Anda di halaman 1dari 18

SURAT EDARAN KAPOLRI: SERI KEGADUHAN HUKUM

Rasanya hampir tidak terbantahkan pandangan bahwa politik


determinan terhadap hukum. Prof Moh Mahfud MD menjelaskan
di dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia, menguraikan
panjang lebar secara ilmiah dan akademis berkaitan mengenai
tarik menarik antara politik dan hukum dalam membentuk suatu
kebijakan umum penguasa dalam membentuk Politik
Pembangunan Hukum Nasional atau dalam dunia akademis
seringkali disebut dengan istilah Politik Hukum. Namun untuk
dapat memberikan suatu ketegasan bahwa pandangan tersebut
benar ataukah tidak tidak sesederhana itu, karena memang
masing-masing ahli hukum memandang berdasarkan perspektif
yang berbeda-beda.
Satu hal yang pasti adalah kajian mengenai politik hukum
disepakati sebagai suatu kajian yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Ilmu Hukum itu sendiri. Politik Hukum diyakini
merupakan kawah candradimuka dari pembentukan suatu
Sistem Hukum Nasional berdasarkan falsafah pandangan hidup
berbangsa dan bernegara. Maka penentuan Politik Hukum
tersebut memiliki tujuan akhir kepada tujuan bernegara
sebagaimana termuat di dalam Alinea IV Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945), yaitu
kesejahteraan umum (bestuurzorg).
Berkaitan dengan hal tersebut, Padmo Wahyono pernah
menjelaskan bahwa politik pembangunan hukum nasional untuk
mencapai tujuan negara dalam kaitan dengan pelaksanaan dari
keseluruhan kegiatan kenegaraan dikelompokkan dalam dua
kelompok besar, yaitu (1). Penyelenggaraan kehidupan negara.
Adapun yang dimaksud dengan bidang penyelenggaraan negara
ialah bidang yang bersangkut paut dengan kelangsungan hidup
organisasi negara, yang meliputi pembentukan mekanisme
perundang-undangan sebagai kelanjutan dari hukum dasar
tertulis dan tidak tertulis, menyelidiki pasal-pasalnya, bagaimana
penerapannya, suasana kebatinannya, perumusan teks
perundang-undangan, suasana terciptanya teks perundangundangan tersebut, keterangan-keterangan berkaitan proses
pembentukannya, dimana kesemuanya berkaitan dengan
pengaturan yang terdapat di dalam konstitusi mengenai
organisasi kenegaraan. Dalam bidang ini perlu dicatat beberapa
tahap pelaksanaan ketentuan-ketentuan mengenai organisasi
negara yang dipengaruhi oleh keadaan dan waktu; (2).
Penyelenggaraan kehidupan sosial, adapun yang dimaksud

dengan bidang penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah


penyelenggaraan kehidupan negara lebih menentukan hal
wahana yang memadai untuk mencapai tujuan bernegara, maka
penyelenggaraan kehidupan sosial menentukan dan membentuk
tingkat-tingkat perekonomian guna mencapai tujuan bernegara
yang pada dasarnya bersifat dinamis. Di dalam bidang ini
merupakan tahapan fungsional dari mekanisme garis-garis besar
daripada haluan negara.
Pernyataan kehendak oleh Negara sebagai suatu kebijaksaan
umum tersebut yang pada akhirnya diwujudkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan sebagai salah satu konsekuensi
logis dari dianutnya asas Negara Hukum. Dengan demikian,
langkah konkrit dari perwujudan dari Politik Hukum tersebut
adalah rangkaian kegiatan berupa perencanaan, perumusan dan
pengundangan sejumlah nilai-nilai (values) ke dalam rangkaian
norma di dalam beberapa perundang-undangan. Dalam hal ini,
peraturan perundang-undangan tersebutlah yang kemudian
dijadikan landasan dan batasan dari pelaksanaan kekuasaan dan
kewenangan dari Penyelenggara Negara. Landasan dan batasan
tersebut kemudian dilimitasi oleh Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (UU PPP) khususnya pada Pasal 7 ayat (1).
Dalam konteks implementasi suatu perundang-undangan, tidak
dapat dipungkiri bahwa suatu Undang-undang semenjak
disahkan dan diundangkan telah membawa cacat lahir dan cacat
bawaan, yaitu keterbatasan dalam menjangkau perubahanperubahan sosial yang sangat dinamis di dalam masyarakat.
Maka, konsep negara hukum memberikan perpanjangan tangan
bagi setiap Penyelenggara Negara untuk menetapkan suatu
peraturan kebijaksanaan dalam bentuk tindakan hukum faktual
berdasarkan asas diskresi (discretionary theory). Sehingga, di
dalam proses penyelenggaraan negara seringkali kita mendengar
produk-produk hukum yang bersifat petunjuk pelaksana (juklak)
dan petunjuk tehnis (juknis).
RASIONALITAS SURAT EDARAN KAPOLRI NOMOR
SE/06/X/2015 TENTANG PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN
(hate speech)
Ketentuan-ketentuan tertulis yang memiliki bentuk berupa
petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk tehnis (juknis) tersebut
seringkali kita jumpai dalam praktek kenegaraan memiliki
nomenklatur berupa SURAT EDARAN. Eksistensi Surat Edaran
(SE) yang berfungsi sebagai petunjuk pelaksana (juklak) dan

petunjuk tehnis (juknis) memiliki peranan yang sangat penting


bagi proses praktek penyelenggaraan negara. Setiap Pejabat
Publik/Penyelenggara Negara dalam suatu institusi yang
menerbitkan Surat Edaran (SE) tersebut adalah mengikat secara
internal. Maka, Surat Edaran (SE) bukan merupakan peraturan
perundang-undangan karena bersifat peraturan kebijakan
(beleidsregel).
Namun, baik dalam ranah teoritis maupun praktis, pemaknaan
berkaitan dengan Surat Edaran (SE) tersebut juga tidak seragam.
Prof. Jimly Asshiddiqie misalnya, mengklasifikasikan Surat Edaran
(SE) ke dalam bentuk quasi legislation yang berisi norma-norma
aturan yang bersifat administratif yang berfungsi sebagai
petunjuk atau pedoman kerja. Adapun menurut Pedoman Tata
Naskah Dinas Instansi Pemerintah ditegaskan bahwa Surat
Edaran adalah naskah dinas yang memuat pemberitahuan
tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.
Sedangkan jika kita kaji melalui Pasal 8 UU PPP maka terdapat
jenis peraturan perundang-undangan lain selain yang telah
ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPP, bahkan memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang memuat 2 (dua) syarat,
yaitu (1). Diperintahkan oleh Undang-undang; dan (2). Dibentuk
berdasarkan kewenangan. Dengan demikian, pengkajian
terhadap suatu Surat Edaran (SE) mengacu pada kedua syarat
tersebut. Namun, jika tidak terpenuhinya kedua syarat itu maka
suatu Surat Edaran (SE) hanya merupakan aturan internal yang
tidak dapat memuat norma hukum baru.
Persoalan mengenai Surat Edaran (SE) tersebut di dalam
kehidupan hukum di Indonesia sangat jarang sekali mengalami
permasalahan-permasalahan yang memunculkan perdebatanperdebatan baik dalam ranah teoretis maupun praktis. Sebagai
contoh Mahkamah Agung RI seringkali mengeluarkan Surat
Edaran (SE) yang sifatnya menganulir suatu pasal tertentu di
dalam suatu Undang-Undang, namun tidak banyak yang
melakukan protes ataupun tidak banyak terjadi perdebatan
akademik, kecuali mengenai SEMA tentang Peninjauan Kembali.
Saat ini, fokus perhatian masyarakat dan pemerhati hukum
terarah kepada Surat Edaran Kepala Kepolisian RI Nomor
SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate
speech) tertanggal 8 Oktober 2015. Semenjak Surat Edaran (SE)
tersebut bergulir, pro kontra sudah mulai marak. Berbagai opini
dan asumsi sudah digulirkan, dan memang tidak dapat dipungkiri
kemuncullan Surat Edaran (SE) tersebut seringkali dikaitkan
dengan kondisi perpolitikan nasional khususnya kepada kinerja
kepemimpinan nasional, yang seringkali ditampilkan dalam

bentuk digital atau dalam ranah dunia maya melalui instrument


internet. Sehingga, sudah dapat diprediksi para netizen (pegiat
dunia maya) langsung bereaksi sebagai bentuk protes terhadap
kebebasan berekspresi melalui media sosial (medsos).
Prof Yusril Ihza Mahendra (New.liputan6.com-4/11) berpandangan
bahwa Surat Edaran (SE) tersebut tidak atau bukan merupakan
pengekangan terhadap kebebasan berekspresi, dengan dalih
pengaturan yang dimuat di dalam Surat Edaran (SE) tersebut
telah ada di KUHP dan Undang-undang khusus lainnya. Namun
berbeda lagi dengan pandangan dari Ahli Hukum Tata Negara
Refly Harun (News.viva-3/11) yang menyatakan Surat Edaran
Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian seharusnya tidak
usah diumumkan. Sebab kalau polisi terlalu 'over acting'
terhadap surat edaran ini maka akibatnya justru bisa
mengancam kebebasan sipil.
Kondisi yang serupa pula nampak pada ranah praktisi, dimana
Ketua MPR Zulkifli Hasan (Rakyat Merdeka-4/11) menyatakan
mendukung polisi mempidanakan penyebar kebencian di media
sosial. Sedangkan Pengamat Politik Universitas Al Azhar
Indonesia, Rahmat Bagja berpendapat, Surat Edaran (SE) Kapolri
merupakan bentuk lain dari pasal penghinaan terhadap Presiden
yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Terhadap kondisi
kegaduhan seperti ini, Polri melalui Kepala Biro Penerangan
Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Agus Rianto (News.viva-3/11)
mengatakan Surat Edaran Kapolri ini diperlukan untuk memberi
batasan dalam mengunggah sesuatu yang dapat menimbulkan
kebencian, penghinaan dan lain sebagainya.
Dalam hal tersebut, Polri mengkonstruksikan suatu argumentasi
guna menemukan kebenaran ilmiah yang didasarkan kepada
fungsi Polri (Pasal 2 UU 2/2002 jo Angka 2 huruf e SE Kapolri No.
6/2015) yaitu memiliki fungsi pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Adapun ruang
lingkup SE Kapolri No. 6/2015 tersebut antara lain: dalam orasi
kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial,
penyampain pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah
keagamaan, media masa cetak maupun elektronik, dan pamflet.
Sedangkan perilaku yang diatur di dalam SE Kapolri No. 6/2015
tersebut adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan,
perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan
menyebarkan berita bohong. Oleh karena itu, payung hukum
yang digunakan untuk mendukung SE Kapolri No. 6/2015
tersebut adalah KUHP, UU HAM, UU Polri, Konvensi Hak EKOSOB,
Konvensi Hak SIPOL, UU ITE, UU Penghapusan Diskriminasi Ras

dan Etnis, UU Penanganan Konflik Sosial, PERKAP tentang


Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan
Tugas Polri dan PERKAP tentang Tehnis Penanganan Konflik
Sosial. Sedangkan pada ranah penegakan hukum, secara tegas
SE Kapolri No. 6/2015 tersebut berdasarkan kepada Pasal 156
KUHP, Pasal 157 KUHP, Pasal 310 KUHP, Pasal 311 KUHP, Pasal 28
jis Pasal 45 ayat (2) UU ITE, dan Pasal 16 UU Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis. Adapun jika pelarangan-pelarangan
yang telah diatur tersebut memunculkan konflik sosial maka SE
Kapolri No. 6/2015 berjalan dengan menggunakan UU
Penanganan Konflik Sosial dan PERKAP tentang Tehnis
Penanganan Konflik Sosial.
Demikianlah rasionalitas yang hendak dibangun oleh Polri
dimana didasarkan kepada fungsi kepolisian tersebut
memunculkan kewenangan Polri dalam melakukan penanganan
yang lebih efektif dan efesien untuk mencegah 2 (dua) hal yaitu
terjadinya suatu tindak pidana karena Ujaran Kebencian (hate
speech) dan konflik sosial karena Ujaran Kebencian (hate
speech).
DEKONSTRUKSI TERHADAP SURAT EDARAN KAPOLRI
NOMOR SE/06/X/2015 TENTANG PENANGANAN UJARAN
KEBENCIAN (hate speech)
Jika kita hendak melakukan dekonstruksi terhadap Surat Edaran
(SE) tersebut, hendaknya diawali dengan dengan mengajukan
terlebih dahulu beberapa presuposisi (pra-anggapan atau
asumsi) yang relevan, yaitu:
1. Apakah Surat Edaran (SE) tersebut merupakan
produk hukum?
Di dalam ranah hukum pidana, dikenal suatu istilah apa
yang disebut dengan Asas Legalitas. Secara peristilahan
asas tersebut dimanifestasikan dengan suatu adagium
nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali atau
tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang
telah ada. Namun, jika kemudian rasionalitas dari Surat
Edaran (SE) tersebut disandarkan kepada aturan tertulis
sebagaimana dimaksud dengan Asas Legalitas. Maka, terjadi
ketidaksinkronan pemaknaan dan tujuan dari Surat Edaran
(SE) tersebut. Oleh karena itu, pemahaman terhadap Asas
Legalitas tersebut harus ditarik kembali ke dalam
pemaknaan awal.

Hal tersebut dikarenakan pemaknaan Asas Legalitas yang


saat ini dipahami merupakan kristalisasi dari pandangan
Anselm von Feuerbach yang berakar dari pandangan
Montesquieu dan Immanuel Kant, yang kemudian
dikembangkan oleh Julius Stahl dalam salah satu
karakteristik asas negara hukum yaitu penyelenggaran
negara berdasarkan hukum, yang pada saat itu diartikan
sebagai perundang-undangan, atau wetmatigeheid van
bestuur. Namun semenjak adanya putusan Hoge Raad Tahun
1919, makna hukum sudah tidak lagi hanya sebatas
perundang-undangan semata tetapi pula termasuk asas
kepatutan dan asas kelayakan yang hidup di dalam
masyarakat.
Beranjak dari uraian tersebut, maka pemaknaan Asas
Legalitas adalah merupakan suatu asas yang memiliki dua
fungsi secara bersamaan sekaligus yaitu (1). Pembatasan
terhadap kekuasaan dan kewenangan terhadap
penyelenggaraan negara dalam melaksanakan fungsi
pemerintahan; dan (2). Pedoman berperilaku bagi setiap
warganegara. Maka Surat Edaran (SE), dalam presuposisi
adalah merupakan hukum merupakan suatu beleidregel
(peraturan kebijakan) yang dikeluarkan berdasarkan diskresi
menjadi terikat dengan stufenbau theory (Teori Norma
Berjenjang) yang diperkenalkan oleh Hans Kelsen dan Hans
Nawiasky. Oleh karena itu, Surat Edaran (SE) harus memiliki
pijakan dasar dari ketentuan peraturan yang lebih tinggi,
yaitu Undang-undang.
Mengacu kepada Pasal 2 UU 2/2002, dimana ditegaskan
fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat. Guna melaksanakan
fungsi kepolisian tersebut dibatasi kekuasaan dan
kewenangannya berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU 2/2002 jo
Pasal 2 KUHAP jo Pasal 3 KUHAP. Ketentuan-ketentuan
tersebut bila dikaitkan dengan kekuasaan dan
kewenangannya dalam melakukan proses peradilan pidana.
Sedangkan ketentuan-ketentuan bila menjadi pembatasan
kekuasaan dan kewenangan serta dasar hukum bagi
perilaku Polri sebagai Penyelenggara Negara hendaknya
dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara dan Undang-Undang Nomr 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Negara.

Maka kemudian yang menjadi permasalahan utama adalah


apakah Surat Edaran (SE) tersebut dilandaskan kepada
perundang-undangan yang mana?
Sepanjang penelusuran bahan hukum primer, suatu Surat
Edaran (SE) yang dikeluarkan oleh Kapolri, Penulis meraba
dengan menarik legalitasnya melalui Pasal 15 ayat (1) huruf
e jo Pasal 15 ayat (2) huruf k jo Pasal 16 ayat (1) huruf i UU
2/2002. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka
diketahui bahwa pelaksanaan fungsi kepolisian berada di
dalam dunia ranah yaitu tindakan yang merupakan bagian
proses peradilan dan tindakan yang merupakan bagian dari
perilaku administratif peradilan pidana. Dimana kedua
perilaku tersebut seringkali berjalan secara beriringan
sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Walaupun tidak
ditegaskan secara langsung oleh ketentuan-ketentuan
tersebut, sehingga pada prinsipnya ketentuan tersebut
merupakan legitimasi terhadap tindakan faktual dari suatu
fungsi kepolisian, dan bukan legitimasi terhadap tindakan
yang bersifat keputusan tertulis.
Jika Surat Edaran (SE) tersebut merupakan juklak dan juknis
mengenai penanganan terhadap tindak pidana yang telah
diatur di dalam Undang-undang, maka dimana letak dari
Surat Edaran (SE) tersebut terhadap Peraturan Kapolri
Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan
Tindak Pidana. Hal tersebut disebabkan Surat Edaran (SE)
tersebut tidak menunjukan adanya kekhususan sehingga
menjadi penting harus dikeluarkannya Surat Edaran (SE).
Baik KUHP, UU HAM, UU Polri, Konvensi Hak EKOSOB,
Konvensi Hak SIPOL, UU ITE, UU Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis, dan UU Penanganan Konflik Sosial tidak
terdapat satu pasal pun yang memberikan kewenangan
untuk Surat Edaran (SE) itu.
2. Apakah Kapolri berwenang mengeluarkan Surat
Edaran (SE) tersebut?
Mengacu kepada uraian pada point (1) tersebut, seolah-olah
Kapolri memang berwenang mengeluarkan Surat Edaran
(SE) tersebut. Namun dari struktur produk hukum secara
internal nampak jelas Surat Edaran (SE) tersebut seolah-olah
berdiri sendiri. Berbeda dengan munculnya PERKAP yang
memang mendapat kewenangan secara atribusi melalui
Pasal 15 ayat (1) huruf e UU 2/2002. Maka, menjadi summir
keberadaan Surat Edaran (SE) tersebut dikarenakan
dilakukan pengumuman ke muka publik.

Namun, jika dikaji kembali darimana ditarik kewenangan


tersebut? Maka terdapat satu Undang-undang yang seolaholah memberikan kewenangan tersebut, yaitu UndangUndang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial. Dimana di dalam Surat Edaran (SE) tersebut terdapat
beberapa redaksional yang dianggap melegitimasi
munculnya Surat Edaran (SE) No. 6/2015, yaitu:
Angka 2 huruf e Surat Edaran (SE) No. 6/2015, yang
menegaskan sebagai berikut:
bahwa pemahaman dan pengetahuan atas bentuk-bentuk
ujaran kebencian merupakan hal yang penting dimiliki oleh
personel Polri selaku aparat negara yang memiliki tugas
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum serta perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, sehingga dapat diambil
tindakan pencegahan sedini mungkin sebelum timbulnya
tindak pidana sebagai akibat dari ujaran kebencian
tersebut;
Angka 2 huruf f Surat Edaran (SE) No. 6/2015, dimana pada
bagian akhir menegaskan sebagai berikut:
dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa
berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan,
penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.
Angka 2 huruf i Surat Edaran (SE) No. 6/2015, yang
menegaskan sebagai berikut:
bahwa dengan memperhatikan pengertian ujaran
kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila
tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, akan
berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas,
dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan,
dan/atau penghilangan nyawa.
Angka 3 huruf b point 2 Surat Edaran (SE) No. 6/2015, yang
menegaskan sebagai berikut:
Dalam hal telah terjadi konflik sosial yang dilatarbelakangi
ujaran kebencian, dalam penanganannya tetap berpedoman
pada: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial dan Peraturan Kepala Kepolisian
RI Nomor 8 Tahun 2013 tentang Tehnis Penanganan Konflik
Sosial.
Dengan demikian, salah satu rasionalitas dari Surat Edaran
(SE) No. 6/2015 adalah akibat sosial dari suatu ujaran

kebencian yang menciptakan konflik sosial. Maka untuk


menentukan adakah kewenangan Polri dalam membuat
Surat Edaran (SE) No. 6/2015 tersebut.
Di dalam UU 7/2012 memberikan pengertian Konflik Sosial
sebagai berikut:
Konflik Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik, adalah
perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan
antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang
berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas
yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial
sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat
pembangunan nasional.
Sedangkan pengertian dari Pencegahan Konflik adalah
sebagai berikut:
Pencegahan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya Konflik dengan
peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem peringatan
dini.
Lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) UU 7/2012
sebagai berikut:
Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat.
Adapun yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Sedangkan upaya yang hendaknya dibangun sebagai bentuk
pencegahan konflik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) UU 7/2012, yaitu sebagai berikut:
a. Memelihara kondisi damai dalam masyarakat;
b. Mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara
damai;
c. Meredam potensi Konflik; dan
d. Membangun sistem peringatan dini.
Dengan demikian, pihak-pihak yang melaksanakan upaya
pencegahan tersebut adalah Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan masyarakat. Dalam hal ini, diperlukan
pelimpahan kewenangan secara langsung kepada Polri

untuk melakukan tindakan pencegahan terjadinya konflik.


Namun perlu dipahami kewenangan tersebut tidak bersifat
independen, karena UU 7/2012 mensyaratkan tiga
komponen yaitu Presiden, Kepala Daerah dan masyarakat
yang terdiri dari Pranata Adat dan Pranata Sosial.
Sedangkan keterlibatan Polri secara langsung adalah
berkaitan sebagai komponen dalam pembentukan Satuan
Tugas Penyelesaian Konflik Sosial yang bersifat ad hoc.
Namun pembentukan Satgas tersebut hanya bisa dilakukan
dengan syarat, yaitu:
a. Tidak ada Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial di
daerah Konflik;
b. Tidak berfungsinya Pranata Adat dan/atau Pranata
Sosial di daerah Konflik;
c. Tidak berjalannya mekanisme musyawarah untuk
mufakat melalui Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial;
d. Tidak tercapainya kesepakatan melalui mekanisme
musyawarah Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial; dan
e. Telah ditetapkannya Status Keadaan Konflik.
Kekuasaan dan kewenanan Polri di dalam Satgas tersebut
dibatasi oleh kekuasaan dan kewenangan Kepala Daerah
selama masa konflik. Sehingga bukan merupakan pilar
utama dalam penyelesaian konflik sosial. Dengan demikian,
jika Surat Edaran (SE) No. 6/2015 tersebut ditujukan kepada
upaya tindakan pencegahan dini adalah hal yang absurd dan
tidak memiliki landasan kewenangan berdasarkan UU
7/2012.
Dengan demikian, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa
kewenangan tertinggi yaitu kewenangan atribusi berada di
tangan Presiden dalam melakukan serangkan tindakan
pencegahan sebagai sarana peringatan dini. Sedangkan
Kapolri secara lex specialist terhadap UU 7/2012, hendaknya
harus dilakukan pendelegasian terlebih dahulu kepada Polri.
Oleh karena ketentuan Pasal 2 UU 2/2002 merupakan
ketentuan yang bersifat lex generalist. Dengan demikian,
Kapolri tidak berwenang menggunakan UU 7/2012 sebagai
dasar hukum dalam mengeluarkan Surat Edaran (SE) No.
6/2015 tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapatlah
disimpulkan bahwa Surat Edaran (SE) No. 6/2015 bukanlah
merupakan produk hukum dan bukan merupakan peraturan
perundang-undangan yang mengikat siapa pun, kecuali
hanya bagi Polri itu sendiri.

3. Apakah suatu Surat Edaran (SE) dapat mengatur norma


hukum baru?
Berdasarkan pengertian dari Surat Edaran (SE) baik
berdasarkan teoretis maupun praktis, sebagaimana telah
dijelaskan diawal, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa suatu
Surat Edaran (SE) merupakan naskah dinas yang memuat
pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting
dan mendesak.
Berdasarkan rasionalitas yang dibangun oleh Polri terhadap
dikeluarkannya Surat Edaran (SE) No. 6/2015 adalah
tindakan administratif yang sia-sia. Oleh karena, kekuasaan
dan kewenangan Polri dalam melakukan penanganan
terhadap hate speech telah diatur di dalam berbagai
perundang-undangan pidana. Sedangkan mekanisme
penyidikannya, selain secara lex specialist telah ada didalam
perundang-undangan yang bersifat lex specialist tersebut,
pula telah dimuat di dalam KUHAP dan PERKAP 14/2012.
Sehingga tidak ada hal yang baru berkaitan dengan juknis
maupun juklak bagi Penyidik.
Namun jika kita cermati dengan baik Surat Edaran (SE) No.
6/2015 tersebut maka terdapat muatan norma baru yang
justru merupakan suatu pelanggaran terhadap asas legalitas
itu sendiri. Misalnya, terdapat kalimat sebagai berikut:
Pada Angka 3 huruf a point 2, yang menegaskan sebagai
berikut:
melalui pemahaman atas bentuk-bentuk ujaran kebencian
dan akibat yang ditimbulkannya maka personil Polri
diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gelaja-gejala
yang timbul di masyarakat yang berpotensi menimbulkan
tindak pidana ujaran kebencian.
Pada Angka 3 huruf a point 5(d), yang menegaskan sebagai
berikut:
apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah
pada tindak pidana ujaran kebencian maka setiap
anggota Polri wajib melakukan tindakan:...........
Pada Angka 3 huruf b point 1, yang menegaskan sebagai
berikut:
penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak pidana
ujaran kebencian dengan mengacu pada
ketentuan:...........

Dengan demikian, jelas sekali bahwa Polri memunculkan


jenis tindak pidana baru di dalam Surat Edaran (SE) No.
6/2015 yang merupakan pelanggaran terhadap Asas
Legalitas. Pandangan ini menjadi relevan dengan
dimunculkannya instrumen dalam orasi kegiatan
kampanye, ceramah keagamaan dan penyampaian
pendapat di muka umum dengan metode generalisasi.
Untuk membela pandangan tersebut, Kami mengajukan
argumen sebagai berikut:
Di dalam Al Quran Surat Al-Baqaraah ayat 120 yang artinya
sebagai berikut:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang
kepadamu sebelum kamu mengikuti agama mereka.
Jika sekiranya pendengar ayat ini ketika diucapkan di dalam
masjid atau mushalla dalam media ceramah, adalah
beragama selain Islam, dapatkan kemudian si non Islam
tersebut melaporkannya sebagai hate speech? Apakah
dapat diklasifikasikan sebagai Tindak Pidana Ujaran
Kebencian? Namun demikian, jika kondisi sosial yang
memang dalam kondisi berpotensi muncul konflik sosial,
kemudian ayat tersebut terus dikumandangkan, sangat
mungkin saja terjadi Pihak Polri berpendapat hal tersebut
adalah termasuk kepada hate speech. Namun, bukan karena
isinya yang dapat dikategorikan sebagai hate speech, tetapi
kondisi kondusiflah yang harus dibangun sehingga meredam
isi dari ceramah menjadi penting. Sedangkan isi dari ayat itu
sendiri bukanlah kategori hate speech.
Atau, Kami mencoba meletakan kondisi antara ceramah
keagamaan dengan dalam Orasi kegiatan kampanye.
Di dalam kondisi perpolitikan di Indonesia yang bersifat
pluralistik, maka persinggungan kepentingan seringkali
terjadi. Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia, nampak
sekali terjadi gesekan antara kepentingan sekelompok
agama dengan kepentingan berbasis politik. Misalnya
dengan majunya Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai Calon
Presiden.
Di dalam Al Quran Surat An-Nisaa ayat 34 ditegaskan
sebagai berikut:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.
Kemudian diperkuat dalam Hadist Nabi:

Diriwayatkan dari Abu Bakrah, katanya: Tatkala sampai


berita kepada Rasulullah bahwa orang-orang Persia
mengangkat raja puteri Kaisar, Beliau bersabda: Tidak akan
pernah beruntung keadaan suatu kaum yang menyerahkan
kepemimpinannya pada seorang perempuan. (HR. Bukhari,
Turmudzi dan An-Nasai)
Di dalam masa kampanye untuk kepentingan Ibu Megawati
Soekarnoputri, ketika ayat dan hadist tersebut
dikumandangkan di dalam berbagai ceramah-ceramah
keagamaan, maka pertanyaanya adalah apakah ayat dan
hadist tersebut merupakan perilaku hate speech? Yang
kemudian didukung dengan argumentasi bahwa kelompokkelompok yang tidak menyukai pemimpin wanita
memanfaatkan ayat dan hadist tersebut untuk kepentingan
politiknya. Hal tersebut tentunya kembali kepada orientasi
seseorang atau sekelompok orang yang memisahkan antara
kehidupan beragama dengan kehidupan bernegara atau
memisahkan antara agama dan politik.
Apakah yang demikian yang dimaksud dalam Surat Edaran
(SE) No. 6/2015? Dengan demikian, apa yang diutarakan
pada prinsipnya merupakan korelasi dengan kondisi pada
saat diucapkan. Bahwa asasinya ucapan-ucapan tersebut
adalah benar adanya, namun dalam kondisi yang tidak
tepat. Sehingga, Surat Edaran (SE) No. 6/2015 tersebut
justru memunculkan norma yang bersifat sangat abstrak
dan lentur dan dapat saja ditarik berdasarkan kepentingan
seseorang atau sekelompok.
Berdasarkan uraian dari dekontruksi Surat Edaran (SE) No.
6/2015 tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa Surat Edaran (SE)
No. 6/2015 bukan merupakan produk hukum ataupun peraturan
perundang-undangan. Bahwa Surat Edaran (SE) No. 6/2015
tersebut tidak mengikat siapapun selain Polri sendiri. Oleh karena
bukan merupakan produk hukum, Surat Edaran (SE) No. 6/2015
tersebut tidak memiliki nilai-nilai akademis dan bahkan menurut
Kami, pula tidak memiliki nilai-nilai praktis karena sudah diatur
oleh perundang-undangan pidana dan PERKAP 14/2012.
DAMPAK SOSIAL SEBAGAI AKIBAT DARI SURAT EDARAN
KAPOLRI NOMOR SE/06/X/2015 TENTANG PENANGANAN
UJARAN KEBENCIAN (hate speech)

Ilmu Hukum adalah ilmu normatif maka hendaknya tetap berada


di dalam keciri-khas-annya, namun demikian, tidak menutup diri
dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial yang memang memiliki
kedekatan hubungan dengan ilmu hukum. Namun tidak berarti
harus ahli hukum menguasai ilmu sosial pula. Dan di dalam
perkembangan Hukum Pidana melalui pergeseran filsafat hukum
pidana terjadi pergeseran karena dipengaruhi oleh bidang
Kriminologi, maka perlu juga memperhatikan perkembangan dari
filsafat pemidanaan yang telah berkembang dewasa ini.
Berdasarkan objek kajian Ilmu Hukum adalah tata hukum positif
yang berlaku pada suatu waktu tertentu dan wilayah tertentu,
maka seyogyanyalah kajian terhadap Ilmu Hukum Pidana pula
didasarkan kepada pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri
dalam melihat perbuatan-perbuatan yang dianggap tercela oleh
masyarakat. Penelaahan tersebut menjadi penting dalam
memahami suatu perbuatan yang kemudian dianggap sebagai
suatu perbuatan pidana yang berbasis asas legalitas sebagai
parameter terciptanya suatu perbuatan pidana atau sebagai
parameter terjadinya suatu perbuatan pidana dalam konteks
sistem kemasyarakatan di Indonesia. Pandangan tersebut
menjadi memiliki kesesuaian jika kita kembalikan kepada
pandangan bahwa perbuatan pidana pada hakikatnya
merupakan perbuatan anti sosial. Maka hukum pidana bergerak
sebagai hukum sanksi atas perbuatan anti sosial tersebut.
Oleh karena itu, di dalam melakukan kegiatan rechtsbeoefening
(pengembanan hukum praktis atau praktek hukum), maka di
dalam penyusunannya guna dapat memerankan Ilmu Hukum
dilakukan refleksi kefilsafatan terhadap Ilmu Hukum itu sendiri.
Sehingga pemangku kepentingan akan mendapatkan gambaran
yang utuh dari norma-norma yang dikualifikasikan sebagai
perbuatan pidana dan bukan lagi gambaran yang tereduksi
terhadap norma-norma yang dilekatkan norma sanksi pidana.
Menurut Bernard Arief Sidharta bahwa kondisi tersebut
merupakan akibat dari diabaikan atau kurang diperhatikannya
studi Teori Argumentasi Yuridik (legal reasoning), dan terkait
padanya Teori Penemuan Hukum, dalam pendidikan hukum di
Indonesia memperkuat kecenderungan berpikir positivistik(legalistik) dalam praktek hukum. Menyelesaikan masalah hukum
secara yuridik dalam intinya berarti menerapkan aturan hokum
positif terhadap masalah (kasus) tersebut. Menerapkan aturan
hukum positif hanya dapat dilakukan dengan jalan secara
kontekstual menginterpretasi aturan hukum tersebut untuk
menemukan kaidah hukum yang tercantum di dalamnya dalam
kerangka tujuan kemasyarakatan dari pembentukan aturan

hukum itu (teleologikal) yang dikaitkan pada asas(-asas) hukum


yang melandasinya dengan melibatkan juga berbagai metode
interpretasi lainnya (gramatikal, historikal, sistematikal,
sosiologikal).
Sehingga kegiatan Ilmu Hukum tersebut diatas dipergunakan
untuk menyelesaikan permasalahan pokok Ilmu Hukum yang
didasarkan kepada objek kajiannya yaitu fakta kemasyatakatan
dan kaidah hukum.
Berdasarkan uraian tersebut, maka pembahasan kaidah hukum
telah Kami sampaikan diatas, oleh karena itu pada bagian ini
akan dikonsentrasikan kepada pembahasan kepada faktor fakta
kemasyarakatan.
Hukum dalam tataran praktis bergerak di dalam masyarakat,
dimana masyarakat merupakan objek sekaligus sebagai subjek,
karena asasinya adalah merupakan manusia, di dalam hukum.
Sehingga, bukan hanya produk perundang-undangan saja yang
berimplikasi kepada masyarakat, namun tindakan faktual
penyelenggara negara justru memberikan implikasi yang bersifat
langsung.
Polri merupakan komponen dari Sistem Peradilan Pidana, sebagai
suatu bagian dari sebuah sistem maka kajian terhadap Polri,
dalam perspektif Lawrence M Friedmann, terdiri dari legal
structure, legal substance dan legal culture. Maka, di dalam
konteks rechtsbeoefening, hukum tidak saja dipandang sebagai
hal-hal yang semata-mata bersifat normatif, namun juga sisi
praktek.
Perkembangan ilmu hukum, baik langsung maupun tidak
langsung, turut terpengaruh dengan derasnya arus globalisasi.
Hubungan internasional yang diejawantahkan melalui berbagai
konvensi Internasional dan perjanjian internasional, baik yang
bilateral maupun multilateral, turut pula mewarnai dan/atau
menggeser sistem hukum Indonesia. Yang pada akhirnya
menuntut pula perubahan pada pola pikir dan budaya hukum
yang ada saat ini. Oleh karena itu, setiap Anggota Polri wajib
memahami essensi dirinya sebagai Pejabat Publik/Administrasi
Negara, yang memiliki kewenangan guna mengeluarkan
kebijakan dan/atau kebijaksanaan untuk menerapkan peraturan
perundang-undangan yang humanis sesuai peraturan
perundang-undangan. Kebuntuan dalam hal praktek, tidak serta
merta dicarikan solusi melalui legal culture (budaya hukum) yang
berkembang di institusi Polri. Karena budaya hukum itu sendiri
bukanlah suatu kebenaran koherensi. Namun, perubahan dalam
konteks budaya hukum merupakan bidang yang sangat sulit

hingga saat ini. Sehingga adalah hal yang sia-sia manakala


pembaruan Hukum Pidana hanya sebatas legal structure dan
legal substance tanpa adanya pembaruan pada legal culture.
Cara pandangan Polri terhadap seseorang sebagai terlapor
tidak bisa dilepaskan dari pengalaman sejarah yang telah
mengakar dan mendarah daging melalui sistem pemeriksaan
secara inquisatoir di dalam menerapkan KUHAP yang menganut
sistem pemeriksaan accusatoir, tidak lah ada pembaruan secara
utuh.
Di dalam Angka 2 huruf e Surat Edaran (SE) No. 6/2015, yang
menegaskan sebagai berikut:
bahwa pemahaman dan pengetahuan atas bentuk-bentuk
ujaran kebencian merupakan hal yang penting dimiliki oleh
personel Polri selaku aparat negara yang memiliki tugas
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum serta perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, sehingga dapat diambil
tindakan pencegahan sedini mungkin sebelum timbulnya
tindak pidana sebagai akibat dari ujaran kebencian
tersebut;
Angka 2 huruf f Surat Edaran (SE) No. 6/2015, dimana pada
bagian akhir menegaskan sebagai berikut:
dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa
berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan,
penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.
Angka 2 huruf i Surat Edaran (SE) No. 6/2015, yang menegaskan
sebagai berikut:
bahwa dengan memperhatikan pengertian ujaran
kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila
tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan
berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan
berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan,
dan/atau penghilangan nyawa.
Terhadap frase-frase tersebut, di dalam konteks
rechtsbeoefening (pengembanan ilmu hukum atau praktek
hukum) bukan hanya dapat dipermasalahkan dengan bagaimana
cara penggunaan metode interpretasi, namun bagaimana legal
culture dalam menerapkan hasil interpretasi tersebut.
Kuatnya pengaruh mahzab positivisme di dalam Sistem Peradilan
Pidana menjadikan Polri, yang telah ditetapkan sebagai penegak
hukum, bertindak sebagai corong undang-undang (la bounche

de la loi). Tak jarang, ketika seseorang yang diposisikan sebagai


terlapor melakukan pembelaan diri tak jarang dibenturkan
dengan kalimat yang terlontar Kami hanya melaksanakan
Undang-Undang, atau Keberatan Bapak/Ibu silahkan
ajukan di dalam persidangan. Sehingga kewenangan untuk
melakukan penahanan menjadi sangat subjektif berdasarkan
kekuasaan. Dengan demikian, legitimasi terhadap Polri sebagai
penegak hukum ternyata tidak dapat memaknai kata hukum
yang melekat di atas pundaknya. Terhadap hal tersebut, maka
hendaknya dikaji pandangan dari Oliver Wendell Holmes,
mantan Hakim Agung di Mahkamah Agung Amerika Serikat, yang
menjelaskan To be master of any branch of knowledge, you
must master those which lie next to it.....And thus to know
anything you must knows all.
Oleh karena itu, seseorang ahli hukum yang hanya berkutat pada
ranah teoretis tidak akan mampu membayangkan rasa gundah
gulana dan ketakutannya manakala seseorang yang diletakan
sebagai terlapor mendapatkan Surat Panggilan dari Polri. Hal
tersebut dikarenakan penggunaan kewenangan yang diberikan
oleh Undang-undang dimaknai sebagai kekuasaan. Sedangkan
makna kewenangan pada hakikinya adalah pembatasan
terhadap kekuasaan itu sendiri.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka dapatlah ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Surat Edaran (SE) No. 6/2015 bukanlah merupakan produk
hukum, termasuk bukanlah produk perundang-undangan;
2. Surat Edaran (SE) No. 6/2015 telah melanggar Asas
Legalitas dengan menunculkan tindak baru yaitu Tindak
Pidana Ujaran Kebencian;
3. Surat Edaran (SE) No. 6/2015 justru memunculkan
penafsiran yang sangat luas terhadap ujaran kebencian
terkait dengan sarananya;
4. Surat Edaran (SE) No. 6/2015 memunculkan kekuasaan dan
kewenangan yang berlebih untuk melakukan tindakan
sebagai pencegahan dini;
5. Surat Edaran (SE) No. 6/2015 akan memunculkan kerugian
psikologis dari seseorang yang diklasifikasikan sebagai
pelaku ujaran kebencian;

Anda mungkin juga menyukai