Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
com
Istana itu pernah menjadi pusat perhatian orangorang disekitarnya, terlebih-lebih penghuni padukuhan
kecil pegunungan itu.
Terbayang kembali saat-saat istana itu bagaikan pelita
yang menerangi daerah disekitarnya. Sesaat istana itu
didirikan, maka mulailah nampak bahwa penghuni istana
itu adalah orang-orang yang baik dan rendah diri,
meskipun sebenarnya ia adalah soerang pangeran,
Pangeran Kuda Narpada.
Pangeran Kuda Narpadalah yang yang memberikan
beberapa petunjuk yang sangat berarti bagi padukuhan
itu, bagaimana mereka bercocok tanam, Pangeran Kuda
Narpadalah yang mengajak para penghuni padukuhan
kecil itu membuat parit-parit yang akan dapat mengairi
daerah mereka yang gersang. Bukan saja memberikan
petunjuk dan perintah, tetapi Pangeran Kuda Narpada
sendiri menyisingkan kain panjangnya, melepas bajunya
dan turun ketanah berlumpur.
Orang bertubuh gemuk yang berjalan diantara
beberapa orang kawannya itu menarik nafas dalamdalam sehingga orang-orang yang berjalan disisinya
berpaling kepadanya meskipun mereka tidak bertanya
sesuatu.
Dalam pada itu, peristiwa itu seolah-olah membayang
kembali dirongga mata orang bertubuh gemuk itu. Saatsaat penghuni istana itu dating untuk yang pertama
kalinya dipadukuhannya, sebelum istana itu didirikan.
rumpon-rumpon di sungai. Menanam pohon buahbuahan dan sayuran untuk memenuhi kebutuhan mereka
sehari-hari.
Ternayata kehadiran Pangeran Kuda Narpada telah
merubah tata kehidupan di Karangmaja. Mereka mulai
mengenal cara menanam yang jauh lebih baik dari cara
yang selama ini mereka pergunakan. Ki Narpada mulai
menganjurkan agar orang-orang Karangmaja
mempergunakan pupuk bagi tanah yang tandus.
Apakah gunanya kotoran kandang ternak bagi
tanaman? bertanya Ki Buyut.
Tanah yang setiap kali dihisap sari makanannya oleh
pepohonan memerlukan sari makanan baru jawab Ki
Narpada. Dengan cara yang sederhana. Yang ternyata
pada panen yang berikutnya memberikan pengaruh yang
baik bagi hasil sawah mereka.
Dengan demikian maka Karangmaja rasa-rasanya
menjadi semakin cerah, sawah-sawah yang kekuningkuningan menjadi hijau dan pategalan yang kering dapat
dibasahi oleh air yang mengalir lewat parit-parit dan
bendungan yang mereka buat.
Tetapi mereka bulum berhasil mengatasi kegersangan
tanah dilereng pebukitan.
Kita akan menghijaukannya berkata Ki Narpada.
Bagaimana Mungkin? bertanya orang-orang
Karangmaja.
Dekat sekali
Yadekat sekali
Inten Prawesti memandang Nyi Upih yang menadi
pucat.
He! Kenapa Kau
Suara seruling itu?
Kenapa
Lain puteri, agak lain. Apakah puteri tidak merasakan
perbedaannya.
Inten Prawesti bukan seorang yang mengerti tentang
kidung dan tembang, tetapi ia merasakan ia memang
merasakan sesuatu yang lain. Suara seruling yang
didengarnya itu justru lebih menyentuh perasaannya,
halus dan menggelayut.
Nyai, apakah hanya pendengaranku dan ketidak
tahuanku tentang suara seruling?, lagunya bertambah
indah.
Ya..ya.. puteri, lebih syahdu, tetapi.. Ia berhenti
sejenak.
Tetapi apa Nyai
Inten Prawesti mengangguk saja, tetapi ia rasarasanya sudah sangat dipengaruhi oleh suara seruling,
dan berlebih-lebih lagi suara yang tiba-tiba ada dibalik
gerumbul yang tidak terlampau jauh daripadanya.
Gembala-gembala itu pandai memandang meniup
suling katanya kepada Nyi Upih.
Hanya seruling sajalah permainan mereka, mereka
tidak dapat bermain-main dengan cara yang lain, apalagi
bermain sembunyi-sembunyi atau semacamnya. Dengan
demikian mereka akan meninggalkan ternak mereka, jika
ternak mereka itu hilang, maka mereka akan menyesal.
Jadi mereka duduk-duduk saja sambil meniup
seruling?
Ya satu dua, yang lain bermain dengan kayu,
membuat ukiran dan patung-patung kecil seperti yang
terdapat diruang depan, anak-anaklah yang memberikan
patung-patung kecil itu kepada pangeran waktu itu.
Inten Prawesti mengangguk-angguk, ia memang
melihat ukirang dan patung-patung kecil itu di ruang
depan. Agaknya ayah dari anak-anak yang membuatnya
telah memberikannya kepada ayahandanya sebelum
ayahandanya pergi. Dan ternyata bahwa patung-patung
kecil itu sampai saat itu masih disimpannya baik-baik.
Tetapi dihari berikutnya terjadilah sesuatu yang agak
lain dan tidak disangka-sangka sama sekali. Sebelum
Inten Prawesti pergi ke bukit kecil, tempat ia biasa
itu
Ah sudahlah
Ceritakan, bukankah sudah lama kita meninggalkan
Majapahit, dan agaknya kita tidak akan kembali lagi?
Ah... Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam sambil
menyiapkan makan bagi tamu-tamunya, Puteri,
sebaiknya aku menyelesaikan tugasku ini dahulu,
bukankah tamu itu akan segera dipersilahkan makan
Kau dapat menanak nasi sambil berceritera
Sebaiknya puteri ikut menemui tami itu
Inten menggeleng sambil tersenyum, katanya Aku
malu Nyai
Ah, bukankah tamunya adalah saudara sendiri?
Tetapi aku malu wajah Inten menjadi kemerahmerahan, Sekarang ceritakan saja tentang anak-anak
Nyai itu
Apakah menarik?
Tentu, mereka akan menjadi kawan-kawanku
bermain
Puteri, dahulu aku ditinggalkan oleh suamiku, aku
dicerai olehnya, anak-anakku itu dibawanya, dan
diserahkannya kepada seorang ibu tiri. Demikianlah
berlangsung lama, sehingga akhirnya suamiku itu
meninggal. Anak-anakku tidak kerasan tinggal bersama
sedang sibuk
Prawesti yang
tamu-tamunya
sebaiknya kau
Alit,
bukankah
aku
sudah
kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Dengan jarijarinya ia mengetahui bahwa Kasdu telah aku bebaskan
dari racun yang sangat parah itu
Namun kemudian, ia berkata pula kepada dirinya
sendiri Tetapi kehadirannya di padukuhan kecil ini perlu
mendapat perhatian. Ketiga orang kasar dan memilki
tenaga racun itu sudah terasa mengganggu, apalagi
kedatangan kedua orang bangsawan ini
Tetapi Kidang Alit tidak mengambil sikap apapun pada
saat itu. Dengan tergesa-gesa, iapun berjalan
meninggalkan tempatnya dan kembali ke padukuhan.
Mudah-mudahan ketiga orang yang berada di banjar
padukuhan tidak pergi ke lereng itu pula, jika mereka
bertemu muka dengan bangsawan-bangsawan itu, maka
akan dapat timbul benturan diantara mereka gumamnya
sambil berjalan menyusuri jalan sempit.
Apa yang terjadi itu, agaknya telah menggelisahkan
Inten Prawesti, itulah agaknya ia menjadi gelisah, bukitbukit yang hijau dan lembah-lembah yang ditumbuhi
rerumputan, tidak menarik lagi baginya, jalan-jalan yang
nampak menjauh seperti tubuh seekor ular yang
menjalar meninggalkan liangnya dibawah gunung, tidak
dapat memikatnya lagi.
Kau nampak gelisah diajeng bertanya Kuda Rupaka
Ya aku gelisah sekali
mengerutkan
keningnya,
katanya
Aku sudah terlalu biasa bertempur melawan kelincikelinci penakut yang berkelahi bersama seluruh
keluarganya
Persetan!!! Kemarahan Naga Pasa telah
memuncak, karena itu serangannyapun segera datang
membadai, disusul dengan serangan-serangan Gagak
Wereng yang dahsyat.
Panji Sura Wilagapun kemudian mengerahkan
segenap kemampuan bertempur yang cukup tinggi. Ia
sadar, bahwa kedua orang itu akan memaksanya untuk
menyerah dan mati. Kemudian mereka bertiga akan
dengan sangat mudah dapat membunuh Kuda Rupaka
pula.
Karena itu, maka Panji Sura Wilaga harus
mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya sesuai dengan
pekembangan pertempuran antara Kuda Rupaka dan
lawannya.
Aku harus bertahan sampai saatnya Raden Kuda
Rupaka dapat membunuh iblis itu berkata Panji Sura
Wilaga kepada dirinya sendiri, sehingga dengan
demikian, sejauh-jauh dapat dilakukan, Panji Sura Wilaga
tidak menghambur-hamburkan tenaganya dalam
perkelahian itu.
Tetapi hal itu sangat sulit dilakukannya, kedua
lawannya memiliki kemampuan yang dapat memaksanya
untuk memeras segenap tenaga yang ada padanya. Jika
tidak, maka ia justru akan segera mengakhiri
perlawanannya. Kumbara dan kawan-kawannya ternyata
Gagak Wereng masih akan menjawab, namun tibatiba saja lawannya telah meloncat mundur. Beberapa
saat ia mengamati pertempuran itu, kemudian dengan
lincahnya ia meloncat naik keatas dinding batu itu sambil
berkata Aku minta diri. He..!! Raden Kuda Rupaka dan
Panji Sura Wilaga. Silahkan menyelesaikan tugas kalian,
aku sudah mencoba membantu kalian
Kau akan kemana ?. bertanya Raden Kuda Rupaka.
Aku akan kembali ke sarangku, aku adalah hantu
malam yang berkeliaran didalam gelap. Jika ayam mulai
berkokok, aku harus sudah berada kembali ke sarangku
yang tersembunyi, diatas pepohonan yang rimbun
Gila geram Kumbara yang tidak memburu Kuda
Rupaka Kau licik, jika kau jantan, tunggulah setelah aku
membunuh bangsawan kerdil ini
Tetapi orang orang berdiri diatas dinding itu tertawa
Jangan berharap kau dapat memenangkan pertempuran
itu. Semuanya sudah nampak padaku, bahwa kau hanya
akan dapat menyebut nama orang tuamu sebelum
ajalmu sampai. Kecuali jika Raden berhati putih, dan
memberi kesempatan hidup kepadamu, meskipun kau
harus diserahkan kepada para prajurit
Tidak ada bedanya geram Kuda Rupaka Ditangan
prajurit ia akan dibunuh
Itu bukan persoalanku. Sekarang aku akan pergi.
Hantu-hantu sudah memiliki jalan pintu gerbang. Aku
Darah bibi desis Raden Kuda Rupaka yang seolaholah mengerti apa yang tersirat dihati bibinya.
Kau terluka ?
Sedikit, tetapi tidak berbahaya
Dimana pamanmu Panji Sura Wilaga ?
Raden Kuda Rupaka berpaling, kemudian masuklah
Panji Sura Wilaga yang terengah-engah.
Oh, Kau juga terluka ?
Sedikit Raden Ayu, tidak parah
Tetapi bagaimanakah dengan jika luka ini akan
menjadi semakin besar kelak ?
Raden Kuda Rupaka tersenyum, katanya Aku sudah
membawa bekal obat yang dapat dipercaya, sudahlah
bibi, aku akan membersihkan diriku dan mengobati
lukaku dan luka paman Panji Sura Wilaga
Raden Ayu Kuda Narpada, memandang keduanya
dengan tatapan mata yang penuh perasaan terima kasih.
Sementara Inten Prawesti yang berdiri di belakang
ibundanyapun bertanya Bukankan kau tidak apa-apa
kamas ?
Tidak, tidak diajeng, jangan khawatirkan aku, aku
tidak apa-apa
Siapa puteri ?
Tidak ada seorangpun yang sudi menolongnya, dan
gadis yang dicintainya telah pergi meninggalkannya
tanpa mengatakan sesuatu kepadanya
Siapa ?, Siapa puteri ? Sangkan menjadi heran.
Suara seruling itu rasa-rasanya mencengkam hati
Inten Prawesti semakin dalam.
Didapur Nyi Upihpun mendengar suara itu, dahinya
nampak berkerut merut, ketika mmandang Raden Ayu
Kuda Narpada, ia termangu-mangu, agaknya Raden Ayu
Kuda Narpada itupun tertarik pula oleh suara seruling itu.
Aku mendengar suara seruling Nyai berkata Raden
Ayu Kuda Narpada Tetapi tidak seperti suara yang kita
dengar sekarang, alangkah dalamnya, suara itu tentu
benar-benar meloncat dari dasar hati
Gembala-gembala dari Karangmaja memang pandai
meniuo seruling Gusti, mungkin itu suara hati seorang
gembala yang memang hidup berprihatin sejak kanakkanaknya
Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk-angguk, tetapi
ia tidak bertanya lebih lanjut.
Berbeda dengan ibunya, maka Inten Prawesti benarbenar telah dicengkam oleh suara itu, bahkan kemudian
ia bekata kepada kedua anak Nyi Upih itu Aku ingin
Sangkan menarik nafas dalam-dalam, dengan raguragu ia berbisik di telinga adiknya Pesona apakah yang
membuat puteri menjadi bingung
Gendam bisik adiknya
Apakah kau percaya, bahwa ada ilmu yang disebut
gendam dan dapat mempengaruhi hati seorang gadis
untuk mencintai orang yang melepaskan ilmi itu ?
Kenapa tidak ?!, tetapi sebenarnya gadis itu bukan
mencintainya, ia hanya sekedar terbius oleh ilmu itu
Siapakah yang terbius, Pinten ? tiba-tiba saja Inten
Prawesti bertanya, agaknya ia mendengar percakapan
kedua anak Nyi Upih itu.
Puteri, maksud kami, apakah puteri sudah kena ilmu
gendam itu ?
Inten Prawesti termangu-mangu, kemudian iapun
bertanya Apakah artinya ?
Ilmu yang dapat membius sesorang sehingga ia
melupakan segala-galanya karena hatinya dirampas oleh
kekuatan ilmu itu, yang kemudian besarang di hati
hanyalah bayangan-bayangan orang yang melepaskan
ilmu itu
Apakah kau menganggap suara seruling itu adalah
ilmu semacam itu ?
Mungkin puteri sahut Pinten.
Bab 9
Kidang Alitpun kemudian berdiri dan melangkah
meninggalkan kedua orang orang kawan-kawannya
dengan pesan Aku akan kembali kepondokku, ingat
semua yang harus kau lakukan
Kedua kawannya tidak menjawab, mereka
memandang langkah Kidang Alit yang semakin lama
Air Desisnya
Kidang Alit tersenyum, demikian juga Ki Buyut yang
menungguinya dengan tegang.
Aku berhasil Ki Buyut, ia dapat membuka matanya
dan melihat kita yang berada di sekitarnya, mulutnya
dapat bergerak dan menyebut sesuatu yang di
kehendakinya, mudah-mudahan ia dapat segera pulih
seperti Kasdu meskipun akan membutuhkan waktu yang
agak lama.
Lebih lama..? bertanya Ki Buyut.
Ya, orang-orang yang datang kemudian ini memiliki
kemampuan yang lebih tinggi dari orang-orang yang
yang telah datang lebih dahulu, orang-orang yang telah
dibunuh di istana kecil itu.
Ki Buyut termangu-mangu sejenak, lalu tiba-tiba saja
ia bertanya Kidang Alit, apakah kau tahu serba sedikit
tentang peristiwa di halaman istana kecil itu?
Maksud Ki Buyut?:
Apakah kau ikut campur didalam pertempuran yang
telah terjadi?
Kidang Alit mengerutkan keningnya, namun kemudian
ia tertawa Janganlah dirisaukan, aku tidak ikut campur
sama sekali, aku tidak tahu menahu
Bab 10
Gagak Wereng, setiap orang memiliki kelemahannya
masing-masing, karena kau murid Guntur Geni yang
sedang dicengkam oleh keragu-raguan, maka kau boleh
mengerti serba sedikit, juga sebagai imbalan
kesetiaanmu, meskipun hampir saja orang dari Kumbang
Kuning itu merenggut nyawamu Orang tua itu berhenti
sejenak, lalu Dengarlah, Kiai Sekar Pucang bukannya
orang yang tidak dapat mati, ia hanya dapat
membebaskan diri dari perjalanan waktu, karena itu agar
ia tidak terbunuh karena suatu yang terjadi pada
tubuhnya, maka ia selalu mengasingkan diri, jelasnya Kiai
Sekar Pucang belum berhasil memecahkan ilmu
kekebalan yang sempurna, karena itu, maka
bagaimanapun juga, masih ada kemungkinan untuk
membunuhnya. Itulah sebabnya ia harus mengasingkan
dirinya, waktunya sepenuhnya dipergunakannya antuk
memecahkan ilmu kebal dengan sempurna.
Sudah berapa tahun Kiai Sekar Pucang itu
mengasingkan diri Kiai?
Aku tidak ingat lagi waktu itu aku berguru pertama
kali, aku masih sempat mendapat tuntunan langsung dari
beliau, kemudian, perlahan-lahan ia membiarkan aku
menyempurnakan ilmuku sampai pada satu tingkatan,
bahwa aku berhak untuk menggantikannya, memberikan
ilmu kepada adik-adik seperguruanku, kepadamu, kepada
yang lain-lain, murid-murid Kiai Sekar Pucang yang
belum pernah melihat wajah gurunya Orang itu
termenung sejenak, lalu Namun pada suatu saat, jika
Bab 11
Panon Suka tertawa, sambil menarik tangan adiknya
agar gadis kecil itu berjalan lebih cepat ia berkata
Marilah, ibu tentu sudah pulang dari pasar, apakah kau
tidak pesan oleh-oleh?
Tentu ibu akan membeli tiga bungkus hawug-hawug
Panon tidak bertanya lagi, Ia mengajak adiknya
mendaki tebing yang curam, kemudian meloncati parit
dan berjalan di sepanjang tanggul.
Aneh katanya dalam hati. Adikya yang masih kecil
itu nampaknya tidak merasa lelah, ada sesuatu yang lain
padanya.
Ke Pegunungan Sewu
Pegunungan Sewu? Jadi ke dinding selatan dari
pulau ini? Wirit mengangguk-angguk.
Ayah Panon menarik nafas dalam-dalam, bagaimana
juga terasa sesuatu bergetar didadanya, karena Panon
adalah anak laki satu-satunya, kedua saudaranya yang
lain adalah perempuan semuanya.
Meskipun demikian Adi, aku menunggu
keputusanmu berkata pertapa itu selanjutnya Aku
adalah guru Panon Suka, tetapi kau adalah ayahnya,
adalah salah bahwa seorang guru merasa lebih berhak
atas muridnya dari pada ayah anak itu sendiri, keduanya
seharusnya memiliki tanggung jawab bersama didalam
bidangnya masing-masing serta mendasarinya dengan
budi pekerti yang baik, sesuai dengan darma seseorang
terhadap sesama dan baktinya terhadap Yang Maha
Pencipta Ia berhenti sejenak, lalu karena itulah, dalam
penyerahan tugas dan tanggung jawab kali ini, akupun
minta pertimbanganmu, katakanlah dengan jujur
menurut kata hatimu, apakah kau dapat melepaskan
anak lakimu satu-satunya itu
Ayah Panon termenung sejenak, angan-angannya
mulai merayap kedalam bayangan yang harus dilakukan
oleh anaknya di Pegunungan Sewu.
Kakang Wirit Iapun berkata kemudian Kau belum
mengatakan tugas yang kau bebankan kepada anakku
itu
Panon mengangguk-angguk.
Karena itu Panon, biarlah aku mendekat, aku akan
berada di ujung pegunungan yang berbatasan dengan
ngarai di lembah Payung, kau sebaiknya menempuh jalan
sebelah timur Hutan Mentaok yang lebat dan sampai ke
ujung pegunungan di lembah Payung, Kau tidak dapat
menembus Alas Mentaok, karena perjalanan yang
demikian justru akan menjadi lambat, meskipun
memotong arah
Panon mengangguk-angguk, sahutnya perlahan-lahan
Ya, guru
Gurunya kemudian memberikan beberapa pertanda
tentang lembah Payung di kaki Gunung Sewu di ujung
hutan, ia memberikan beberapa pertanda tentang
sebuah padukuhan kecil di lembah itu.
Guru akan berada di padukuhan kecil itu? bertanya
Panon.
Tidak Panon, Kau sajalah yang pergi ke padukuhan
kecil itu, kau dapat menitipkan kudamu disana, kau
dapat memberikan upah kepada seseorang yang akan
merawat kudamu selama kau berada di pegunungan
Sewu, karena kau akan datang ke Karangmaja dengan
berjalan kaki saja
Lalu bagaimana dengan guru?
Aku akan menyusul, aku akan meminjam kudamu
untuk memanjat pegunungan Sewu itu, karena itu, kau
Kenapa?
Seorang ksatria akan menjawab seperti jawabanmu
itu, jika ia bertemu lawannya di perjalanan, perjalanan
tanpa tujuan menurut kehendak ujung kaki dan
keredipan mata
Panon menarik nafas dalam-dalam, ia tidak dapat
menjawabnya, karena itu dibiarkannya saja orang itu
berbicara Baiklah anak muda, jika kau tidak mau
menyebut tujuan perjalananmu, maka, katakanlah,
apakah kau membawa bekal cukup banyak?
Panon terkejut mendengar pertanyaan itu, segera ia
dapat meraba, siapakah yang kini dihadapinya.
Meskipun Panon sudah berbekal ilmu yang cukup,
tetapi hatinya masih juga berdebaran, ia sama sekali
belum pernah mengalami hal serupa itu.
He, kenapa kau diam saja..?!!
Ki sanak berkata Panon Suka setelah ia mencoba
mengurangi getar jantungnya Aku bukan orang kaya
yang dapat membawa bekal pada sebuah perjalanan
tanpa tujuan seperti ini
Teteapi orang itu tertawa Kudamu adalah kuda yang
bagus sekali, nah apa katamu?
Panon termangu-mangu sejenak, pertanyaan orang
yang tidak dikenalnya itu semakin membingungkannya.
Bab 12
Tetapi Panon adalah seorang anak muda yang telah
mendapat latihan kecepatan yang matang, karena itu,
maka dengan gerakan yang sederhana ia berhasil
Bab 14
Sejenak Panon menunggu, yang dilihatnya kemudian
benar-benar menakjubkan, Ki Ajar Respati berteriak
sambil meloncat menghantam sebuah batu padas yang
terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Akibatnya benar-benar menakjubkan, batu padas
itupun pecah berantakan.
Tetapi belum lagi pecahan batu-batu padas yang
berhamburan itu terserak seluruhnya, sekali lagi
terdengar gemeretak gigi dan benturan yang yang tidak
kalah dahsyatnya, sebongkah lagi batu padas pecah
berserakan pula menjadi debu, segumpal asap yang
putih mengepul diantara debu yang berhamburan.
Luar biasa terdengar Kiai Rancangbandang berdesis
kepada diri sendiri, bahkan Ki Ajar Respatipun justru
berdiri termangu-mangu untuk beberapa saat. Ia
menyaksikan kepulan asap dan debu yang hanyut
tidak kalah dari apa yang dapat kau lakukan, maka kau
tentu akan bersikap lain
Wajah Ki Ajar menegang pula sejenak, lalu Anakmas,
kenapa pandangan anakmas menjadi sedemikian
pendeknya?
Ki Ajar, kau tidak akan dapat berpura-pura lagi, kau
tidak perlu menunggu, kapan kau akan mencari
kesempatan lagi untuk membunuhku
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam, ketika ia
memandang Ki Rancangbandang, maka dilihatnya Ki
Rancangbandang mengerutkan keningnya sambil berkata
Jangan salah mengerti anakmas, sebenarnyalah kami
tidak bermaksud buruk kepadamu
Sekarang kau dapat berkata begitu, tetapi apakah
yang akan kau katakana jika mayatku telah tergolek
disini?
Tentu tidak akan sampai sedemikian jauh anakmas
Aku tidak percaya, jangan berbuat licik
Sejenak Ki Ajar Respati termangu-mangu dan dengan
wajah yang muram ia berkata kepada adiknya Apakah
yang aku lakukan sudah terlampau jauh
Kiai Rancangbandang memandang Panon sejenak,
ada sesuatu yang terpancar pada sorot matanya, dengan
nada yang dalam ia berkata Aku sudah
memperhitungkan akibat ini
Bab 15
Sementara itu Panon Suka dan Kiai Rancangbandang
memacu kudanya menyelusuri jalan sempit dipinggir
hutan yang tidak begitu lebat, namun kudanya tidak
dapat berlari terlampau cepat karena jalan yang agak
sulit dan sempit.
Tetapi jika demikian, seandainya mereka benarbenar mempunyai pamrih, apakah selama itu tidak akan
terjadi sesuatu?
Kiai Rancangbandang menarik nafas dalam-dalam, ia
mengetahui dari pembicaraan-pembicaraan yang
didengar di pasar tentang kemampuan bangsawan itu,
yang dapat mengetahui keadaan seseorang yang sedang
terluka dengan rabaan jarinya, dan bahwa ia telah
membunuh orang yang memasuki istana itu dengan
maksud jahat.
Maka itu maka dengan ragu-ragu Kiai
Rancangbandangpun berkata Kita harus berhati-hati
sekali, meskipun kita datang dengan wajah pengemis
sekalipun, kita akan tetap dicurigai
Jadi?
Kita harus benar-benar menyiapkan diri menghadap
segala kemungkinan, agaknya kita tidak akan terlepas
sama sekali dari suatu tindakan kekerasan menghadapi
keadaan di sekitar istana kecil itu
Panon mengangguk-angguk, katanya Agaknya
gurupun mempertimbangkan pula, jika tidak, maka guru
tentu tidak perlu memberikan bekal ilmu kanuragan
kepadaku
Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, lalu
Karena itu, jangan terlampau mengalah menghadapi
setiap persoalan sebelum kita terlambat mengambil
sikap, kau agaknya terlampau sabar menghadapi
Bab 18
Pinten Inten Prawesti kemudian berlari-lari
mendekatinya Ada apa?
Pinten mengusap matanya yang basah dan kemerahmerahan, Kau menangis?
Pinten mengangguk
Apa yang terjadi?
Kakang Sangkan nakal sekali
O Inten menarik nafas dalam-dalam Apakah yang
sudah dilakukannya atasmu?
Kakang Sangkan yang merasa takut tinggal disini,
ingin pergi meninggalkan biyung dan aku, sebenarnya
aku ingin ikut, atau Kakang Sangkan yang tetap tinggal
bersama biyung disini
Inten Prawesti terkejut mendengarnya, dengan dahi
yang berkerut ia bertanya Kenapa Sangkan akan pergi,
Pinten
Ya, kenapa?
Sangkan mengangguk-angguk, lalu katanya kepada
kedua orang itu Nah, kau dengar, Biyungku terlalu baik
hati terhadap kalian, ia mengorbankan dirinya untuk
memberikan tempat kepada kalian di istana ini
Orang yang lebih tua mengangkat wajahnya, dengan
suara yang dalam ia menyahut Kami mengucapkan
terima kasih yang tidak terhingga kepada Raden
Hem, aku yang kau maksud?
Orang itu ragu-ragu, sedang Sangkan kemudian
tertawa terbahak-bahak Jangan sebut aku Raden, aku
akan menjadi pingsan nanti, panggil aku Panji, eh bukan,
Rangga juga bukan, panggil saja aku Sangkan
Pengembara yang tua menarik nafas dalam-dalam,
tetapi ia mencoba bersikap seperti semula.
Kau terlalu banyak bicara Sangkan berkata Nyi Upih
Ayo, bawa mereka ke bilikmu
Kedua orang itu berpandangan sejenak.
Ya, kau belum memperkenalkan namamu kepada
anakku berkata Nyi Upih.
Yang muda memandang Sangkan sejenak, lalu
katanya Namaku Panon
Maksudmu?
Sangkan memang seorang anak muda yang malas
dan agak sombong, tetapi jika disiang hari tidur, ia tidak
akan sepulas itu tidur di malam hari, nampaknya ia
terlampau cepat tidur dari hari-hari yang lain
Ia memang malas sekali, ia selalu tertidur jika ia
berbaring dimanapun, tetapi jika kau merasa hadirnya
suasana yang lain, akupun sependapat
Panon dengan hati-hati melangkah mendekati
Sangkan, ia ingin membuktikan, bahwa ada yang lain
pada saat itu. Bukan saja terjadi pada anak muda yang
malas itu, tetapi juga terasa olehnya.
Apa yang akan kau lakukan? bertanya Ki Mina.
Aku hanya ingin tahu, apakah ia benar-benar tidur
lebih pulas dari biasanya
Anak malas itu tidak pernah merasa terganggu oleh
kejadian apapun juga, sehingga iapun selalu tidur
dengan nyenyaknya, Sangkan tidak akan dapat
dipergunakan sebagai ukuran suasana malam yang
terlampau sepi ini, Suara jangkrik dan belalangpun rasarasanya terhenti dengan tiba-tiba
Panon termangu-mangu, diurungkan niatnya untuk
menyentuh tubuh Sangkan, karena iapun sependapat,
bahwa Sangkan tidak dapat dipergunakan sebagai
ukuran.
Jadi?
Kali ini aku akan membantumu mengusir orangorang Guntur Geni, kita memang harus bergabung, tanpa
kerja sama yang baik, maka kita tidak akan dapat
mengatasi mereka yang berjumlah lebih banyak. Baru
sesudah itu, mungkin kita akan terlihat dalam
perhitungan sendiri
Kuda Rupaka menggeram, ia sadar betapa liciknya
Kidang Alit, tetapi menghadapi keadaan yang berat saat
itu, ia tidak dapat berbuat lain, katanya Terserahlah
kepadamu, tetapi sesudah orang-orang Guntur Geni iti
kita tumpas, maka akan dating gilirannya aku
membunuhmu
Kidang Alit tertawa, katanya Jangan kita bicarakan
sekerang, itu hanya akan menimbulkan kegelisahan,
karena sebenarnya kita sudah dapat mengetahui
kemampuan kita masing-masing, dan jika pada suatu
saat kita harus berkelahi, aku kira kita hanya akan
memperhitungkan ketahanan kita masing-masing,
mungkin tiga hari tiga malam, atau justru lebih
Jadi, kau sudah bertekad untuk membiarkan aku
hidup? bertanya Kuda Rupaka.
Menurut penilaianku, kau lebih lemah dari kekuatan
Guntur Geni, kematianmu akan menguntungkan orangorang Guntur Geni yang mungkin tidak terlawan pula
olehku
tetapi lawannya yang sudah berjanggut putih itu, seolaholah mampu terbang mengelilinginya.
Pada suatu saat Kuda Rupaka harus mengakui
keunggulan Kiai Paran Sangit desis Kidang Alit Tetapi
itu memerlukan waktu yang lama
Namun kemudian ia tersenyum didalam hatinya.
Lawannya yang hanya seorang itu cukup memberikan
perlawanan yang sengit dan kasar karena
kemarahannya. Tetapi Kidang Alit yakin, bahwa ia dapat
mengalahkannya.
Mudah-mudahan aku dapat membunuh orang ini
lebih dahulu dari Kiai Paran Sangit, tetapi agaknya
memang demikian, Kuda Rupaka adalah lawan yang
cukup berat bagi orang-orang Guntur Geni itu
Demikianlah setelah Kidang Alit berhasil memaksa
lawannya bertempur dengan liar dan hampir kehilangan
nalarnya, mulailah ia membenahi dirinya untuk secepatcepatnya membunuh lawannya itu.
Dengan demikian, maka di halaman istana kecil itu
telah terjadi hiruk pikuk yang menegangkan, perkelahian
dalam tiga lingkaran pertempuran yang dahsyat seolaholah telah membakar seluruh halaman istana itu.
Namun dalam pada itu, di dalam istana seseorang
telah melangkah dengan hati-hati menuju ke bilik Raden
Ayu Kuda Narpada, orang yang berwajah hantu itu
termangu-mangu sejenak, ia mencoba mendengarkan
apakah pengaruh sirepnya cukup kuat sehingga hiruk