Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pendahuluan
Secara umum abses hepar diakibatkan oleh penyebaran infeksi dari traktus digestivus
melalui vena porta, penyakit bilier atau infeksi langsung dari organ yang berdekatan. Dapat
disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit atau jamur.
Abses hepar piogenik paling sering disebabkan oleh bakteri gram negatif. Abses hepar
amubik merupakan komplikasi ekstraintestinal tersering dari amebiasis kolon.
Di Amerika, kasus abses hepar piogenik sebanyak 80 %, abses hepar amubik
sebanyak 10%, sedangkan yang disebabkan oleh jamur kurang dari 10% dari semua kasus.
Lobus kanan hepar lebih sering terkena dari pada lobus kiri, keterlibatan bilateral
ditemukan pada 5% kasus. (Paralta, 2009)
II. 2 Anatomi, Histologi, Embriologi dan Fisiologi Hepar
II. 2. 1 Anatomi Hepar
Hepar adalah organ padat terbesar dari tubuh manusia, dengan berat sekitar 150 g
saat lahir. Berat hepar pada pria dewasa antara 1,4 -1,8 kg dan pada wanita dewasa antara 1,21,4 kg. (Skandalakis, 2006)
Hepar merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi sangat kompleks yang
menempati sebagian besar kuadran kanan atau abdomen. (Tendean & waleleng, 2006)
Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar pada manusia
terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di kedua sisi kuadran atas,
yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan. Beratnya 1200 1600 gram. Permukaan
atas terletak bersentuhan di bawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas
organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan dibungkus
oleh peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan v.cava inferior
dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak diliputi oleh
peritoneum disebut bare area.Terdapat refleksi peritoneum dari dinding abdomen anterior,
diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa ligamen. (Guyton & Hall, 2000)

Macam-macam ligamennya antara lain : (Guyton & Hall, 2000)


1. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding anterior abdomen dan
terletak di antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum teres hepatis = round ligament : Merupakan bagian bawah ligamentum
falciformis ; merupakan sisa-sisa peninggalan v.umbilicalis yg telah menetap.
3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis :Merupakan bagian
dari omentum minus yang terbentang dari curvatura minor lambung dan duodenum
sebelah proximal ke hepar. Di dalam ligamentum ini terdapat Aa.hepatica, v.porta dan
ductus choledocus communis. Ligamen hepatoduodenale turut membentuk tepi
anterior dari Foramen Wislow.
4. Ligamentum Coronaria Anterior kika dan Lig coronaria posterior ki-ka :Merupakan
refleksi peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar.
5. Ligamentum triangularis ki-ka : Merupakan fusi dari ligamentum coronaria anterior
dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar
Secara anatomis, organ hepar tereletak di hipochondrium kanan dan epigastrium, dan
melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum toraks dan bahkan pada orang

normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada pembesaran hepar). Permukaan lobus
kanan dpt mencapai sela iga 4/ 5 tepat di bawah aerola mammae. Ligamentum falciformis
membagi secara topografis bukan secara anatomis yaitu lobus kanan yang lebih besar dan
lobus kiri. (Guyton & Hall, 2000)
II. 2. 2 Histologi Hepar
Secara mikroskopis di dalam hepar manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap
lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang tersusun radial
mengelilingi vena hepar dibungkus oleh simpai yang tebal, terdiri dari serabut kolagen dan
jaringan elastis yang disebut Kapsul Glisson. Simpai ini akan masuk ke dalam parenkim
hepar mengikuti pembuluh darah getah bening dan duktus biliaris sentralis.
Di antara lembaran sel hepar terdapat kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan
cabang vena porta dan arteri hepatika. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik (sel Kupffer) yang
merupakan sistem retikuloendotelial dan berfungsi menghancurkan bakteri dan benda asing
lain didalam tubuh, jadi hepar merupakan salah satu organ utama pertahanan tubuh terhadap
serangan bakteri dan organ toksik. Sinusoid - sinusoid tersebut berbeda dengan kapilerkapiler di bagian tubuh yang lain, oleh karena lapisan endotel yang meliputinya terediri dari
sel-sel fagosit yang disebut sel Kupffer. Sel Kupffer lebih permeabel yang artinya mudah
dilalui oleh sel-sel makro dibandingkan kapiler-kapiler yang lain.
Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang mengelilingi bagian perifer
lobulus hepar, juga terdapat saluran empedu yang membentuk kapiler empedu yang
dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan diantara lembaran sel hati.
Di tengah-tengah lobuli terdapat 1 vena sentralis yang merupakan cabang dari venavena hepatika (vena yang menyalurkan darah keluar dari hepar). Di bagian tepi di antara
lobuli-lobuli terhadap tumpukan jaringan ikat yang disebut traktus portalis/ TRIAD yaitu
traktus portalis yang mengandung cabang-cabang v.porta, a.hepatika, duktus biliaris. Cabang
dari vena porta dan arteri hepatika akan mengeluarkan isinya langsung ke dalam sinusoid
setelah banyak percabangan.
Parenkim hati terdiri dari sel endotel, hepatosit, sel stelata. Terdapat juga sel-sel
inflamasi penting seperti sel Kupffer, sel dendritik, limfosit dan leukosit yang mendukung
imunitas dan homeostasis. (Santi,et.all, 2009)
II. 3. 3 Embriologi Hepar

Perkembangan hepar terjadi sejak awal dan pertumbuhannya sangat cepat.


Penampakan hepar primordial terjadi pada hari ke 22 setelah pembuahan.(Skandalakis, 2006)
Pada bagian ventral endodermal tube yang sempit (bakal duodenum) di sekelilingnya pada
hari ke 25-26, bakal hati akan diinduksi oleh bakal jantung yang berdekatan menjadi organ
intraabdominal utama untuk pembentukan darah. (Rohen&Decoil, 2009)
Dengan menggunakan embrio ayam, Crasille dan Le Dourin mempostulatkan 3
proses induktif yang terjadi pada endoderm. Pertama, mesoderm splanknik lateral bermigrasi
ke anterior dan menyebrang garis tengah dibawah faring. Jaringan ini disebut mesoderm
hepatokardiak. Induksi yang ke 2 dan 3 terjadi ketika mesenkim menstimulasi sel endoderm
untuk berdiferensiasi menjadi hepatosit dan juga menstimulasi pembentukan sel endotelial
sinusoid hepar.
Bakal hepar berkembang seperti kelenjar eksokrin, yang muncul dari suatu tunas
epitel, yaitu dari barisan sel hati (hepatic cell cords). Hemositoblas mengembara dari dinding
perut dorsal ke dalam mesenkim hepar, yang bertambah banyak didalam bakal hati sehingga
sampai pada pertengahan kehamilan, sekitar 60% bagian hepar terdiri atas jaringan
pembentuk darah. Dengan demikian, hepar merupakan pusat pembentuk darah yang paling
penting sampai kira-kira bulan ke-7.(Rohen&Decoil,2009)
Pada paruh kedua kehamilan, sel hematopoetik mulai memproduksi faktor penghambat
ketika pembentukan darah dibatasi dan perkembangan hepatosit ditingkatkan. Hal tersebut
menyebabkan makin banyak hemositoblas mengembara ke sumsum tulang yang terbentuk,
dan disanalah pembentukan darah medular dimulai.

Dengan bertambahnya invasi sel

Kupffer, endotel pembuluh darah dan invasi sel mesenkim serta setelah terbentuknya
mamatriks ekstrasel, barisan sel hepar mulai membentuk susunan baru dan biasanya
mendekati kelahiran berkembang guna membentuk arsitektur lobus hati yang tipikal.
Awalnya lobus kanan hepar lebih kecil dari lobus kiri. Semakin dewasa lobus kanan
bertambah ukurannya, pada perkembangan selanjutnya masa hepar berkurang dan bergeser ke
sisi kanan.

(Skandalakis, 2006)

Hepar, duktus bilier, dan pankreas mempunyai hubungan yang

berkaitan erat. Secara embriologi struktur-struktur ini berasal dari struktur embriologi yang
sama. (Tendean&Waleleng,2006)
II. 4. 4 Fisiologi Hepar
Fungsi utama hepar adalah pembentukan dan sekresi empedu. Hati mengsekresikan
empedu sebanyak 1 Liter per hari kedalam usus halus.

Hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh.

(Sherwood,2001)

Hepar

mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam Organ ini penting bagi sistem pencernaan
untuk sekresi garam empedu.
Hepar juga melakukan berbagai fungsi lain mencakup hal-hal berikut:
1. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah
penyerapan mereka dari saluran pencernaan. (Sherwood, 2001)
Hasil metabolisme monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen dan
disimpan di hati (Glikogenesis). Dari depot glikogen ini disuplai glukosa secara
konstan ke darah (Glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan tubuh. (Tendean&Waleleng, 2006)
2. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa asing
lainnya.
3. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein yang penting untuk untuk
pembekuan darah serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid, dan kolesterol
dalam darah.
4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
5. Pengaktifan vitamin D yang dilaksanakan hepar bersama dengan ginjal.
6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang berkat adanya makrofag.
7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin yang terakhir adalah produk penguraian yang berasal
dari destruksi sel darah merah yang sudah usang.
Walaupun fungsinya sangat beragam, spesialisasi sel-sel hepar sangat sedikit.
(Sherwood,2001)

Tiap hepatosit tampaknya mampu melaksanakan berbagai tugas metabolik diatas

kecuali aktivitas fagositik yang dilaksanakan oleh makrofag yang lebih dikenal sebagai sel
Kupffer. Spesialisasi berlangsung di organel-organel yang sangat berkembang didalam
hepatosit. Untuk melaksanakan berbagai tugas tersebut, hepar secara anatomis tersusun
sedemikian rupa, sehingga setiap hepatosit dapat berkontak langsung dengan darah dari dua
sumber yaitu darah vena yang langsung datang dari saluran pencernaan dan darah arteri yang
datang dari aorta. Darah vena masuk ke hati melalui hubungan vaskuler yang khas dan
kompleks yang dikenal sebagai sistem porta hati.
Vena yang mengalir dari saluran pencernaan tidak secara langsung menyatu dengan
vena cava inferior. Vena-vena dari lambung dan usus memasuki vena porta hepatika yang
mengangkut produk-produk yang diserap dari saluran pencernaan langsung ke hati untuk
diolah, disimpan atau didetoksifikasi sebelum produk-produk tersebut mendapat akses ke
sirkulasi umum. (Tendean&Waleleng, 2006)

Di dalam hepar vena porta kembali bercabang-cabang menjadi jaringan kapiler


(sinusoid hepar) yang memungkinkan pertukaran antara darah dan hepatosit sebelum
mengalirkan darah ke vena hepatika yang kemudian menyatu dengan vena cava inferior.
Hepatosit juga mendapat darah arteri segar yang menyalurkan oksigen mereka dan
menyalurkan metabolik-metabolik untuk diolah hati. Selain berfungsi dalam aktivitas
metabolik dan sekresi, hati juga membersihkan molekul dan partikel yang dibawa oleh darah
yang masuk ke hati seperti sel darah merah, hasil metabolisme, antigen oral yang dibawa oleh
arteri hepatis dari aorta dan oleh vena porta dari jalur mesenterika. Darah masuk hepar
kemudian mengalir secara sentripetal melalui sinusoid dan mencapai sentrolobuler.

(Santi,et.all,

2009)

II. 2 Abses Hepar


II. 2. 1 Definisi
Abses adalah kumpulan nanah setempat yang terkubur dalam jaringan organ atau
rongga yang tertutup.(Setiawan,2005)
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh karena infeksi
bakteri, parasit, jamur, yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan
adanya proses sirkulasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, selsel inflamasi, atau sel darah didalam parenkim hati.(Tendean&Waleleng, 2006)
II. 2. 2 Prevalensi
Abses hepar amubik merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang
paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. (Tendean&Waleleng, 2006)
Abses hati amubik terjadi pada 10% populasi dunia dengan iklim subtropik,
khususnya di area dengan sanitasi buruk.(Brunicard,2009) Abses hati piogenik tersering di United
States.(Brunicard,2009)
Di negara- negara yang sedang berkembang, abses hepar amubik didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan abses hepar piogenik.
Secara epidemiologi, didapatkan 8-15 per 100.000 kasus abses hati piogenik yang
memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan barat, didapatkan prevalensi
autopsi bervariasi antara 0,29-1,47%, sedangkan prevalensi di RS antara 0,008-0,016 %.
Abses hepar piogenik sering terjadi pada pria dibandingkan permpuan, dengan rentang usia
berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insiden puncak pada dekade ke 6.(Tendean&Waleleng, 2006)
II. 2. 3 Klasifikasi

Secara umum abses hepar terbagi 2 yaitu abses hepar amubik dan abses hepar
piogenik.
II. 2. 3. a. Abses Hepar Amubik
Amebiasis yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica merupakan masalah
kesehatan masyarakat utama di negara berkembang dan menyebabkan ratusan kematian
pertahun. Abses hepar ini umumnya berhubungan dengan air dan makanan yang terinfeksi
atau yang memiliki kebersihan yang rendah. (Santi,et.all, 2009)
Parasit menginvasi usus menyebabkan diare dan hati yang nantinya dapat membentuk
abses.
II. 2. 3. a. 1 Etiologi dan Patogenesis
Hepar adalah organ yang bertanggung jawab menyaring darah dari usus. Amuba
menggunakan jalur porta dan menerobos sawar endothelial sinusoid untuk mencapai
parenkim hati. (Santi,et.all, 2009)
Amebiasis kolon bila tidak diobati akan menjalar keluar dari usus dan menyebabkan
amebiasis ekstraintestinal. (Gandahusada, 2006)

Setelah amuba mencapai parenkim terdapat fokus inflamasi dan abses. Yang khas dari
abses hepar amubik adalah terjadinya lisis jaringan hepar yang nekrotik, yang bervariasi
dalam ukuran mulai dari beberapa sentimeter hingga lesi yang besar.
Kebanyakan abses hati bersifat soliter, steril, dan terletak di lobus kanan dekat kubah
diafragma. Sering tunggal, biasanya diposterior, superior lobus kanan. (Santi,et.all,2009)

Abses hepar amubik terjadi karena Entamoeba histolytica terbawa aliran v.porta ke
hepar, tetapi tidak semua amuba yang masuk hepar dapat menimbulkan abses.
(Sjamsuhidayat&Jong,2005)

Akibat infeksi amuba tersebut, terjadi reaksi radang dan akhirnya nekrosis jaringan
hepar.
Respon terhadap infeksi amuba tergantung pada tipe sel organ dan arsitekturnya.
Walaupun host mengembangkan reaksi inflamasi hebat melawan E.histolitika, parasit dapat
bertahan hidup dalam lingkungan ini. Virulensinya dapat dibedakan menjadi 2 strategi yaitu
invasi dan pertahanan. Trofozoid mampu bertahan dari sistem komplemen dan serangan
oksidasi serta menginvasi jaringan hepar, hal ini disebabkan oleh motilitas, sitotoksisitas
parasit dan fagositosis yang dapat memicu kematian sel. (Santi,et.all,2009)
Bentuk histolitika memasuki mukosa usus besar yang utuh dan mengeluarkan enzim
yang dapat menghancurkan jaringan. Enzim ini adalah suatu cystein proteinase yang disebut
histolisin.(Gandahusada,2006)
Cairan abses terdiri atas jaringan hati yang nekrosis dan eritrosit yang berwarna
tengguli. Cairan ini terbungkus oleh hiperplasia jaringan ikat yang disebut simpai walaupun
bukan simpai sejati. Jaringan ikat ini membatasi perusakan lebih jauh, kecuali bila ada infeksi
tambahan.
II. 2. 3. a. 2 Manifestasi Klinis
Pada penderita abses hepar tidak selalu ditemukan riwayat diare sebelumnya. Diare
hanya dialami 20-50% penderita. Penyakit ini timbul secara perlahan-lahan disertai demam,
berkeringat, dan berat badan menurun. Tanda lokal yang paling sering adalah nyeri spontan
dan nyeri tekan di daerah lengkung iga dengan hepar yang membesar. Kadang nyeri
ditemukan di daerah bahu kanan akibat iritasi diafragma. Hepatomegali dan nyeri biasanya
ditemukan, tetapi jarang sekali disertai ikterus, prekoma atau koma. Bila lobus kiri yang
terkena, akan ditemukan masa di daerah epigastrium. Gejala khas adalah suhu tubuh yang
tidak lebih dari 38,5oC. Penderita tak kelihatan sakit berat seperti pada abses karena bakteri.
(Sjamsuhidajat & jong, 2005)

II. 2. 3.a. 3 Diagnosis


Untuk membuat diagnosis abses hepar amuba, yang penting adalah kesadaran akan
kemungkinan penyakit ini. Bila ada nyeri daerah epigastrium kanan dan hepatomegali serta

demam yang tidak begitu tinggi, dugaan abses hepar harus dipertimbangkan. (Sjamsuhidajat & jong,
2005)

Selain itu, diperlukan sekali untuk membedakan apakah pasien menderita abses hepar
amoebiasis atau kah piogenik.
Perbedaan Abses Amuba dan Piogenik (Schwartzs)
Manifestasi Klinis

Abses Amuba

Abses Piogenik

Usia

20-40

>50

Rasio pria : wanita

>10:1

1.5:1

Solitary >< multiple

Soliter>80%

Soliter 50%

Lokasi

Biasanya hepar kanan

Biasanya hepar kanan

Riwayat bepergian ke area

Ya

Tidak

Diabetes

Tidak sering

Sering

Konsumsi alkohol

Ya

Ya

Ikterik

Jarang

Sering

Peningkatan bilirubin

Jarang

Sering

Peningkatan AlkPhos

Sering

Sering

Kultur darah positif

Tidak

Sering

Serologi amoeba positif

Ya

No

endemis

Riwayat diare dan ditemukannya amuba dalam feses membantu diagnosis meskipun
tidak ditemukannya kedua hal ini tidak berarti bukan abses hati amuba.
Pada pemeriksaan darah sering ditemukan leukositosis, jumlah leukosit berkisar antar
5000 dan 30.000 tetapi umumnya antara 10.000-12.000. Kadar fosfatase alkali serum
meningkat pada semua tingkat abses amuba. Diagnosis laboratorium ditegakkan dengan
menemukan E.histolitika bentuk histolitika dalam biopsi dinding abses atau dalam aspirasi
nanah abses, bila amuba tidak ditemukan dilakukan pemeriksaan serologi antara lain tes
hemaglutinasi tidak langsung atau tes imunodifusi.

(Gandahusada,2006)

Tes serologi titer amuba

diatas atau sama dengan 1:128.


Pada foto rontgen terlihat kubah diafragma kanan meninggi, efusi pleura, dan
ateletaksis. Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang penting untuk
membantu diagnosis serta menentukan lokasi abses dan besarnya. Pada USG tampak well

defined low density round lession & enhanchment of the wall. Kadang abses amuba baru
timbul bertahun-tahun setelah infeksi amuba kolon.
II. 2. 3. a. 4 Diagnosis Banding
Kolesistisis akut, hepatitis viral akut, karsinoma hati primer tipe febril. Untuk
memastikan diagnosis, perlu dilihat hasil pemeriksaan ultrasonografi, pungsi, dan percobaan
pengobatan dengan amubisid yang merupakan diagnosis perekslusionam. (Sjamsuhidajat&Jong, 2005)
II. 2. 3. a. 5 Tata laksana
Metronidazol (Nitroimidazol) merupakan obat pilihan karena efektif terhadap bentuk
histolitika dan bentuk kista. Efek sampingnya ringan, antara lain mual, muntah, pusing.
(Gandahusada,

2006)

Metronidazol atau tinidazol yang bersifat amubisid jaringan.

50mg/kgBB/hari diberikan selama 10 hari.

Dosis

(Sjamsuhidajat&Jong, 2005)

Terapi bedah berupa aspirasi dan penyaliran. Teknik aspirasi dapat dilakukan secara
buta, tetapi sebaiknya dengan tuntunan ultrasonografi sehingga dapat mencapai sasaran yang
tepat. Aspirasi dapat dilakukan berulang-ulang secara tertutup atau dilanjutkan dengan
pemasangan kateter penyalir. Pada semua tindakan harus diperhatikan prosedur aseptik dan
antiseptik untuk mencegah infeksi sekunder. Cara aspirasi menguntungkan karena tidak
mengganggu fungsi vital, sedikit mempengaruhi kenyamanan penderita, tidak menyebabkan
kontaminasi peritoneum, dan murah. Aspirasi harus dilakukan dengan kateter yang cukup
besar. Kontraindikasi adalah asites dan struktur vital menghalangi jarum.
Penyaliran melalui laparatomi. Penyaliran terbuka dilakukan bila pengobatan gagal
dengan terapi konservatif, termasuk aspirasi berulang. Indikasi lain adalah abses hati lobus
kiri yang terancam pecah ke rongga peritoneum dan ke organ lain termasuk ke dinding perut,
dan infeksi sekunder yang tidak terkendali. Angka kematian dengan cara ini lebih tinggi.
(Sjamsuhidajat&Jong, 2005)

II. 2. 3. a. 6 Komplikasi
Umumnya berupa perforasi abses ke berbagai rongga tubuh dan kulit. Perforasi ke
kranial dapat terjadi ke pleura dan perikard. Insidens perforasi ke rongga pleura adalah 1020%. Akan terjadi efusi pleura yang besar dan luas yang memperlihatkan cairan cokelat pada
aspirasi. Perforasi dapat berlanjut ke paru sampai ke bronkus sehingga didapat sputum yang
berwarna khas cokelat.

Perforasi ke rongga perikard menyebabkan efusi perikard dan tamponade jantung.


Bila infeksi dapat diatasi, akan terjadi inflamasi kronik seperti pada tuberculosis perikard dan
pada fase selanjutnya terjadi penyempitan jantung (perikarditis konstriktiva).
Perforasi ke kaudal terjadi ke rongga peritoneum. Perforasi akut menyebabkan
peritonitis umum. Abses kronik artinya sebelum perforasi, omentum dan usus mempunyai
kesempatan untuk mengurung proses inflamasi, menyebabkan peritonitis lokal. Perforasi
kedepan atau kesisi terjadi kearah kulit sehingga menimbulkan fistel. Infeksi sekunder dapat
terjadi melalui sinus ini.
Meskipun jarang, dapat juga terjadi emboli ke otak yang dapat menyebabkan abses
amuba otak.
II. 2. 3. b Abses Hepar Piogenik
Abses hepar piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan
dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua sebagai komplikasi
penyakit saluran empedu. Biasanya abses berbentuk soliter dan ini membutuhkan
pembedahan, sedangkan yang bentuk multiple kecil-kecil tersebar di kedua lobus hati tidak
memerlukan pembedahan. (Sjamsuhidajat&Jong, 2005)
Abses hepar piogenik merupakan kondisi serius dengan angka kematian tinggi bila
diagnosis tidak dibuat secara dini. Saat ini terdapat peningkatan insidensi abses hati piogenik
akibat komplikasi dari sistem biliaris, yaitu langsung dari empedu atau melalui saluransaluran empedu seperti kolangitis atau kolesistitis hal ini disebabkan karena semakin tinggi
umur harapan hidup dan semakin banyak orang lanjut usia yang dikenai penyakit sistem
biliaris ini.(Tendean&Waleleng,2006)
II. 2. 3. b. 1 Etiologi, Patogenesis, dan Patologi
Abses hepar piogenik dapat berbentuk soliter atau multipel. Hal ini dapat terjadi dari
penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam
rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena
porta, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang,
tetapi dengan adanya sel Kupffer yang membatasi sinusoid hati dapat mengatasi infeksi
bakteri tersebut.
Hampir semua organisme patologik dapat menimbulkan abses hati piogenik. Yang
terpenting ialah E.coli, Staphylococcus aureus, Proteus, Kleibsella, Pseudomonas, dan
bakteri anaerob, seperti Bacteroides dan Clostridium.

Lobus kanan hati 5 kali lebih sering terjadi abses hati piogenik dibandingkan lobus
kiri, hal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari arteri
mesenterika superior dan vena porta sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri
mesenterika inferior dan aliran limfatik. (Tendean&Waleleng, 2006)
Abses hepar piogenik dapat berasal dari radang bilier, dari daerah splanknik melalui
vena porta, atau sistemik darimanapun ditubuh melalui a hepatica. Sebagian sumber tidak
diketahui. Kadang disebabkan oleh trauma atau infeksi langsung hati atau sistem
disekitarnya.
Sebelum era antibiotik, sepsis intraabdomen, terutama apendisitis, divertikulitis,
disentri basiler, infeksi daerah pelvik, hemoroid yang terinfeksi, dan abses perirektal,
merupakan pemyebab utama abses hati piogenik. Biasanya berawal sebagai pileflebitis
perifer, disertai pernanahan dan trombosis yang kemudian menyebar melalui v.porta ke dalam
hati. Sebelumnya , apendisitis dengan rupture menjadi jalan tersering untuk perkembangan
abses. Pileflebitis supuratif ( trombosis supuratif vena porta), biasanya berasal dari pelvis
tetapi kadang dari infeksi di tempat lain di rongga peritoneum , adalah sumber lain dari
bakteri. (Kasper,et.all, 2005)
Abses hati dapat terjadi akibat penyebaran langsung infeksi dari struktur yang
berdekatan, seperti empiema kandung empedu, pleuritis ataupun abses perinefritik.
Obstruksi saluran empedu karena kolelitiasis atau karsinoma merupakan penyebab
utama abses hati piogenik. (Sjamsuhidajat & Jong, 2005) Kolesistitis akut dan pankreatitis akut juga dapat
menyebabkan abses hati piogenik. Infeksi pada saluran empedu yang mengalami obstruksi
naik ke cabang saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimbulkan
kolangiolitis dengan akibat abses multipel. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi
obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. (Tendean&Waleleng, 2006)
Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena
porta dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses pileflebitis. Mikroabses yang
terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik.
Trauma tajam atau tumpul dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan, nekrosis
jaringan hati serta ekstravasasi cairan empedu yang mudah terinfeksi. Penetrasi akibat trauma
tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati. Penetrasi akibat trauma
tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadi kebocoran saluran
empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. (Tendean&Waleleng, 2006)
Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi
pertumbuhan bakteri dengan proses supurasi dan pembentukan pus.

Sebagian kecil disebabkan tindakan diagnostik dan terapeutik. Terjadinya abses pasca
trauma sangat bergantung pada kualitas pembedahan yang dilakukan untuk menanggulangi
trauma hati sebelumnya. Sepsis dengan penyebaran melalui a.hepatika menyebabkan abses
20-40% pasien. Abses biasanya multiple dan kecil di kedua lobus hati. Infeksi juga bisa
didapat dari penyalahgunaan obat intravena ataupun infeksi gigi.
Abses hepar piogenik dapat merupakan penyulit dari keganasan hepar, baik primer
maupun sekunder. Nekrosis jaringan baik dari tumor maupun jaringan hepar akan
mengundang infeksi sekunder dan menimbulkan abses soliter.
Kista didalam jaringan hati juga dapat mengalami infeksi sekunder sebagaimana
kelainan hati lain.
Penyakit abses hati piogenik meningkat pada orang-orang yang menggunakan obat
imunosupresan, termasuk transplantasi dan kemoterapi serta populasi AIDS. (Brunicard,2009)
Abses hepar piogenik dapat timbul sebagai penyulit pankreatitis kronik. Abses hepar
piogenik multipel terdapat pada 50% kasus. Hepar tampak membengkak dan daerah yang
mengandung abses menjadi pucat kekuningan, berbeda dengan hepar sehat disekitarnya yang
berwarna merah tua. Apabila abses hepar berhubungan dengan pileflebitis, v. porta dan
cabangnya tampak melebar dan mengandung nanah, bekuan darah dan bakteria. Di sekitar
abses terdapat infiltrasi radang. Apabila abses merupakan penyulit penyakit bilier, biasanya
abses berisi nanah yang berwarna hijau.
II. 2. 3. b. 2 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis abses hepar piogenik biasanya lebih berat daripada abses hepar
amubik. Dicurigai adanya abses hepar piogenik apabila ditemukan sindrom klinik klasik
berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk ke depan
dengan kedua tangan di letakkan di atasnya. (Tendean&Waleleng, 2006)
Demam atau panas tinggi merupakan keluhan paling utama, keluhan lain yaitu nyeri
di kuadran kanan atas abdomen, dan disertai keadaan syok. Setelah era antibiotik yang
adekuat, gejala dan manifestasi klinis abses hati piogenik adalah malaise, demam yang tidak
terlalu tinggi dan nyeri tumpul pada abdomen yang menghebat dengan adanya pergerakan.
Apabila abses piogenik letaknya dekat dengan diafragma, maka akan terjadi iritasi diafragma
sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektasis. Gejala
lainnya adalah rasa mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan, penurunan berat badan,
kelemahan badan, ikterus, buang air besar berwarna seperti kapur dan buang air kecil
berwarna gelap, dan menggigil.

Beberapa pasien berhubungan dengan penyakit traktus biliaris, memiliki gejala dan
tanda nyeri lokal di kuadran kanan atas.

(Kasper, et.all, 2005)

Hanya 50 % pasien dengan abses hepar

yang hepatomegali, kuadran kanan atas yang tegang, dan ikterik. Fever of unknown origin
(FUO) mungkin hanya satu-satunya manifestasi abses hepar, khususnya pada orang tua.
kterus terutama terdapat pada abses hati piogenik karena penyakit saluran empedu yang
disertai kolangitis supurativa dan pembentukan abses multipel.

(Kasper, et.all,2005).

Jenis ini

prognosisnya buruk.
Pada pemeriksaan mungkin didapatkan hepatomegali atau ketegangan pada perut
kuadran kanan atas. Ketegangan lebih nyata pada perkusi. Apabila abses terdapat pada lobus
kiri, mungkin dapat diraba tumor di epigastrium. Splenomegali didapatkan apabila abses hati
piogenik telah menjadi kronik, selain itu bisa didapatkan asites serta tanda-tanda hipertensi
portal.
Dapat terjadi penyulit berupa pecahnya abses ke dalam rongga perut, rongga dada,
atau perikard. Dapat juga terjadi septikemia dan syok. Oleh karena itu, kemungkinan abses
hati piogenik patut dipikirkan pada setiap penderita dengan demam tanpa sebab yang jelas,
terutama pascabedah abdomen.
Tabel 1. Tanda dan Gejala abses hepar piogenik (Paralta, R. 2009)
Gejala
Demam
Penurunan

%
81,4
27,7

Tanda
Nyeri KKA
Hepatomegali

%
53
47

berat badan
Mual/muntah
Anoreksia
Nyeri bahu

25,7
25,6
24,2

Ikterus
Efusi Pleura
Elevasi

25,3
14,3
11,3

kanan
Malaise
Menggigil
Nyeri perut
Keringat

21,1
9,8
8
4,1

malam
Diare
Batuk

1,5
0,8

hemidiafragma

II. 2. 3. b. 3 Diagnosis
Menegakkan diagnosis abses hati piogenik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis abses hati piogenik kadang-kadang

sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Sedangkan diagnosis dini
memberikan arti penting dalam pengelolaan abses hati piogenik karena penyakit ini dapat
disembuhkan. Sebaliknya, diagnosis dan pengobatan yang terlambat dapat meningkatkan
angka kejadian morbiditas dan mortalitas. Diagnosis ditegakkan bukan hanya dengan CT
Scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT Scan mempunyai nilai prediksi tinggi untuk
diagnosis abses hati piogenik, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Diagnosis
berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur
hasil aspirasi, ini merupakan standar utama untuk diagnosis. (Kasper, et.all,2005)
Penemuan laboratorium yang paling nyata adalah peningkatan konsentrasi serum
alkalin fosfatase pada 70% pasien dengan abses hepar. Tes fungsi hati lainnya mungkin
normal, tetapi pada 50% terjadi peningkatan bilirubin serum, dan 48 % mengalami
peningkatan konsentrasi aspartat transaminase. Leukositosis 77% pasien, anemia (biasanya
normositik, normokrom) pada 50% kronis, dan hipoalbuminemia pada 33%. (Kasper, et.all,2005)
Leukosit meningkat dengan jelas walaupun beberapa kasus menunjukkan nilai
normal. Laju endap darah biasanya meningkat dan dapat terjadi anemia ringan. Abnormalitas
fungsi hati yang signifikan jarang ditemukan.(Brunicard, 2009)
Fosfatase alkali dapat meningkat, prognosis buruk bila kadar serum amino transferase
meningkat.
Pada pemeriksaan

roentgen foto polos, elevasi atau perubahan diafragma kanan

terlihat pada 50% kasus. Dapat dijumpai pleuritis, empiema, abses paru, dan jarang sekali
ditemukan fistel bronkopleural. Kadang dapat terlihat garis batas udara dan cairan yang
terdapat di dalam rongga abses. Pada pemeriksaan foto toraks dan foto polos abdomen
ditemukan diafragma kanan meninggi, efusi pleural, atelektasis basiler, empiema atau abses
paru. Pada foto toraks PA, sudut kostofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut
kostofrenikus anterior tertutup. Di bawah diafragma, terlihat bayangan udara atau airfluid
level. Abses lobus kiri akan mendesak kurvatura minor. Ultrasonografi hati dapat memberi
informasi yang lebih teliti. Pada USG tampak lesi bulat yang hipoekoik dengan tepi hipodens.
CT scan hati atau angiografi umumnya tidak diperlukan.(Tendean & Waleleng, 2006) Secara angiografik,
abses merupakan daerah avaskuler. Abdominal CT scan atau MRI, USG abdominal dan
biopsi hati, kesemuanya saling menunjang sehingga memiliki nilai diagnostik tinggi.

(Kasper,et.all,

2005)

Aspirasi tertutup dapat dilakukan dengan bimbingan ultrasonografi. Pungsi ini


dilakukan untuk tujuan aspirasi berulang, memasukan antibiotik ke dalam rongga abses, serta
memasang pipa penyalir baik sebagai tindakan diagnosis atau pengobatan.

II. 2. 3. b. 4 Tatalaksana
Penatalaksanaan abses hepar piogenik secara konvensional adalah dengan drainase
terbuka secara operasi dan antibiotik spektrum luas oleh karena penyebab abses terdapat
didalam cairan abses yang sulit dijangkau dengan antibiotik tunggal tanpa aspirasi cairan
abses.(Tendean & Waleleng, 2006)
Penatalaksanaan saat ini, adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus abses
intraabdominal dengan tuntunan ultrasound abdomen atau tomografi komputer, komplikasi
yang dapat terjadi adalah perdarahan, perforasi organ intraabdominal, infeksi, ataupun terjadi
kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase, kadang-kadang pada abses hepar
piogenik multipel diperlukan reseksi hati.
Penatalaksanaan dengan antibiotika pada terapi awal digunakan penisilin. Selanjutnya
dikombinasikan antara ampisilin, aminoglikosida, atau sefalosporin generasi III dan
klindamisin atau metronidazol. Jika dalam waktu 48-72 jam belum ada perbaikan klinis dan
laboratoris, maka antibiotika yang digunakan diganti dengan antibiotika yang sesuai dengan
hasil kultur sensitivitas aspirat abses hati.

(Tendean&Waleleng,2006)

Pengobatan secara parenteral dapat

dirubah menjadi oral setelah pengobatan selama 10-14 hari, dan kemudian dilanjutkan
kembali hingga 6 minggu kemudian.
Pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil tes kepekaan kuman. Bila hasil tes
belum ada, sedangkan pengobatan harus dimulai, dapat digunakan antibiotik untuk bakteri
gram negatif dan anaerob. (Brunicard, 2009)
Kombinasi gentamisin, metronidazol, atau klindamisin dapat diberikan. Pengobatan
perlu dilanjutkan selama 2 bulan, kecuali bila abses telah diatasi dengan pembedahan secara
baik. (Sjamsuhidajat & Jong, 2005)
Bilamana perlu, antibiotik dapat diberikan langsung ke saluran empedu melalui
penyalir T yang dipasang sewaktu melakukan laparatomi atau langsung ke sistem porta
melaui v.umbilikalis. Keberhasilan pengobatan tergantung ukuran, letak dan jumlah abses.
Penyaliran tertutup dan pemberian antibiotik melaui penyalir ternyata efektif pada
banyak penderita. (Sjamsuhidajat & Jong, 2005)
Aspirasi dan penempatan kateter drainase hanya bermanfaat bagi sebagian abses
piogenik. (Brunicard, et.all, 2009)
Pembedahan dilakukan pada penderita yang tidak menunjukkan hasil baik dengan
tindakan non bedah.

Laparatomi dilakukan dengan sayatan subkostal kanan. Abses dibuka, dilakukan


penyaliran, dicuci dengan larutan garam fisiologik dan larutan antibiotik serta dipasang
penyalir. Apabila letak abses jauh dari permukaan, penentuan lokasi dilakukan dengan
ultrasonografi intraoperatif, kemudian dilakukan aspirasi dengan jarum. Abses multipel
bukan indikasi untuk pembedahan dan pengobatannya hanya dengan pemberian antibiotik
dan pungsi.
II. 2. 4 Prognosis
Jika abses hepar terlambat diobati, prognosisnya fatal. Indikator prognosis buruk
antara lain abses multipel, keganasan, adanya komplikasi, adanya penyakit saluran empedu.
Prognosis juga dipengaruhi umur penderita. (Paralta, R. 2009)
Pada abses amuba prognosis buruk apabila ditemukan bilirubin serum > 3,5 mg/dl,
ensefalopati, hipoalbuminemia ( serum albumin <2 g/dl), dan abses multipel.
Pada abses hepar piogenik jika disertai septikemia, mortalitas dan morbiditas tinggi.
Mortalitas abses hepar yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakteri penyebab dan
dilakukan drainase adalah 10-16%. Prognosis yang buruk apabila terjadi keterlambatan
diagnosis dan pengobatan. Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit
yang berat, seperti septikemia/bakteriemia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai
peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati,
perdarahan ke dalam rongga abses, empiema, ruptur kedalam perikard atau retroperitoneum.
Sesudah mendapat terapi, sering terjadi infeksi luka, dan terjadi rekurensi atau
reaktivasi abses.
DAFTAR PUSTAKA
Brunicard, F.C., et.all. (2009) Schwartzs Principle of Surgery. USA : The Mc Graw Hill
Companies, inc. Available from: http://www.freemedicalebooks.com
Gandahusada, S., dkk. Ed. (2006) Parasitologi Kedokteran. Ed 3. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, hal. 113-118
Guyton &Hall. 2000. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Kamus Kedokteran Dorlan.(2005) ed 29. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kasper, D., Fauci, S.A., et.all. eds. (2005) Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th ed.
USA : The Mc Graw-Hill Companies, inc, PP. 751-753

Paralta, R. (2009) Liver Abscess : multimedia. September, 15. Available from


http://emedicine.medscape.com
Liver

anatomy

(2004)

[online

image].

Available

from

http://swissknifev.files.wordpress.com/2009/01/liver-abdomen.jpg
Pyogenic abscess (2003) [online image]. Available from: http://www.adam.com
Rohen, J.W. & Drecoil, E.L.(2009) Embriologi Fungsional Perkembangan Sistem Fungsi
Organ manusia. Ed 2. Dany, F. ed . Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC, hal. 98-100
Santi, J.R., et.all (2009) Host-microbe interactions & Defense Mechanism in the
Development

of

Amoebic

Liver

Abscess.

January,

pp

65-75.

Available

from:

<http://cmr.asm.org/cgi>
Sherwood, L. (2001) Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Ed 2. Santoso,B.I. ed. Jakarta :
Penerbit buku kedokteran EGC, hal 565-570
Sjamsuhidajat, R. & Jong, W.D.eds. (2005) Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC, hal. 580-583
Skandalakis, E.J., et.all.(2006) Skandalakis Surgical Anatomy. Chapter 19. USA: The Mc
Graw Hill Companies, inc. Available from : http://www.freemedicalebooks.com
Tendean, N. & Waleleng, B.J. (2006) Abses Hati Piogenik. Di dalam : Sudoyo, A.W., dkk.
Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, hal. 462-463

Anda mungkin juga menyukai