Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MATA KULIAH LANDREFORM DI INDONESIA

TANAH KELEBIHAN MAKSIMUM SEBEGAI OBJEK


LANDREFORM DI INDONESIA

DISUSUN OLEH:

Nama

: DITA IKA SETYABUDI LESTYANINGSIH

NIM

: 14232842

Kelas

:B

KEMENTRIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN


NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN
SEMESTER III
YOGYAKARTA
2015/2016

TANAH KELEBIHAN MAKSIMUM SEBAGAI OBJEK LANDREFORM

A. PENGERTIAN TANAH KELEBIHAN MAKSIMUM


Tanah kelebihan batas maksimum, yaitu tanah yang melebihi batas ketentuan
maksimum yang boleh dimiliki oleh seseorang atau satu keluarga sebagaimana yang
ditentukan dalam Undang-Undang. Luas batas maksimum ditentukan per daerah
tingkat II dengan memperhatikan faktor jumlah penduduk, luas daerah, dan sebagainya.
Daerah tersebut dibagi menjadi daerah yang tidak padat dengan pemilikan maksimum
20 hektare, cukup padat maksimum 9 hektare dan sangaat padat maksimum
pemilikannya 6 hektare. dan tanah kelebihan tersebut diambil alih oleh pemerintah
dengan diberikan ganti rugi.
B. DASAR HUKUM
Dasar hokum yang memgatur tentang tanah kelebihan maksimum sebagai objek
landereform terdapat dalam peraturan-peraturan sebagai berikut :
1. Undang-Undang Pokok Agraria. UU No 5 Tahun 1960 Pasal 7 dan pasal 17.
a) Dalam pasal 7 disebutkan bahwa melarang pemilikan dan penguasaan tanah
yang melampaui batas. ketentuan ini untuk mencegah dan mengakhiri grootgrondbezit. yaitu bertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan dan orangorang tertentu.
b) Dalam ketentuan UUPA pasal 17 telah disebutkan bahwa dengan mengingat
ketentuannya maka untuk mencapai sebesar besar kemakmuran rakyat maka
perlu ditentukan luas minimum dan maksimal tanah yang boleh dipunyai
sesuatu hak sebagaimana tersebut dalam pasal 16 UUPA oleh suatu keluarga
atau badan hukum.
2. Khusus mengenai tanah pertanian pengaturan luas maksimum dan minimum
tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
No.56 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1
Januari 1960. Perpu No. 56/1960 ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang
No.56 Prp tahun 1960 (LN 1960 no. 174, Penjelasannya dimuat dalam TLN No.
5117 tentang Penetapan luas tanah pertanian )

3.

Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 dalam pasal 1

Berkaitan dengan objek landreform di Indonesia disebutkan bahwa tanah-tanah


yang dalam rangka pelaksanaan Landreform akan dibagikan menurut peraturan ini
adalah :
a) Tanah selebihnya dari batas maksimum (tanah surplus) sebagai mana yang
dimaksud dalam UU no 56 Prp tahun 1960.
b) Tanah tanah yang di ambil oleh pemerintah karena pemiliknya bertempat
tinggal di luar kecamatan tempat letak tanah (tanah absentee)
c) Tanah tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara,
sebagaimana yang di maksud dalam dictum ke empat huruf A UUPA
d) Tanah tanah lain yang dikuasai oleh negara yang akan di tegaskan lebih lanjut
oleh meteri agraria. Tanah tanah lain dalam hal ini seperti bekas tanah tanah
partikelir,tanah tanah dengan hak guna usaha yang telah berakhir waktunya ,
dihentikan atau dibatalkan, tanah tanah kehutanan yang diserahkan kembali
kepada negara dan lain lain.
C. LATAR BELAKANG PEMBATASAN PEMILIKAN DAN PENGUASAAN
TANAH PERTANIAN
Latar belakang diberlakukannya pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah adalah
karena semakin terbatasnya tanah pertanian, terutama di daerah-daerah berpenduduk
padat. hal ini kemudian menimbulkan kesulitan bagi para petani untuk memiliki tanah
sendiri, sehingga pada masa tersebut sekitar 60% petani tidak menngerjakan tanahnya
sendiri.
Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri hidup dengan bekerja sebagai buruh tani
atau mengerjakan tanah milik orang lain dengan system sewa atau bagi hasil. Di sisi
yang lain orang-orang yang memiliki tanah banyak, makin lama tanahnya semakin
banyak. Tanah-tanah tersebut diperoleh dari para petani kecil yang mengalami
kesulitan keuangan. Hal ini semakin diperpearah dengan pembagian hasil yang tidak
seimbang antara pemilik tanah dengan penggarap tanah ( sebelum dikeluarkan UndangUndang Bagi Hasil )

D. PENGATURAN TENTANG PEMBATASAN LUAS MAKSIMUM TANAH


PERTANIAN YANG DIATUR OLEH UU NO 56 Prp 1960 .
1. Daerah-daerah yang tidk padat ( Kepadatan penduduk sampai 50 tiap kilometer
persegi ) luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 15 hektar untuk sawah
atau 20 hektar untuk tanah kering.

2. Daerah-daerah yang kurang padat ( kepadatan penduduk 51 sampai 250 tiap


kilometer persegi ) luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 10 hektar
untuk sawah atau 12 hektar untuk tanah kering
3. Daerah-daerah yang cukup padat ( kepadatan penduduk 251 sampai 400 tiap
kilometer persegi ) luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 7.5 hektar
untuk tanah sawah atau 9 hektar untuk tanah kering.
4. Daerah-daerah yang sangat padaat ( kepadatan penduduk 401 keatas perkilometer
persegi ) luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 5 hektar untuk sawah
atau 6 hektar untuk tanah kering.
ketentuan lain nya antara lain :
a) apabila tanah pertanian yang dikuasai terdiri dari sawah dan tanah kering, maka
perhitungan luas maksimum dilakukan dengan cara menjumlagkan luas sawah
dengan luas tanah kering, dimana luas tanah kering yang sama dengan sawah
ditambah 30% untuk daerah yang tidak padat dan ditambah 20% untuk daerah
yang padat, dengan ketentuan luas seluruhnya tidak lebih dari 20 hektar.
b) penetapan luas maksimum penguasaan tanah pertanian ini menggunakan dasar
keluarga, sehingga yang diperhitungkan adalah luas seluruh tanah yang dikuasai
oleh seluruh anggota keluarga tersebut. apabila jumlah anggota keluarga lebih
dari 7 orang, maka bagi keluarga tersebut luas maksimu yang ditetapkan
ditambah 10% untuk setiap anggota keluarga yang selebihnya. namun luas
tambahan tersebut tidak boleh lebih dari 50% dari seluruh luas tanah dan tidak
lebih dari 20 hektar.
c) Pembatasan luas maksimum tanah pertanian tidak berlaku terhadap tanah
pertanian yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-hak lainnya yang
bersifat sementara yang diperoleh dari pemerintah, misalnya tanah hak paiak
dan tanah bengkok/jabatan. pembatasan luas maksimum tanah pertanian juga
tidak berlaku untuk tanah pertanian yang dikuasai oleh badan hokum.
E. PEMBERIAN

TANAH

KELEBIHAN

MAKSIMUM

SEBAGAI

OBJEK

LANDREFORM TERHADAP SUBJEK LANDREFORM


Mengingat terbatasnya luas tanah yang akan di redistribusikan dibandingkan dengan
jumlah petani penggarap yang membutuhkan, maka pembagian tanah dalam kegiatan
redistribusi diadakan suatu prioritas yaitu urut-urutan dari para petani yang paling
membutuhkan dan perlu untuk didahulukan. Sebagaimana dalam Pasal 8 Peraturan
Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 menetapan bahwa Tanah Obyek Land Reform

yang akan dibagikan dengan hak Milik kepada para petani yang bersangkutan menurut
prioritas sebagai berikut :
1) penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
2) buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
3) pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan;
4)
penggarap yang belum sampai 3 (tiga) tahun mengerjakan tanah yang
bersangkutan;
5) penggarap yang mengerjakan tanah hak pemilik;
6) penggarap tanah-tanah yang oleh pemerintah diberi peruntukan lain berdasarkan
Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) peraturan ini;
7) Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar;
8) Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektar;
9) Petani atau buruh tani lainnya.
Jika dalam tiap-tiap prioritas tersebut di atas terdapat :
1) petani yang mempunyai ikatan keluarga sejauh tidak dari dua derajat dengan bekas
pemilik, dengan ketentuan sebanyak-banyaknya lima orang;
2) petani yang terdaftar sebagai veteran;
3) petani janda pejuang kemerdekaan yang gugur;
4) petani yang menjadi korban kekacauan.
maka kepada mereka itu diberikan pengutamaan di atas petani-petani lain yang ada di
dalam golongan prioritas yang sama.
Disamping prioritas yang diadakan dalam pembagian tanah tersebut, ditentukan pula
mengenai syarat umum dan syarat khusus bagi para petani. Jadi tidak semua petani
yang digolongkan dalam prioritas akan mendapatkan tanah, tetapi mereka harus
memenuhi syarat-syarat sesuai ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 224
Tahun 1961, yaitu :
1) syarat-syarat umum ;
a) warga negara Indonesia;
b) bertempat tinggal di kecamatan letak tanah yang bersangkutan;
c) kuat bekerja dalam pertanian.
2) syarat-syarat khusus :
a) bagi petani yang tergolong dalam prioritas 1, 2, 5, 6 dan 7 telah mengerjakan tanah
yang bersangkutan 3 (tiga) tahun berturut-turut;
b)
bagi petani yang tergolong dalam prioritas 4 telah mengerjakan tanahnya dua
musim berturut-turut;
c) bagi pekerja tetap yang tergoong dalam prioritas 3 telah mengerjakan pada bekas
pemilik selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan

Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Milik atas Tanah Negara menyatakan bahwa
pemberian Hak Milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program redistribusi tanah
dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota.
Pemberian Hak Milik atas tanah kepada petani penerima redistribusi Tanah Obyek
Land Reform diberikan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1) penerima redistribusi wajib membayar uang pemasukan (untuk Tanah Obyek Land
reforrm yang berasal dari tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee);
2) tanah yang bersangkutan harus diberi tanda-tanda batas;
3)
haknya harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk
memperoleh sertipikat;
4) penerima redistribusi wajib mengerjakan / mengusahakan tanahnya secara aktif;
5) setelah2 (dua) tahun sejak ditetapkannya Surat Keputusan pemberian haknya wajib
dicapai kenaikan hasil tanaman setiap tahunnya sebanyak yang ditetapkan oleh Dinas
Pertanian daerah;
6) yang menerima hak wajib menjadi anggota koperasi pertanian daerah tempat letak
tanah yang bersangkutan;
7)
selama uang pemasukannya belum dibayar lunas (untuk Tanah Obyek Land
Reform yang berasal dari tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee), Hak Milik
yang diberikan itu dilarang untuk dialihkan kepada pihak lain, jika tidak diperoleh izin
terlebih dahulu dari Kepala Kantor Pertanahan kabupaten / kota;
8)
kelalaian dalam memenuhi kewajiban-kewajiban atau pelanggaran terhadap
larangan tersebut di atas dapat dijadikan alasan untuk mencabut Hak Milik yang
diberikan itu, tanpa pemberian suatu ganti kerugian. Pencabutan Hak Milik itu
dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuk
olehnya.
F. IMPLEMENTASI

PEMBATASAN

MAKSIMUM

DAN

MINUMUM

PEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH PERTANIAN DI ERA SEKARANG


Pelaksanaan pembatasan kepemilikan tanah hingga sekian puluh tahun usia UUPA
masih juga belum seperti yang diharapkan. Ini tampak dari beberapa hal yaitu :
1. Pemilikan batas maksimum juga tidak selalu terdeteksi dan hal-hal seperti ini
menyumbang pada persoalan macetnya program landreform.
2. Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang maksimum luas
tanah yang dapat dikuasai dengan menggunakan hak guna usaha (HGU). Pada pasal
28 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria, hanya disebutkan bahwa HGU diberikan
atas tanah yang luasnya minimal lima hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya
25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik

perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan jaman. UUPA sama sekali
tidak menyinggung tentang luas maksimal HGU.
Untuk HGU, bila luasnya kurang dari 25 hektar dan peruntukan tanahnya bukan
untuk tanaman keras serta perpanjangan waktunya tidak lebih dari lima tahun,
maka yang berwenang memberikan adalah Gubernur. Selanjutnya, peraturan
Kepala BPN No. 3 tahun 1992 menyebutkan pemberian HGU kurang dari 100
hektar ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN setempat, sedangkan untuk
HGU yang mencapai lebih dari 100 hektar diberikan oleh Kepala BPN.
Luas maksimum tanah hak guna bangunan (HGB) juga tidak diatur oleh UUPA.
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 6 tahun 1972, Pasal 4
menyatakan keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya tidak lebih dari
2.000 meter persegi dan jangka waktunya tidak melebihi 20 tahun di-berikan oleh
Gubernur. Sedangkan menurut peraturan Meneg Agraria No. 2 tahun 1993, Surat
Keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya lebih dari 5 hektar
diterbitkan oleh Kakanwil BPN dan jika luasnya kurang dari 5 hektar diterbitkan
oleh Kepala Kantor Pertanahan. Hal ini menjadi salah hambatan dalam pelaksanaan
aturan tentang batas luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki.
Pilihan kebijakan pertanahan dalam kaitannya dengan penguasaan tanah adalah
keseimbangan antara memberikan ruang gerak bagi berkembangnya investas sekaligus
melindungi dan memberdayakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya atas
tanah. Jika dapat memilih, maka dasar kebijakan yang perlu diambil haruslah kebijakan
pertanahan yang bertumpu pada ekonomi kerakyatan demi pelaksanaan Pasal 33 ayat 3
UUD 1945.
Kata kunci dari semuanya adalah tanah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Kebijaksanaan pertanahan harus mampu menjamin keadilan untuk mendapat akses
dalam perolehan dan pemanfaatan tanah. Selain itu, kebijakan ini mengikutsertakan
masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan berbagai keputusan penting yang
menyangkut pemanfaatan tanah terutama yang berskala dan berdampak besar.
Masyarakat juga harus dapat turut mengawasi terlaksananya berbagai ketentuan yang
menyangkut penguasaan tanah yang punya dampak besar.
Sudah saatnya dilakukan sesuatu yang konkrit melalui pendekatan holistik dalam
merancang kebijakan penataan kembali penguasaan tanah agar kebijakan yang
diterbitkan tidak terkesan parsial atau justru malah bertentangan sama sekali.

G. DAFTAR REFERENSI
Darwati, Titik (2013) Implementasi Undang Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960
Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Dalam Jual Beli Hak Atas Tanah
Pertanian di Bawah Batas Minimum di Kabupaten Pati. Tesis Magister
thesis,

Universitas

Muria

Kudus.

(Diunduh

dari

http://eprints.umk.ac.id/1776/)
Boedi Harsono, Hukum Agaria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Ed REv. Cet 10, Jakarta :
Djambatan. 2005. hlm 368-372
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-undang No.56 Prp tahun 1960 tentang Penetapan luas tanah pertanian.
Lembaran Negara 1960 no. 174, Tambahan Lembaran Negara No. 5117
Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian.
www.jurnal hukum. com / hukum agraria

Anda mungkin juga menyukai