Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN KASUS

Hematemesis Melena ec Susp Ulkus Peptikum


Anemia Berat H-M
ACKD prerenal dd renal on CKD ec susp PNC dd/NO
A.A.Sagung Ria Ardha Anggani ; Lab/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
FKIK Universitas Warmadewa / RSUD Sanjiwani Gianyar

PENDAHULUAN
Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah
proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna
bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) yang
disebabkan oleh H. pylori atau penggunaan obat obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dan
alkohol.1 Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti
kopi) yang merupakan indikasi adanya perdarahan salura cerna bagian atas (SCBA). SCBA
variseal disebabkan karena pecahnya varises esophagus. Sedangkan , SCBA non variseal antara
lain ulkus peptikum, gastritis erosifa, duodenitis, Mallory Weiss syndrome dan keganasan.
terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi dalam bentuk melena perdarahan saluran
cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75% hingga 80% dari keseluruhan kasus
perdarahan akut saluran cerna.2
Pada lambung normal, terdapat dua mekanisme yang bekerja dan mempengaruhi kondisi
lambung yaitu faktor pertahanan lambung dan faktor perusak lambung. Faktor perusak lambung
meliputi faktor perusak eksogen (obat obatan, alkoho, dan bakteri). 1 Faktor pertahanan
lambung berfungsi untuk melawan atau mengimbangi kerja dari faktor tersebut diatas. Faktor
pertahanan pada lambung meliputi laisan pre epitel, epitel dan post epitel. Apabila terjadi
ketidakseimbangan kedua faktor diatas, baik faktor pertahanan yang melemah ataupun faktor
perusak yang semakin kuat, dapat mengakibatkan kerusakan pada sel sel lambung yang pada
akhirnya akan membentuk ulkus gaster atau peptikum.4
1

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah
proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna
bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) yang
disebabkan oleh H. pylori atau penggunaan obat obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dan
alkohol.1 Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti
kopi) yang merupakan indikasi adanya perdarahan salura cerna bagian atas (SCBA). SCBA
variseal disebabkan karena pecahnya varises esophagus. Sedangkan , SCBA non variseal antara
lain ulkus peptikum, gastritis erosifa, duodenitis, Mallory Weiss syndrome dan keganasan.
terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi dalam bentuk melena perdarahan saluran
cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75% hingga 80% dari keseluruhan kasus
perdarahan akut saluran cerna. Pada perdarahan saluran cerna atas didapatkan manifestasi klinik
umumnya hematemesis dan atau melena serta aspirasi nasogastrik didapat adanya darah,
sedangkan pada perdarahan saluran cerna bawah didapatkan manifestasi klinik umumnya
hematokezia dan pada aspirasi nasogastrik didapatkan jernih. 1,2
Epidemiologi
Berdasarkan epidemiologi ulkus peptikum didapatkan insidensi jauh lebih rendah pada
perempuan dibandingkan laki laki dengan perbandingan 2 : 1.1 Ulkus peptikum dapat dijumpai
pada semua umur, namun usia puncak terjadinya ulkus peptikum adalah 50 60 tahun yang
mengarah ke kerusakan organ yang disebabkan oleh turunnya regenerasi sel pada organ salah
satunya organ gastrointestinal.2
Etiologi
Terjadinya ulkus peptikum dapat disebabkan oleh beberapa penyebab. Dengan ditemukannya
kuman Helicobacter Pylori dianggap merupakan penyebab utama ulkus peptikum, disamping
OAINS. Banyak kemungkinan penyebab ulkus peptikum. Ulkus peptikum disebabkan oleh
gangguan keseimbangan dari faktor agresif dan faktor defensive. Faktor agresif dibagi menjadi 2
2

yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Beberapa faktor eksogen penyebab ulkus peptikum
yaitu obat obatan NSAIDs, alkohol dan infeksi Helicobacter Pylori. 1,5 Helicobacter Pylori
sekitar 90% dari tukak lambung dan 75% dari tukak lambung berhubungan dengan Helicobacter
pylori adalah bakteri gram negative, hidup dalam suasana asam pada lambung atau duodenum,
ukuran panjang sekitar 3m dan diameter 0,5m, mempunyai 1 flagel pada salah satu
ujungnya, terdapat hanya pada lapisan mucus permukaan epitel antrum lambung, karena pada
epithelium lambung terdapat reseptor adherens in vivo yang dikenali oleh H. Pylori, dan dapat
menembus sel epitel atau antar epitel.4,5
Kemudian sekresi lambung, normalnya produksi asam lambung kira kira 20 mEq/jam.
Pada penderita tukak, produksi asam lambung dapat mencapai 40 mEq/jam. Dalam masyarakat
yang paling sering terjadi adalah gangguan pada pertahanan mukosa lambung dengan
penggunaan NSAIDs, alkohol, garam empedu, dan zat zat lain dapat menimbulkan kerusakan
pada mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan kerusakan jaringan,
khususnya pada pembuluh darah. Penggunaan NSAIDs, menhambat kerja dari enzim
siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin.
Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan NSAIDs melalui 4
tahap yaitu : pertama, menurunkan sekresi mucus dan bikarbonat yang dihasilkan oleh sel epitel
pada lambung dan duodenum menyebabkan pertahanan lambung dan duodenum menurun.
Kedua, penggunaan NSAIDs menyebabkan gangguan sekresi asam dan poliferasi sel

sel

mukosa. Ketiga, terjadi penurunan aliran darah mukosa.hal ini terjadi akibat hambatan COX-1
akan menimbulkan vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan terjadi nekrosis sel epitel.
Tahap keempat, berlakunya kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh platelet dan
mekanisme koagulasi. Hambatan pada COX-2 menyebabkan peningkatan perlekatan leukosit
PMN pada endotel vaskuler gastroduodenal dan mesentrik, dimana dimulai dengan pelepasan
mikrovaskular sehingga terjadi iskemia dan akhirnya terjadi ulcers. Penggunaan obat obatan
golongan NSAID secara kronik dan regular dapat menyenbabkan terjadinya resiko perdarahan
gastrointestinal 3 kali lipat dibandingkan yang bukan pemakai.4,5
Diagnosis
Untuk mendiagnosis suatu ulkus peptikum dapat digambarkan dan digali berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluh
3

muntah darah diserai berak kehitaman. Selain itu, pasien juga mengeluh nyeri uluhati yang
dirasakan sejak lama dan hilang timbul. Hal ini sesuai dengan teori dimana secara umum
seeorang yang menderita ulkus peptikum biasanya mengeluh dyspepsia.4 Dyspepsia adalah suatu
sindom klinik beberapa penyakit saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri uluhati,
sendawa/ terapan, rasa terbakar, rasa penuh uluhati, dan cepat merasa kenyang. Untuk
menentukan lokasi ulkus berdasarkan anamnesis salah satunya adalah kuantitas nyeri. Pada ulkus
gaster, nyeri dirasakan sebelum makan dan setelah makan nyeri tidak berkurang atau semakin
memberat (Pain Food Pain) sedangkan pada ulkus duodenum nyeri dirasakan menghilang atau
berkurang (Pain Food Relief).4
Pemeriksaan fisik pada kasus ulkus peptikum tidak ada menunjukkan tanda tanda yang
spesifik. Pada pemeriksaan fisik pasien ini hanya didapatkan konjungtiva palpebra pucat
menandakan kurang darah.3 Kekurangan darah ini dicurigai akibat defisiensi vitamin B12. Untuk
gambaran umum dari defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat tidak ditemukan. Untuk
mengetahui derajat dan penyebab dari kekurangan darah dapat dilihat dari hemoglobulin, MCV
dan MCH dari pemeriksaan darah lengkap.4
Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendiagnosis pasti ulkus peptikum perlu dilakukan pemeriksaan penunjang endoskopi
saluran cerna atas yaitu esofagogastrodudodenoskopi untuk melihat langsung mukosa dari
saluran pencernaan. Endoskopi gastrointestinal atas digunakan untuk mengidentifikasi perubahan
inflamasi, ulkus, dan lesi. Melalui endoskopi mukosa dapat secara langsung dilihat dan biopsy
didapatkan. Endoskopi telah diketahui dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak terlihat melalui
pemeriksaan radiologis karena ukuran atau lokasinya.6
Penanganan
Dalam penananganan pasien dengan ulkus peptikum dibagi menjad 2 terapi yaitu terapi non
medikamentosa dan terapi medikamentosa. Terapi non medikamentosa terdiri dari istirahat, diet,
menghindari faktor agresif terjadinya ulkus peptikum (merokok, alkohol, dan obat - obatan)
sedangkan terapi medikamentosa terdiri dari antasida dan obat obatan penangkal kerusakan
mucus (koloid bismuth,sukralfat,prostaglandin, antagonis reseptor H2/ARH2, proton pump
inhibitor/PPI).6
4

LAPORAN KASUS
Pasien laki laki usia 60 tahun, Suku Bali, pekerjaan sebagai petani, dating ke IGD RSUD
Sanjiwani Gianyar diantar oleh keluarganya dengan keluhan BAB kehitaman sejak 2 hari yang
lalu sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien mengeluh BAB kehitaman sebanyak empat kali dengan
5

konsistensi lembek berwarna kehitaman ada ampas namun tidak berlendir dan darah dengan
volume kira kira setengah gelas aqua. Pasien juga mengatakan sempat mengalami mual dan
muntah. Mual dan muntah tersebut muncul bersamaan dengan munculnya keluhan BAB
kehitaman. Muntah dikatakan sehari terjadi satu sampai dua kali dalam sehari. Muntah dikatakan
berisikan makan dan minuman yang dikonsumsi dengan volume kira kira gelas aqua. Pasien
juga sempat mengalami muntah yang berisikan sedikit darah bercampur dengan makanan. Darah
yang dimuntahkan saat itu berwarna merah kehitaman dan berbentuk gumpalan gumpalan.
Muntah darah tersebut dikatakan terjadi 1x.
Selain itu pasien juga mengeluh nyeri perut sejak 3 hari yang lalu. Nyeri perut dirasakan
seperti terbakar dan adanya rasa perih di uluhati. Nyeri uluhati dan nyeri perut tidak mereda
walaupun pasien sudah makan. Biasanya pasien hanya beristirahat untuk mengurangi
keluhannya. Semenjak keluhan BAB kehitaman dan muntah muncul, pasien juga merasa nafsu
makan berkurang dan hanya makan bubur, pasien mengatakan setiap pasien ingin makan seperti
merasa kenyang sehingga badannya lemas sulit untuk berjalan. BAK dikatakan normal dengan
warna kekuningan, tidak seret dan tidak ada nyeri saat kencing. Karena pasien merasa semakin
lemas dan keluhan berak kehitaman yang dirasakan semakin memberat maka pihak keluarga
langsung memutuskan membawa pasien ke IGD RSUD Sanjiwani Gianyar. Keluhan lain yang
dirasakan pasien adalah nyeri lutut kiri sejak 4 tahun yang lalu, nyeri dikatakan memberat ketika
pasien berjalan. Pasien sudah sempat dating ke dokter sejak lama untuk mengobati keluhannya
namun belum membaik.
Pasien sebelumnya belum pernah mengalami berak kehitaman sebelumnya. Pasien
mengakui dirinya menderita rematik sudah sejak 4 tahun dan sering meminum obat obatan
rematik yang dibelinya sendiri di apotek. Namun, sekitar sekitar 2 tahun terakhir pasien sering
datang ke puskesmas untuk suntik obat rematik dan jika sudah disuntik maka pasien merasa lebih
baik. Pasien rutin melakukan suntik obat setiap minggu dan pasien juga rutin meminum obat
rematik sendiri. Namun pasien tidak tahu nama obat yang diminum maupun yang disuntikkan.
Penyakit kuning, diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan penyakit sistemik
lainnya disangkal oleh pasien.

Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti pasien. Untuk
riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan penyakit sistemik
lainnya dalam keluarga disangkal oleh keluarga pasien.
Pasien adalah seorang petani tetapi semenjak penyakit rematiknya dirasakan semakin
memberat pasien memutuskan saat ini tidak bekerja hanya melakukan aktivitas ringan di rumah.
Keadaan rumah pasien dikatakan cukup bersih dan pasien tinggal bersama anak, menantu dan
cucunya. Hubungan sosial pasien dengan keluarga dan lingkungannya baik. Pasien memiliki
kebiasaan meminum kopi sejak lama kira kira 4 gelas dalam sehari. Pasien memiliki riwayat
merokok saat masih muda. Minum alkohol disangkal oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 14 Februari 2015, ditemukan kesan
umum pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran compos mentis, GCS ditemukan E4V5M6,
dengan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80xmenit, respiratory rate 18x/menit dan temperature
axial 36,40 celcius. Pada status general pada kepala dalam keadaan normocephali dengan wajah
pucat, mata didapatkan reflek pupil positif isokor, dan ditemukannya anemis namun tidak
tampak ikterik, telinga hidung dan tenggorokkan masih dalam batas normal, pada leher
ditemukan JVP +3 cmH2O, pada thoraks sismetris tanpa ada jejas, pada jantung suara S1S2
tunggal regular tanpa murmur, di paru paru suara vesikuler positif simetris tanpa ada rhonki
dan wheezing. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus positif normal tanpa ada
distensi, shifting dullness (-), spider navi (-), vena kolateral (-), hepar dan lien tidak teraba.
Sedangkan pada ekstremitas didapatkan akral hangat di keempat region ekstremitas tanpa adanya
oedem. Pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan tonus sfingter ani positif, mukosa licin, tidak
didapatkan adanya massa, pada handscoen ditemukan adanya feses kehitaman.
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan di IGD dari darah lengkap ditemukan WBC
6.5, RBC 4.52, HCT 24.9, HGB 9.7, MCV 98.7, MCH 32.2 dan PLT 176. Pada pemeriksaan
elektrolit ditemukan Na 134, K 4.9, Cl 106. Pemeriksaan gula darah didapatkan 110. Untuk
pemeriksaan fungsi hati dari SGPT ditemukan 36 dan SGOT ditemukan 28. Hasil dari
pemeriksaan BUN 98 dan Serum Creatinin 1,36. saat di IGD dilakukan pemasangan NGT
dengan gastric cooling didapatkan stool cell berwarna merah kehitaman dan gastric cooling
dilakukan sesuai prosedur sehingga jernih atau hingga tidak ditemukan lagi stool cell. Setelah
pasien mendapat tranfusi PRC 2 kolf dilakukan pemeriksaan darah lengkap ulang ditemukan
7

WBC 4.8, RBC 4.65, HCT 28.7, HGB 10.7, MCV 91.2, MCH 34.0, dan PLT 208. Dan hasil
EKG didapatkan dalam batas normal.
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis
kerja dengan Hematemesis melena e.c susp gas ulkus peptikum dan Anemia ringan makrositer.
Pasien kemudian diterapi secara non farmakologis seperti diet TKTP dan mobilisasi selama
MRS, serta terapi secara farmakologis dengan IVFD RL 28 tpm, Cefotaxime 3x 1, Paracetamol
3x 500mg, Pranza 1x1, asam tranexamat 3x1, antasida 3xCI, Antasida sirup 3xCI, dan sukralfat 3
x CI. Dan diberikan tranfusi PRC 2 kolf atau sampai hb >10, Pasien juga dijadwalkan untuk
melakukan endoskopi agar dapat memastikan penyebabnya.

PEMBAHASAN
Dari uraian kasus di atas ada beberapa hal menarik yang bisa ditinjau. Dimulai dari perdarahan
yang terjadi apakah merupakan perdarahan saluran cerna atas atau bawah. Pada perdarahan
saluran cerna atas didapatkan manifestasi klinik umumnya hematemesis dan atau melena serta
aspirasi nasogastrik didapat adanya darah, sedangkan pada perdarahan saluran cerna bawah
didapatkan manifestasi klinik umumnya hematokezia dan pada aspirasi nasogastrik didapatkan
jernih.

1,2

Pada kasus ini didapatkan adanya hematemesis dan melena serta aspirasi nasogastrik

didapatkan adanya darah.


Berdasarkan epidemiologi ulkus peptikum didapatkan insidensi jauh lebih rendah pada
perempuan dibandingkan laki laki dengan perbandingan 2 : 1.1 Ulkus peptikum dapat dijumpai
pada semua umur, namun usia puncak terjadinya ulkus peptikum adalah 50 60 tahun yang
mengarah ke kerusakan organ yang disebabkan oleh turunnya regenerasi sel pada organ salah
satunya organ gastrointestinal.2 Pada kasus ini, pasien seorang laki laki berumur 60 tahun
dimana beresiko dalam terjadinya ulkus peptikum.
Terjadinya ulkus peptikum dapat disebabkan oleh beberapa penyebab. Dengan
ditemukannya kuman Helicobacter Pylori dianggap merupakan penyebab utama ulkus peptikum,
disamping OAINS. Pada kasus ini tidak didapatkan adanya peningkatan WBC. Hal ini
menunjukkan berarti hematemesis melena e.c ulkus peptikum bukan karena adanya infeksi
8

Helicobacter Pylori, kemungkinan penyebab terjadinya ulkus peptikum adalah penggunaan obat
rematik (OAINS) jangka lama.3
Untuk mendiagnosis suatu ulkus peptikum dapat digambarkan dan digali berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan pasien
mengeluh muntah darah diserai berak kehitaman. Selain itu, pasien juga mengeluh nyeri uluhati
yang dirasakan sejak lama dan hilang timbul. Hal ini sesuai dengan teori dimana secara umum
seeorang yang menderita ulkus peptikum biasanya mengeluh dyspepsia.4 Dyspepsia adalah suatu
sindom klinik beberapa penyakit saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri uluhati,
sendawa/ terapan, rasa terbakar, rasa penuh uluhati, dan cepat merasa kenyang. Untuk
menentukan lokasi ulkus berdasarkan anamnesis salah satunya adalah kuantitas nyeri. Pada ulkus
gaster, nyeri dirasakan sebelum makan dan setelah makan nyeri tidak berkurang atau semakin
memberat (Pain Food Pain) sedangkan pada ulkus duodenum nyeri dirasakan menghilang atau
berkurang (Pain Food Relief).4 Dari anamnesis pasien didapatkan adanya sindroma dyspepsia
dan gejala khas dari ulkus gaster yaitu sebelum makan dan setelah makan nyeri dirasakan tidak
berkurang atau semakin memberat (Pain Food Pain).
Banyak kemungkinan penyebab ulkus peptikum. Ulkus peptikum disebabkan oleh gangguan
keseimbangan dari faktor agresif dan faktor defensive. Faktor agresif dibagi menjadi 2 yaitu
faktor endogen dan faktor eksogen. Beberapa faktor eksogen penyebab ulkus peptikum yaitu
obat obatan NSAIDs, alkohol dan infeksi Helicobacter Pylori. 1,5 Helicobacter Pylori sekitar
90% dari tukak lambung dan 75% dari tukak lambung berhubungan dengan Helicobacter pylori
adalah bakteri gram negative, hidup dalam suasana asam pada lambung atau duodenum, ukuran
panjang sekitar 3m dan diameter 0,5m, mempunyai 1 flagel pada salah satu ujungnya,
terdapat hanya pada lapisan mucus permukaan epitel antrum lambung, karena pada epithelium
lambung terdapat reseptor adherens in vivo yang dikenali oleh H. Pylori, dan dapat menembus
sel epitel atau antar epitel.4,5
Kemudian sekresi lambung, normalnya produksi asam lambung kira kira 20 mEq/jam.
Pada penderita tukak, produksi asam lambung dapat mencapai 40 mEq/jam. Dalam masyarakat
yang paling sering terjadi adalah gangguan pada pertahanan mukosa lambung dengan
penggunaan NSAIDs, alkohol, garam empedu, dan zat zat lain dapat menimbulkan kerusakan
pada mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan kerusakan jaringan,
9

khususnya pada pembuluh darah. Penggunaan NSAIDs, menhambat kerja dari enzim
siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin.
Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan NSAIDs melalui 4
tahap yaitu : pertama, menurunkan sekresi mucus dan bikarbonat yang dihasilkan oleh sel epitel
pada lambung dan duodenum menyebabkan pertahanan lambung dan duodenum menurun.
Kedua, penggunaan NSAIDs menyebabkan gangguan sekresi asam dan poliferasi sel

sel

mukosa. Ketiga, terjadi penurunan aliran darah mukosa.hal ini terjadi akibat hambatan COX-1
akan menimbulkan vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan terjadi nekrosis sel epitel.
Tahap keempat, berlakunya kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh platelet dan
mekanisme koagulasi. Hambatan pada COX-2 menyebabkan peningkatan perlekatan leukosit
PMN pada endotel vaskuler gastroduodenal dan mesentrik, dimana dimulai dengan pelepasan
mikrovaskular sehingga terjadi iskemia dan akhirnya terjadi ulcers. Penggunaan obat obatan
golongan NSAID secara kronik dan regular dapat menyenbabkan terjadinya resiko perdarahan
gastrointestinal 3 kali lipat dibandingkan yang bukan pemakai. 4,5 Pada kasus yang terjadi pada
pasien, penggunaan obat obatan NSAIDs sudah dilakukan selama bertahun tahun dan gejala
yang timbul sesuai dengan teori yang ada, yaitu menimbulkan berak kehitaman dan muntah
darah.
Pemeriksaan fisik pada kasus ulkus peptikum tidak ada menunjukkan tanda tanda yang
spesifik. Pada pemeriksaan fisik pasien ini hanya didapatkan konjungtiva palpebra pucat
menandakan kurang darah.3 Kekurangan darah ini dicurigai akibat defisiensi vitamin B12. Untuk
gambaran umum dari defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat tidak ditemukan. Untuk
mengetahui derajat dan penyebab dari kekurangan darah dapat dilihat dari hemoglobulin, MCV
dan MCH dari pemeriksaan darah lengkap.4 Pada pasien ini,dilihat dari hemoglobulin, MCV dan
MCH maka pasien ini mengalami anemia ringan makrositer. Pemeriksaa khusus untuk
mengetahui apakah penyebab anemia makrositer tersebut berasal dari defisiensi folat atau
vitamin B12 salah satunya dapat dilakukan pengukuran kadar vitamin B12 serum dan asam folat
serum.
Dalam penananganan pasien dengan ulkus peptikum dibagi menjad 2 terapi yaitu terapi
non medikamentosa dan terapi medikamentosa. Terapi non medikamentosa terdiri dari istirahat,
diet, menghindari faktor agresif terjadinya ulkus peptikum (merokok, alkohol, dan obat - obatan)
10

sedangkan terapi medikamentosa terdiri dari antasida dan obat obatan penangkal kerusakan
mucus (koloid bismuth,sukralfat,prostaglandin, antagonis reseptor H2/ARH2, proton pump
inhibitor/PPI).6 Pada kasus ini penanganan dari pasien dengan ulkus peptikum sesuai degan teori
yaitu pasien MRS, diberikan diet bubur saring, asam traneksamat, antasida, sukralfat,
cefotaxime, paracetamol dan tranfusi PRC untuk keluhan anemia sebelumnya.
Untuk mendiagnosis pasti ulkus peptikum perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
endoskopi saluran cerna atas yaitu esofagogastrodudodenoskopi untuk melihat langsung mukosa
dari saluran pencernaan. Endoskopi gastrointestinal atas digunakan untuk mengidentifikasi
perubahan inflamasi, ulkus, dan lesi. Melalui endoskopi mukosa dapat secara langsung dilihat
dan biopsy didapatkan. Endoskopi telah diketahui dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak
terlihat melalui pemeriksaan radiologis karena ukuran atau lokasinya. 6 Pada pasien ini, perlu
dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk melihat apakah benar ulkus peptikum sebagai penyebab
dari hematemesis dan melena serta dapat menyingkirkan diagnosis lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

11

1. Fandy Gosal, Bram Paringkoan, Nelly Tendean Wenas 2009. Pathophysiology and
Treatment of Nonsteroidal Anti-inflammatory Drug Gastropathy. Available at
Pendahuluan.pdf. FKM Universitas Indonesia. Access on 10th March 2015.
2. Tarigan, Pangarapen; Akil, HAM. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Edisi V, jilid: I, Tukak Gaster; Tukak Duodenum.
2010. Jakarta.
3. Djuwantoro Dwi; Zubir Nazrul dan Julius. Diagnosis dan Pengobatan Tukak Peptikum;
Gambaran Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas di Bagian Penyakit Dalam RSU dr,M.
Jamil, Padang. Dalam : Cermin Kedokteran No. 79, 2009.
4. Schafer Theodore W. Peptic Ulcer Disease. The American College of Gastroenterology,
Bthesda, Maryland.
5. Wenas NT. Pathophysiology and Prevention of NSAID Gastropathy. In : Simadibrata
MK, Abdullah M, Syam AF, editors. The 4th international endoscopy workshop &
international symposium on digestive disease. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen IPD
FK UI; 2009. p. 83-4.
6. Misnadiarly. 2010. Mengenal Penyakit Organ Cerna : Gastritis (Dyspepsia atau Maag),
Infeksi Mycobacteria pada Ulser Gastrointestinal. 2009. Jakarta : Pustaka Populer Obor.

12

Anda mungkin juga menyukai