DISUSUN OLEH:
Nama
NIM
: 14232842
Kelas
:B
3.
TANAH
KELEBIHAN
MAKSIMUM
SEBAGAI
OBJEK
yang akan dibagikan dengan hak Milik kepada para petani yang bersangkutan menurut
prioritas sebagai berikut :
1) penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
2) buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
3) pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan;
4)
penggarap yang belum sampai 3 (tiga) tahun mengerjakan tanah yang
bersangkutan;
5) penggarap yang mengerjakan tanah hak pemilik;
6) penggarap tanah-tanah yang oleh pemerintah diberi peruntukan lain berdasarkan
Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) peraturan ini;
7) Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar;
8) Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektar;
9) Petani atau buruh tani lainnya.
Jika dalam tiap-tiap prioritas tersebut di atas terdapat :
1) petani yang mempunyai ikatan keluarga sejauh tidak dari dua derajat dengan bekas
pemilik, dengan ketentuan sebanyak-banyaknya lima orang;
2) petani yang terdaftar sebagai veteran;
3) petani janda pejuang kemerdekaan yang gugur;
4) petani yang menjadi korban kekacauan.
maka kepada mereka itu diberikan pengutamaan di atas petani-petani lain yang ada di
dalam golongan prioritas yang sama.
Disamping prioritas yang diadakan dalam pembagian tanah tersebut, ditentukan pula
mengenai syarat umum dan syarat khusus bagi para petani. Jadi tidak semua petani
yang digolongkan dalam prioritas akan mendapatkan tanah, tetapi mereka harus
memenuhi syarat-syarat sesuai ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 224
Tahun 1961, yaitu :
1) syarat-syarat umum ;
a) warga negara Indonesia;
b) bertempat tinggal di kecamatan letak tanah yang bersangkutan;
c) kuat bekerja dalam pertanian.
2) syarat-syarat khusus :
a) bagi petani yang tergolong dalam prioritas 1, 2, 5, 6 dan 7 telah mengerjakan tanah
yang bersangkutan 3 (tiga) tahun berturut-turut;
b)
bagi petani yang tergolong dalam prioritas 4 telah mengerjakan tanahnya dua
musim berturut-turut;
c) bagi pekerja tetap yang tergoong dalam prioritas 3 telah mengerjakan pada bekas
pemilik selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Milik atas Tanah Negara menyatakan bahwa
pemberian Hak Milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program redistribusi tanah
dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota.
Pemberian Hak Milik atas tanah kepada petani penerima redistribusi Tanah Obyek
Land Reform diberikan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1) penerima redistribusi wajib membayar uang pemasukan (untuk Tanah Obyek Land
reforrm yang berasal dari tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee);
2) tanah yang bersangkutan harus diberi tanda-tanda batas;
3)
haknya harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk
memperoleh sertipikat;
4) penerima redistribusi wajib mengerjakan / mengusahakan tanahnya secara aktif;
5) setelah2 (dua) tahun sejak ditetapkannya Surat Keputusan pemberian haknya wajib
dicapai kenaikan hasil tanaman setiap tahunnya sebanyak yang ditetapkan oleh Dinas
Pertanian daerah;
6) yang menerima hak wajib menjadi anggota koperasi pertanian daerah tempat letak
tanah yang bersangkutan;
7)
selama uang pemasukannya belum dibayar lunas (untuk Tanah Obyek Land
Reform yang berasal dari tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee), Hak Milik
yang diberikan itu dilarang untuk dialihkan kepada pihak lain, jika tidak diperoleh izin
terlebih dahulu dari Kepala Kantor Pertanahan kabupaten / kota;
8)
kelalaian dalam memenuhi kewajiban-kewajiban atau pelanggaran terhadap
larangan tersebut di atas dapat dijadikan alasan untuk mencabut Hak Milik yang
diberikan itu, tanpa pemberian suatu ganti kerugian. Pencabutan Hak Milik itu
dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuk
olehnya.
F. IMPLEMENTASI
PEMBATASAN
MAKSIMUM
DAN
MINUMUM
perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan jaman. UUPA sama sekali
tidak menyinggung tentang luas maksimal HGU.
Untuk HGU, bila luasnya kurang dari 25 hektar dan peruntukan tanahnya bukan
untuk tanaman keras serta perpanjangan waktunya tidak lebih dari lima tahun,
maka yang berwenang memberikan adalah Gubernur. Selanjutnya, peraturan
Kepala BPN No. 3 tahun 1992 menyebutkan pemberian HGU kurang dari 100
hektar ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN setempat, sedangkan untuk
HGU yang mencapai lebih dari 100 hektar diberikan oleh Kepala BPN.
Luas maksimum tanah hak guna bangunan (HGB) juga tidak diatur oleh UUPA.
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 6 tahun 1972, Pasal 4
menyatakan keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya tidak lebih dari
2.000 meter persegi dan jangka waktunya tidak melebihi 20 tahun di-berikan oleh
Gubernur. Sedangkan menurut peraturan Meneg Agraria No. 2 tahun 1993, Surat
Keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya lebih dari 5 hektar
diterbitkan oleh Kakanwil BPN dan jika luasnya kurang dari 5 hektar diterbitkan
oleh Kepala Kantor Pertanahan. Hal ini menjadi salah hambatan dalam pelaksanaan
aturan tentang batas luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki.
Pilihan kebijakan pertanahan dalam kaitannya dengan penguasaan tanah adalah
keseimbangan antara memberikan ruang gerak bagi berkembangnya investas sekaligus
melindungi dan memberdayakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya atas
tanah. Jika dapat memilih, maka dasar kebijakan yang perlu diambil haruslah kebijakan
pertanahan yang bertumpu pada ekonomi kerakyatan demi pelaksanaan Pasal 33 ayat 3
UUD 1945.
Kata kunci dari semuanya adalah tanah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Kebijaksanaan pertanahan harus mampu menjamin keadilan untuk mendapat akses
dalam perolehan dan pemanfaatan tanah. Selain itu, kebijakan ini mengikutsertakan
masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan berbagai keputusan penting yang
menyangkut pemanfaatan tanah terutama yang berskala dan berdampak besar.
Masyarakat juga harus dapat turut mengawasi terlaksananya berbagai ketentuan yang
menyangkut penguasaan tanah yang punya dampak besar.
Sudah saatnya dilakukan sesuatu yang konkrit melalui pendekatan holistik dalam
merancang kebijakan penataan kembali penguasaan tanah agar kebijakan yang
diterbitkan tidak terkesan parsial atau justru malah bertentangan sama sekali.
G. DAFTAR REFERENSI
Darwati, Titik (2013) Implementasi Undang Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960
Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Dalam Jual Beli Hak Atas Tanah
Pertanian di Bawah Batas Minimum di Kabupaten Pati. Tesis Magister
thesis,
Universitas
Muria
Kudus.
(Diunduh
dari
http://eprints.umk.ac.id/1776/)
Boedi Harsono, Hukum Agaria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Ed REv. Cet 10, Jakarta :
Djambatan. 2005. hlm 368-372
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-undang No.56 Prp tahun 1960 tentang Penetapan luas tanah pertanian.
Lembaran Negara 1960 no. 174, Tambahan Lembaran Negara No. 5117
Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian.
www.jurnal hukum. com / hukum agraria