Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan

teknologi saat

ini sangat mempengaruhi berbagai

bidang termasuk bidang farmasi. Semakin banyaknya industri-industri farmasi


yang turut menerapkan kemajuan teknologi, semakin meningkat pula jumlah
produk-produk farmasi yang tersedia untuk masyarakat. Industri farmasi saat
ini tidak hanya memfokuskan perhatian pada bidang pembuatan dan
penyediaan obat, melainkan juga telah mencakup berbagai produk yang
tersedia dalam masyarakat seperti makanan dan kosmetik. Dalam penyediaan
suatu produk farmasi dipergunakan berbagai senyawa-senyawa yang
dikombinasikan satu dengan yang lain untuk menghasilkan suatu senyawa
baru yang sangat bermanfaat. Pengkombinasian ini melibatkan berbagai
senyawa baik yang mudah larut dalam air, maupun yang tidak.
Khusus dalam penetapan kadar senyawa yang sukar larut diterapkan
metode tertentu sebab sifat dari senyawa yang sukar larut memiliki sifat
tertentu yang tidak dimiliki oleh senyawa yang larut. Salah satu metode
tersebut adalah argentometri. Metode ini hanya ditekankan bagi senyawa yang
diketahui sukar larut. Dengan adanya percobaan ini diharapkan praktikan
mampu menentukan kadar suatu senyawa yang tidak larut dalam air. Oleh
karena itulah diadakan percobaan ini.

Dalam dunia farmasi, diterapkan dalam mengisolasi bentuk murni dari


sediaan obat karena dari suatu sediaan obat terdiri dari beberapa komponen
yang pada dasarnya mempunyai satu komponen utama.
B. Maksud dan Tujuan
1. Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penentuan kadar zat dengan
metode tertentu.
2. Tujuan Percobaan
Menentukan kadar Papaverin HCl dengan metode argentometri.

C. Prinsip Percobaan
Penetapan kadar Papaverin Asam klorida dengan metode argentrometri
berdasarkan reaksi pengendapan dengan penambahan indikator Kalium
bikromat dan dititrasi dengan Argenti nitrat 0,1035 N dan titik akhir titrasi
ditandai dengan jadi perubahan warna dari kuning menjadi merah coklat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Umum
Titrasi argentometri adalah titrasi dengan menggunakan larutan perak
nitrat sebagai titran, dimana terbentuk garam

perak yang sukar larut.

(Suetila.1990:23)
Titrasi pengendapan atau argentometri didasarkan atas terjadinya
pengendapan kuantitatif, yang dilakukan dengan penambahan larutan
pengukur yang diketahui

kadarnya pada larutan senyawa yang hendak

dititrasi. Titik akhir tercapai bila semua bagian titran sudah membentuk
endapan.
Argentometri dimana terbentuk endapan (ada juga argentometri yang
tergolong pembentukan kompleks) dibedakan atas 3 macam berdasarkan
indicator yang dipakai untuk penentuan titik akhir, yaitu :
a. Cara Mohr
Titrasi pertama untuk penentuan ion klorida dan bromida dalam
larutan, sedangkan indikator yang dipakai adalah kalium kromat (K 2CrO4)
dan larutan baku AgNO3 sebagai titran. Pada titik akhir kromat terikat oleh
ion perak membentuk senyawa yang sukar larut berwarna merah bata.
Disini terjadi pengendapan 2 tingkat yaitu pembentukan AgCl dan
pembentukan Ag2CrO4. Perak klorida merupakan

garam

sukar larut

sehingga konsentrasi ion klorida tinggi, maka AgCl diendapkan.

b. Cara Volhard
Ion halogen diendapkan oleh ion perak berlebih, kelebihan ion
perak dititrasi dengan NH4SCN atau KSCN. Indikator yang digunakan
adalah besi (III) nitrat atau besi (III) amonium sulfat, sampai titik ekivalen
harus terjadi reaksi antara titran dan ion perak membentuk endapan putih :
Ag+ + SCN-

AgSCN

(putih)

Sedikit kelebihan titran kemudian bereaksi dengan indikator, membentuk


ion kompleks yang sangat kuat warnanya (merah).
SCN- + Fe3+

FeSCN2+

Yang larut dan mewarnai larutan yang semula tidak berwarna.


c. Cara Fajans
Dalam titrasi secara Fajans digunakan indikator adsorbsi. Indikator
adsorbsi adalah zat yang dapat diserap pada permukaan endapan dan
menyebabkan

timbulnya warna, penyerapan ini dapat titik ekivalen,

antara lain dengan

memilih macam indikator yang dipakai dan pH.

Indikator ini adalah asam lemah atau basa lemah organik yang dapat
membentuk endapan dengan ion perak. Misalnya fluoresein yang dapat
digunakan dalam titrasi ion klorida dalam suasanan netral. (Susanti : 89)
d. Metode kekeruhan
Timbulnya kekeruhan kadang-kadang dapat pula di gunakan untuk
menetukan titik akhir titrasi . Seperti pada metode leabing pada sianida ,
metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Gay Lussac 1832 , larutan
baku Natrium klorida dititrasi dengan larutan perak dengan adanya asam

nitrat bebas atau sebaliknya . Dengan persyaratan tertentu , penambahan


indicator di perlukan karena adanya kekeruhan yang disebabkan
penambahan beberapa tetes . Salah satu larutan yang lain menandakan
titik akhir titrasi belum tercapai. Titrasi dilanjutkan hingga tidak ada
kekeruhan lagi.
Untuk larutan yang mengandung Ag jika ditambahkan NaCl akan
mula-mula membentuk suspense yang kemudian terkoagulasi(membeku).
Laju terjadinya koagulasi yang menyatakan mendekatkan titik ekuivalen.
Penambahan NaCl terus sampai titik akhir tercapai. Perubahan ini dibuat
dengan tidak terbentuknya endapan AgCl pada cairan suspernatan. Akan
tetapi sedikit NaCl harus di tambahkan untuk menyempurnakan titik akhir.
(Khopkar.1990:64)
Untuk penentuan langsung halogenida dapat dengan titrasi Mohr
yang menggunakan iod dan amilum sebagai indikator. Secara tidak
langsung, ion halogenida dan halogen organik setelah penyabunan atau
penguraian oksidatif dan dititrasi dengan Volhard .

Dasar Teori Argentometri merupakan titrasi pengendapan sampel


yang dianalisis dengan menggunakan ion perak. Biasanya, ion-ion yang
ditentukan dalam titrasi ini adalah ionhalida (Cl-, Br-, I-). (Khopkar.1990)

Ada beberapa metode dalam titrasi argentometri yang dibedakan


berdasarkan indikator yang digunakan pada penentuan titik akhir titrasi,
antara lain :
1. Metode Mohr
Metode Mohr biasanya digunakan untuk mentirasi ion halida seperti
NaCl, denganAgNO3 sebagai titran dan K2CrO4 sebagai indikator.
Titik akhir titrasi ditandai dengan adanya perubahan warna suspensi
dari kuning menjadi kuning coklat. Perubahan warna tersebut terjadi
karena timbulnya Ag2CrO4, saat

hampir mencapai titik ekivalen,

semuaion Cl- hampir berikatan menjadi AgCl. (Alexeyev,V,1969)


Indikator

menyebabkan

terjadinya reaksi pada titik akhir dengan

titran, sehingga terbentuk endapan yang berwarna merah-bata, yang


menunjukkan titik akhir karena warnanya berbeda dari warna endapan
analat dengan Ag+ .Pada analisa Cl- mula-mula terjadi reaksi : Ag+(aq)
+ Cl-(aq) AgCl(s) Sedang pada titik akhir, titran juga bereaksi
menurut reaksi: 2Ag+(aq) + CrO4(aq) Ag2CrO4(s) Pengaturan pH
sangat perlu, agar tidak terlalu rendah ataupun tinggi. Bila terlalu
tinggi,dapat terbentuk endapan AgOH yang selanjutnya terurai menjadi
Ag2O sehingga titranterlalu banyak terpakai.2Ag+(aq) + 2OH-(aq)
2AgOH(s) Ag2O(s) + H2O(l) Bila pH terlalu rendah, ion CrO4sebagian akan berubah menjadi Cr2O72- karena reaksi 2H+(aq) +
2CrO42-(aq) Cr2O72- + H2O Yang mengurangi konsentrasi indikator
dan menyebabkan tidak timbul endapannya atau sangat

terlambat.

Selama titrasi Mohr, larutan harus diaduk dengan baik. Bila tidak, maka
secara lokal akan terjadi kelebihan titrant yang menyebabkan
indikator mengendap sebelum titik ekivalen tercapai, dan dioklusi oleh
endapan AgCl yang terbentuk kemudian; akibatnya ialah,bahwa titik
akhir menjadi tidak tajam..
2.

Metode Volhard
Metode Volhard menggunakan NH4SCN atau KSCN sebagai titrant,
dan

larutan

Fe3+(feriaulin) sebagai indikator. Sampai dengan titik

ekivalen harus terjadi reaksi antara titrant dan Ag, membentuk endapan
putih.Ag+(aq) + SCN-(aq) AgSCN(s) (putih)Sedikit kelebihan
titrant kemudian bereaksi dengan indikator, membentuk ion kompleks
yang sangat kuat warnanya (merah).
SCN-(aq) + Fe3+(aq) FeSCN2+(aq)Yang larut dan mewarnai
larutan yang semula tidak berwarna.Karena titrantnya SCN- dan
reaksinya berlangsung dengan Ag+, maka dengan cara Volhard, titrasi
langsung hanya dapat digunakan untuk penentuan Ag + dan SCNsedang untuk anion-anion lain harus ditempuh cara titrasi kembali: pada
larutan X- ditambahkanAg+ berlebih yang diketahui pasti jumlah
seluruhnya, lalu dititrasi untuk menentukan kelebihan Ag+. Maka titrant
selain bereaksi dengan Ag+ tersebut, mungkin bereaksi puladengan
endapan AgX : Ag+(aq) (berlebih) + X- (aq) AgX(s) Ag+(aq)
(kelebihan) + SCN- (aq) (titrant) AgSCN(s) SCN-(aq) + AgX (s)
X-(aq) + AgSCN(aq) . Bila hal ini terjadi, tentu saja terdapat kelebihan

titrant

yang

bereaksi dan

juga titik akhirnya

melemah

(warna

berkurang).
Konsentrasi indikator dalam titrasi Volhard juga tidak boleh
sembarang, karena titrant bereaksi dengan titrat maupun dengan
indikator, sehingga kedua reaksi itu saling mempengaruhi. Penerapan
terpenting cara Volhard ialah untuk penentuan secara tidak langsung
ion-ion halogenida: perak nitrat standar berlebih yang diketahui
jumlahnya ditambahkan sebagai contoh, dan kelebihannya ditentukan
dengan titrasi kembali dengan tiosianat baku. Keadaan larutan yang
harus asam sebagai syarat titrasi Volhard merupakan keuntungan
dibandingkan dengan cara-cara lain penentuan ion halogenida karena
ion-ion karbonat,oksalat, dan arsenat tidak mengganggu sebab
garamnya larut dalam keadaan asam.
Prinsip Prinsipnya adalah berdasarkan pada reaksi pengendapan
zat yang akan dianalisa (Cl- danCNS) dengan larutan baku AgNO 3
sebagai penitrasi dengan cara Mohr dan Volhard. Dant eknik
pengendapan

untuk

memisahkan

analit

dari

pengganggu-

penggangunya sehingga diperoleh bentuk yang tidak larut/kelarutannya


kecil sekali. Persamaan Reaksia. Metode Mohr Pada analisa Cl- mulamula terjadi reaksi:Ag+(aq) + Cl-(aq) AgCl(s)Pada titik akhir,
titran juga bereaksi menurut reaksi : 2Ag+(aq) + CrO4(aq)
Ag2CrO4(s)

b.

Metode

Volhard

Ag+(aq)

SCN-(aq)

AgSCN(s)

(putih)SCN- (aq) + Fe3+(aq) FeSCN2+(aq). (Suetila,G.1990:201)


Ion halogen diendapkan oleh ion perak berlebih, kelebihan ion
perak dititrasi dengan NH4SCN atau KSCN. Indikator yang digunakan
adalah besi (III) nitrat atau besi (III) amonium sulfat, sampai titik
ekivalen harus terjadi reaksi antara titran dan ion perak membentuk
endapan putih :
Ag+ + SCNSedikit

kelebihan

AgSCN
titran

kemudian

(putih)

bereaksi

dengan

indikator,

membentuk ion kompleks yang sangat kuat warnanya (merah).


SCN- + Fe3+

FeSCN2+

Yang larut dan mewarnai larutan yang semula tidak berwarna.


Konsentrasi indikator dalam titrasi Volhard juga tidak boleh
sembarang, karena titrant bereaksi dengan titrat maupun dengan
indikator, sehingga kedua reaksi itu saling mempengaruhi.
Penerapan terpenting cara Volhard ialah untuk penentuan secara
tidak langsung ion-ion halogenida: perak nitrat standar berlebih yang
diketahui jumlahnya ditambahkan sebagai contoh, dan kelebihannya
ditentukan dengan titrasi kembali dengan tiosianat baku. Keadaan
larutan yang harus asam sebagai syarat titrasi Volhard merupakan
keuntungan dibandingkan dengan cara-cara lain penentuan ion

halogenida karena ion-ion karbonat, oksalat, dan arsenat tidak


mengganggu sebab garamnya larut dalam keadaan asam.
3. Cara Fajans
Dalam titrasi secara Fajans digunakan indikator adsorbsi.
Indikator adsorbsi adalah zat yang dapat diserap pada permukaan
endapan dan menyebabkan timbulnya warna, penyerapan ini dapat titik
ekivalen, antara lain dengan memilih macam indikator yang dipakai dan
pH. Indikator ini adalah asam lemah atau basa lemah organik yang
dapat membentuk endapan dengan ion perak. Misalnya fluoresein yang
dapat digunakan dalam titrasi ion klorida dalam suasanan netral.
(Harjadi, W. 1986 : 176 - 179)
Cara kerja indikator adsorpsi ialah sebagai berikut: indikator ini
ialah asam lemah atau basa lemah organik yang dapat membentuk
endapan dengan ion perak. Misalnya fluoresein yang digunakan dalam
titrasi ion klorida. Dalam larutan, fluoresein akan mengion (untuk
mudahnya ditulis HFl saja).
HFl(aq) H+(aq) +Fl-(aq)
Ion Fl- inilah yang diserap oleh endapan AgX dan menyebabkan
endapan berwarna merah muda. Karena penyerapan terjadi pada
permukaan, dalam titrasi ini diusahakan agar permukaan endapan itu
seluas mungkin supaya perubahan warna yang tampak sejelas mungkin,

maka endapan harus berukuran koloid. Penyerapan terjadi apabila


endapan yang koloid itu bermuatan positif, dengan perkataan lain
setelah sedikit kelebihan titrant (ion Ag+).
Pada tahap-tahap pertama dalam titrasi, endapan terdapat dalam
lingkungan dimana masih ada kelebihan ion X- dibanding dengan Ag+;
maka endapan menyerap ion-ion X- sehingga butiran-butiran koloid
menjadi bermuatan negatif. Karena muatan Fl- juga negatif, maka Fltidak dapat ditarik atau diserap oleh butiran-butiran koloid tersebut.
Makin lanjut titrasi dilakukan, makin kurang kelebihan ion X -;
menjelang titik ekivalen, ion X- yang terserap endapan akan lepas
kembali karena bereaksi dengan titrant yang ditambah saat itu, sehingga
muatan koloid makin berkurang negatif. Pada titik ekivalen tidak ada
kelebihan X- maupun Ag+; jadi koloid menjadi netral. Setetes titrant
kemudian menyebabkan kelebihan Ag+. Ion-ion Ag+ ini diserap oleh
koloid yang menjadi positif dan selanjutnya dapat menarik ion Fl- dan
menyebabkan warna endapan berubah mendadak menjadi merah muda.
Pada waktu bersamaan sering juga terjadi penggumpalan koloid, maka
larutan yang tadinya berwarna keruh juga menjadi jernih atau lebih
jernih. Fluoresein sendiri dalam larutan berwarna hijau kuning,
sehingga titik akhir dalam titrasi ini diketahui berdasar ketiga macam
perubahan diatas, yakni

(i) Endapan yang semula putih menjadi merah muda dan endapan
kelihatan menggumpal
(ii) Larutan yang semula keruh menjadi lebih jernih
(iii) Larutan yang semula kuning hijau hampir-hampir tidak berwarna
lagi.
Suatu kesulitan dalam menggunakan indikator adsorpsi ialah,
bahwa banyak diantara zat warna tersebut membuat endapan perak
menjadi peka terhadap cahaya (fotosensifitasi) dan menyebabkan
endapan terurai.
Titrasi menggunakan indikator adsorpsi biasanya cepat, akurat
dan terpercaya. Sebaliknya penerapannya agak terbatas karena
memerlukan endapan berbentuk koloid yang juga harus dengan cepat.
(Harjadi,W,1990 : 155-160)
Untuk penentuan langsung halogenida dapat dengan titrasi
Mohr yang menggunakan iod dan amilum sebagai indikator. Secara
tidak langsung, ion halogenida dan halogen organik setelah penyabunan
atau penguraian oksidatif dan dititrasi dengan Volhard. (Roth, H.J. 1998
: 253)
Dasar titrasi argentometri adalah pembentukan endapan yang
tidak mudah larut antara titran dengan analit. Metode argentometri yang

lebih luas lagi digunakan adalah metode titrasi kembali. Perak nitrat
(AgNO3) berlebihan ditambahkan ke sampel yang mengandung ion
klorida atau bromida. Sisa AgNO3 selanjutnya dititrasi kembali dengan
ammonium tiosulfat menggunakan indicator besi (III) ammonium
sulfat.
B. Uraian Bahan
1. Aquadest (Dirjen POM.1979 : 96)
Nama resmi

: AQUA DESTILLATA

Sinonim

: Air Suling

RM/BM

: H2O/18,02

Pemerian

: Cairan, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dan


tidak berasa.

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan

: sebagai pelarut

2. AgNO3 (Dirjen POM.1979:97)


Nama resmi

: ARGENTI NITRAS

Sinonim

: Perak nitrat

RM/BM

: AgNO3/169,87

Pemerian

: Hablur transparan atau hablur berwarna putih,


tidak berbau, menjadi gelap jika kena cahaya.

Kelarutan

: Sangat mudah larut dalam air, larut dalam etanol


95 % P.

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari


cahaya.

Kegunaan

: Sebagai larutan baku.

3. K2CrO4 (Dirjen POM.1979:690)


Nama resmi

: Kalii Chromat

Sinonim

: Kalium kromat

RM/BM

: K2CrO4

Pemerian

: Hablur, kuning

Kelarutan

: Sangat mudah larut dalam air, larutan jernih.

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan

: Sebagai indicator

4. Papaverin HCL (Dirjen POM.1979:472)


Nama Resmi

: PAPAVERIN HYDROCLORIDUM

Nama Lain

: papaverin hidroksida

RM/BM

: C20H21NO4.HCL/375,86

Rumus Bangun

Pemerian

: Hablur putih, tidak berbau , rasa asin

Kelarutan

: Larut dalam kuarng lebih 40 bagian air dan dalam


20 bagian etanol (95%) P, larut dalam kloroform.

Persen Kadar

: tidak kurang dari 99,0 % C20H21NO4.HCL

dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.


Berat Setara

: 1 ml Asam perklorat setara dengan 37,59 mg


C20H21NO4.HCL.

Penyimpanan

: dalam wadah tertutup baik

Kegunaan

: sebagai sampel.

C. Prosedur Kerja ( Haeriah , S.si.2011 : 8)


1. Pembuatan larutan baku AgNO3 0,1 N
Timbang seksama kurang lebih 11-12 gram AgNO3 murni dalam
cawan. panaskan dalam oven dengan suhu 100-110

kemudian dinginkan dalam desikator.

AgNO3 yang telah

Timbang

C selama 1 jam,

didinginkan sebanyak 8,5 g dalam botol timbang, pindahkan ke dalam


gelas piala dan larutkan dengan air suling sebanyak 50 ml, aduk hingga
homogen. Pindahkan

ke dalam labu

ukur 500 ml dan cukupkan

volumenya sampai 500 ml .


2. Standarisasi larutan AgNO3 0,1 N dengan NaCl
Ditimbang kurang lebih 4 g NaCl murni dalam gelas arloji ,
keringkan pada suhu 105-1100 C selama 2 jam dalam oven , kemudian
dinginkan dalam desikator . timbang seksama 2,92 g NaCl yang telah
didinginkan .pindahkan ke dalam labu tentukur 500 ml melalui corong .
bilas botol timbang dengan air suling hingga bersihdan air bilasan di
masukkan ke dalam labu tentukur. Cukupkan volumenya hingga 500 ml ,
homogenkan.

Pipet sebanyak 25 ml kemudian pindahkan ke dalam Erlenmeyer ,


tambahkan 0,5-1 ml larutan K2CrO4 5 % . titrasi dengan larutan AgNO3
melalui buret hingga terjadi perubahan warna dari kuning menjadi coklat
merah . ulangi perlakuan 2 kali . hitung normalitas larutan AgNO3
Tiap ml AgNO3 0,1 N setara dengan 5,85 mg NaCl

3. Penetapan kadar papaverin HCL


Timbang seksama sampel papaverin HCL yang setara dengan 10
ml AgNO3 0,1 N, larutkan dengan 100 ml air suling . tambahkan indicator
K2CrO4 0,005 M dan titrasi dengan AgNO3 0,1 N . Titik akhir titrasi
ditandai dengan perubahan warna dari kuning menjadi merah coklat.
Ulangi pelakuan 2x.

BAB III
METODE KERJA

1. Alat dan Bahan


1. Alat-alat yang Digunakan
a. Buret 25 ml
b. Erlemeyer 250 ml
c. Gelas ukur 25 ml
d. Pipet Volume 10 ml
e. Statif + klem
f. Timbangan analitik
2

. Bahan-bahan yang digunakan


a. Air suling
b. Papaverin HCL
c. Larutan baku AgNO3 0,1 N
d. Larutan K2CrO4 5 %
e. Kertas timbang

D. Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Ditimbang sebanyak 250 mg serbuk papaverin HCl, dimasukkan ke dalam
erlemeyer, dilarutkan dalam 10 ml air.
3. Ditambahkan 1 ml larutan K2CrO4 5 %.

4. Dititrasi dengan larutan baku AgNO3 0,1 N sampai terbentuk endapan


merah.
5. Diulangi prosedur satu kali lagi.
6. Di hitung volume titran.
7. Dihitung kadar larutan sampel, serta kemurnian papaverin HCl.

BAB IV
HASIL PENGAMATAN

A. Tabel Pengamatan
1.

Penetapan kadar papaverin HCL


Sampel

Berat Sampel

Volume AgNO3

0,2525 gram

14 ml

B. Reaksi
1. Penetapan kadar Papaverin HCl

+ AgNO3

+ HNO3

2. Reaksi AgNO3 dengan Indikator


2AgNO3 + K2CrO4

Ag2CrO4
Merah bata

C. Perhitungan

+ 2 KNO3

Penetapan kadar Papaverin HCl


mgrek sampel
mg

mgrek Larutan Baku

N x V

0,1035 x 14

0,1035 x 14 x 375,86

544,621 mg

0.544621 gr

Berat Praktek

BE
mg
375,86
mg

% kadar

x 100 %

Berat Teori
=

0.5446
0.2525

215,68 %

x 100 %

BAB IV
PEMBAHASAN

Titrasi pengendapan

atau argentometri didasarkan atas terjadinya

pengendapan kuantitatif, yang dilakukan dengan penambahan larutan pengukur


yang diketahui kadarnya pada larutan senyawa yang hendak dititrasi. Titik akhir
tercapai bila semua bagian titran sudah membentuk endapan.
Titrasi argentometri merupakan titrasi dengan menggunakan perak nitrat
sebagai larutan baku dimana akan terbentuk garam perak yang sukar larut. Garam
perak ini akan mengendap, karena hasil kali kelarutannya yang sangat kecil.
Beberapa garam-garam perak yang sukar larut adalah perak klorida, perak
bromida, perak iodida dan lain sebagainya. KSp dari garam perak klorida adalah
sekitar 10-11, sedangkan hasil kali kelarutan Ag2CrO4 adalah 2,4 x 10-12.
Pada titrasi argentometri, terjadi dua tahapan reaksi yaitu (1) reaksi antara
AgNO3 dengan sampel, dan (2) reaksi antara AgNO 3 dengan K2CrO4. Reaksi
antara AgNO3 dengan sampel terjadi lebih dahulu karena Ksp garam perak, seperti
perak klorida lebih kecil daripada Ksp Ag2CrO4, sehingga konsentrasi ion klorida
lebih tinggi.
Pada percobaan ini dilakukan penetapan kadar serbuk Papaverin HCl dengan
menggunakan metode titrimetri berdasarkan reaksi pengendapan. Larutan baku
yang digunakan adalah larutan AgNO3 0,1 N dan indikator yang digunakan adalah
indikator larutan K2CrO4 5 %. Titik akhir titrasi ditandai dengan terbentuknya
endapan merah dari Ag2CrO4.

Pertama-tama di timbang 250 mg papaverin HCL menggunakan neraca


anlitik agar dipeoleh berat yang lebih tepat, kemudian di masukkan ke dalam
Erlenmeyer agar pada saat pengocokkan larutan lebih mudah homogen secara
merata lalu di larutkan dengan 10 ml aquadest dan di tambahkan 1 ml indicator
K2CrO4 5 % d mana indicator ini membantu menentukan titik akhir titrasi
dengan perubahan warna. Lalu larutan di titrasi dengan AgNO3 0,1 N melalui
buret yang bertujuan agar diketahui skalanya dan dapat diatur kecepatan titrasi
hingga terjadi perubahan warna dari kuning menjadi merah coklat. Kemudian di
catat volume akhir titrasi .
Dalam percobaan ini, bahan yang digunakan yaitu papaverin HCl sebagai
sampel karena papaverin HCl termasuk dalam senyawa garam garam klorida.
Digunakan aquadest sebagai pelarut karena papaverin mudah larut dalam air yaitu
larut dalam 40 bagian air. Digunakan indikator K 2CrO4 karena menggunakan
metode Mohr dan lebih mudah membentuk endapan dengan AgNO 3 sehingga
lebih mudah diamati dan dilihat titik akhir titrasinya. AgNO 3 digunakan sebagai
titran dalam titrasi Argentometri.
Mekanisme perubahan warna, pada awal penambahan, ion Cl- dan HCl
yang tergantung pada larutan bereaksi dengan ion Ag + yang ditambah sehingga
membentuk endapan AgCl yang berwarna putih. Sedangkan, larutan pada awalnya
berwarna kuning karena penambahan indikator K2CrO4. Saat terjadi titik
ekuivalen yaitu saat ion Cl- tepat bereaksi dengan ion Ag+ yang bereaksi ion Clhabis dalam sistem. Dengan penambahan AgNO3 yang sedikit berlebih

menyebabkan ion Ag+ bereaksi dengan ion CrO42- dalam indikator kalium bromat
membentuk endapan putih dengan warna merah bata.
Mekanisme reaksi, pada saat papaverin ditambahkan dengan larutan baku
AgNO3, ion H+ dari papaverin HCl dan ion NO 3- dari larutan baku AgNO3 saling
bereaksi membentuk HNO3 sedangkan ion Ag+ dari larutan baku AgNO3 dan ion
Cl- dari papaverin HCl bereaksi membentuk endapan putih AgCl.
Pada percobaan ini didapatkan hasil kadar Papaverin HCL 215,68 %. Hal
ini tidak asesuai dengan literatur , sebagaimana yang tertulis dalam literatur (FI
III) yaitu kadar papaverin HCL tidak kurang dari 99 %.
Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan kesalahan pada percobaan
ini adalah :
1.

Larutan baku yang digunakan telah mengalami reaksi redoks menjadi Ag,
karena penyimpanan yang sangat lama, sehingga konsentrasi larutan bakunya
menjadi lebih kecil.

2.

Penambahan

indikatornya

tidak

secara

seksama,

sehingga

akan

mempengaruhi hasil titrasi .


3.

Alat-alat (buret) yang digunakan bocor pada katup pembukanya, sehingga


larutannya dapat keluar.
Dalam dunia farmasi , metode ini dapat digunakan dalam penetapan kadar

suatu sediian obat . contohnya ammonium klorida , fenderol hidrobromida ,


kalium klorida , klorbutanol , meftalen , dan sediaan tablet lainnya.

BAB V
PENUTUP

A.

Kesimpulan
Dari percobaan yang di lakukan di peroleh hasil kadar % Papaverin
HCL 215,68 %. Hal ini tidak sesuai dengan literatur , sebagaimana yang
tertulis dalam literatur (FI III) yaitu kadar Papaverin Asam klorida tidak
kurang dari 99 %.

B . Saran
1. Laboratorium
Bahan praktikum sebaiknya dilengkapi.
2. Asisten
Disiplin terhadap waktu dan bertanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Dirjen POM, (1979), Farmakope Indonesia edisi III. Depatemen Kesehatan RI :


Jakarta
Haeriah, S.si. (2011)Penuntun Praktikum Kimia Analisis. UIN Makassar
Alexeyev, dkk, (1998). Analisis Farmasi. UGM Press : Yoyakarta.
Harjadi, W., (1986). Ilmu Kimia Analitik Dasar, Gramedia : Jakarta.
Suetila,Dra.(1999). Analisis Kimia Farmasi. Makassar : UNHAS.
Khopkar,S.M.(2003). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI press.

SKEMA KERJA
250 mg Papaverin HCL

+ 10 ml Aquadest

+ 1 ml K2CrO4 5 %

Titrasi dengan AgNO3

Catat volume akhir titrasi

Anda mungkin juga menyukai