2 <60%, dengan mode pengontrolan yang dipicu oleh
pasien (patient-triggered assisted-contol mode). Ventilasi dilakukan secra intermiten dengan
irama awal sebesar 10 hingga 12 napass permenit tentunya dengan PEEP.1,3
2.1 PROGNOSIS
Sampai tahun 1990, kebanyakan penelitian melaporkan angka kematian ARDS sekitar
40-70%. Namun, 2 laporan pada tahun 1990 melaporkan hal yang berbeda, berkisar antara 30-40
%. Penjelasan yang paling memungkinkan untuk hal ini adalah penaganan sepsi, penerapan
ventilasi mekanik, dan perawatan INtensif yang telah membaik. Sebagai catatan bahwa kematian
pada pasien ARDS kebanyakan di perparah dengan kondisi sepsis (suatu faktor prognosis yang
parah) atau merupakan kegagalan multi organ dibanding kegagalan paru semata.8,9,10
Indeks oksigenasi dan ventilasi, termasuk rasio PaO 2/ FIO2, tidak memprediksi
penampakan resiko kematian. Keparahan hipoksemia pada saat diagnosis tidak berhubungan
22
dengan angka bertahan hidup. Namun, kegagalan fungsi pulmonal untuk meningkat dalam
minggu pertama penanganan adalah faktor prognosis yang buruk. 9Angka kejadian harus
diperhitungkan, pasien dengan ARDS lebih sering mendapat perawatan yang lama di rumah
sakit, dan mereka mudah untuk mendapatkan infeksi nosokomial, khususnya Ventilator
Associated Pneumonia (VAP). Sebagai tambahan, pasien mengalami penurunan berat badan
drastic, kelemahan otot, dan kecacatan fungsi dapat menetaap berbuulan-bulan setelah berbulanbulan keluar dari Rumah Sakit.11
Penyakit yang parah dan penggunaan ventilator mekanik merupakan predictor dari
abnormalitas yang menetap dalam fungsi paru. Pasien ARDS yang bertahan hidup akan
mengalami kerusakan fungsi bahkan setelah 1 tahun keluar dari rumah sakit. Dalam penelitian
dari 109 pasien yang bertahan hidup, spirometri dan volume paru normal pada 6 bulan, tetapi
capasitas keseluruhan masih tetap menurun,, berkisar 72% pada tahun pertama post ARDS, dan
hanya 49% yang kembali bekerjja. Kualitas kesehatan mereka otomatis dibawah normal. Namun,
tidak ada pasien yang tetap harus menggunakan oksigen selama 12 bulan. Abnormalitas
radiologis juag sembuh secara total dalam satu tahun pengobatan.12
Suatu penelitian yang memeriksa kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan
(HRQL) setelah mengalami ARDS mendapatkan hasil HRQL yang rendah secara keseluruhan
dari pada populasi umum setalah masa 6 bulan penyembuhan. Hal ini juga termasuk angka
kejadian, energi, dan isolasi sosial.11,12
23
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom gawat nafas akut (ARDS) adalah bentuk khusus gagal nafas yang ditandai
dengan hipoksemia yang jelas dan tidak dapat diatasi dengan penanganan konvensional. ARDS
diawali dengan berbagai penyakit serius yang pada akhirnya menyebabkan edema paru difus
nonkardiogenik yang khas. Istilah ini diperkenalkan oleh peetty dan ashbaugh pada athun 1971
setelah mengamati gawat nafas akut yang mengancam nyawa pasien pasien yang tidak
mengidap penyakit paru sebelumnya.
Meskipun sindrom ini dikenal dengan banyak nama lainya ( shock lung, wet lung, adult
hyaline membrane disease, stiff lung syndrome), istilah adult respiratory distress syndrome lebih
banyak diterima. Asosiasi Paru Amerika memperkirakan ada 27.000 orang yang menderita
ARDS setiap tahunnya, dan tingkat mortalitasnya lebih besar 50% pada tahun-tahun penelitian.
Prognosis yang buruk pada pasien dengan ARDS merupakan dorongan yang kuat untuk
menjelaskan mekanisme yang memulai cidera pembuluh darah paru. Mekanisme ini
kelihatannya bergantung pada interaksi sel-sel radang yang aktif, mediator humoral, sel-sel
endothelial. Pengobatan ARDS ditujukan untuk memperbaiki syok, asidosis, dan hipoksemia
yang menyertainya. Hampir semua pasien memerlukan ventilasi mekanis dan oksigen
konsentrasi tinggi untuk menghiindari hipoksia jaringan yang berat.
Pemberian tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) dengan respirator volume merupakan
langkah besar dalam penanganan keadaan ini. PEEP membantu memperbaiki sindrom gawat
nafas dengan mengembangkan daerah yang sebelumnya mengalami atelektasis, dan
mengembalikan aliran cairan edema atelektasis dari kapiler. Kerena penimbunan cairan pada
paru merupakan masalah, maka pembatasan cairan dan terapi diuretic merupakan tindakan lain
yang penting dalam penanganan ARDS. Antibiotik yang tepat diberikan untuk mengatasi infensi.
Meskipun penggunaan Corticosteroid masih controversial, tetapi banyak pusat kesehatan
menggunakan kortikosteroid dalam penanganan ARDS walaupun manfaatnya masih belum jelas
diketahui.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Udobi KF, Touijer K. Acute Respiratoty Distress Syndrome. Am Fam Physician. 2003
Januari 15;67 (2) :315-322
2. Ashbaugh DG, Bigelow DB, Petty TL. Acute respiratory distress in adults. Lancet. Aug
12 1967;2(7511):319-23.
3. Ware LB, Matthay MA. The Acute Respiratory Disress Syndrome. N Engl J Med 2000;
342:1334-1349
4. Amin Zulkifli, Purwoto J. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Dalam : Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II; Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
FKUI:2007: 178-79
5. Farid. Acute Respiratory Distress Syndrome Overview. Updated: 18 Februari 2014.
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/165139-overview
6. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome Treatment & Management. Update:
18 Februari 2014. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/165139-
treatment
7. Lorraine B. Ware, M.D., and Michael A. Matthay, M.D. The Acute Respiratory Distress
Syndrome (http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM). Accesed on May 4, 2010.
8. Davidson TA, Caldwell ES, Curtis JR. Reduced quality of life in survivors of acute
respiratory distress syndrome compared with critically ill control patients. JAMA. Jan
27 1999;281(4):354-60.
9. Davey-Quinn A, Gedney JA, Whiteley SM. Extravascular lung water and acute
respiratory
distress
syndrome--oxygenation
and
outcome. Anaesth
Intensive
25
10. Lorraine B. Ware, M.D., and Michael A. Matthay, M.D. The Acute Respiratory Distress
Syndrome. N Engl J Med 2000; 342:1334-1349.
11. Levy BD, Shapiro SD. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In : Fauci AS,
Hauser SL, Braunwald E, et al (eds). Harrisons principle of internal medicine, 17 th
edition. New York: Mc Graw Hill Companies inc; 2007. P 1680-84.
12. Eloise M Harman, MD. Acute Respiratory Distress Syndrom. Emed.2010
26