Anda di halaman 1dari 21

PELVIC INFLAMMATORY DISEASE

Oleh :
Zahrotul Hasanah Harum
201110330311174

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pelvic Inflammatory Disease (PID) adalah istilah klinis umum untuk infeksi
traktus genital atas. Terdapat sekitar 1 juta kasus PID di Amerika Serikat setiap
tahunnya. Prevalensi ini meningkat pada negara berkembang dengan masyarakat
sosioekonomik rendah.
Lebih dari seperempat pasien PID membutuhkan rawatan di rumah sakit.
Resiko meningkat pada daerah dengan prevalensi penyakit menular seksual tinggi
akibat dari aktivitas seksual bebas dan berganti pasangan. Negara berkembang seperti
Indonesia memiliki segala resiko yang menyebabkan rentannya terjadi PID pada
wanita Indonesia.
Untuk itu, diperlukan pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat untuk
mengurangi prevalensi PID. Karenanya, dibutuhkan pengetahuan tentang PID agar
dapat dicegah, didiagnosa dini, dan ditatalaksana dengan cepat dan segera.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk membahas lebih
lanjut dan menambah wawasan pembaca mengenai PID dalam populasi secara umum,
deteksi dini, manifestasi klinis dan cara penatalaksanaannya secara tepat.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 PELVIC INFLAMMATORY DISEASE


PID suatu penyakit infeksi serius yang biasanya menyerang wanita
usia 16-25tahun. Dalam satu tahun kurang lebih 1.000.000 pasien diobati
karena menderita PRP,250.000-300.000 menjalani rawat inap di rumah
sakit, dan kira-kira 150.000 menjalani operasi akibat komplikasi dari PRP.
Dalam

2-3

dekade

terakhir, insiden

penyakit

ini

meningkat.

P e n i n g k a t a n i n i disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kehidupan sosial


yang bebas, meningkatnyainsiden

penyakit

yang

disebabkan

oleh

C.

trachomatis, N. Gonorrhoeae dan ditularkan melalui hubungan seksual.15%


kasus

PID

muncul

setelah

dilakukannya

biopsi

endometrium,

curettage,hysteroscopy, dan setelah pemasangan IUD. 85% muncul melalui


infeksi spontan padawanita usia reproduktif dengan seksual aktif
Untuk itu, diperlukan pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat untuk
mengurangi prevalensi PID. Karenanya, dibutuhkan pengetahuan tentang PID agar
dapat dicegah, didiagnosa dini, dan ditatalaksana dengan cepat dan segera.
2.1.1 Definisi
PID adalah infeksi pada tractus genitalis wanita bagian atas yaitu pada
endometrium, miometrium, tuba falopii, ovarium, parametria, dan peritoneum pelvis,
terutama terjadi pada wanita yang secara seksual aktif, resiko tinggi ditemukan pada
wanita yang memakai IUD. Biasanya peradangan menyerang kedua tuba, infeksi bisa
menyebar kerongga perut dan menyebabkan Peritonitis. PID merupakan sebuah
spektrum infeksi pada traktus genitalia wanita yang termasuk di dalamnya
endometritis, salpingitis, tuba-ovarian abses, dan peritonitis.

2.1.2

Epidemiologi dan Faktor Resiko

Epidemiologi
PID adalah masalah kesehatan yang cukup sering. Sekitar 1 juta kasus PID
terjadi di Amerika Serikat dalam setahun dan total biaya yang dikeluarkan
melebihi 7 juta dollar per tahun. Lebih dari seperempat kasus PID membutuhkan
rawatan inap. PID menyebabkan 0,29 kematian per 1000 wanita usia 15-44 tahun.
Diperkirakan 100000 wanita menjadi infertil diakibatkan oleh PID.

WHO mengalami kesulitan dalam menentukan prevalensi PID akibat dari


beberapa hal termasuk kurangnya pengenalan penyakit oleh pasien, kesulitan akses
untuk merawat pasien, metode subjektif yang digunakan untuk mendiagnosa, dan
kurangnya fasilitas diagnosti pada banyak negara berkembang, dan sistem
kesehatan masyarakat yang sangat luas.
Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya PID, namun yang utama adalah
aktivitas seksual. PID yang timbul setelah periode menstruasi pada wanita dengan
aktivitas seksual berjumlah sekitar 85%, sedangkan 15% disebabkan karena luka
pada mukosa misalnya akbiat AKDR atau kuretase.
Resiko juga meningkat berkaitan dengan jumlah pasangan seksual. Wanita
dengan lebih dari 10 pasangan seksual cenderung memiliki peningkatan resiko
sebesar 3 kali lipat. Usia muda juga merupakan salah satu faktor resiko yang
disebabkan oleh kurangnya kestabilan hubungan seksual dan mungkin oleh
kurangnya imunitas.
Factor resiko lainnya yaitu pemasangan kontrasepsi, etnik, status
postmarital dimana resiko meningkat 3 kali dibanding yang tidak menikah, infeksi
bakterial vaginosis, dan merokok. Peningkatan resiko PID ditemukan pada etnik
berkulit putih dan pada golongan sosioekonomik rendah. PID sering muncul pada
usia 15-19 tahun dan pada wanita yang pertama kali berhubungan seksual.
Pasien yang digolongkan memiliki resiko tinggi untuk PID adalah wanita berusia
dibawah 25 tahun, menstruasi, memiliki pasangan seksual yang multipel, tidak
menggunakan kontrasepsi, dan tinggal di daerah yang tinggi prevalensi penyakit
menular seksual. PID juga sering timbul pada wanita yang pertama kali
berhubungan seksual. Pemakaian AKDR meningkatkan resiko PID 2-3 kali lipat
pada 4 bulan pertama setelah pemakaian, namun kemudian resiko kembali
menurun. Wanita yang tidak berhubungan seksual secara aktif dan telah menjalani
sterilisasi tuba, memiliki resiko yang sangat rendah untuk PID.

2.1.3

Etiologi dan Transmisi


Penyakit radang panggul (PID) biasanya merupakan hasil dari infeksi yang

naik dari endoserviks yang dapat menyebabkan endometritis, salpingitis,


parametritis, oophoritis, abses tubo ovarii dan / atau peritonitis panggul. 90-95%
kasus PID disebabkan oleh bakteri yang juga menyebabkan terjadinya penyakit
menular seksual. N. gonorrhea dan C. Trachomatis telah diduga menjadi agen
etiologi utama PID, baik secara tunggal maupun kombinasi. C. trachomatis adalah

bakteri intraseluler patogen. Secara klinis, infeksi akibat parasit intraseluler obligat
ini bermanifestasi dengan servisitis mukopurulen.
Bakteri fakultatif anaerob dan flora endogen vagina dan perineum juga diduga
menjadi agen etiologi potensial untuk PID. Yang termasuk diantaranya adalah
Gardnerella vaginalis, Streptokokus agalactiae, Peptostreptokokus, Bakteroides,
dan mycoplasma genital, serta ureaplasma genital. Patogen nongenital lain yang
dapat menyebabkan PID yaitu haemophilus influenza dan Haemophilus
parainfluenza.
Actinomices diduga menyebabkan PID yang dipicu oleh penggunaan AKDR.
Pada negara yang kurang berkembang, PID mungkin disebabkan juga oleh
salpingitis granulomatosa yang disebabkan Mycobakterium tuberkulosis dan
Schistosoma.
Type of agent
STD

Organism
Chlamydia trachomatis
Neisseria gonorrhoeae
Mycoplasma homonis

Endogenous, aerobic, faculltative agent

Streptococcus species
Stapilococcus species
Haemophillus species
E. coli

Anaerobic

Bacteroides species
Peptococcus species
Peptostreptococcus species
Actinomyces species

Sejumlah faktor yang terkait dengan PID:

Usia muda

Multi partner

Riwayat infeksi menular seksual (ims)pada pasien atau pasangannya

Abortus

Hysterosalpingography

Fertilisasi in vitro

Penggunaan KB IUD

Aktinimikosis (infeksi bakteri)

Skistosomiasis (infeksi parasit)

Tuberculosis

Penyuntikan zat warna pada pemeriksaan rontgen khusus

2.1.4

Patofisiologi
PID disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme secara asenden ke traktus

genital atas dari vagina dan serviks. Peranan serviks selalu menghalangi
penyebaran bakteri dari vagina ke genitalia interna, tetapi a p a b i l a
serviks

terpapar

dengan

mikroorganisme

yang

ditularkan

m e l a l u i h u b u n g a n seksual seperti N. gonorrhoeae, C. Trachomatis serviks


akan terinfeksi. Mekanisme pasti yang bertanggung jawab atas penyebaran
tersebut tidak diketahui, namun aktivitas seksual mekanis dan pembukaan serviks
selama menstruasi mungkin berpengaruh.
Banyak kasus PID timbul dengan 2 tahap. Tahap pertama melibatkan
akuisisi dari vagina atau infeksi servikal. Penyakit menular seksual yang
menyebabkannya mungkin asimptomatik. Tahap kedua timbul oleh penyebaran
asenden langsung mikroorganisme dari vagina dan serviks. Mukosa serviks
menyediakan barier fungsional melawan penyebaran ke atas, namun efek dari
barier ini mungkin berkurang akibat pengaruh perubahan hormonal yang timbul
selama ovulasi dan mestruasi. Gangguan suasana servikovaginal dapat timbul
akibat terapi antibiotik dan penyakit menular seksual yang dapat mengganggu
keseimbangan flora endogen, menyebabkan organisme nonpatogen bertumbuh
secara berlebihan dan bergerak ke atas. Pembukaan serviks selama menstruasi
dangan aliran menstrual yang retrograd dapat memfasilitasi pergerakan asenden
dari mikrooragnisme. Hubungan seksual juga dapat menyebabkan infeksi asenden
akibat dari kontraksi uterus mekanis yang ritmik. Bakteri dapat terbawa bersama
sperma menuju uterus dan tuba. yang mengakibatkan timbulnya radang yang
hebat dan sikatrik. Genitalia interna akan mengalami infeksi, meradang,
dan merusak tuba falopiiy a n g m e n i m b u l k a n r a s a s a k i t y a n g
h e b a t y a n g n a n t i n y a d a p a t m e n g a k i b a t k a n terbentuknya
jaringan parut, infertilitas, dan kehamilan ektopik, ini terjadi pada

radang

ya n g

akut.

Pada

pasien

yang

tidak

diobati

atau

p e n g o b a t a n y a n g t i d a k a d e k u a t a k a n menjadi infeksi kronis.


Faktor resiko meningkat pada wanita dengan pasangan seksual multipel,
punya riwayat penyakit menular seksual sebelumnya, pernah PID, riwayat
pelecehan seksual, berhubungan seksual usia muda, dan mengalami tindakan
pembedahan. Usia muda mengalami peningkatan resiko akibat dari peningkatan
permeabilitas mucosal serviks, zona servical ektopi yang lebih besar, proteksi
antibody chlamidya yang masih rendah, dan peningkatan perilaku beresiko.
Prosedur pembedahan dapat menghancurkan barier servikal, sehingga menjadi
predisposisi terjadi infeksi.
AKDR telah diduga merupakan predisposisi terjadinya PID dengan
memfasilitasi transmisi mikroorganisme ke traktus genitalia atas. Kontrasepsi oral
justru mengurangi resiko PID yang simptomatik, mungkin dengan meningkatkan
viskositas mukosa oral, menurunkan aliran menstrual antegrade dan retrograde,
dan memodifikasi respon imun local.
Pada traktus bagian atas, jumlah mikroba dan factor host memiliki peranan
terhadap derajat inflamasi dan parut yang dihasilkan. Infeksi uterus biasanya
terbatas pada endometrium, namun dapat lebih invasive pada uterus yang gravid
atau postpartum. Infeksi tuba awalnya melibatkan mukosa, tapi inflamasi
transmural yang dimediasi komplemen yang bersifat akut dapat timbul cepat dan
intensitas terjadinya infeksi lanjutan pun meningkat. Inflamasi dapat meluas ke
struktur parametrial, termasuk usus. Infeksi dapat pula meluas oleh tumpahnya
materi purulen dari tuba fallopi atau via penyebarana limfatik dalam pelvis
menyebabkan peritonitis akut atau perihepatitis akut.

Gambar 1. Micro-organisms originating in the endocervix ascend


into the endometrium, fallopian tubes, and peritoneum, causing
pelvic inflammatory disease (endometritis,salpingitis,peritonitis).

2.1.5

Manifestasi Klinis

Gejala biasanya muncul segera setelah siklus menstruasi. Penderita


merasakan nyeri pada perut bagian bawah yang semakin memburuk dan disertai
oleh mual atau muntah. Biasanya infeksi akan menyumbat tuba falopii. Tuba yang
tersumbat bisa membengkak dan terisi cairan. Sebagai akibatnya bisa terjadi nyeri
menahun, perdarahan menstruasi yang tidak teratur dan kemandulan. Infeksi bisa
menyebar ke struktur di sekitarnya, menyebabkan terbentuknya jaringan parut dan
perlengketan fibrosa yang abnormal diantara organ-organ perut serta menyebabkan
nyeri menahun. Di dalam tuba, ovarium maupun panggul bisa terbentuk abses
(penimbunan nanah). Jika abses pecah dan nanah masuk ke rongga panggul,
gejalanya segera memburuk dan penderita bisa mengalami syok. Lebih jauh lagi
bisa terjadi penyebaran infeksi ke dalam darah sehingga terjadi sepsis.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan pada PID:
Keluar cairan dari vagina dengan warna, konsistensi dan bau yang abnormal
Perdarahan menstruasi yang tidak teratur atau spotting (bercak-bercak

kemerahan di celana dalam


Kram karena menstruasi
Nyeri ketika melakukan hubungan seksual
Perdarahan setelah melakukan hubungan seksual
Nyeri punggung bagian bawah
Kelelahan
Nafsu makan berkurang
Sering berkemih
Nyeri ketika berkemih.

Hasil pemeriksaan fisik :


- nyeri perut bagian bawah
- kelembutan adneksa pada pemeriksaan vagina bimanual
- Nyeri goyang portio
- Demam (> 38 C)

2.1.6

Jenis
Beberapa jenis inflamasi yang termasuk PID dan sering ditemukan adalah :
a.

Salpingitis
Mikroorganisme yang tersering menyebabkan salpingitis adalag N.

Gonorhea dan C. trachomatis. Salpingitis timbul pada remaja yang memiliki


pasangan seksual multiple dan tidak menggunakan kontrasepsi. Gejala
meliputi nyeri perut bawah dan nyeri pelvis yang akut. Nyeri dapat menjalar
ke kaki. Dapat timbul sekresi vagina. Gejala tambahan berupa mual, muntah,
dan nyeri kepala.

Temuan laboratorium yaitu normal leukosit atau leukositosis.


Penatalaksanaan

adalah

dengan

antimicrobial

terapi.

Pasien

harus

dihospitalisasi, tirah baring, dan diberi pengobatan empirik. Prognosis


bergantung pada terapi antimicrobial spectrum luas dan istirahat yang total.
Komplikasi berupa hidrosalping, pyosalping, abses tubaovarian, dan
infertilitas.
b. Abses Tuba Ovarian
Abses ini dapat muncul setelah onset salpingitis, namun lebih sering
akibat infeksi adnexa yang berulang. Pasien dapat asimptomatik atau dalam
keadaan septic shock. Onset ditemukan 2 minggu setelah menstruasi dengan
nyeri pelvis dan abdomen, mual, muntah, demam, dan takikardi. Seluruh
abdomen tegang dan nyeri. Leukosit dapat rendah, normal, atau sangat
meningkat.
Diagnosa diferensial yaitu kista ovarium, neoplasma ovarium,
kehamilan ektopik, dan periapendiceal abses. Penatalaksanaan awal dengan
antibiotik. Jika massa tidak mengecil setelah 2-3 minggu terapi antibiotic,
merupakan indikasi pembedahan.
2.1.7

Diagnosis
Secara tradisional, diagnosa PID didasarkan pada trias tanda dan gejala

yaitu, nyeri pelvik, nyeri pada gerakan serviks, dan nyeri tekan adnexa, dan adanya
demam. Namun, saat ini telah terdapat beberapa variasi gejala dan tanda yang
membuat diagnosis PID lebih sulit. beberapa wanita yang mengidap PID bahkan
tidak bergejala.
Penegakan diagnosa dimulai dengan anemnese, dimana pasien dapat
mengeluhkan gejala yang bervariasi. Gejala muncul pada saat awal siklus
menstruasi atau pada saat akhir menstruasi. Nyeri abdomen bagian bawah
dijumpai pada 90% kasus dengan kriteria nyeri tumpul, bilateral, dan konstan.
Nyeri diperburuk oleh gerakan, olahraga, atau koitus. Nyeri dapat juga dirasakan
seperti tertusuk, terbakar, atau kram. Nyeri biasanya berdurasi <7 hari.
Sekresi cairan vagina terjadi pada 75% kasus. Demam dengan suhu >38, mual,
dan muntah. Gejala tambahan yang lain meliputi perdarahan per vaginam, nyeri
punggung bawah, dan disuria. Nyeri organ pelvis dijumpai pada PID. Adanya
nyeri pada pergerakan serviks menandakan adanya inflamasi peritoneal yang
menyebabkan nyeri saat peritoneum teregang pada pergerakan serviks dan
menyebabkan tarikan pada adnexa.

10

PID dapat didiagnosa dengan riwayat nyeri pelvis, sekresi cairan vagina,
nyeri tekan adnexa, demam, dan peningkatan leukosit.
1.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapati :
-

Nyeri tekan perut bagian bawah

- Pada pemeriksaan pelvis dijumpai : sekresi cairan mukopurulen, nyeri


pada pergerakan serviks, nyeri tekan uteri, nyeri tekan adnexa yang
bilateral

2.

Mungkin ditemukan adanya massa adnexa

Suhu oral lebih dari 38C


Pemeriksaan Laboratorium

- Pengujian untuk gonore dan klamidia pada saluran genital bawah


dianjurkan sejakhasil positif mendukung diagnosis PID. Namun tidak
adanya infeksi dari endoserviks atau uretra tidak mengecualikan PID
- Tidak adanya sel nanah endoserviks atau vagina memiliki nilai
prediktif negatif yang baik (95%) untuk diagnosis PID tapi kurang
sensitif.
- Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai jumlah leukosit lebih dari
100.000 pada 50% kasus. Hitung leukosit mungkin normal, meningkat,
atau menurun, dan tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan PID.
- Peningkatan erythrocyte sediment rate digunakan untuk membantu
diagnose namun tetap tidak spesifik.
- Peningkatan c-reaktif protein, tidak spesifik.
- Pemeriksaan DNA dan kultur gonorrhea dan chlamidya digunakan
untuk mengkonfirmasi PID.
- Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi
saluran kemih.

3.

Pemeriksaan Radiologi

11

- Transvaginal ultrasonografi : pemeriksaan ini memperlihatkan adnexa,


uterus, termasuk ovaroium. Pada pemeriksaan ini PID akut Nampak
dengan adanya ketebalan dinding tuba lebih dari 5 mm, adanya septa
inkomplit dalam tuba, cairan mengisi tuba fallopi, dan tanda cogwheel.
Tuba fallopi normal biasanya tidak terlihat pada USG.
- CT digunakan untuk mendiagnosa banding PID. Penemuan CT pada
PID adalah servisitis, ooforitis, salpingitis, penebalan ligament
uterosakral, dan adanya abses atau kumpulan cairan pelvis. Penemuan
CT scan tidak spesifik pada kasus PID dimana tidak bukati abses.
- MRI jarang mengindikasikan PID. Namun jika digunakan akan terlihat
penebalan, tuba yang berisi cairan dengan atau tanpa cairan pelvis
bebas atau kompleks tubaovarian.
4.

Bedah
- Laparoskopi mungkin sangat mendukung diagnosis PID tapi tidak
dibenarkan

secara

rutin

atas

dasar

morbiditas

terkait,

biaya dan kesulitan dalam mengidentifikasi potensi intratubal ringan


peradangan atau endometritis. Kriteria minimum pada laparoskopi
untuk mendiagnosa PID adalah edema dinding tuba, hyperemia
permukaan tuba, dan adanya eksudat pada permukaan tuba dan
fimbriae. Massa pelvis akibat abses tubaovarian atau kehamilan
ektopik dapat terlihat.
- Biopsi endometrium dapat dilakukan untuk mendiagnosa endometritis
secara histopatologis.
2.1.8

Diagnosis Banding

Ectopic pregnancy

Acute appendicitis

Endometriosis

Irritable bowel syndrome

Complications of an ovarian cyst i.e. Rupture, torsion

Functional pain (pain of unknown physical origin)

12

2.1.9
-

Manajemen
Pasien harus dianjurkan untuk menghindari hubungan seks tanpa kondom
sampai pengobatan selesai (Evidence level IV, C)

Memberikan penjelasan kepada pasien tentang penyakitnya bahwa Kesuburan


biasanya terpelihara dengan baik pada wanita dengan episode pertama PID
yang menerima terapi anti mikroba yang tepat

Risiko menurunnya kesuburan meningkat secara signifikan dengan setiap


episode berikutnya dari PID

PID meningkatkan risiko KET pada kehamilan berikutnya (Evidence level IV,
C).

2.1.10 Terapi
Terapi antibiotik spektrum luas diperlukan untuk membunuh bakteri N.
gonorrhoeae, C. trachomatis dan infeksi anaerob. Hal ini juga bermanfaat
mebunuh bakteri lain (misalnya Mycoplasma genitalium anaerob, streptokokus,
stafilokokus, E. coli , H. nfluenzae. Data terakhir menunjukkan bahwa beberapa
antibiotic

(azitromisin

dan

oxifloxacinTerutama)

yang

efektif

terhadap

Mycoplasma genitalium.
Pilihan regimen obat tergantung oleh :
1.

robust evidence on local antimicrobial sensitivity patterns

2.

robust evidence on the local epidemiology of specific infections in this


setting

3.

cost

4.

patient preference and compliance

5.

severity of disease

Secara umum termasuk :


1.
2.

Istirahat jika PID lebih berat (Evidence level C)


Jika pasien dimungkinkan hamil, maka diharapkan test kehamilan
untuk memastikan kehamilan (Evidence level C)

3.
4.

Analgesik yang adekuat tersedia (Evidence level C)


Pengobatan per IV dianjurkan jika gejala klinis pasien tampak berat
(Evidence level IV, C)

13

Pemberian obat secara parenteral, observasi atau intervensi bedah dapat


dilakukan sesuai kondisi pasien seperti berikut : (Evidence level IV, C)
o diagnostic uncertainty
o clinical failure with oral therapy
o severe symptoms or signs
o presence of a tuboovarian abcess
o inability to tolerate an oral regimen
o pregnancy
Untuk mengetahui respon terapi dapat dipantau melalui perubahan C reactive
protein dan WBC. Pada kasus yang berat dengan kegagalan terapi menjadi
tuboovarian abscess lebih baik di lakukan pemeriksaan penunjang USG
vagina,CT atau MRI.
Seluruh pasien PID lebih baik dilakukan skrining STD dan tes HIV (Evidence
level IV, C) . menunda pengobatan meningkatkan resiko sequele seperti KET,
infertilitas, dan nyeri pelvic. (Evidence level IV, C).
Kasus ringan dan berat harusnya di terapi menggunakan terapi peroral
(Evidence level Ib, A).
Terapi IV dilanjutkan 24 jam setelah perbaikan kondisi pasien, lalu diganti
dengan peroral. (Evidence level IV, C). Durasi yang optimal adalah 10-14 hari
terapi.
CDC memperbaharui panduan untuk diagnosis dan manajemen PID. Panduan
CDC terbaru membagi criteria diagnostic menjadi 3 grup :
1. Grup 1 : minimum kriteria dimana terapi empiris diindikasikan bila
tidak ada etiologi yang dapat dijelaskan. Kriterianya yaitu adanya
nyeri tekan uterin atau adnexa dan nyeri saat pergerakan serviks.
2. Grup 2 : kriteria tambahan mengembangkan spesifisitas diagnostic
termasuk kriteria berikut : suhu oral >38,3C, adanya secret
mukopurulen dari servical atau vaginal, peningkatan erythrocyte
sedimentation rate, peningkatan c-reactif protein, adanya bukti
laboratorium infeksi servikalis oleh N. gonorhea atau C. trachomatis.
3. Grup 3 : kriteria spesifik untuk PID didasarkan pada prosedur yang
tepat

untuk

beberapa

pasien

yaitu

konfirmasi

laparoskopik,

ultrasonografi transvaginal yang memperlihatkan penebalan, tuba yang

14

terisi cairan dengan atau tanpa cairan bebas pada pelvis, atau kompleks
tuba-ovarian,

dan

endometrial

biopsy

yang

memperlihatkan

endometritis.
Kebanyakan pasien diterapi dengan rawatan jalan, namun terdapat indikasi
untuk dilakukan hospitalisasi yaitu :

Diagnosis yang tidak jelas

Abses pelvis pada ultrasonografi

Kehamilan

Gagal merespon dengan perawatan jalan

Ketidakmampuan untuk bertoleransi terhadap regimen oral

Sakit berat atau mual muntah

Imunodefisiensi

Gagal untuk membaik secara klinis setelah 72 jam terapi rawat jalan

Terapi dimulai dengan terapi antibiotik empiris spectrum luas. Jika terdapat AKDR,
harus segera dilepas setelah pemberian antibiotic empiris pertama. Terapi terbagi
menjadi 2 yaitu terapi untuk pasien rawat inap dan rawat jalan.

Terapi yang diberikan pada pasien rawat jalan:


1.

i.m. ceftriaxone 500mg single dose. or [i.m. cefoxitin 2g single dose


with oral probenecid 1g] diikuti oral doxycycline 100mg twice daily
plus metronidazole 400mg twice daily for 14 days (Evidence level
Ia, A)

2.

oral ofloxacin 400mg twice daily plus oral metronidazole 500mg


twice daily for 14 days (ofloxacin may be replaced by levofloxacin
500mg once daily) (Evidence level Ib, A)

Terapi yang diberikan pada pasien rawat inap :


1.

i.v. cefoxitin 2g four times daily (or i.v. cefotetan 2g twice daily or
i.v./i.m. ceftriaxone 1g once daily) plus i.v. doxycycline 100mg
twice daily (oral doxycycline may be used if tolerated) followed by
oral doxycycline 100mg twice daily plus oral metronidazole 400mg
twice daily to complete 14 days (Evidence level Ia, A)

2.

i.v. clindamycin 900mg three times daily plus i.v. gentamicin


(2mg/kg loading dose followed by 1.5mg/kg three times daily [a
single daily dose may be substituted]) followed by either [oral
clindamycin 450mg four times daily
twice daily to complete 14 days]

[oral doxycycline 100mg

plus oral metronidazole 400mg

15

twice daily to complete 14 days] (Evidence level Ia, A).


Terapi Alternatif :
1.

i.v. ofloxacin 400mg twice daily plus i.v. metronidazole 500mg three
times daily for 14 days (Evidence level Ib, B)

2.

i.v. ciprofloxacin 200mg twice daily plus i.v. (or oral) doxycycline
100mg twice daily plus i.v. metronidazole 500mg three times daily
for 14 days (Evidence level Ia, B)

3.

i.m. ceftriaxone 500mg single dose plus oral azithromycin 1g single


dose followed by a second dose of oral azithromycin 1g after one
week (Evidence level Ia, A)

4.

oral moxifloxacin 400mg once daily for 14 days (Evidence level Ia,
A)

Jika regimen diatas tidak ditemukan maka antibiotik yang ada dapat
diberikan selama 14 hari :
Neisseria gonorrhoeae e.g. cephalosporins
Chlamydia trachomatis e.g. tetracyclines
macrolides anaerobic bacteria e.g. metronidazole
Terapi Pembedahan
Pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi
harus dievaluasi ulang bila mungkin dengan laparoskopi dan intervensi
pembedahan. Laparotomi digunakan untuk kegawatdaruratan sepeti rupture
abses, abses yang tidak respon terhadap pengobatan, drainase laparoskopi.
Penanganan dapat pula berupa salpingoooforektomi, histerektomi, dan
bilateral salpingooforektomi. Idealnya, pembedahan dilakukan bila infeksi
dan inflamasi telah membaik.
Metronidazole termaasuk antibiotik yang dianjurkan untuk rawat inap untuk
membunuh bakteri anaerob yang menjadi salah satu penyebab PID. Bakteri anaerob
dimungkinkan menjadi salah satu penyebab PID yang parah tetapi beberapa studi
mengatakan bahwa terapi PID tanpa metronidazole juga memberikan hasil yang baik.
Metronidazole dapat dihentikan penggunaannya juka pasien tidak dapat menolerir
efek sampingnya.
Ceftriaxone dapat digunakan ketika cefoxitin atau cefotetan tidak tersedia karena
memiliki aktifitas spectrum yang sama meskipun tidak terlalu baik dalam membunuh

16

bakteri anaerob.
Quinolones, ternmasuk ofloxacin dan moxifloxacin, harusnya dapat digunakan
berbarengan dengan single dose ceftriaxone 500mg i.m. pada pasien yang memiliki
resiko tinggi terkena infeksi PID gonococcal karena banyak penelitian mengatakan
resistensi quinolon terhadap bakteri Neisseria gonorrhoeae. Moxifloxacin memiliki
bukti kuat dalam mengobati PID tetapi dapat menyebabkan gangguan hati dan
toksisitas jantung.

17

18

2.1.11 Pencegahan
Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
3. Pencegahan dapat dilakukan dengan mecegah terjadi infeksi yang
disebabkan oleh kuman penyebab penyakit menular seksual, terutama
chlamidya. Peningkatan edukasi masyarakat, penapisan rutin, diagnosis dini,
serta penanganan yang tepat terhadap infeksi chlamidya berpengaruh besar
dalam menurunkan angka PID. Edukasi hendaknya focus pada metode
pencegahan penyakit menular seksual, termasuk setia terhadap satub
pasangan, menghindari aktivitas seksual yang tidak aman, dan menggunakan
pengaman secara rutin.
4.

Adanya program penapisan penyakit menular seksual dapat mencegah


terjadinya PID pada wanita. Mengadakan penapisan terhadap pria perlu
dilakukan untuk mencegah penularan kepada wanita.

5.

Pasien yang telah didiagnosa dengan PID atau penyakit menular seksual
harus diterapi hingga tuntas, dan terapi juga dilakukan terhadap pasangannya
untuk mencegah penularan kembali.

6.

Wanita usia remaja harus menghindari aktivitas seksual hingga usia 16


tahun atau lebih.

7.

Kontrasepsi oral dikatakan dapat mengurangi resiko PID.

8.

Semua wanita berusia 25 tahun ke atas harus dilakukan penapisan terhadap


chlamidya tanpa memandang faktor resiko.

2.1.12 Komplikasi
Abses tuba ovarian adalah komplikasi tersering dari PID akut, dan timbul pada
sekitar 15-30% wanita yang dirawat inap di RS. Sekuele yang berkepanjangan,
termasuk nyeri pelvis kronik, kehamilan ektopik, infertilitas, dan kegagalan
implantasi dapat timbul pada 25% pasien. Lebih dari 100000 wanita
diperkirakan akan mengalami infertilitas akibat PID.
Keterlambatan diagnosis dan penatalaksanaan dapat menyebabkan sekuele
seperti infertilitas. Mortalitas langsung muncul pada 0,29 pasien per 100000
kasus pada wanita usia 15-44 tahun. Penyebab kematian yang utama adalah
rupturnya abses tuba-ovarian. Kehamilan ektopik 6 kali lebih sering terjadi pada
wanita dengan PID.

19

2.1.13 Prognosis
Prognosis pada umunya baik jika didiagnosa dan diterapi segera.
Terapi dengan antibiotik memiliki angka kesuksesan sebesar 33-75%.
Terapi pembedahan lebih lanjut dibutuhkan pada 15-20% kasus. Nyeri
pelvis kronik timbul oada 25% pasien dengan riwayat PID. Nyeri ini
disangka berhubungan dengan perubahan siklus menstrual, tapi
dapat juga sebagai akibat perlengketan atau hidrosalping. Gangguan
fertilitas adalah masalah terbesar pada wanita dengan riwayat PID.
Rerata infertilitas meningkat seiring dengan peningkatan frekuensi
infeksi. Resiko kehamilan ektopik meningkat pada wanita dengan
riwayat PID sebagai akibat kerusakan langsung tuba fallopi.

20

BAB 3
PENUTUP
3.1.1 KESIMPULAN

Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan inflamasi pada
traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi, dan struktur penunjang
pelvis. PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit menular
seksual seperti N. Gonorrhea dan C. Trachomatis. PID disebabkan oleh penyebaran
mikroorganisme secara asenden ke traktus genital atas dari vagina dan seviks.
Mekanisme pasti yang bertanggung jawab atas penyebaran tersebut tidak diketahui,
namun aktivitas seksual mekanis dan pembukaan serviks selama menstruasi mungkin
berpengaruh. Secara tradisional, diagnose PID didasarkan pada trias tanda dan gejala
yaitu, nyeri pelvic, nyeri pada gerakan serviks, dan nyeri tekan adnexa, dan adanya
demam. Laparoskopi adalah standar baku untuk diagnosis defenitif PID. Terapi
dimulai dengan terapi antibiotik empiris spectrum luas. Penanganan juga termasuk
penanganan simptomatik seperti antiemetic, analgesia, antipiretik, dan terapi cairan.
Pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi harus dievaluasi
ulang bila mungkin dengan laparoskopi dan intervensi pembedahan. Prognosis pada
umunya baik jika didiagnosa dan diterapi segera. Prognosis pada umunya baik jika
didiagnosa dan diterapi segera.

21

Daftar Pustaka
Judlin P. Current concepts in managing pelvic inflammatory disease. Current Opinion
in Infectious Diseases 2010;23(1):83-87.
Judlin P, Liao Q, Liu Z, Reimnitz P, Hampel B, Arvis P. Efficacy and safety of
moxifloxacin in uncomplicated pelvic inflammatory disease: the
MONALISA study. BJOG: An International Journal of Obstetrics &
Gynaecology 2010;117(12):1475-1484.
Reyes, Iris, Pelvic Inflammatory Disease, 2010
Ross, Jonathan, 2012, Journal European Guideline for the Management of Pelvic
Inflammatory Disease, V5 (1), Denmark
Shepherd, Suzanne, Pelvic Inflammatory Disease, 2010

Anda mungkin juga menyukai