Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak


dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah
menetapkan dekade ini (2000-2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian.
Penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu
lintas ini, selain menyebabkan fraktur, menurut WHO, juga menyebabkan
kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar korbannya
adalah remaja atau dewasa muda.
Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau
tulang rawan bisa komplet atau inkomplet atau diskontinuitas tulang yang
disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang. Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma, beberapa fraktur
sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan
fraktur yang patologis.
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi sendi bahu dan
sendi pinggul (paha). Karena terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun
menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri. Sebuah sendi yang pernah
mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi kendor. Akibatnya,
sendi itu akan gampang dislokasi lagi.

BAB II
Tinjauan Pustaka

A. Struktur tulang.
Secara maskroskopis, bagian dari tulang dapat dibagi menjadi beberapa bagian
sebagai berikut1:
1. Diafisis merupakan poros tulang bagian tengah, silinder, merupakan bagian
utama dari tulang.
2. Epifises merupakan ujung proksimal dan distal dari tulang.
3. metaphyses merupakan daerah antara diaphysis dan epifisis.
Dalam tulang yang sedang aktif, masing-masing metafisis berisi akan
mempunyai lempeng pertumbuhan, lapisan yang berisi tulang rawan hialin.
Lapisan ini memungkinkan diafisis dari tulang untuk tumbuh memanjang.
Ketika tulang berhenti untuk tumbuh memanjang pada sekitaran usia 18-21,
tulang rawan di lempeng epifisis akan digantikan oleh tulang seutuhnya.
Struktur yang telah menjadi tulang ini akan dikenal sebagai garis epifisis.
4. Artikulat kartilago adalah lapisan tipis tulang rawan hialin yang akan
menyelimuti bagian dari epiphysis.
Pertemuan tulang akan membentuk artikulasi dengan tulang lain.Tulang rawan
articular ini berfungsi untuk mengurangi gesekan dan menyerap energi di
sendi yang bergerak bebas.
5. Periosteum adalah bagian yang mengelilingi permukaan tulang eksternal di
luar daerah yang telah ditutupi oleh tulang rawan artikular.
Bagian ini terdiri dari lapisan luar fibrosa padat jaringan ikat yang tidak teratur
dan lapisan osteogenik dalam yang terdiri dari sel-sel. Beberapa sel-sel
periosteum mempunyai kemampuan membelah yang memungkinkan tulang
untu tumbuh menebal. Periosteum berfungsi untuk melindungi tulang,
membantu dalam perbaikan fraktur, membantu tulang memelihara jaringan,
dan berfungsi sebagai titik perlekatan ligamen dan tendon.

6. Rongga medula adalah ruang berongga silinder dalam diaphysis yang berisi
sumsum tulang lemak kuning pada orang dewasa.
7. Endosteum adalah membrane tipis yang melapisi permukaan tulang internal
pada rongga meduler. Lapisan ini berisi satu lapisan sel dan jaringan ikat.1

Gambar 2.1 Struktur tulang

B. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang
menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada
lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa
trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan
tulang klavikula atau radius distal patah2.
Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan
arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat
menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut
patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat
menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi2.
C. Klasifikasi
Secara umum, fraktur dibedakan menurut lokasi, ekstensi (komplit/tidak
komplit),

konfigurasi

(garis

patah),

hubungan

antara

fragmen

fraktur

(bergeser/tidakbergeser), hubungan dengan lingkungan luar (tertutup/terbuka)3.


Selain itu, fraktur juga dapat di klasifikasikan menjadi4:
1

Berdasarkan posisi fraktur dapat dibagi menjadi fraktur diafiseal, metafiseal,


epifiseal, dan intra-artikular.

Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).


a

Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen


tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih

utuh) tanpa komplikasi.


Fraktur Terbuka (Open/Compound),

bila terdapat hubungan antara

hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya


perlukaan kulit.
3

Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur.


a

Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.

Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang


tulang seperti:
1
2

Hair Line Fraktur (patah dengan garis halus)


Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks

dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.


Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.


a

Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan

merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.


Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut

terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.


Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang

disebabkan trauma rotasi.


Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang

mendorong tulang ke arah permukaan lain.


Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.

Berdasarkan jumlah garis patah.

Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling

berhubungan.
Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak

berhubungan.
Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.

Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.


a

Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua

fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.


Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
1 Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
2
3

sumbu dan overlapping).


Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).

Gambar 1.Klasifikasi Fraktur Secara Umum5


7

Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson6


Tipe Batasan
I

Luka bersih dengan panjang luka < 1 cm

II

Panjang luka > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat

III

Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental


terbuka, trauma amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi,
fraktur terbuka di pertanian, fraktur yang perlu repair vaskuler dan

fraktur yang lebih dari 8 jam setelah kejadian.

Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III6:

Tipe Batasan
IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan
lunak yang luas
IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal striping
atau terjadi bone expose
IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat
kerusakan jaringan lunak.

Fraktur tulang tertutup menurut Tcherne adalah6:


a. Derajat 0: Fraktur sederhana tanpa/disertai dengan sedikit kerusakan
jaringan lunak.
b. Derajat 1: Fraktur disertai dengan abrasi superfisial atau luka memar pada
kulit dan jaringan subkutan.
c. Derajat 2: fraktur yang lebih berat dibandingkan derajat 1 yang disertai
dengan kontusio dan pembengkakan jaringan lunak.
d. Derajat 3: Fraktur berat yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak
yang nyata dan terdapat ancaman terjadinya sindroma kompartemen.

10 Klasifikasi salter haris untuk patah tulang yang mengenai lempeng epifisis
distal tibia dibagi menjadi lima tipe2:

a. Tipe 1 : Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis tetapi


periosteumnya masih utuh.
b. Tipe 2 : Periosteum robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram
epifisis lepas sama sekali dari metafisis.
c. Tipe 3 : Patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi
d. Tipe 4 : Terdapat fragmen patah tulang yang garis patahnya tegak lurus
cakram epifisis
e. Tipe 5 : Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang
menyebabkan kematian dari sebagian cakram tersebut.

D. Patofisiologi
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma
tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang. Dua faktor mempengaruhi
terjadinya fraktur adalah
1.

Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang,


arah dan kekuatan trauma.

2.

Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan,


kekuatan, dan densitas tulang.
Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal

dan kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan
penghimpitan tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan
kerusakan jaringan lunak yang lebih luas.
Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik trauma
dan jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada olahragawan,

penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula atau metatarsal
yang disebabkan oleh karena trauma yang berulang.
Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang seperti. tumor atau pada
penyakit Paget dengan energi yang minimal saja akan mengakibatkan fraktur.
Sedang pada orang normal hal tersebut belum tentu menimbulkan fraktur7.

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik fraktur adalah2:
1. Nyeri
Nyeri kontinue/terus-menerus dan meningkat semakin berat sampai fragmen
tulang tidak bisa digerakkan.
2. Gangguan fungsi
Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung
menunjukkan pergerakan abnormal, ekstremitas tidak berfungsi secara teratur
karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang yang mana tulang
tersebut saling berdekatan.
3. Gangguan sensitivitas.
4. Deformitas/kelainan bentuk
Perubahan tulang pada fragmen disebabkan oleh deformitas tulang yang
diketahui ketika dibandingkan dengan daerah yang tidak luka.
5. Krepitasi
Suara detik tulang yang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur
digerakkan.
6. Bengkak dan perubahan warna
Hal ini disebabkan oleh trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
F. Diagnosis
1 Anamnesis
Biasanya ada riwayat cedera, diikuti dengan ketidakmampuan untuk
menggunakan anggota tubuh terluka. Namun, perlu diperhatika bahwa Fraktur
pada pasien tidak selalu harus pada lokasi yang menerima trauma, misalnya
pukulan ke daerah lutut, memungkinkan untuk terjadi fraktur pada patela,
kondilus femoralis, poros femur atau bahkan acetabulum. Usia pasien dan

mekanisme cedera juga penting. Jika patah tulang terjadi dengan trauma ringan,
dapat dicurigai adanya fraktur patologis. Nyeri, memar dan bengkak adalah gejala
umum pada fraktur. Namun, gejala-gejala ini tidak dapat membedakan antara
patah tulang atau cedera jaringan lunak. Deformitas dapat menjadi petunjuk yang
lebih baik dibandingkan gejala yang lainnya2.
Pada saat anamnesis, selalu ditanyakan gejala-gejala terkait kerusakan
jaringan, misalnya: rasa sakit dan bengkak, mati rasa atau kehilangan gerakan,
kulit pucat atau sianosis, darah dalam urin, perut sakit, kesulitan bernapas atau
kehilangan kesadaran sementara. Setelah pada fase darurat telah ditangani,
tanyakan tentang riwayat cedera sebelumnya, atau muskuloskeletal lainnya yang
mungkin dapat menyebabkan bias ketika dilakukan pemeriksaan x-ray2.
2 Pemeriksaan Fisik
a. Look
Pembengkakan, memar dan deformitas mungkin jelas. Perhatikan apakah
kulit pada daerah trauma masih utuh tidak; jika kulit rusak dan luka
berkomunikasi dengan fraktur, cedera adalah 'terbuka yang perlu penanganan
segera. Perhatikan juga postur ekstremitas distal dan warna kulit (tanda-tanda
gangguan saraf atau kerusakan pembuluh). Pergeseran fragmen Tulang ada 4,
yakni2:
1) Alignment : perubahan arah axis longitudinal, bisa membentuk sudut
2) Panjang : dapat terjadi pemendekan (shortening)
3) Aposisi

: hubungan ujung fragmen satu dengan lainnya

4) Rotasi

: terjadi perputaran terhadap fragmen proksimal

b. Feel
Bagian yang cedera teraba terdapat nyeri tekan lokal. Beberapa patah
tulang akan bisa terlewatkan jika tidak dicarii, misalnya tanda klasik dari
fraktur skafoid adalah nyeri tekan pada tepatnya di area snuff box.
Pembuluh darah dan kelainan saraf perifer harus diuji untuk sebelum dan
setelah pengobatan2.
10

c. Move
Krepitasi dan gerakan abnormal mungkin ada, namun yang lebih penting
adalah menguji sendi distal cedera2.
3

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan X-ray wajib dilakukan. Pada X-ray, perlu ditekankan aturan

The Rule of Two2:


a. Two Views- Fraktur atau dislokasi bias saja tidak terlihat pada film x-ray
tunggal. Untuk itu diperlukan pemeriksaan melalui dua sudut pandang
(Anteroposterior dan lateral).
b. Two Joints - Sendi atas dan di bawah fraktur keduanya harus disertakan
pada film x-ray.
c. Two Limb - Pada anak-anak, penampilan epifisis yang belum matang
dapat membingungkan diagnosis patah tulang; x-ray dari ekstremitas yang
normal diperlukan untuk perbandingan.
d. Two Injuries - kekuatan trauma sering menyebabkan cedera pada lebih
dari satu tingkat tulang. Oleh karena itu, pada fraktur calcaneum adan
tulang paha diperhatikan untuk pemeriksaan x-ray pada tulang panggul
dan tulang belakang.
e. Two Occasion - Beberapa patah tulang sangat sulit untuk dideteksi segera
setelah cedera, tapi pada pemeriksaan lain satu atau dua minggu kemudian
bisa dapat menunjukkan lesi. Contoh umum adalah fraktur undisplaced
dari ujung distal klavikula, skafoid, leher femoral dan maleolus lateral, dan
juga pada fraktur stress tulang dan cedera physeal dimanapun fraktur
terjadi.

G. Penatalaksanaan
Pada trauma ekstremitas, agar ekstremitas sebagai alat gerak dapat berfungsi
dengan baik, ada 4 hal yang harus diperhatikan8:
1. Recognition
11

Untuk dapat bertindak dengan baik, maka trauma ekstremitas perlu diketahui
kelainan yang terjadi akibat cedera, baik pada jaringan lunak maupun pada
tulangnya dengan mengenali tanda tanda gangguan fungsi jaringan yang terkena
cedera.
2. Reduction (Reposisi)
Reposisi adalah tindakan mengembalikan pada posisi semula. Tindakan ini
diperlukan untuk mengembalikan tulang kepada bentuk semula sebaik mungkin,
agar fungsi dapat kembali semaksimal mungkin terutama permukaan persendian.
Tehnik reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal. Cara lain yaitu
dengan reposisi terbuka yang dilakukan padapasien yang telah mengalami gagal
reposisi tertutup, fragmen bergeser, mobilisasi dini, fraktur multiple, dan fraktur
patologis.
3. Retaining
Retaining adalah tindakan imobilisasi atau fiksasi untuk memberi istirahat dari
spasme otot pada anggota atau alat yang sakit agar mencapai kesembuhan.
Imobilisasi yang tidak adequate dapat memberikan dampak pada penyembuhan
dan rehabilitasi.
4. Rehabilitation
Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan dari anggota atau alat yang
sakit atau cedera untuk dapat berfungsi kembali. Rehabilitasi dilakukan untuk
mencegah timbulnya gangguan fungsi yaitu lingkup gerak sendi dan atrofi
(disused atrophy atau sudeck reflex symphatetic dystrophy). Rehabilitasi dimulai
secara:
a. Isometric exercise otot
b. Kalau fiksasi stabil bisa dilakukan isotonic dan isokinetic.
Pada kerusakan jaringan lunak perlu ditunggu atau dilakukan imobilisasi
selama 3 6 minggu, pada anggota yang terkena.

12

Penatalaksanaan fraktur secara ortopedi meliputi proteksi tanpa reposisi dan


imobilisasi, Imobilisasi dengan fiksasi, Reposisi dengan cara manipulasi diikuti
dengan imobilisasi, Reposisi dengan traksi, Reposisi diikuti dengan imobilisasi
dengan fiksasi luar, Reposisi secara nonoperatif diikuti dengan pemasangan
fiksasi dalam pada tulang secara operatif. Reposisi secara operatif dikuti dengan
fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna, Eksisi fragmen fraktur
dan menggantinya dengan prosthesis1,9,10.
Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi digunakan pada penanganan fraktur
dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau dengan dislokasi yang tidak
akan menyebabkan kecacatan dikemudian hari. Contoh adalah pada fraktur kosta,
fraktur klavikula pada anak-anak, fraktur vertebrae dengan kompresi minimal9,10.
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi,
tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh
cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang
penting2,9,10.
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur
radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa
tertentu, misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi.
Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan
terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang
kuat, misalnya fraktur femur2,9.
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar dilakukan untuk fiksasi
fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang ditusukkan pada
fragmen tulang, kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan
logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur
dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka), dimana
pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau
diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang cocok

13

untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang
aman, asien dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang panggul dengan
perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala fraktur dengan infeksi2,9.
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator
tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur.
Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi,
dilakukan pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur1,2,9.
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan
pemasangan fiksasi interna dilakukan, misalnya pada fraktur femur, tibia,
humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di
dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan tulang.
Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan
bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak diperlukan
pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi. Indikasi pemasangan
fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur
yang tidak stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi
fraktur dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur
patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan
komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien
geriatri).1,10
Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis dilakukan pada
fraktur kolum femur. Caput femur dibuang secara operatif dan diganti dengan
prosthesis. Tindakan ini diakukan pada orang tua yang patahan pada kolum femur
tidak dapat menyambung kembali. 1,9,10

Penanganan Fraktur Tebuka


Khusus pada fraktur terbuka, harus diperhatikan bahaya terjadi infeksi, baik
infeki umum maupun infeksi lokal pada tulang yang bersangkutan.4 Empat hal

14

penting yang perlu adalah antibiotik profilaksis, debridement urgent pada luka dan
fraktur, stabillisasi fraktur, penutupan luka segera secara definitif10.

H. Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu4:
1

Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang

melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah


fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma
yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat
mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi
ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah
fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah
cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.
2

Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal


Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi

penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik


yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada
daerah endosteum membentuk kalus interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis
medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka
penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak
berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan
fraktur ini terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel osteogenik yang memberi
pertumbuhan yang cepat pada jaringan osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari
tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler tidak terbentuk dari organisasi

15

pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus dari
fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik. Pada
pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga merupakan
suatu daerah radiolusen.
3

Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)


Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel

dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk
tulang rawan. Tempat osteoblast diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan
perlengketan polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang
yang imatur. Bentuk tulang ini disebut sebagai woven bone. Pada pemeriksaan
radiologi kalus atau woven bone sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik
pertama terjadinya penyembuhan fraktur.
4

Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)


Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan diubah

menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur
lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara bertahap.
5

Fase remodeling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian

yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada
fase remodeling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap
terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan
menghilang. Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi
sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk
membentuk ruang sumsum.

16

17

I. Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat
penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik2.
a. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan
gangguan fungsi pernafasan.
Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama
pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan
metabolisme, berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat
berupa emboli lemak, trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau gas gangren
b. Komplikasi Lokal
1) Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca
trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma
disebut komplikasi lanjut.
a) Pada Tulang
- Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
- Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan
delayed union atau bahkan non union
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering
terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi
sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi
b) Pada Jaringan lunak

18

Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit


superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa

steril kering dan melakukan pemasangan elastik


Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh
gips. Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada

daerah-daerah yang menonjol


c) Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot
tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat
pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat
trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma
crush atau trombus.
d) Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus.
Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami
retraksi dan perdarahan berhenti spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis.
Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan
tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan
spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi
trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet
dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan
repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi.
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot
pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan
neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini
dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat
menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.

19

Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat


menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan
jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut
dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain
(nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan
Paralisis

e) Pada saraf
Berupa

kompresi,

neuropraksi,

neurometsis

(saraf

putus),

aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan


eksplorasi dan identifikasi nervus
2) Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada
pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau
perpanjangan.
a) Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara
normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan
sklerosis pada ujung-ujung fraktur. Terapi konservatif selama 6 bulan
bila gagal dilakukan Osteotomi. Bila lebih 20 minggu dilakukan
cancellus grafting (12-16 minggu)
b) Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
-

Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan


fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang

20

masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi


-

fiksasi dan bone grafting.


Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)
terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial
yang berisi cairan, proses union tidak akan dicapai walaupun dilakukan

imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi
periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen
fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang
tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang

(fraktur patologis)
c) Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas.
Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi .
d) Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union
sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang
mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa
osteoporosis dan atropi otot
J. Komplikasi manajemen fraktur
Komplikasi yang bersifat iatrogenik adalah yang disebabkan oleh manajemen
dari fraktur tersebut. Komplikasi ini kebanyakan dapat dicegah dan berhubungan
dengan tiga faktor utama, yaitu: tekanan lokalyang berlebihan, traksi yang
berlebihan, dan infeksi. Klasifikasi dari Komplikasi karena Manajemen Fraktur
adalah1:
1

Komplikasi kulit
a. Efek tato dari abrasi
b. Lesi tekanan (luka tekanan): Bed sores (ulkus dekubitus) Cast sores
(ulkus bebat)
21

Komplikasi vaskuler: Lesi traksi dan tekanan Volkmanns ischemia


(Compartment syndrome), Gangren dan gas gangrene, Thrombosis vena dan

3
4

emboli pulmonal
Komplikasi neurologis: Lesi traksi dan tekanan
Komplikasi sendi: Infeksi (septic arthritis) yang memberi komplikasi pada

operasi terbuka pada fraktur tertutup


Komplikasi tulang: Infeksi (osteomyelitis) yang memberi komplikasi pada
operasi terbuka pada fraktur tertutup

22

BAB III
DISLOKASI

A. Definisi
Dislokasi adalah pemisahan lengkap dari permukaan-permukaan yang
disebabkan tertariknya kapsul sendi11.

Dislokasi sendi adalah suatu keadaan dimana permukaan sendi tulang yang
membentuk sendi tidak lagi dalam posisi anatomis. Secara kasar adalah tulang
terlepas dari persendian. Subluksasi adalah dislokasi parsial permukaan
persendian. Kadang luksasi disertai dengan fraktur luksasi / dislokasi, misalnya
fraktur panggul dengan fraktur pinggir acetabulum2.
Dislokasi disertai dengan kerusakan simpai sendi atau ligament sendi. Bila
kerusakan tersebut tidak sembuh dengan baik, luksasi muda terulang kembali
seperti sendi bahu. Pada sendi panggul perdarahan dicaput femur mungkin

23

terganggu karena kerusakan pada trauma luksasi sehingga terjadi nekrosis


avasculer2.

B. Klasifikasi
1. Dislokasi congenital
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan yang paling sering terjadi
pada panggul. Dislokasi panggul cogenital merupakan suatu keadaan dimana
caput femoris posisisnya dalam acetabulum tidak normal sejak lahir. Caput
femoris biasanya kecil dan sering kali terletak diluar superior dan lateral
acetabulum. Perkembangan panggul normal yang harmonis membutuhkan
hubungan antara caput femoris dan acetabulum. Disosiasi jangka panjang dapat
menyebabkan perkembangan yang tak memadai baik caput femoris maupun
acetabulum sehingga akhirnya menyebabkan cacat12.
2. Dislokasi traumatik
Dislokasi traumatik adalah suatu kedaruratan ortopedi, yang memerlukan
pertolongan segera, karena struktur sendi yang terlibat pasokan darah dan saraf
rusak susunannya dan mengalami stres. Bila tidak ditangani segera dapat
terjadinekrosis avasculer ( kematian jaringan akibat anoksia dan hilangnya
pasokan darah ) dan paralylisis saraf. Trauma sendi dapat berupa12:
a. Kontusio sendi biasa terjadi oleh benturan.
b. Joint srain oleh trauma kecil yang berulang ( otot tertarik akibat
penggunaan yang berlebihan, peregangan berlebihan dan atau stres yang
berlebihan ).

24

c. Joint sprain / keseleo ada robekan mikroskopis dari ligament atau kapsul
sendi yang tidak mengganggu stabilitas akibat gerakan memutar.
d. Ruptur ligament
e. Dislokasi.
3. Dislokasi spontan atau patologik
Terjadi akibat penyakit struktur sendi dan jaringan sekitar sendi12.
C. Gambaran klinis
Setelah mengalami cedera sendi, pasien akan terlihat mencoba untuk
menghindari setiap gerakan yang melibatkan sendi yang cedera. Bentuk sendi
akan terliihat abnormal dan tulang akan terlihat mengalami perubahan posisi.
Gerakan pada sendi yang cedera akan menimbulkan kesakitan dan terbatas.
Melalui radiologi dengan menggunakan sinar-X biasanya akan dapat ditegakan
diagnosis. Pemeriksaan ini juga akan menunjukkan apakah ada cedera yang terjadi
akan mempengaruhi stabilitas sendi2.
Apprehension test. Jika dislokasi coba diposisikan oleh pasien, sendi dapat
diuji dengan memberi tekanan pasien akan merasakan nyeri dan dan akan
memberi tahanan terhadap intervensi lebih lanjut2.
Dislokasi berulang. Jika ligamen dan margin sendi telah rusak, dislokasi
berulang dapat terjadi. Hal ini dapat terlihat terutama di pada dislokasi sendi bahu
dan sendi patellofemoral2.
Dislokasi kebiasaan. Beberapa pasien mempunyai bakat dislokasi (atau
subluxating) yang disebabkan oleh kontraksi otot involunter. Kelemahan ligament
mungkin membuat dislokasi lebih mudah. Hal ini penting untuk menyadari hal ini
karena pasien biasanya jarang dibantu oleh teknik operasi2.

25

D. Pengobatan
Dislokasi harus direposisi sesegera mungkin. Pada proses reposisi ini,
biasanya anestesi umum diperlukan. Penggunaan relaksan otot terkadan juga
diperlukan dalam proses intervensi ini. Sendi yang telah direposisi diistirahatkan
dan diimobilisasi sampai pembengkakan jaringan lunak berkurang (biasanya
setelah 2 minggu). Gerakan kemudian dikontrol dimulai dengan penggunaan
brace functional dibantu dengan fisioterapi. Kadang-kadang bedah rekonstruksi
diperlukan untuk menangani ketidakstabilan sendi2.

E. Komplikasi
Banyak komplikasi patah tulang terlihat juga pada keadaan dislokasi,
misalnya: cedera vaskular, cedera saraf, tulang nekrosis karena iskemi, pengerasan
heterotopic, kekakuan sendi dan osteoarthritis sekunder2.

26

BAB IV
KESIMPULAN

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang


dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Penyebab
fraktur ini dapat berupa trauma langsung, tak langsung, maupun penyakit yang
menyertai. Untuk mendiagnosis suatu fraktur, harus dilakukan anamnesis trauma,
pemeriksaan fisik yang terdiri dari look, feel dan move, serta pemeriksaan
penunjang X-ray. Penatalaksaan dari fraktur yaitu dengan recognize, reduction,
Reposition dan rehabilitation. Terdapat berbagai komplikasi yagn didapatkan bila
penanganan fraktur ini tidak adekuat diantaranya yaitu malunion, delayed union
maupun nonunion.
Dislokasi sendi adalah suatu keadaan dimana permukaan sendi tulang yang
membentuk sendi tidak lagi dalam posisi anatomis. Secara kasar adalah tulang
terlepas dari persendian. pasien akan terlihat mencoba untuk menghindari setiap
gerakan yang melibatkan sendi yang cedera. Bentuk sendi akan terliihat abnormal
dan tulang akan terlihat mengalami perubahan posisi. Gerakan pada sendi yang

27

cedera akan menimbulkan kesakitan dan terbatas. Untuk penanganan, Dislokasi


harus direposisi sesegera mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tortora, Gerard J; Bryan Derrickson. 2009. Principles of Anatomy and


Physiology Twelfth edition. Danvers: John Wiley & Sons Inc.
2. Solomon, Louis; David Warwick; Selvadural Nayagam 2010. Apley,
System of Orthopedic and Fracture Ninth Edition. London : Hodder
Education
3. Salter, R.B. 1999. Textbook of Disorders and Injuries of The
Musculoskeletal System 3rd. William and Wilkins : USA.Bagian Bedah
Staf Pengajar Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Kumpulan Kuliah
Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara.1995.
4. Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta : PT.
Yarsif Watampone.
5. Porth, Carol Mattson. 2003. Essentials of Pathophysiology : Concepts of
Altered Health States. Lippincott Williams & Wilkins Sjamsuhidajat R, De
Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.2004.
6. Noval. Kenneth J dan Joseph D. Zuckerman. 2006. Handbook Of
Fractures, 3er Edition. Lippincott: Wiliam & Wilkins.
28

7. Bedah FKUNS-elearning.com
8. Temyang-Reksoprodjo, A. F. 2006. Himpunan Makalah Prof. dr. H.
Soelarto Reksoprodjo, SpB., SpOT.
9. Helmi ZN. Buku Ajar GANGGUAN MUSKULOSKELETAL. Jakarta:
Salemba Medika. 2011. p411-55

10. Sjamsuhidayat, de Jong. BUKU AJAR ILMU BEDAH EDISI 3. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran ECG. 2011. p959-1083

11. Evelyn
12. Cole, Warren H dan Zollinger Robert M. Textbook of Surgery, Ninth
edition. Newyork: Meredith Corporation.

29

Anda mungkin juga menyukai