Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Islam adalah agama universal dan salah satu agama (bukan satu-satunya agama)
yang dianut oleh banyak umat manusia penghuni jagat raya. Ia membimbing
pemeluknya, bukan hanya untuk memperoleh kenikmatan akhirat saja, melainkan juga
mengatur perilaku hidup di dunia demi meraih kenikmatan di akhirat. Selain karena
karunia Allah Swt., masuk surga itu tergantung pula kepada bagaimana sikap hidup di
dunia. Hal ini banyak diisyaratkan al-Qur’an, yang antara lain, dalam Qs. Ali ‘Imran:
142: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi
Allah siapa orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata siapa orang-orang
yang sabar.” Masih banyak ayat yang senada dengannya.

Realita yang tidak bisa dipungkiri, bahwa Islam hidup di tengah-tengah agama
yang sudah lama ada dan menyaksikan lahirnya kepercayaan serta aliran baru. Bahkan
boleh jadi, yang membidaninya karena dianggap tidak mampu menjawab tantangan
zaman akibat sikap pemeluknya. Maka mau tidak mau, Islam harus berinteraksi, hidup
berdampingan, atau hidup bersinggungan dengan agama-agama dan kepercayaan-
kepercayaan itu.

Menurut hemat kami, pada dasarnya agama atau kepercayaan yang dianut umat
manusia itu ada tiga macam: pertama, ada yang hanya mementingkan hubungan akhirat
saja tanpa mengindahkan kehidupan dunia. Ia akan sempurna keberagamaannya, bila
sudah mampu meninggalkan hiruk-pikuk dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
dunia. Kedua, ada juga agama atau kepercayaan yang hanya mementingkan hubungan di
dunia, tidak perlu banyak-banyak melakukan ibadat ritual. Yang penting baik terhadap
orang lain. Ketiga, ada juga agama yang mengharuskan pemeluknya menjalankan kedua-
duanya secara seimbang, tidak bisa mementingkan yang satu dan mengenyampingkan
yang lainnya. Sebenarnya Islam termasuk agama yang ketiga, yakni yang mementingkan
kedua-duanya, dunia dan akhirat, sebagaimana tersurat di dalam do’a yang senantiasa
dipanjatkan oleh kaum muslimin: Tuhan, anugerahkan kepada kami kebaikan hidup di
dunia dan kenikmatan hidup di akhirat serta hindarkan kami dari siksa api neraka.

2. Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini diantaranya:

1. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam


2. Menjelaskan bahwa islam adalah agama yang universal
3. Menjelaskan tentang ajaran Islam dalam menghadapi arus globalisasi

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Islam Adalah Agama Universal (Universal Religion)

“Tiada Kami mengutus Engkau (Muhammad), melainkan untuk seluruh umat manusia
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”

(Q.S. Saba’[34] : 28)

Islam merupakan agama universal, ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan


umat manusia yang berlaku di setiap tempat dan masa. Islam merupakan agama yang
memiliki keseimbangan orientasi hidup, yaitu kehidupan dunia dan akhirat. Penamaan
Islam sebagai agama, langsung diberikan oleh Allah melalui wahyu-NYA (Al-Qur’an).
Sementara itu, pemberian nama agama lain yang berkembang di dunia senantiasa
diidentifikasikan kepada orang atau tokoh yang membawa ajaran tersebut, atau daerah
tempat agama itu lahir.

Universalisme Islam terintegritas dan terkodifikasi dalam akidah, syariah, dan


akhlak. Antara satu dan yang lainnya terdapat nisbat atau hubungan yang saling berkaitan
dan kesemuanya berfokus dan menuju pada keesaan Allah atau bertauhid. Ajaran tauhid
inilah yang menjadi inti, awal, dan akhir dari seluruh ajaran Islam.

Islam itu sendiri, secara totalitas, merupakan suatu keyakinan bahwa nilai-nilai
ajarannya adalah benar dan bersifat mutlak karena bersumber dari Yang Mahamutlak.
Dengan demikian, segala yang diperintahkan dan diizinkan-Nya adalah suatu kebenaran,
sedangkan segala sesuatu yang dilarang-Nya adalah kebatilan.

Di samping itu, Islam merupakan hukum atau undang-undang (syariah) yang


mengatur tata cara manusia dalam berhubungan dengan Allah (vertikal) dan hubungan
antarsesama manusia (horizontal). Di dalamnya mencakup dua bidang pembahasan, yaitu
pertama bidang ibadah mahdah yang meliputi tata cara shalat, puasa, zakat, dan haji.
Kedua, bidang ibadah ghair mahdah yang meliputi mu’amalat, munakahat, siyasat,
jinayat, dan sebagainya. Sebagai standar dan ukuran dalam pelaksanaannya merujuk pada
hukum yang lima yang disebut Ahkam Al-Khamsah, yaitu, wajib, haram, mubah,
mandhub, dan makruh. Penerapan kelima hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari
memiliki variasi dan pelaksanaannya bersifat fleksible melalui ijtihad yang disesuaikan
dengan perubahan dan perkembangan zaman. Aspek syari’ah ini disosialisasikan oleh
aspek akhlak yang meliputi cara, tata kelakuan, dan kebiasaan dalam bersosialisasi dan
berinteraksi, baik yang berhubungan dengan ekonomi, politik, berkeluarga, bertetangga,
dan sebagainya. Ketiga aspek tersebut dalam operasionalnya bersumber kepada Al-
Qur’an dan Sunnah Rasul. Dua pokok inilah yang mengatur kehidupan manusia dengan
cermat, baik yang berhubungan dengan Allah, maupun yang berhubungan dengan sesama

2
manusia dan alam sekitarnya. Kemudian dilakukan ijtihad untuk menetapkan hukum bagi
persoalan-persoalan yang tidak terdapat secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan sunnah
Rasul, sebagai hasil ketetapan para ulama yang dikodifikasi dalam ilmu fiqih.

Seluruh ajaran tersebut, baik akidah maupun syari’ah dan akhlak, bertujuan
membebaskan manusia dari berbagai belenggu penyakit mental-spiritual dan stagnasi
berpikir, serta mengatur tingkah laku perbuatan manusia secara tertib agar tidak
terjerumus ke lembah kehinaan dan keterbelakangan, sehingga tercapai kesejahteraan dan
kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Sinkronitas dan integritas dari ketiga
aspek tersebut, terlihat universalisme dan universalitas Islam dengan misinya sebagai
rahmat bagi seluruh umat manusia.

Atas dasar itulah, muncul diktum Islam sebagai agama yang sempurna.
Kesempurnaannya terlihat dalam ajaran-ajarannya yang bersifat universal dan fleksible
(luas dan luwes) serta mengharuskan terciptanya keseimbangan hidup antara duniawi dan
ukhrawi, jasmani dan rohani. Sebab, kehidupan duniawi yang baik harus dijadikan media
untuk mencapai kehidupan rohani yang baik. Sebaliknya, kehidupan rohani yang baik
harus dijadikan media untuk memenuhi kehidupan jasmani yang baik, legal, dan halal
serta di bawah ridha Allah. Oleh karena itu, Islam merupakan kekuatan hidup yang
dinamis, juga merupakan suatu kode yang sesuai dan berdampingan dengan tabiat alam,
dan merupakan kode yang meliputi segala aspek kehidupan insani.

Salah satu ciri yang menonjol dalam konsep Islam adalah adanya prinsip
keseimbangan (Yin-Yang) dan keharmonisan hidup. Islam adalah agama lahir dan batin,
serta agama dunia dan akhirat. Keharmonisan ini karena Islam sesuai dengan bentuk dan
jenis penciptaan alam raya yang menggambarkan keseimbangan, seperti yang
diungkapkan Al-Qur’an dengan istilah Fithrah karena sifat fithrah itu sendiri adalah
seimbang atau harmoni. Langit dan bumi adalah ciptaan Allah yang seimbang sehingga
dapat terjadi harmoni di alam raya, seperti matahari, bulan, planet-planet yang
menjadikan bumi berputar secara teratur dan melahirkan iklim dan cuaca yang seimbang
sehingga layak dihuni manusia.

Keseimbangan ini merupakan ciri fithrah Allah pada umumnya. Demikian pula
dengan fithrah manusia yang seimbang antara fisik dan jiwa, lahir dan batin, akal dan
hati, sebagaimana dalam alam, ada langit dan bumi, siang dan malam, dan sebagainya.
Kelestarian alam dan manusia juga terletak pada keseimbangan. Bumi akan tetap ada
apabila antara daratan dan lautan, dataran rendah dan gunung-gunung tetap seimbang.
Keseimbangan di bumi akan menyeimbangkan pula daya tarik menariknya dengan
planet-planet lain sehingga tidak terjadi benturan yang dapat menghancurkan segalanya.
Demikian pula, keseimbangan pada diri manusia. Manusia akan tetap terjaga
kesehatannya apabila terjaga keseimbangannya antara bekerja dan istirahat, lahir dan
batin, akal dan hati, bekerja dan ibadah, dunia dan akhirat.

Keseimbangan dan keharmonisan ajaran Islam mengandung implikasi bahwa


Islam selalu berada pada garis tengah, tidak ekstrim pada salah satu pandangan, tidak
materialistis, dan tidak pula sosialis. Islam memandang hidup secara utuh dan seimbang

3
antara realita dan idealita. Kehadiran Islam menjadikan umatnya sebagai saksi yang
berada di garis tengah terhadap seluruh realitas kehidupan. Berbeda dengan agama
lainnya yang memisahkan hidup manusia secara tegas bahwa agama hanya berkaitan
dengan masalah penyembahan saja. Islam tidak hanya mengetengahkan urusan individu
penganutnya, melainkan juga urusan masyarakat, negara, bahkan hubungan antarbangsa.

Islam tidak membedakan ras, suku, dan bangsa. Ia diturunkan Allah untuk seluruh
manusia dari bangsa dan golongan mana pun. Orang-orang Barat sering kali
menyamakan Islam dengan Arab, seolah-olah Islam itu sama dengan Arab. Padahal
keterkaitan Islam dengan Arab hanya terbatas pada sejarah dan bahasa, yaitu Nabi
Muhammad SAW., pembawanya, dari Arab dan Al-Qur’an sebagai kitab sucinya
diturunkan Allah dalam bahasa Arab. Di luar itu, Islam tidak identik dengan Arab. Ajaran
Islam mendorong lahirnya umat multiras, etnik, dan golongan, tetapi memiliki satu
kebanggaan yang menyatukan semuanya. Ikatan yang memperkokoh kesatuan dirinya
adalah tauhid. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka – jika
mereka konsisten – tidak akan melahirkan perpecahan.

Islam mengembangkan kesatuan dan kesamaan, baik kesetaraan gender maupun


ras dan etnik. Oleh karena itu, Islam sangat membenci diskriminasi gender dan
diskriminasi rasial. Konsep persamaan yang terkandung dalam ajaran Islam melahirkan
sikap saling menghargai (demokrasi) yang menjadi salah satu ciri umat Islam.
Menghargai orang lain, baik fisik, kondisi maupun pendapatnya juga merupakan salah
satu ciri dari demokrasi. Saling menghargai dalam tatanan umat Islam merupakan suatu
keharusan yang menjadi ciri dalam komunikasi sehari-hari.

Umat Islam bukanlah kelompok yang tertutup (ekslusif), tetapi kelompok yang
sangat terbuka terhadap pihak lain bahkan terhadap perubahan-perubahan yang datang
dari luar sepanjang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Ajaran Islam sangat adaptif
terhadap budaya masyarakat, bahkan pada waktu tertentu dapat mengadopsi nilai-nilai
budaya sebagai bagian dari ajaran Islam. Dengan demikian, umat Islam merupakan
masyarakat yang terbuka dan dinamis serta selalu berorientasi pada masa depan yang
lebih baik tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar yang menjadi dasar pijakannya.

Agama Islam adalah agama yang menebarkan perdamaian, persaudaraan, dan


persamaan. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat menjadi pemicu lahirnya ketidakstabilan
dan permusuhan antar manusia harus dihindari. Salah satu yang tidak diperkenankan
dalam ajaran Islam adalah pemaksaan satu kelompok kepada kelompok lain. Agama bagi
Islam adalah keyakinan yang harus datang dari kesadaran diri terhadap eksistensi dan
kekuasaan Tuhan. Apa yang baik dan buruk sudah sangat jelas diperlihatkan Allah dalam
ayat-ayat-NYA, baik yang tersurat dalam Al-Qur’an maupun yang tersirat dalam alam
ciptaan Tuhan. Manusia tinggal melihat, memahami, mempercayai dan meyakininya
melalui proses berpikir yang benar. Islam mendorong umatnya untuk bekerjasama dalam
berbagai segi kehidupan dengan siapa saja, termasuk dengan umat beragama lain
sepanjang kerja sama dilakukan untuk kebaikan. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap
orang harus berusaha untuk saling menguntungkan dan tidak melanggar hukum. Umat
Islam dituntut untuk melakukannya dengan baik dan adil.

4
B. Islam Dalam Percaturan Global

Dari sekian agama yang ada, daya survive Islam sangat mengagumkan bagi
kalangan sejarawan. Bagi kita, bangsa Indonesia faktor histories ini begitu jelas.
Meskipun Barat (Belanda) pernah menjajah kita ratusan tahun lamanya, ternyata Islam
pada akhirnya justru bangkit sebagai kekuatan inti dalam menghalau penjajah. Tidak di
Indonesia saja, dibelahan bumi yang lainpun ternyata Islam tidak lenyap meski mendapat
gempuran Barat, tetapi malahan bangkit dan berkembang hingga hari ini.

Pernyataan yang harus dijawab adalah jika berhadapan dengan Barat sebagai
penjajah Islam telah berhasil membesarkan diri dan mengusir kekuatan Barat dari negeri-
negeri muslim, mampukah dalam proses globalisasi ini Islam tampil sebagai pihak yang
menentukan jalannya proses tersebut, dan bukan hanya sebagai pihak yang ditentukan
apalagi dikalahkan?
Jawaban atas pertanyaan tentu tidak sesederhana sebagaimana tidak
sesederhananya proses globalisasi itu sendiri. Namun satu hal yang jelas adalah kita umat
Islam tidak mau menjadi korban dari arus globalisasi dan tenggelam di dasarnya hanya
lantaran kita tidak paham bagaimana berenang diatasnya jika mungkin turut mengarahkan
jalannya arus tersebut.

Agar umat Islam di Indonesia yang dikenal sebagai “The Biggest Moslem
Community in The World” mampu tampil dan turut berperan sebagai penentu dan bukan
hanya ditentukan, sebagai pemain dan bukan hanya sebagai penonton, maka dalam
menghadapi tantangan globalisasi ini perlu kiranya dilakukan beberapa langkah strategis.

Pertama, mengajak umat mengenal makna yang sebenarnya dari proses


globalisasi serta implikasinya bagi kehidupan umat dan bangsa dalam berbagai aspek.
Globalisasi sebagai proses yang pada akhirnya akan membawa seluruh penduduk planet
bumi menjadi suatu world society dan global society harus dipandang dan difahami
sebagai proses wajar yang tak terhindarkan yang diakibatkan oleh semakin majunya
peradaban manusia dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) khususnya teknologi
komunikasi dan informasi. Sebab bagaimanapun global society yang oleh Miriam L.
Campenella dalam buku Transition to a Global Society diartikan sebagai “an idealistic
cosmopolitan and universal society that includes all the people living on earth, without
regard to cultural and ethical beliefs, lambat maupun cepat akhirnya akan menjadi
kenyataan.

Menampakkan wujudnya di bumi manapun dengan cepat dapat dikomunikasikan


ke seluruh dunia. Akibatnya manusia semakin menyadari posisinya sebagai sesama
warga satu desa dunia atau a global village. Sebagaimana halnya yang saling mengenal
satu sama lain serta selalu saling bergotong royong dalam mewujudkan keamanan dan
kesejahteraan seluruh warga, demikian pula hendaknya sikap manusia sebagai sesama
warga bumi.

5
Kedua, dalam kontek Islam, umat harus diajak menyadari tanpa harus terjebak
dalam sikap opologetik bahwa ajaran Islam dengan tegas dan gamlang sejak awal telah
memandang umat manusia sebagai suatu kesatuan (umat wahidah) yang dalam wacana
globalisasi senantiasa merupakan kelanjutan belaka dari ajaran tauhid yang mengajarkan
tentang satunya asal usul umat manusia. Dengan gamlang ditegaskan dalam surah al-
anbiyaa’ ayat 92. Yang artinya : “Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah umatmu
semua, yaitu yang satu dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah aku(saja).”

Dengan menyadari bahwa konsep kesatuan umat manusia adalah konsekuensi dari
keyakinan tauhid yang merupakan bagian sentral dari ajaran Islam sendiri, maka
diharapkan umat Islam tidak perlu takut akan proses globalisasi meskipun memang perlu
sikap waspada. Kewaspadaan itu harus diwujudkan dalam sikap dan perilaku kreatif
dengan menggali hikmah ajaran Islam untuk didakwahkan dan disumbangkan sebagai
rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil-‘alamin).

Ketiga, kita harus mengembangkan kehidupan beragama yang “tune in” dengan
tuntutan perkembangan di era globalisasi ini. Seperti dimaklumi sering dengan
globalisasi okonomi maka kekuatan satu bangsa tidak lagi ditentukan oleh ketangguhan
watak dan daya intelektualnya, sekarang lebih dikenal sebagai kualitas sumber daya
manusia(SDM).

Taiwan, Korea, Hongkong, dan Singapura yang disebut sebagai “empat naga
kecil” (fout little dragon) ekonomi itu adalah contoh konkrit yang sumber daya alamnya
sangat terbatas, namun berhasil muncul sebagai kekuatan ekonomi yang disegani,
lantaran keberhasilannya dalam mengembangkan dan mendayagunakan sumber daya
manusianya. Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai international competence atau
kompetensi internasional merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki bangsa
Indonesia bila kita ingin tampil sebagai bangsa yang bukan hanya besar dari segi
kuantitas, melainkan juga dari segi kualitas.

Untuk menjawab tantangan tersebut umat Islam sebagai bagian terbesar dari
bangsa Indonesia harus sanggup mewujudkan kehidupan keagamaan yang kondusif bagi
upaya mewujudkan international competence bangsa dalam percaturan global yang
semakin kompetitif. Oleh sebab itu, menjadi suatu keharusan yang mendesak agar umat
Islam mengembangkan pola kehidupan yang beragama yang aktual, yaitu; pola
keberagamaan yang selain menghidup suburkan keimanan dan ketakwaan juga sekaligus
melahirkan kegairahan untuk mendayagunakan dan meningkatkan kemampuan dan
meningkatkan kemampuanya seoptimal mungkin.

Salah satu hadits Nabi mengatakan, ”Barang siapa yang ingin dunia hendaklah
dengan ilmu, barang siapa yang ingin akhirat hendaklah dengan ilmu. Dan Barang siapa
yang ingin keduanya maka hendaklah dengan ilmu.” Tentang pentingnya ilmu di samping
iman tidak boleh tersimpan dibalik lipatan kitab-kitab.

Ajaran tersebut harus dibumikan sedemikian rupa agar dapat menjadi inner drive
yang menggairahkan upaya meningkatkan kualitas bangsa ini. Sebab, sumber utama dari

6
kemajuan suatu bangsa, pada dasarnya terletak pada kegairahannya dalam menggali dan
mengembangkan ilmu. Islam memang kaya dengan nilai-nilai luhur yang pada dasarnya
juga menjadi nilai-nilai yang menggerakkan kemajuan peradaban. Sayang kita umat
Islam belum bisa membumikan nilai-nilai luhur tersebut. Karena itu, agenda utama umat
Islam tak lain adalah menerjemahkan ajaran-ajaran yang sangat dalam dan dinamis itu,
bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan nyata.

Dengan langkah-langkah seperti dipaparkan diatas, umar Islam tidak akan


gampang terseret dalam menghadapi arus globalisasi. Sebagaimana bagian tersebar dari
bangsa Indonesia, umat Islam dengan kemampuan menggali dan mendayagunakan ajaran
agamanya untuk menjawab tantangan globalisasi, justru diharapkan untuk mampu
mempelopori dan membawa bangsa ini tampil di gelanggang percaturan dan persaingan
global tanpa kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beriman dan bertakwa. Ini
sekaligus merupakan upaya konkret untuk turut mengarahkan aliran arus globalisasi.

Dengan teknologi komunikasi dan informasi, dunia memang terasa menjadi


sempit dan kecil. Tanpa keimanan kecanggihan produk iptek tersebut dapat membawa
manusia ke sikap sombong dan melupakan Tuhan. Namun dari sudut iman dunia yang
terasa kecil itu justru menggugah agar manusia lebih merasa kecil lagi di hadapan Tuhan
Yang Maha Pencipta. Tanpa pegangan iman pola kehidupan yang makin mengglobal ini
akan mudah membawa orang terombang ambing, terlanda stress, dan keterasingan
(alienated). Tetapi dengan keimanan orang akan tangguh menghadapinya, karena proses
tersebut di pahami sebagai bagian dari sunnatullah yang tak mungkin dihindari.

7
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Islam adalah ajaran universal dimana misi serta kebenaran ajarannya melampaui
batas-batas suku, etnis, bangsa, dan bahasa. Oleh kareanya, tidaklah mengherankan jika
berbagai seruan Al-Qur’an banyak sekali menggunakan ungkapan yang berciri
kosmopolitanisme ataupun globalisme.

Islam adalah satu-satunya agama yang telah menggariskan metode kehidupan


secara utuh. Di dalamnya diatur segala urusan dan segala aspek kehidupan. Ia bukan
metode bikinan manusia yang mengandung unsur benar dan salah, akan tetapi metode
Illahi yang dapat mengantarkan orang yang mengikutinya kepada kebahagiaan,
ketenangan, dan ketentraman jiwa di dunia, serta sukses meraih surga dan menggapai
kenikmatan abadi pada hari kiamat. Allah SWT. Berfirman : “Kami tidak menyia-
nyiakan sesuatupun dalam al-Kitab (Al-Qur’an).

Umat Islam di dunia khususnya bangsa Indonesia harus sanggup mewujudkan


kehidupan keagamaan yang kondusif bagi upaya mewujudkan international competence
bangsa dalam percaturan global yang semakin kompetitif. Oleh sebab itu, menjadi suatu
keharusan yang mendesak agar umat Islam mengembangkan pola kehidupan beragama
yang aktual, yaitu; pola keberagamaan yang selain menghidup suburkan keimanan dan
ketakwaan juga sekaligus melahirkan kegairahan untuk mendayagunakan dan
meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemampuanya seoptimal mungkin.

2. Saran

Mengikuti jalan islam tidak sesulit yang dibayangkan oleh orang-orang. Islam
diharapkan mampu mempelopori untuk tampil di gelanggang percaturan dan persaingan
global tanpa kehilangan jati dirinya sebagai agama yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan-Nya. Ini sekaligus merupakan upaya konkret untuk turut mengarahkan aliran arus
globalisasi.

8
DAFTRA PUSTAKA

Taher, Tarmizi. 2002. Menyegarkan Akidah Tauhid Insani, Mati di Era Klenik.
Jakarta : Gema Insani Press

www.wikipedia.org

www.google.com

http://hamidzarkasyi.blogspot.com

www.wordprees.com

www.yahoosearch.com

Anda mungkin juga menyukai