Anda di halaman 1dari 4

Nama : Aji Permana

NIM : G2410002

Praktikum Ke- : 10
Hari/Tanggal : Rabu, 26 November 2014

MENGHITUNG INDEKS ENSO DAN KORELASINYA DENGAN KONDISI


CURAH HUJAN DI INDONESIA
Pendahuluan
El Nino-Southern Oscillation (ENSO) merupakan salah satu bentuk
penyimpangan iklim di Samudera Pasifik yang ditandai dengan kenaikan suhu permukaan
laut (SPL) di daerah katulistiwa bagian Tengah dan Timur (Kailaku 2009). Fenomena
tersebut memainkan peranan penting terhadap variasi iklim tahunan. Pengaruh ENSO
sangat terasa di beberapa wilayah Indonesia yang ditandai dengan jumlah curah hujan
lebih kecil dalam tahun ENSO dibandingkan dengan pra dan pasca ENSO, sehingga dapat
menyebabkan musim kemarau lebih panjang. Selain dapat mempengaruhi tingginya curah
hujan, kejadian El-Nino juga berpengaruh terhadap masuknya musim kemarau. El-Nino
biasanya diikuti dengan penurunan curah hujan dan peningkatan suhu udara, sedangkan
kejadian La-Nina merangsang kenaikan curah hujan di atas curah hujan normal (Irawan
2006). Pernyataan tersebut diperkuat dengan pendapat menurut Fox (2000) bahwa El
Nino dan La Nina merupakan anomali iklim global.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara Suhu Permukaan
Laut (SPL) atau yang sering dikenal dengan Sea Surface Level (SST) dengan curah hujan.
Menurut Boer, et al (1999) anomali suhu permukaan laut di wilayah Nino 3.4 (170-120
BB, 5LU-5LS) memiliki hubungan yang lebih kuat terhadap anomali curah hujan
bulanan dibandingkan dengan anomali suhu permukaan laut di zona lain. Pada musim
kemarau, anomali SST yang mencapai +1C sudah menyebabkan curah hujan turun
sampai di bawah normal. Aldrian dan Susanto (2003) juga mengungkapkan hubungan
curah hujan dan SPL dalam bentuk korelasi pada setiap musimnya.

Hasil dan pembahasa

Gambar 1 Time series nino 1+2 (a). Nino 3 (b). Nino 3.4 (c). nino 4 (d)
Pada gambar diatas (gambar 1) menunjukan grafik time series bulan juli dari
tahun 1982 hingga tahun 2002 . Suhu tertinggi yaitu pada pertengahan tahun 1983 dengan
suhu mencapai 25,785C dan terendah mencapai 20,849C (a). Pada grafik ini,
menunjukan time series pada nino 1+2. Pola yang terbentuk memiliki dua buah puncak
yaitu pada pertengahan tahun 1983 dan pada pertengahan tahun 1997 dan paling rendah
1

pada pertengahan tahun 1985, pertengahan tahun 1988 dan pertengahan tahun 1996. Pada
nino 3 (b) memiliki pola yang berbeda dengan nino sebelumnya (a). Pada nino 3 hanya
memiliki satu puncak yaitu pada pertengahan tahun 1997 dengan suhu 27,995C
sedangkan suhu terendah mencapai 23,815C pada pertengahan tahun 1988. Untuk nino
3.4 (c) memiliki suhu tertinggi dan terendah sama dengan nino 3 (b) yaitu tertinggi pada
pertengahan bulan 1997 dan terendah pada pertengahan tahun 1988. Terakhir yaitu nino
4, memiliki pola yang berfluktuatif dengan suhu maksimum 27,667C dan minimum
26,687C.
Pada musim kemarau, anomali SST yang mencapai +1 C sudah menyebabkan
curah hujan turun sampai di bawah normal. Aldrian dan Susanto (2003). Dari penelitian
Swarinoto (2004) menunjukkan bahwa suhu permukaan laut tidak secara langsung dalam
waktu bersamaan mempengaruhi curah hujan.

Gambar 2 Korelasi SST dengan Nino 1+2


Korelasi antara SST dengan curah hujan di wilayah Barat Pulau Jawa
berdasarkan gambar 1 bernilai positif, hal ini menunjukan bahwa di bagian Barat Pulau
Jawa mengalami musim hujan. Selain itu, yang memiliki korelasi positif adalah pulau
Sumatera bagian selatan dan di wilayah Lampung, untuk pulau kalimantan yang memiliki
korelasi positif aitu kalimantan Barat dan untuk Sulawesi yaitu Sulawesi bagian selatan
dan tengah dan termasuk sebagian wilayah Aceh dan Papua. Sedangkan Jawa Tengah dan
Jawa Barat memiliki korelasi negatif yang menunjukan terjadi musim kemarau dan di
beberapa bagian di pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Berdasarkan gambar 2 bahwa
kondisi di Indonesia tidak dipengaruhi oleh nino 1+2 karena penyebaran yang tidak
beraturan dan tidak merata.

Gambar 3 Korelasi SST dengan Nino 3


Kolerasi pada nino 3 diantara -0,6 sampai 0,1 (gambar 3). Hampir seluruh pulau
di Indonesia memiliki korelasi yang negatif. Hal ini menunjukan adanya korelasi yang
2

signifikan antara SST di Pasifik dan curah hujan di Indonesia. Pada gambar yang
berwarna biru menunjukan bahwa pada wilayha tersebut mengalami musim kemarau.
Korelasi yang merata di pulau-pulau di Indonesia menunjukan adanya keterkaitan antara
SST dengan curah hujan di Indonesia karena penyebarannya hampir merata. Kecuali di
sebagian wilayah Sumatera dan wilayah Barat Pulau Jawa yang memiliki korelasi positif.
Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor lokal di wilayah tersebut.

Gambar 4 Korelasi SST dengan Nino 3.4


Korelasi yang hampir merata karena hampir seluruh pulau di indonesia
berkolerasi negatig. Rentang korelasi antara -0,8 hingga 0.1 dan didominasi oleh nilai
korelasi antara -0,6 sampai -0,4. Pada daerah yang berwarna biru menunjukan korelasi
yang negatif dan pada daerah tersebut tejadi musim kemarau. Dengan kata lain bahwa ada
korelasi yang sangat kuat antara curah hujan dengan nino 3.4 untuk wilayah Indonesia.

Gambar 5 Korelasi SST dengan Nino 4


Pada nino 4 secara umum memiliki korelasi yang sangat kecil karena nilai
korelasi antara -0,2 hingga 0,2. Korelasi ini hampir merata untuk semua wilayah di
Indonesia. pada daerah yang berkolerasi negatif seperti kalimantan, jawa barat, jawa
tengah, sebagian wilayah sumatera menunjukan pada daerah tersebut mengalami musim
kemarau. Sedangkan untuk wilayah yag berkolerasi positif seperti bali, NTT,NTB, Aceh,
sebagian pulau Papua mengalami musim hujan. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh
nino 4 terhadap curah hujan di Indonesia sangatlah rendah dan tidak sekuat pengaruh nino
3 dan nino 3.4.
Secara umum untuk gambar yang menunjukan korelasi antara CH di Inonesia
dengan nino bahwa nino yang sangat berpengaruhd dari yang terkuat hingga yang
terendah di Wilayah Indonesia adalah nino 3.4, nino 3 dan nino 4. Berdasarkan hasil
penelitian Hendon (2003) diketahui bahwa variabilitas SPL Nino 3.4 mempengaruhi 50%
variasi curah hujan seluruh Indonesia sedangkan variabilitas SPL di Laut India 10-5%.

Pendapat ini diperkuat dengan hasil penelitian Prabowo & Nicholls dalam Faqih (2004)
yang menyatakan bahwa iklim Indonesia dan Australia sangat berkaitan erat dengan
wilayah Nino 3 dan 4.
Sedangkan untuk nino 1+2 tidak berpengaruh karena sebaran nilai korelasi tidak
beraturan. Pada nino 3.4, nino 3 dan nino 4 meskipun hampir merata korelasi negatif
naumn ada beberapa daerah yang memiliki korelasi positif. Hal ini dikarenakan olef
faktor lokal di wilayah tersebut seperti adanya akumulasi awan dari wilayah lain yang
terbawa oleh angin dan pada saat data di ambil awan tersebut berada pada adaerah yang
memiliki korelasi positif (gambar 3;gambar 4;gambar5).
Kesimpulan
Grafik time series menunjukan adanya anomali yang sama untuk nino 1+2, nino
3, nino 3.4 dan nino 4 dengan nilai puncak pada pertengahan tahun 1988 dengan besar
sekitar 27C. . Sedangkan anomali minimum pada pertengahan tahun 1996. Anomali
yang terjadi pada umumnya terjadi pada pertengahan tahun. Korelasi yang sangat kuat
yaitu pada nino 3.4, nino 3 dan nino 4 karena sebaran yang merata di wilayah indonesia
yang di tandai dengan warna biru yang seragam.warna tersebut menunjukan di Indonesia
mengalami musim kemarau akibat adanya fenomena ENSO.

DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E., dan R. D. Susanto, 2003, Identification Of Three Dominant Rainfall Regions
Within Indonesia and Their Relationship To Sea Surface Temperature,
International Journal Of Climatology, Int. J. Climatol, 23: 1435- 1452. Wiley
InterScience
Boer, R. Notodipuro, K.A. and Las, I., 1999, Prediction of daily rainfall characteristic
from monthly climate indicate, Paper pesented at the second international
conference on science and technology for the Assesment of Global Climate
Change and Its impact on Indonesian Maritime Continent, 29 November-1
December 1999.
Faqih, A. 2003. Analisis Pola Spasial dan Temporal Anomali Suhu Permukaan Laut di
Samudera Pasifik, Hindia dan Atlantik Serta Kaitannya Dengan Anomali Curah
Hujan Bulanan. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Fox. J.J. 2000. The impact of the 1997-1998 El Nino on Indonesia. In: R.H Grove and
J.Chappell (ed). El Nino-History and Crisis. Studies from the Aisi-Pasific region.
The White House Press. Cambridge, UK.
Hendon, H.H. 2003. Indonesian Rainfall Variability : Impacts of ENSO and Local AirSea Interaction. American Meteorology Society.
Irawan, Bambang. 2006. Fenomena Anomali Iklim El Nino dan La Nina: Kecenderungan
Jangka Panjang dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Pangan. Forum Penelitian
Agro Ekonomi. Vol. 24, No. 1:28-45
Kailaku, Tigia Eloka. 2009. Pengaruh Enso (El Nino-Southern Oscillation) dan IOD
(Indian Ocean Dipole) Terhadap Dinamika Waktu Tanam Padi di Wilayah Tipe
Hujan Equatorial Dan Monsunal (Studi Kasus Kabupaten Pesisir Selatan,
Sumatera Barat dan Kabupaten Karawang, Jawa Barat). Skripsi. Dept. Geofisika
Meteorologi: Institut Pertanian Bogor

Anda mungkin juga menyukai