Anda di halaman 1dari 12

Pengaruh Pemberian Solasodin Per Oral Terhadap Kadar Testosteron Darah Tikus

(Rattus norvegicus) Jantan Dewasa


Oleh : SEPTY YOLANDA
(Di bawah bimbingan dr. Zulkarnain Edward,MS,PhD dan
dr. Abd. Wali Nasution, DABK, Sp.And)

ABSTRAK
Tanaman golongan terung-terungan (Solanum sp.) merupakan jenis tanaman yang banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia, terutama buahnya, baik sebagai sayuran ataupun
lalapan. Walaupun banyak dikonsumsi, seringkali dalam masyarakat terdapat anggapan bahwa
terung dapat menurunkan kemampuan seksual, terutama pada pria. Melalui skrining fitokimia,
diketahui bahwa buah terung (Solanum sp.) mengandung zat aktif yang disebut solasodin
terutama Solanum khasianum Clark, yaitu 3% berat kering. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pemberian solasodin per oral dengan dosis 175,62 mg/kgBB/hari, 351,24
mg/kgBB/hari, dan 526,86 mg/kgBB/hari terhadap kadar testosteron darah tikus (Rattus
norvegicus) jantan dewasa.
Penelitian ini bersifat eksperimental dengan rancangan post test only control group
design, yang menjadi populasi penelitian adalah tikus (Rattus norvegicus) jantan dewasa
berjumlah 24 ekor. Hasil penelitian diolah secara statistik dengan menggunakan uji ANOVA
dengan derajat kepercayaan 95%, kemudian dilanjutkan dengan uji Multiple Comparisons
benferroni. Penelitian ini dibagi menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu 1 (satu) kelompok kontrol
dan 3 (tiga) kelompok perlakuan dan masing masing kelompok terdiri dari 6 (enam) ekor tikus.
Kelompok ini akan diberi perlakuan selama 48 hari, lalu dibunuh pada hari ke- 49 untuk
dilakukan pemeriksaan kadar testosteron darah dengan menggunakan metode ELISA.

I. PENDAHULUAN
Terung-terungan (Solanum sp.) merupakan jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan
oleh masyarakat Indonesia. Bagian tanaman yang dimanfaatkan dikonsumsi adalah buahnya,
baik sebagai sayuran ataupun lalapan, seringkali dalam masyarakat terdapat anggapan bahwa
terung dapat menurunkan kemampuan seksual, terutama pada pria. Anggapan ini diperkuat
dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Soenarjo (1986), yang menyatakan bahwa

terung (Solanum melongena) dapat dimanfaatkan untuk menurunkan libido pria untuk
sementara dalam rangka menjarangkan angka kelahiran anak. Pengaruh buah terung tersebut
kemungkinan disebabkan adanya beberapa senyawa yang dikandungnya. Melalui skrining
fitokimia, diketahui bahwa buah terung (Solanum sp.) mengandung zat aktif yang disebut
solasodin (Tarigan,1980).
Dalam pengaturan spermatogenesis, salah satu hormon yang berperan adalah testosteron
(Hadley, 1992). Apabila terjadi gangguan terhadap biosintesis testosteron atau terjadi
penghambatan aksi testosteron pada testis, maka akan terjadi gangguan spermatogenesis.
Testosteron juga berperan dalam mempertahankan potensi seksual pria dewasa (Sherwood,
1995). Jika kadar testosteron turun, kemungkinan potensi seksual juga akan menurun.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Hormon testosteron merupakan hormon seks yang penting pada individu jantan.
Hormon ini adalah hormon steroid derivat molekul prekursor kolesterol, disekresi oleh sel
Leydig di bawah pengaruh LH. Sel Leydig mengandung enzim dengan kadar tinggi yang
dibutuhkan untuk perubahan langsung kolesterol menjadi testosteron. Produksi testosteron
sebagian akan disekresikan ke dalam darah dan akan diedarkan ke sel-sel target. Sebagian
lagi akan masuk ke tubulus seminiferus dan berperan penting dalam proses spermatogenesis
(Sherwood, 1995).
Testosteron masuk ke tubulus seminiferus melewati sel Sertoli. Sel Sertoli mempunyai
reseptor androgen khusus yang memperantarai efek testosteron (Bardin et al., 1988). Di
dalam testis, kadar testosteron sekitar 200 kali lebih besar dan kadar dalam sirkulasi dan
didapatkan dalam bentuk terikat dengan ABP (Ross dan Reith, 1985). Testosteron sebagian

besar (95%) disekresi oleh sel Leydig yang berada dalam jaringan interstitialis testis, dan
5% diproduksi oleh kelenjar adrenalis (Saryono, 2008).
Dalam plasma darah pria, testosteron merupakan androgen utama pada umumnya
didapatkan dalam bentuk terikat dengan suatu molekul protein (binding protein), sekitar
38% terikat pada protein albumin, 60% terikat pada protein globulin, yaitu Sex Hormone
Binding Globulin (SHBG). Ikatan seperti itu membuat androgen tersebut menjadi lebih
mudah dapat memasuki sel-sel targetnya dan memberikan efek fisiologis. Sebagian kecil
testosteron (sekitar 2%) di dalam peredaran darah dalam bentuk bebas atau free testosteron
(Wilson, 1996).
Sel Sertoli yang merupakan sel target utama hormon testosteron, molekul androgen akan
berikatan dengan reseptor androgen khusus yang ada di sitoplasma, kompleks reseptor
androgen tersebut kemudian ditranslokasi ke dalam inti dan berikatan dengan daerah
tertentu dalam kromatin. Melalui proses yang terjadi dalam inti, akhirnya dihasilkan mRNA
untuk sintesis protein, yang selanjutnya menghasilkan ABP (Zaneveld dan Chatterton,
1982). Pengaruh testosteron terhadap sel Sertoli adalah untuk pematangan sel Sertoli dan
sintesis ABP (Hadley, 1992).
Sel Sertoli di dalam testis merupakan sel target primer untuk androgen, dan untuk anti
androgen (Schenck dan Neumann, 1978). Senyawa anti androgenik dapat menghambat aksi
testosteron, karena senyawa ini menduduki reseptor testosteron (Hadley, 1992). Anti
androgen dapat mencegah ikatan antara testostoron atau dihidrotestosteron dengan ABP,
sehingga akan menghambat spermatogenesis (Schenck dan Neumann, 1978).

Testosteron di dalam tubuli seminiferi antara lain diperlukan untuk perkembangan


spermatosit primer menjadi spermatid (Norris, 1980), untuk proliferasi dan diferensiasi sel
spermatogenik (Ross dan Reith, 1985), untuk tahap awal dan akhir spermatogenesis
(Hadley,1992), dan pada tahap spermiogenesis (Ganong, 1995). Selain berperan dalam
proses spermatogenesis, testosteron juga berperan dalam pengembangan karakteristik pria
pada masa fetus, masa pubertas dan dalam mempertahankan potensi seksual pria dewasa.
Kadar optimal testosteron diperlukan untuk mempertahankan fungsi seksual pria
(Sherwood, 1995).
Kadar testosteron dalam plasma relatif tinggi selama tiga periode kehidupan, yaitu : (1)
pada fase perkembangan embrionik; (2) saat diferensiasi fenotip jantan, dan (3) selama
kehidupan seksual dewasa. Pada pria dewasa, kadar testosteron dalam plasma antara 300
dan 1000 ng/dl, dengan kecepatan produksi 2,5 sampai 11 mg per hari. Kadar LH, FSH dan
testosteron dalam plasma berfluktuasi sepanjang hari, tetapi nilainya tiap hari relatif
konstan. Hormon gonadotropin (LH dan FSH) dan testosteron disekresi secara pulsatil
(Wilson, 1996). Produksi testosteron semakin menurun sesuai dengan meningkatnya umur,
penurunan ini disebabkan oleh penurunan aktivitas enzim 17 - hidroksilase (Eik-Nes,
1975). Kadar testosteron serum pada tikus umur empat bulan lebih tinggi dan pada tikus
umur 18 bulan (Setchell, 1978).
Biosintesis androgen memerlukan kolesterol sebagai prekusornya. Proses biosintesis
testosteron dimulai dari sintesis prekusor (kolesterol) dan reaksi selanjutnya tidak
terganggu. Menurut Montgomery et al., 1993 yang dikutip dari Saryono (2008) biosintesis
testosteron dapat dijelaskan sebagai berikut : kolesterol disintesis di dalam kelenjar adrenal
atau diambil dari plasma darah.

Kolesterol yang diambil dari plasma darah memerlukan HDL (lipoprotein berkepadatan
tinggi), sebagai komponen plasma darah yang memberikan kolesterol pada kelenjar adrenal.
Pengambilan kolesterol dari HDL dipacu oleh Adrenocoryicotropic hormone (ACTH).
Dengan demikian, jika kolesterol diambil dari darah maka sintesis kolesterol oleh kelenjar
adrenal dihambat, tetapi jika pengambilan kolesterol dari plasma darah menurun maka
sintesis kolesterol oleh kelenjar adrenal meningkat.
Bila kolesterol tidak segera digunakan untuk sintesis androgen dan hormon steroid
lainnya, maka kolesterol disimpan di dalam kelenjar adrenal sebagai ester kolesterol. Ester
kolesterol yang akan digunakan untuk sintesis androgen atau steroid lainnya dihidrolisis
oleh hidrolase ester sterol yang diaktifkan oleh fosforilasi melalui protein kinase yang
kerjanya bergantung pada cAMP. Kolesterol yang dilepas oleh reaksi hidrolitik mula-mula
diubah menjadi pregnenolon dan progesteron sebagai senyawa antara jalur sintesis
androgen.

Kemudian

berturut-turut

diubah

menjadi

17

hidroksi-progesteron,

androstenedion dan testosteron.

Langkah awal dalam jalur biosintesis testosteron tersebut adalah konversi C 27 kolesterol
ke C21 steroid, pregnenolon. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim sitokrom P 450, pemecah rantai
samping kolesterol. Pregnenolon berdifusi menembus membran mitokondria dan
selanjutnya dimetabolisme oleh enzim yang ada di retikulum endoplasma halus.
Pregnenolon dalam sel Leydig mencit dikonversi ke progesteron oleh keria 3 hidroksi
steroid dehidrogenase (3 HSD).

Reaksi selanjutnya dikatalisis oleh enzim sitokrom P 450, 17 hidroksilase (P450 l7),
suatu protein tunggal yang mengkatalisis dua reaksi yang berbeda, yaitu hidroksilasi
progesteron pada C17 dan pemecahan dua rantai samping karbon menjadi C19 steroid,
androstenedion, prekursor testosteron. Reaksi terakhir adalah reduksi 17 - keton
androstenedion oleh 17 ketosteroid reduktase.
Sel Leydig

juga mengekspresikan sitokrom P450 aromatase, yang

mengkatalisis

aromatisasi dari testosteron ke estradiol (Payne dan A Youngblood, 1995).


Sebagai suatu senyawa yang bersifat estrogenik, kemungkinan solasodin berefek seperti
estrogen atau estradiol, yaitu pada dosis tinggi dapat menghambat sekresi LH dan FSH oleh
hipofisis anterior atau menghambat keseimbangan GnRH oleh hipotalamus.
III.METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, dengan rancangan penelitian post test
only control group design. dilaksanakan pada bulan April - Mei 2011 di Laboratorium
Farmasi Universitas Andalas Padang dan Laboratorium Klinik Madina Medical Center
Padang. Populasi pada penelitian ini adalah semua tikus (Rattus norvegicus) jantan dewasa
yang terdapat di Laboratorium Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang
sebanyak 24 ekor.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa terjadi penurunan kadar testosteron darah
pada beberapa variasi dosis solasodin yang diberikan (tabel 5.1). Penurunan jumlah rata-rata
kadar testosteron darah tikus jantan dewasa ini dimulai pada dosis 175,62 mg/kg BB/hari,
351,24 mg/kg BB/hari, dan 526,86 mg/kg BB/hari.

Terjadinya penurunan kadar testosteron darah pada tikus jantan dewasa akibat
pemberian buah terung (Solanum khasianum), merupakan efek yang ditimbulkan oleh
solasodin yang berpengaruh pada testosteron dalam darah. Seperti telah dibahas di BAB
sebelumnya bahwa solasodin yang bersifat estrogenik ini kemungkinan dapat menghambat
keseimbangan gonadotropin hormon oleh hipotalamus dan dapat menghambat sekresi LH
dan FSH oleh hipofisis anterior.
Pada hasil penelitian tersebut terdapat pula penurunan kadar testosteron darah tetapi
secara statistik belum menunjukkan perbedaan yang bermakna, kemungkinan keadaan ini
disebabkan oleh zat aktif yang terdapat pada buah terung (Solanum khasianum) berupa
konsentrasi solasodin yang masih sedikit, sehingga pengaruh yang ditimbulkan menjadi
kurang efektif.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Terdapat pengaruh pemberian solasodin per oral dengan dosis 175,62 mg/kgBB/hari,
351,24 mg/kgBB/hari, 526,86 mg/kgBB/hari terhadap kadar testosteron darah tikus
(Rattus norvegicus) jantan dewasa
2. Ada perbedaan pengaruh pemberian solasodin per oral dengan dosis minimal 175,62
mg/kgBB/hari terhadap kadar testosteron darah tikus (Rattus norvegicus) jantan
dewasa
3. Terjadi sekitar 18,5 % penurunan kadar testosteron darah tikus (Rattus norvegicus)
jantan dewasa akibat pemberian solasodin per oral dengan dosis maksimal 526,86
mg/kgBB/hari

Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang efek solasodin dan efek kandungan kloroform
pada pembuatan solasodin terhadap kadar testosteron darah .
DAFTAR PUSTAKA
Alfaina, W. 2002. Pengaruh Solasodin Terhadap Diameter Tubulus Seminiferus dan
Gambaran Sel-sel Spermatogenik Mencit (Mus musculus) Dewasa. Jurnal Kedokteran
Yarsi 10; 56-65
Anderson,D. dan D.M. Conning. 1988. Exprerimental Toxicology the Basic
The Royal Society of Chemistry. London.

Principles.

Bardin,C.W., Cheng, C.Y., Musto, N.A., Gunsalus, G.L. 1988. The Sertoli Cell. In :
E.
Knobil and J.D. Neill (eds). The Physiology of Reproduction. Vol. 1.
Raven Press.
New York.
Christensen, A.K. 1975. Leydig Cell. In: D.W. Hamilton and R.O. Greep (eds.) Handbook of
Physiology. Section 7. Endocrinology. Vol. V. Male Reproductive System. American
Physiologycal Society. Washington, D.C.
Claringbold, W.D.B., Few, J.D., Brace, C.J., and Renwick, J.H. 1979. 3H
Solasodine in
Man and Syrian Hamster. Journal Steroid Biochemistry 13 :
hal. 889 893.
Daniel, WW. 1999. Statistik non Parametrik Terapan. Gramedia : Jakarta
de Kretser, D.M. 1997. Evaluation of Male Gonadal Function. In: P.J.Rowe and E.M.
Vikhlyaeva (eds.). Diagnosis and Treatment of Infertility. Hans Huber
Publisher.
Toronto. p. 93 97.
_________and Kerr,J.B. 1997. The Cytology of The Testis. In: E. Knobil and J.D. Neill (eds.).
The Physiology of Reproduction. Vol. I. Raven Press. New York.
Dixit, V.P.,Gupta, R.S., Gupta,S. 1989. Antifertility Plant Products : Testicular Cell
Population Dynamics Following Solasodine (C27H43O2N) Admistration in
Monkey (Macaca mulatta). Journal Andrologia 21 (6):542-6.
Effendi, H. 1981. Fisiologi Sistem Hormonal dan Reproduksi dengan
Penerbit Alumni Bandung. P. 96.

Rhesus

Pathofisiologinya.

Eik-Nes, K.B. 1975. Biosynthesis and Secretion of Testicular Steroids. In:E.Knobil

and

J.D. Neill (eds.). The physiology of reproduction. Vol.1. Raven

Press. New York.

Fasich. 1981. Isolasi Diosgenin dan Solasodin serta Studi Antifertilitas Solasodin dan
Oksidasinya. Disertasi Doktor. Institut Teknologi Bandung.

Hasil

Feinberg, M.J., Lumia, A.R., and Mc Ginnis, M.Y. 1997. The Effect of Anabolic- androgenic
Steroids on Sexual Behavior and Reproductive Tissues in Male
Rats. Physiol. Behav.
62(1):23-30.
Fayne, J. and Nicholson, H.D. 1995. Effect of Oxytocin on Testosteron Production by
Isolated Rat Leydig Cells is Mediated via a specific Oxytocin Receptor. Biology of
Reproduction. 52 :1268 1273.
Fullerton, D.S. 1992. Steroids and Therapeutically Related Compounds in Wilson and
Gisvolds Textbook of Organic Medicinal and Pharmaceutical Chemistry. (edited by:
R.F. Doerge) 8 th ed. Philadelphia. J.B. Lippincot Company.
Ganong, W.F. 1995. Review of Medical Physiology. 17 th edition. Prentice Hall International
Inc. London.
Ghufron, M dan Herwiyanti, S. 1995. Gambaran Histologik Spermatogenesis Tikus
Putih
(Rattus norvegicus) Setelah Diberi Makan Terong Tukak (Solanum
torvum).
Jurnal Kedokteran YARSI. Vol.3. No.2. P.28 35.
Gorbman,A and H.A Bern. 1974. A Textbook of Comparative Endocrinology. Prentice
International Inc ; London

Hall

Granner, D.K. 1993. Hormones of The Gonads. In: Harpers Biochemistry. PrenticeInternational Inc. London.

Hall

Guyton, A.C. 1994. Textbook of Medical Physiology. Terjemahan. Buku Ajar


Fisiologi
Kedokteran. Alih Bahasa : K.A. Tengadi dkk. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Hadley, M.E. 1992. Endocrinology. Prentice-Hall. Inc. Simon dan Schuster Company.
Englewood Cliffs. New Jersey.
Hafez, E. 1976. Reproduction in Farm Animal. Lea and Febiger. Philadelphia. 5 : 203 206.
Hakim, A. dan Tatang, S. 1990. Inventarisasi Tanaman Solanaceae Indonesia
Sumber Solasodin. Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan
dan
Departemen Fisiologi dan Farmakologi FKH.IPB Bogor.

Sebagai
Obat II.

Hall, P.F. 1988. Steroid Synthesis : Organization and Regulation. In: E.Knobil dan
J.D.Neill (eds.). The Physiology of Reproduction. Vol. 1. Raven Press.
New York.
Hanum, M. 2010. Biologi Reproduksi. Nuha Medika ; Yogyakarta

Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Terbitan kedua. Penerbit ITB ; Bandung
Hess, RA. 1999. Spermatogenesis, Overview in Encyclopedia of Reproduction 4 :
545.

539

Hodgson, Y., D.M. Robertson, D.M. de Kretser. 1983. The Regulation of Testicular
Function. In: Greep, R.O. Reproductive Physiology IV. International
Review of
Physiology. Vol.
27. University Park Press. Baltimore. P.297298.
Istriyati, 1983. Pengaruh Solasodin Terhadap Perkembangan Saluran Telur Puyuh
(Coturnix coturnix japonica) Muda. Tesis Fakultas Pasca Sarjana. Institut Teknologi
Bandung.
Junqueira, L.C. dan J. Carneiro. 1995. Basic Histology (Histologi Dasar). Terjemahan
Dharma. Edisi ketiga. Penerbit EGC. Jakarta.

Adji

Kaspul. 1997. Pengaruh Vitamin C dan Human Chorionic Gonadotropin Terhadap


Kadar
Testosteron, Aktivitas Spermatogenesis, Motilitas dan Morfologi Spermatozoa Tikus
(Rattus norvegicus, L) Pradewasa. Tesis. UGM.
Yogyakarta.
_____. 2007. Kadar Testosteron Tikus Putih (Rattus norvegicus L) Setelah
Mengkonsumsi
Buah Terong Tukak (Solanum torvum SW). Jurnal Bioscientiae. Vol.4.UNLAM.
Banjarmasin.
Kong, Y.C; Watt, K.H; Saxene, I.F; Cheng, K.F; But, P.P.h; Chang, H.T. 1985. Yuechuchene
a Novel Anti Inflamation Indole Alkaloid from Murraya
paniculata. Pland Medica.
304-307
Kristina, NN., Rita N, Siti FS, dan Molide R. 2007. Peluang Peningkatan Kadar Kurkumin
Pada Tanaman Kunyit dan Temulawak. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.
Di download dari
http://balittro.litbang.deptan.go.id/pdf/edisikhusus/2007_01/
tanggal 13
Oktober 2008.
Kuczynski, H.J. 1982. Fertility Controle in The Male, A Development Perspective. In:

F.X.A.

Adimoelja dan E. Karundeng (eds.). Andrology in Perspective. International Congress


Indonesia. PT. Kenrose Indonesia. P. 165.
Mubarak, Hasnul. 2008. Disadur dari Original article from " Disorders of the Testes
Male Reproductive System: Introduction ", Harrisons' Principle of Internal
Medicine 17th Ed.

and

Neaves, W.B., L. Johnson, C.S. Petty. 1985. Age-Related Change in Numbers of Other
Interstitial Cells in Testes of Adult Men, Evidence Bearing on The Fate
of Leydig
Cells Lost With Increasing Age. Biology of Reproduction. 33 : 259 269.

Norris, D.O. 1990. Vertebrate Endocrinology. Lea and Febiger. Philadelphia.


Payne, A.H., and Youngbold, G.L. 1995. Regulation of Expression of Steroidogenic
Enzymes in Leydig Cells. Biology of Reproduction. 52. P. 217 225.
Puslitbangnak. 2011. Penyediaan progesteron dari bahan aktif solasodin tanaman Solanum
khasianum sebagai penyerentak berahi ternak domba dan kambing.
http://peternakan.litbang.deptan.go.id/ tanggal 21 April 2011. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perternakan; Bogor.
Ross, M.H. and E.J. Reith. 1985. Histology, A Text and Atlas. Prentice Hall. Inc.New York.
Rugh, R. 1997. The Mouse, Its Reproduction and Development. Burgers Publishing
Minneapolis.

Co.

Sanborn, B.M.; L.A. Caston; C. Chang; Liao; R. Speller; L.D. Porter; and C.Y. Ku.
1991.
Regulation of Androgen Reseptor mRNA in Rat Sertoli and Peritubular
Cells. Biology
of Reproduction. Vol. 45. P. 634 641.
Saryono. 2008. Biokimia Reproduksi, Untuk Kebidanan, Keperawatan, Kedokteran
Kesehatan Masyarakat (Kespro). Mitra Cendekia Press ; yogyakarta.

dan

Sawin, C.T. 1969. The Hormones Endocrine Physiology. Little Brown and Company.
Boaton. P.190 191.
Schenck, B., and Neumann, F. 1978. Influence of Antiandrogens on Sertoli Cell Function and
Intratesticular Androgen Transport. International Journal of
Andrology. Juni.
P.459 470.
Schmidt and Nielson, K. 1991. Animal Physiology, Adaptation and Environment. Fourth
Edition. Cambrigde University Press ; New York.
Setchell, B.P. 1978. The Mammalian Testis. Cornell University Press. Ithaca. New
P.131.

York.

Sherwood, L. 1995. Human Physiology from Cells to Systems. Second Edition. West
Publishing Company. San Fransisco.
Soenarjo, Ch. 1986. Pengendalian Nafsu Seks Suami Dalam Mengatur Kehamilan
dan Kelahiran Anak. Pertemuan Ilmiah Tahunan PANDI. Yogyakarta.

Istri

Sugiyanto, Y. 1983. Efek Solasodin Terhadap Perkembangan Embrio Mencit Putih


(Mus
musculus) Galur Australia. Testis Fakultas Pasca Sarjana. Institut Teknologi Bandung.
Smith dan Mangkoewijaya, S. 1998. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan
Percobaan di Daerah Tropis. Edisi I. UI Press; Jakarta.

Hewan

Tadjudin, M.K. 1986. Cara Keluarga Berencana Hormonal pada Pria. Prosiding Kongres
Nasional 1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta. Hal. 22 29.
Tarigan, P. 1980. Beberapa Aspek Kimia Sapogenin Steroid pada Tumbuhan di
Penerbit Alumni Bandung.
Van Tienhoven, A. 1993. Reproductive Physiology of Vertebrata. Second Edition.
University Press. London.

Indonesia.
Cornell

Wilson, J.D. 1996. Androgens. In : Goodman and Gilmans The Pharmacological Basis of
Therapeutics. Nineth Edition. International Edition.
Zaneveld, L.J.D and Chatterton, R.T. 1982. Biochemistry of Mammalian Reproduction. A
Wiley-Interscience Publication. John Wiley and Sons. New York.

Anda mungkin juga menyukai