Tugas Tutorial: Blok 16
Tugas Tutorial: Blok 16
BLOK 16
Nama:Khairinnisa
NIM:04011381320012
Kelas B tahun 2013
I. Analisis Masalah
a. Bagaimana patofisiologi sukar bernafas
Infeksi mikroorganisme:
Mikroorganisme masuk ke saluran pernapasan bawah setelah menembus pertahanan
imunitas pada saluran nafas atas, memicu respon imun dan menyebabkan peradangan.
Infeksi atau peradangan akan semakin serius jika bakteri yang masuk banyak atau
imunitas tubuh melemah.
Respon imun pada paru:
a. Pada paru non imun, pembersihan mikroorganisme bergantung pada (1) kemampuan
selimut mukosa menangkap dan mengeluarkan mikroba melalui elevator mukosilia,
(2) fagositosis oleh makrofag alveolus yang dapat mematikan dan menguraikan
mikroorganisme serta mengeluarkannya dari rongga udara dengan bermigrasi ke
elevator mukosilia, atau (3) fagositosis dan pembasmian oleh neutrosil yang direkrut
oleh faktor-faktor makrofag. 4, Komplemen serum dapat masuk ke alveolus dan
diaktifkan oleh jalur alternatif untuk menghasilkan opsosnin C3b yang meningkatkan
fagositosis. 5, Organisme, termasuk yang dimakan oleh fagosit, dapat mencapai
kelenjar getah bening drainase untuk memicu respons imun.
b. Mekanisme tambahan yang bekerja pada paru imun. 1, IgA yang disekresikan dapat
menghambat perlekatan mikroorganisme ke epitel di daluran napas atas. 2, Di saluran
napas bawah, antibodi serum (IgM, IgG) terdapat dalam cairan yang melapisi
alveolus. Keduanya mengaktifkan komplemen secara lebih efisien melalui jalur
klasik, menghasilkan C3b. Selain itu, IgG bersifat opsonik. 3, Akumulasi sel T imun
sangat penting untuk mengendalikan infeksi oleh virus dan mikroorganisme intrasel
lainnya.
Pelepasan sitokin-sitokin inflamasi akibat aktivasi makrofag akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskular dan aktivasi dan kemotaksis netrofil. Sitokin-sitokin
ini akan menimbulkan reaksi inflamasi di alveolus. Hal ini akan menyebabkan masuknya
eksudat serosa dari pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor. Sel-sel PMN , sel darah
merah, fibrin dan eksudat ini akan mengisi alveolus dan mengalami konsolidasi. Terjadi
hipersekresi mucus. Pada bagian paru yang mengalami konsolidasi akan menyebabkan
pirau darah sehingga proses difusi gas terganggu dan paru-paru sulit mengembang. Hal
inilah yang menyebabkan hipoksemia dan mekanisme kompensasi berupa peningkatan
otot-otot bantu pernapasan. Sehingga timbullah sukar bernapas atau sesak napas.
Peradangan yang terjadi pada parenkim paru melalui cara penyebaran langsung melalui
saluran pernapasan atau hematogen sampai ke bronkus. Terjadi respon inflamasi pada
Suhu 38,6 C
Normal
Sub Febris
Febris
Hiperpireksis
Hipotermi
Hipertermi
: 36,6oC - 37,2 oC
: 37 oC - 38 oC
: 38 oC - 40 oC
: 40 oC - 42 oC
: Kurang dari 36 oC
: Lebih dari 40 oC
Usia Anak
Lahir
3,25
50
3 sampai 12 Bulan
75
1 sampai 6 Tahun
(Usia (Tahun) x 2 )+ 8
7 sampai 12 tahun
(Usia (Tahun) x 7 5) : 2
Sumber: Kliegman, Robert M., etc. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics 18th
Edition. United States of America: Elsevier
Thorax : paru :
Inspeksi : simetris, retraksi intercostal, subcostal
Palpasi : stem fremitus kiri = kanan
Perkusi : redup pada basal kedua lapangan paru
Auskultasi : peningkatan suara nafas vesiculer, ronki basah halus nyaring, tidak
terdengar wheezing
a.
b.
c.
d.
3.
Batas diafragma : iga VIII X belakang. Bedakan antara suara sonor dan
redup.
Auskultasi
Tentukan suara dasar dan suara tambahan :
- Suara dasar
: vesikuler, bronkhial, amforik, cog-wheel breath sound,
-
Bronkopneumonia
Bronkitis Akut
Bronkiolitis
Akut
Takipneu
Takikardi
Demam
Demam Tinggi
Demam ringan
Demam
ringan/normal
Nafas cuping
Mengi
Mengi/normal
Retraksi intercostal
+/jarang
Redup
Hipersonor
Hipersonor
Vesikuler
Normal/
Ronki Basah
Wheezing
terjadi kontak antara bakteri dengan dinding alveoli maka akan ditangkap oleh
lapisan cairan epitelial yang mengandung opsonin dan tergantung pada respon
imunologis penjamu akan terbentuk antibodi imunoglobulin G spesifik. Dari proses
ini akan terjadi fagositosis oleh makrofag alveolar (sel alveolar tipe II), sebagian kecil
kuman akan dilisis melalui perantaraan komplemen. Mekanisme seperti ini terutama
penting pada infeksi oleh karena bakteri yang tidak berkapsul seperti Streptococcus
pneumoniae. Ketika mekanisme ini tidak dapat merusak bakteri dalam alveolar, leukosit
PMN dengan aktifitas fagositosisnya akan direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga
akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kongesti vaskular
dan edema yang luas, dan hal ini merupakan karakteristik pneumonia oleh karena
pneumokokus. Kuman akan dilapisi oleh cairan edematus yang berasal dari alveolus ke
alveolus melalui pori-pori Kohn (the pores of Kohn). Area edematus ini akan membesar
secara sentrifugal dan akan membentuk area sentral yang terdiri dari eritrosit, eksudat
purulen (fibrin, sel-sel lekosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara histopatologi dinamakan
red hepatization (hepatisasi merah).Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang
ditandai dengan fagositosis aktif oleh lekosit PMN. Pelepasan komponen dinding
bakteri
dan
pneumolisin
inflamasi dan efek sitotoksik terhadap semua sel-sel paru. Proses ini akan mengakibatkan
kaburnya struktur seluler paru.Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi
antikapsular timbul dan lekosit PMN meneruskan aktifitas fagositosisnya; sel-sel
monosit akan membersihkan debris. Sepanjang struktur retikular paru masih intak
(tidak
terjadi
perbaikan epitel alveolar terjadi setelah terapi berhasil. Pembentukan jaringan parut pada
paru minimal.
Pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, kerusakan jaringan
disebabkan oleh berbagai enzim dan toksin yang dihasilkan oleh kuman. Perlekatan
Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui teichoic acid yang terdapat di dinding
sel
kolagen dan protein yang lain. Strain yang berbeda dari Staphylococcus aureus akan
menghasilkan faktor-faktor virulensi yang berbeda pula. dimana faktor virulensi tersebut
mempunyai satu atau lebih kemampuan dalam melindungi kuman dari pertahanan tubuh
penjamu, melokalisir infeksi, menyebabkan kerusakan jaringan yang lokal dan bertindak
sebagai toksin yang mempengaruhi jaringan yang tidak terinfeksi. Beberapa strain
Staphylococcus aureus menghasilkan kapsul polisakarida atau slime layer yang akan
berinteraksi dengan opsonofagositosis. Penyakit yang serius sering disebabkan
Staphylococcus aureus yang memproduksi koagulase. Produksi coagulase atau clumping
factor akan menyebabkan plasma menggumpal melalui interaksi dengan fibrinogen
dimana hal ini berperan penting dalam melokalisasi infeksi (contoh: pembentukan abses,
pneumatosel). Beberapa strain Staphylococcus aureus akan membentuk beberapa enzim
seperti catalase (meng-nonaktifkan hidrogen peroksida, meningkatkan ketahanan
intraseluler kuman) penicillinase atau lactamase (mengnonaktifkan penisilin pada
tingkat molekular dengan membuka cincin beta laktam molekul penisilin) dan lipase.
Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat kelainan
langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat gangguan volume ini
tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume tidal dan
frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda
inspiratory effort. Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi
tidak tercapai (V/Q < 4/5) yang disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha
meningkatkannya sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain
itu dengan berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka
akan mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas
yang
berakibat terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas.
h. Bagaimana prognosis pada kasus ?
Dubia et bonam. Prognosis pneumonia secara umum baik, tergantung dari kuman
penyebab dan penggunaan antibiotika yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik
serta intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat
i. Apa SKDI pada kasus ?
3B (Mampu membuat diagnosis klinik berdasar pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan. Mampu berikan terapi pendahuluan dan merujuk pada spesialis yang relevan.
KASUS GAWAT DARURAT).
II. Histologi Saluran Napas
Sistem pernapasan merupakan sistem yang berfungsi untuk mengabsorbsi oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dalam tubuh yang bertujuan untuk mempertahankan
homeostasis. Fungsi ini disebut sebagai respirasi. Sistem pernapasan dimulai dari rongga
hidung/mulut hingga ke alveolus, di mana pada alveolus terjadi pertukaran oksigen dan
karbondioksida dengan pembuluh darah.
Saluran pernapasan, secara umum dibagi menjadi pars konduksi dan pars respirasi
Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel respirasi, yaitu epitel bertingkat silindris
bersilia dengan sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat ada 5
macam sel epitel respirasi yaitu sel silindris bersilia, sel goblet mukosa, sel sikat (brush cells),
sel basal, dan sel granul kecil.
epitel respiratorik, berupa epitel bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet
A. Rongga hidung
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar nares
terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan
epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi
dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada
masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi,
sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi
menghidu/membaui.
Epitel
olfaktorius
tersebut
terdiri
atas
sel
penyokong/sel
sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan
epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang
bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar
Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang
membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui
zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat
setiap udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum
masuk lebih jauh.
Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum
mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.
D. Laring
Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina
propria laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai katup
yang mencegah masuknya makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi.
Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan memiliki permukaan
lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng
berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat
bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.
Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke dalam lumen
laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika vestibularis) yang
terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk pita
suara sejati yang terdiri dari epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan
muskulus vokalis (otot rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara
dengan frekuensi yang berbeda-beda.
epitel epiglotis, pada pars lingual berupa epitel gepeng berlapis dan para pars laringeal berupa
epitel respiratori
E. Trakea
Permukaan trakea dilapisi oleh epitel respirasi. Terdapat kelenjar serosa pada lamina
propria dan tulang rawan hialin berbentuk C (tapal kuda), yang mana ujung bebasnya
berada di bagian posterior trakea. Cairan mukosa yang dihasilkan oleh sel goblet dan sel
kelenjar membentuk lapisan yang memungkinkan pergerakan silia untuk mendorong
partikel asing. Sedangkan tulang rawan hialin berfungsi untuk menjaga lumen trakea tetap
terbuka. Pada ujung terbuka (ujung bebas) tulang rawan hialin yang berbentuk tapal kuda
tersebut terdapat ligamentum fibroelastis dan berkas otot polos yang memungkinkan
pengaturan lumen dan mencegah distensi berlebihan.
F. Bronkus
Mukosa bronkus secara struktural mirip dengan mukosa trakea, dengan lamina propria
yang mengandung kelenjar serosa , serat elastin, limfosit dan sel otot polos. Tulang
rawan pada bronkus lebih tidak teratur dibandingkan pada trakea; pada bagian bronkus
yang lebih besar, cincin tulang rawan mengelilingi seluruh lumen, dan sejalan dengan
mengecilnya garis tengah bronkus, cincin tulang rawan digantikan oleh pulau-pulau
tulang rawan hialin.
epitel bronkus
G. Bronkiolus
Bronkiolus tidak memiliki tulang rawan dan kelenjar pada mukosanya. Lamina
propria mengandung otot polos dan serat elastin. Pada segmen awal hanya terdapat
sebaran sel goblet dalam epitel. Pada bronkiolus yang lebih besar, epitelnya adalah epitel
bertingkat silindris bersilia, yang makin memendek dan makin sederhana sampai
menjadi epitel selapis silindris bersilia atau selapis kuboid pada bronkiolus terminalis
yang lebih kecil. Terdapat sel Clara pada epitel bronkiolus terminalis, yaitu sel tidak
bersilia yang memiliki granul sekretori dan mensekresikan protein yang bersifat protektif.
Terdapat juga badan neuroepitel yang kemungkinan berfungsi sebagai kemoreseptor.
epitel bronkiolus terminalis, tidak ditemukan adanya tulang rawan dan kelenjar campur pada lamina
propria
H. Bronkiolus respiratorius
Mukosa bronkiolus respiratorius secara struktural identik dengan mukosa bronkiolus
terminalis, kecuali dindingnya yang diselingi dengan banyak alveolus. Bagian
bronkiolus respiratorius dilapisi oleh epitel kuboid bersilia dan sel Clara, tetapi pada tepi
muara alveolus, epitel bronkiolus menyatu dengan sel alveolus tipe 1. Semakin ke distal
alveolusnya semakin bertambah banyak dan silia semakin jarang/tidak dijumpai.
Terdapat otot polos dan jaringan ikat elastis di bawah epitel bronkiolus respiratorius.
I. Duktus alveolaris
Semakin ke distal dari bronkiolus respiratorius maka semakin banyak terdapat muara
alveolus, hingga seluruhnya berupa muara alveolus yang disebut sebagai duktus alveolaris.
Terdapat anyaman sel otot polos pada lamina proprianya, yang semakin sedikit pada
segmen distal duktus alveolaris dan digantikan oleh serat elastin dan kolagen. Duktus
alveolaris bermuara ke atrium yang berhubungan dengan sakus alveolaris. Adanya serat
elastin dan retikulin yang mengelilingi muara atrium, sakus alveolaris dan alveoli
memungkinkan alveolus mengembang sewaktu inspirasi, berkontraksi secara pasif pada
waktu ekspirasi secara normal, mencegah terjadinya pengembangan secara berlebihan dan
pengrusakan pada kapiler-kapiler halus dan septa alveolar yang tipis.
J. Alveolus
Alveolus merupakan struktur berongga tempat pertukaran gas oksigen dan karbondioksida
antara udara dan darah. Septum interalveolar memisahkan dua alveolus yang berdekatan,
septum tersebut terdiri atas 2 lapis epitel gepeng tipis dengan kapiler, fibroblas, serat
elastin, retikulin, matriks dan sel jaringan ikat.
Terdapat sel alveolus tipe 1 yang melapisi 97% permukaan alveolus, fungsinya untuk
membentuk sawar dengan ketebalan yang dapat dilalui gas dengan mudah. Sitoplasmanya
mengandung banyak vesikel pinositotik yang berperan dalam penggantian surfaktan (yang
dihasilkan oleh sel alveolus tipe 2) dan pembuangan partikel kontaminan kecil. Antara sel
alveolus tipe 1 dihubungkan oleh desmosom dan taut kedap yang mencegah perembesan
cairan dari jaringan ke ruang udara.
Sel alveolus tipe 2 tersebar di antara sel alveolus tipe 1, keduanya saling melekat melalui
taut kedap dan desmosom. Sel tipe 2 tersebut berada di atas membran basal, berbentuk
kuboid dan dapat bermitosis untuk mengganti dirinya sendiri dan sel tipe 1. Sel tipe 2 ini
memiliki ciri mengandung badan lamela yang berfungsi menghasilkan surfaktan paru yang
menurunkan tegangan alveolus paru.
Septum interalveolar mengandung pori-pori yang menghubungkan alveoli yang
bersebelahan, fungsinya untuk menyeimbangkan tekanan udara dalam alveoli dan
memudahkan sirkulasi kolateral udara bila sebuah bronkiolus tersumbat.
alveolus
Sawar darah udara dibentuk dari lapisan permukaan dan sitoplasma sel alveolus,
lamina basalis, dan sitoplasma sel endothel.
sawar udara-kapiler
Daftar Pustaka:
Junqueira LC, Carneiro J. Histologi Dasar Teks & Atlas. 10th ed. Jakarta: EGC; 2007. p.
335-54.
Kuehnel. Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy. 4th ed Stuttgart:
Thieme; 2003.
Kliegman, Robert M., etc. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition. United
States of America: Elsevier
Retno Asih S, Landia S, Makmuri MS. Pneumonia. Divisi Respirologi Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya