Metode Kritik Hadits
Metode Kritik Hadits
RANGKUMAN
METODE KRITIK HADITS BAB I S/D BAB III
Oleh
Nama : Muhamad Anugrah
NIM : 20010015002
A. Pendahuluan
Pada masa permulaan islam, Rasulullah saw tidak merestui para penulis wahyu mencatat
sabda-sabdanya selain Al-Quran
Quran,, Rasulullah saw memerintahkan menghapus segala catatan yang
berhubungan dengan tulisan selain Al-Quran,, tetapi pada beberapa peristiwa lainnya
lainn terungkap
adanya kecenderungan bahwa larangan Rasulullah saw tidak mutlak. Oleh karena itu, ulama
menyimpulkan beberapa kemungkinan sebab timbulnya mukhtalaf tersebut, yaitu :
Pencatatan hadits dilarang pada permulaan islam, tetapi ketika islam sudah menyebar
me
para sahabat diperbolehkan mencatatnya.
Pencatatan hadit dilarang bagi mereka yang belum bisa membedakan antara Al-Quran
dan hadits.
Pencatatan hadit dilarang bagi sahabat yang dapat memahami hadits dengan mudah,
dan diperbolehkan bagi yang sulit me
memahaminya.
Pencatatan hadits dilarang jika dicampuradukan dengan Al-Quran.
Pencatatan hadits dilarang jika para sahabat lebih mengutamakan mempelajari hadits
dari pada Al-Quran
Quran.
Hadits yang pernah dicatat oleh sahabat pada zaman Rasulullah saw ada dua bentuk
bent yaitu :
Al-Shahifah Al-Shadiqah
Shadiqah ialah pencatatan hadits oleh Abdullah Bin Amr Bin Ash, alal
shahifah al-shahihah
shahihah ditulis oleh Hammam Bin Munabih.
Al-Majmuah,, merupakan hadits yang dikumpulkan oleh Ali Bin Abi Thalib, Ibn Abbas
dan Ibn Masud.
Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
Muhammad Bin Syihab Az-Zuhri. Pada masa ini hadits nabi masih tercampur dengan fatwa sahabat
dan fatwa tabiin. Kitab al-muwatha imam malik dipandang sebagai kitab tertua yang sampai ke
tangan umat islam, karena karya al-Zuhri tidak diketemukan.
Pada masa imam Bukhari terjadilah puncak ilmu hadits dan penilaian hadits secara kritis
karena beliaulah yang mula-mula menghimpun hadits shahih, pada zaman beliaulah diklasifikasikan
hadits secara marfu, mauquf, mursal. Imam Syafii sebagai Nashir Al-Sunah yang sekaligus sebagai
peletak dasar epistemologi hadits, yang tersusun dalam kitabnya ar-Risalah. Pembagian hadits
secara eksplisit antara hadits shahih, hasan dan dhaif terjadi pada zaman al-tirmidzi (w. 279 H).
Adapun kriteria keshahihan suatu hadits adalah sebagai berikut, yaitu :
1. Itishal Al-Sanad
Bersambungnya sanad merupakan langkah pertama dalam meyakinkan penisbatan suatu
hadits kepada nabi saw. Setelah itu baru dibicarakan mengenai rawi yang meriwayatkannya.
Beberapa langkah dalam mengetahui bersambung tidaknya suatu sanad, diantaranya sebagai
berikut :
2. Adalat Al-Rawi
Menurut al-Razi, Adil didefinisikan sebagai kekuatan rohani (kualitas spiritual) yang
mendorong untuk berbuat takwa, yaitu mampu menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan
melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muruah,
seperti makan sambil berdiri, buang air kecil bukan pada tempatnya, serta bergurau secara
berlebihan.
3. Dhabit Al-Rawi
Dhabit ialah kemampuan rawi memelihara hadits, baik melalui hafalan maupun catatan, yaitu
mampu meriwayatkan hadits sebagaimana diterimanya.
4. Tidak Syadzdz
Syadzdz ialah apabila rawi yang tsiqat (terpercaya) dalam suatu hadits menyalahi hadits lain
yang rawinya lebih tsiqat dibandingkan rawi pada hadits pertama.
5. Tidak Ada Illat
Illat artinya penyakit atau sesuatu yang menyebabkan keshahihan hadits ternodai. Illat yang
ada pada suatu hadits tidak tampak suatu jelas melainkan samar-samar, sehingga sulit ditemukan,
Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
kecuali oleh ahlinya. Oleh karenanya, hadits semacam ini akan banyak ditemukan pada tiap rawi
yang tsiqat sekalipun.
Ilmu jarh dan tadil mulai muncul sejak abad pertama dan berkembang pada abad kedua
hijriah, yaitu ketika banyak terjadi peristiwa besar dalam sejarah yang melibatkan para politisi,
sehingga carut marut politik dan perebutan kekuasaan dikhawatirkan memicu pembuatan hadits
palsu.
Kualifikasi para sahabat lebih difokuskan pada ke-dhabit-annya daripada keadilannya. Ilmu
hadits menyebut mereka sebagai adil secara keseluruhan. Para jarrih dan muaddil berbeda-beda
dalam memandang ke-tsiqat-an seorang rawi, ada yang tasahul, lebih longgar dan yang tasyaddud
lebih ketat. Sebagai contoh al-Hakim tasyahul dalam hadits yang berkaitan dengan keutamaan amal,
dan tasyaddud dalam hadits yang berkaitan dengan hukum.
Dhabit dan adil tidak difahami sebagai syarat ilahiyah dalam diri seorang rawi dalam bentuk
kemaksuman, tetapi ukuran manusia biasa. Seorang perawi dikatakan marjuh apabila memiliki aib
sebagai berikut :
Ia seorang bidah
Mukhalafah, menyalahi periwayatannya dengan orang yang lebih tsiqat darinya.
Ghalath, banyak keliru dalam periwayatan.
Jahalah al-hal, keadaannya tidak diketahui.
Dawa al-inqitha, dituduh sanadnya tak bersambung.
Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
Syiah, mereka berpendapat tidak semua sahabat adil, terutama adalah para
sahabat yang mereka anggap merebut kekuasaan dari Ali Bin Abi Thalib.
Ahli sunnah, ahli sunnah mengganggap semua sahabat adil, dan menyerahkan
persoalan pertentangan para sahabat kepada Allah SWT.
Rawi harus sadar, dalam arti dia harus mengetahui apa yang didengar dan dikatakannya.
Rawi itu harus hafiz terhadap haditsnya, dalam arti ia tidak tertuduh dalam pemalsuan
(terhadap hadits yang diriwayatkannya)
Berusaha mempelajari hadits yang shahih, menerimanya dengan baik, baik dengan
mendengarnya ataupun dengan yang lainnya.
Memelihara hadits yang sudah diterima dari gurunya, baik dengan mengingatnya atau
dengan menuliskannya. Dhabi shadr, meriwayatkan hadits yang dihafalkannya, dhzbit
kitab, meriwayatkan hadits melalui kitabnya.
Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
Al-Hujjah, yang menghafal 300.000 hadits lengkap dengan sanad, rawi, jarh dan
tadilnya. Ex, Hisyam Bin Urwah, Muhammad Abdullah Bin Amr
Al-hafizh, mereka yang hafal 100.000 hadits lengkap dengan sanad, rawi, jarh dan
tadilnya. Ex. Al-Iraqi, Syarifudin Al-Dimyati, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Ibnu Daqiqil Ied
Al-muhaddits, mereka yang hafal 1000 hadits lengkap dengan sanad, rawi, jarh dan
tadilnya, tingkatan hadits, mampu memahami al-kutub as-sitah, musnad ahmad, sunan
baihaqi, ujam al-thabrani. Ex. Atha Bin Abi Rabah dan Al-Zabidi.
Al-musnid, mereka yang memiliki keahlian meriwayatkan hadits lengkapdengan
sanadnya, baik menguasai ilmunya ataupun tidak. Mereka ini disebut juga dengan althalib, al-mubtadi dan al-rawi.
Menurut imam malik, tidak boleh diterima hadits dari empat kelompok di bawah ini, yaitu :
Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
2. Hukum Men-Jarh Dan Men-Tadil
Menurut Ibnu Daqiqi al-Ied jika tidak sangat mendesak tidak dibenarkan mencerca seseorang ,
mencela dibutuhkan jika terpaksa, walaupun tetap dalam batas-batas wajar.
Dengan demikian, pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu :
Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
Memudahkan dan tidak bertindak kasar, Rasulullah saw menyediakan waktu dan
tempat khusus untuk mengajar bagi wanita.
Pada masa ini marak pembuatan hadits palsu, dikarenakan fitnah yang melanda umat islam,
kelompok-kelompk yang dicuragai membuat hadits palsu adalah sebagai berikut, yaitu :
Syiah (pembela Ali), kelompok ini banyak membuat hadits palsu yang memuji Ali
dan ahli bait, imamah dan wilayah yang hanya untuk Ali karena beliau adalah wali
Nabi.
Ahli sunnah wal jamaah, bersifat netral, hanya mengikuti pemerintahan yang
sedang berkuasa.
Khawarij, golongan ini mencela Utsaman bin Affan, Ali bin Abi Thali dan
Muawiyah.
Murjiah, tidak menyetujui pemahaman khawarij yang mengkafirkan orang
berdosa besar.
Mutazilah, golongan yang menggap fasik orang yang berdosa besar.
Adapun alasan banyak orang yang mebuat hadits palsu adalah sebagai berikut, yaitu :
Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
Pendongeng dan orator, untuk menyemarakan susana mereka menambahnambah hadits dan dongeng-dongeng atas nama Rasulullah saw.
Perbedaan fiqih dan kalam,
Orang yang mencintai kebaikan, tetapi tidak melengkapi dirinya dengan
pengetahuan agama. Sengaja membuat hadits palsu sesuai ibadah yang mereka
sukai (taghrib) dan dorongan untuk membenci suatu amal (tarhrb)
Menurut Ibn Sirrin menjadi jelas bahwa fitnah, bidah dan tersebarluasnya hadits palsu
merupakan pendorong utama dari muhadditsin untuk membicarakan hadits dari segala seginya,
termasuk didalamnya membicarakan sanad dan matannya sekaligus.
4. Para Perintis Ilmu Jarh Wa Tadil
Para sahabat yang pernah memperkatakan sanad adalah IbnAbbas (w. 96 H) dan Anas bin
Malik (w. 93 H). Dilakalangan thabiin adalah Al-Syubi (104 H), Ibn Sirin (110 H), dikalangkan thabiit
thabiin adalah Ibn Main (233 H), Ahmad Bin Hambal (241 H) dsb.
Referensi
Abdurrahman, M, Metode Kritik Hadits, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2013)