Anda di halaman 1dari 2

Tugas Bimbingan Kasus UGD

Yohanita Adiningtyas
G6A009163

INDIKASI ECT

Major Depressive Disorder


ECT merupakan terapi yang paling cepat dan paling efektif pada gangguan depresi mayor. ECT perlu
dipertimbangkan untuk digunakan pada pasien yang mengalami kegagalan terapi medikamentosa, tidak
toleran terhadap obat, memiliki gejala berat atau gejala psikotik, akhir-akhir ini membahayakan diri
sendiri atau orang lain, atau mengalami stupor atau agitasi.

Episode Manik
ECT perlu dipertimbangkan sebagai alternatif terapi bagi pasien mania dengan gejala berat meliputi
agitasi dan delirium.

Schizophrenia
ECT efektif dalam manajemen psikosis eksaserbasi akut. Bagi pasien schizophrenia dengan eksaserbasi
akut, terapi utama tetap merupakan obat-obatan anti psikotik. ECT perlu digunakan pada pasien dengan
gejala yang sangat berat atau intoleran terhadap terapi dengan obat-obat psikotropik.

Katatonia
Sindrom katatonia sering dijumpai pada pasien dengan schizophrenia atau gangguan bipolar. Tanpa
memandang gangguan yang mendasari, katatonia berespon relatif baik terhadap ECT, dengan perbaikan
gejala motorik (postur, rigiditas) biasanya terjadi setelah beberapa penanganan.

Gangguan Neurologis
ECT memperbaiki gejala motorik pada Parkinson's disease, khususnya pada rigiditas dan bradikinesia,
selain juga mempunyai efek pada gejala depresi yang sering menyertai gangguan ini.

KONTRAINDIKASI ECT

Tidak ada kontraindikasi absolut untuk ECT. Sebelumnya, adanya tumor otak dipandang sebagai
kontraindikasi absolut untuk ECT karena peningkatan cerebral blood flow dan tekanan intrakranial yang
menyertai kejang meningkatkan risiko herniasi otak, dekompensasi neurologis, dan kematian. Namun,
berbagai laporan telah menggambarkan penggunaan ECT yang berhasil menangani gangguan psikiatrik
pada pasien dengan tumor SSP. Saat ini, keberadaan tumor SSP harus dipandang sebagai faktor yang
secara signifikan meningkatkan risiko ECT. Pasien dengan risiko tinggi yaitu pasien dengan lesi SSP yang
luas, bukti peningkatan tekanan intrakranial, bukti adanya midline shift pada gambaran radiologis, atau
pemeriksaan neurologis yang menunjukkan adanya defisit fokal yang jelas. Pasien dengan lesi-lesi kecil
pada regio tenang SSP memiliki risiko yang lebih kecil. Respon pressor pada ECT harus ditangani dengan
hati-hati pada pasien dengan tumor SSP terkait adanya perubahan tekanan intracerebral yang
berhubungan dengan perubahan cerebral blood flow. Penggunaan steroid dapat mengurangi
pembengkakan pada area tumor dan menurunkan risiko ECT. Pada pasien dengan tumor SSP, keputusan
penggunaan ECT harus dibuat dengan hati-hati dalam kolaborasi dengan neurologis dan ahli bedah
saraf.

Pasien yang pernah mengalami prosedur bedah saraf atau pernah mengalami fraktur tengkorak juga
berada dalam risiko tinggi atas komplikasi ECT. Defek tulang memungkinkan adanya jalur low-resistance
bagi arus listrik untuk memasuki SSP secara lebih langsung dalam stimulasi elektris, sehingga
meningkatkan risiko lesi elektrolitik. Pada pasien-pasien ini, elektroda ECT tidak boleh ditempatkan
langsung pada regio dimana tengkorak pernah mengalami perubahan.

Faktor lain yang meningkatkan risiko komplikasi ECT meliputi infark miokard atau stroke dalam 4-6
minggu sebelum ECT, atau adanya gagal jantung kongestid yang tidak terkompensasi, antara lain juga
karena adanya peningkatan risiko anestesi umum.

Sumber:
B. J. Sadock, V. A. Sadock, Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. Volume 2. 7th
Edition.

Anda mungkin juga menyukai