Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Meningitis TBC merupakan masalah yang masih sering dijumpai pada anak-anak di
Negara-negara berkembang. Contohnya di India walaupun telah didapatkan penurunan
insidensi meningitis TBC, diperkirakan mortalitasnya adalah 1,5/100.000 pada populasi.
Hidrosefalus adalah salah satu komplikasi yang terjadi pada meningitis TBC. Komplikasi
tersebut hampir selalu munvul pada pasien yang menderita meningitis TBC yang lebih dari 46 minggu. Komplikasi dirasakan lebih parah pada anak dan bisa terjadi pada stadium awal
penyakit ini.
Hidrosefalus adalah komplikasi yang paling umum dari meningitis TBC dimana
terjadi pada hampir 85% dari anak yang mengidap penyakit tersebut. Penyakit ini dilaporkan
menimbulkan manifestasi yang lebih berat pada anak-anak dibandingkan orang dewasa.
Hidrosefalus yang dapat ditimbulkan bisa berupa tipe komunikan atau non-komunikans
(obstruktif). Sistem grading atau klasifikasi yang bisa digunakan adalah sistem Vellore untuk
klasifikasi klinis meningitis TB dimana prognosis terbaik didapatkan pada grade I dan
diagnosis terburuk pada grade IV.
Penatalaksanaan pada hidrosefalus karena meningitis TB termasuk terapi medis
berupa agen dehidrasi dan penggunaan steroid pada grade yang baik dan hidrosefalus
komunikans. Tetapi penatalaksanaan operatif tetap dibutuhkan pada hidrosefalus obstruktif
dan pada hidrosefalus yang memiliki grade yang buruk. Tindakan operatif bisa berupa
ventriculo-peritoneal shunt (VP shunt) atau endoskopi ventrikulostomi ventrikel III (ETV).
Komplikasi dari pembuatan shunt pada pasien dengan hidrosefalus karena meningitis
TB sering sekali timbul. Komplikasi tersebut adalah obstruksi dan infeksi dari shunt yang
sering memerlukan revisi ulang dari shunt. ETV memberikan tingkat keberhasilan yang lebih
tinggi pada pasien-pasien ini, tetapi tidak bisa dilakukan pada pasien yang berada di stadium
akut. mortalitas dari pemantauan jangka panjang dilaporkan bervariasi pada kisaran 10,5%57,1%. Tindakan operatif yang dilakukan pada pasien dengan grade Vellore IV sering terkait
dengan tingkat keberhasilan yang rendah dan mortalitas yang rendah, sehingga keuntungan
dari tindakan operatif pada pasien-pasien tersebut masih diperdebatkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
Meningen terdiri dari tiga lapis, yaitu :
1. Pia mater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulkus, fisura dan sekitar pembuluh darah
di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fisura transversalis di bawah
corpus callosum. Di tempat ini piamater membentuk tela choroidea dari ventrikel
tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah
choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan
ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di
tempat itu.
2. Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan pia mater dan durameter.
3. Dura mater merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari jaringan
ikat yang tebal dan kuat. Dura kranialis atau pachymeninx adalah struktur fibrosa
yang kuat dengan lapisan dalam (meningen) dan lapisan luar (periosteal). Duramater
lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk
periosteum. Di antara kedua hemispher terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri
yang melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke
protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium
cerebelli yang meluas ke kedua sisi.
Tuberkulosis pleura dapat bermanifestasi mulai dari efusi yang kecil, hingga efusi
besar sehingga menimbulkan nyeri pleura dan dispnu. Pemeriksaan fisik
menunjukkan efusi pleura (redup pada perkusi, suara napas menghilang). Jenis efusi
perlu ditentukan dengan melakukan pungsi pleura. Dapat pula terjadi empiema
tuberkulosis yang lebih jarang, pada umumnya disebabkan oleh ruptur kavitas.
Tuberkulosis saluran napas atas merupakan komplikasi dari tuberkulosis paru dengan
kavitasi. Tuberkulosis jenis ini melibatkan laring, faring, dan/atau epiglotis sehingga
memunculkan gejala serak, disfonia, dan disfagia disertai dengan batuk produktif.
Tuberkulosis genitourinaria dapat menimbulkan gejala frekuensi, disuria, nokturia,
Kejadian tuberkulosis ekstrapulmoner dapat terjadi sekitar 15-20% pada populasi yang
prevalensi HIV-nya rendah. Kejadian ini akan semakin meningkat dengan tingginya
prevalensi infeksi HIV. Sebagaimana yang diketahui bahwa tuberkulosis merupakan infeksi
poportunistik tersering pada ODHA di Indonesia. Tuberkulosis paru adalah jenis tuberkulosis
yang paling banyak ditemukan pada ODHA, sedangkan tuberkulosis ekstrapulmoner sering
ditemukan pada ODHA dengan hitung CD4 yang lebih rendah.
Untuk mendiagnosis tuberkulosis ekstrapulmoner, sampel perlu didapakan dari tempattempat yang cenderung sulit, sehingga konfirmasi bakteriologis tuberkulosis ektrapulmoner
menjadi lebih sulit dibandingkan tuberkulosis paru. Selain itu terdapat kecenderungan jumlah
mikroorganisme M. tuberculosis pada situs ekstrapulmoner lebih sedikit sehingga
pemeriksaan mikroskopis basil tahan asam (BTA) menjadi lebih sulit. Sebagai contoh,
pemeriksaan cairan pleura pada pleuritis tuberkulosis hanya berhasil menemukan BTA pada
sekitar 5-10% kasus, dan temuan sama rendahnya pada meningitis tuberkulosis. Mengingat
fakta ini, kultur dan pemeriksaan histopatologi terhadap jaringan (misal: biopsi jarum halus
nodus limfa) menjadi penting sebagai alat diagnostik. Pemeriksaan foto toraks juga sebaiknya
adalah berwarna keruh putih, pleocytosis yang sangat tinggi dan dengan peningkatan pada
neutrofil.
Pada meningitis TB, sering ditemukan glukosa pada cairan serebrospinalis di bawah 5
mg/dl dengan warna yang jernih, hitung jenis sel darah putih menunjukkan peningkatan
limfosit sebesar 50% atau lebih pada 50 sampai 500 per L sel darah putih di dalam cairan
serebrospinalis. Kandungan protein di atas 1 g/L dan glukosa kurang dari 2.2 mmol/L.
Namun pada beberapa kasus bisa ditemukan hasil penemuan laboratorium yang berbeda.
Untuk meyakinkan diagnosis meningitis TB, tes cairan serebrospinalis lain baru-baru ini telah
dikembangkan. Salah satunya adalah evaluasi adenosine deaminase activity (ADA),
pengukuran interferon-gamma (IFN-) yang dikeluarkan oleh limfosit, deteksi antigen dan
antibodi bakteri M.tuberculosis dan immunocytochemical staining of mycobacterial antigens
(ISMA) pada sitoplasma makrofag CSF.
Tes aktivitas ADA merupakan rapid test yang menampilkan proliferasi dan
diferensiasi limfosit sebagai hasil dari aktivasi imunitas yang diperantarai sel (cell-mediated
immunity) terhadap infeksi bakteri M.tuberculosis (23,24). Aktivitas ADA tidak dapat
membedakan meningitis TB dengan meningitis bakterial lainnya, tapi aktivitas dari ADA
dapat menjadi informasi tambahan yang berguna untuk menyingkirkan diagnosis meningitis
yang diakibatkan selain bakteri. Nilai ADA dari 1 sampai 4 U/L (sensitivitas >93% dan
spesifitas <80%) dapat membantu eksklusi diagnosis meningitis TB. Nilai >8 U/L
(sensitivitas 59% dan spesifitas >96%) dapat membantu menegakkan diagnosis meningitis
TB (p<0.001). Namun, nilai diantara 4 dan 8 U/L insufisien untuk mengonfirmasi atau
mengeksklusi diagnosis meningitis TB (p=0.07) (23). Hasil positif palsu juga bisa ditemukan
pada pasien dengan infeksi HIV.
Pengukuran IFN- yang dikeluarkan oleh limfosit yang terstimulasi oleh antigen
bakteri M.tuberculosis telah diakui lebih akurat dibandingkan dengan skin-testing untuk
mendiagnosis infeksi TB laten dan sangat berguna untuk mendiagnosis TB ekstrapulmoner.
Namun, sensitivitas dan spesifitas tes bervariasi menurut asal atau sumber infeksi primernya
(25). Telah dilaporkan kegagalan tes pengukuran IFN- ini diakibatkan oleh kematian
limfosit yang cepat ketika distimulasi dengan antigen M.tuberculosis ex vivo sehingga hasil
tes dapat ditemukan negatif meskipun sesungguhnya telah terdapat infeksi TB.
Penggunaan tes ISMA pada sitoplasma makrofag CSF berdasarkan asumsi bahwa
pada stase inisial infeksi terjadi fagositosis basil TB oleh makrofag dan pada stase selanjutnya
basil TB tersebut berkembang dan bertambah di dalam makrofag (27). Hasil tes yang positif
mengindikasikan bahwa terdapat isolat bakteri TB di dalam CSF. Pada studi terbaru di
9
dapatkan sensitivitas 73.5% dan spesifitas 90.7% dengan nilai prediksi positif dan negatif
sebesar 52.9% dan 96% berturut-turut.
Diagnosis pasti meningitis TB dapat dibuat hanya setelah dilakukan pungsi lumbal
pada pasien dengan gejala dan tanda penyakit di sistem saraf pusat (defisit neurologis), basil
tahan asam positif dan atau atau M.tuberculosis terdeteksi menggunakan metode molekular
dan atau atau setelah dilakukan kultur cairan serebrospinal (CSF) (20). Namun segala metode
untuk memastikan sebuah diagnosis meningitis TB ini memiliki resiko memperlambat terapi
inisiasi. Kultur memerlukan 2 sampai 3 minggu untuk mendapatkan hasil. Deteksi
mikroskopik untuk basil tahan asam dan isolasi kultur memiliki sensitivitas rendah. Metode
molekular yang paling baru juga memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah namun
dapat digunakan untuk mengetahui konsentrasi bakteri yang berada di CSF sehingga dapat
menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi respon terapi.
2.2.5 Penatalaksanaan Meningitis TB
Penatalaksanaan meningitis TB berdasarkan tiga komponen berbeda: administrasi
obat anti TB, modulasi respon imun dan manajemen atau penatalaksanaan tekanan
intrakranial yang meningkat. Berikut adalah guideline dan dosis pemberian obat anti TB
untuk infant dan anak-anak baik lini pertama dan lini kedua:
10
Guideline pemberian obat anti TB untuk infant dan anak-anak lini kedua
11
Fixed-dose drug combination (FDC) adalah obat yang mengandung dua atau lebih
jenis obat di dalam satu tablet atau kapsul. Keuntungan dari penggunaan FDC adalah
menurunkan resiko pembentukan resistensi terhadap obat dan medication errors yang lebih
sedikit sebab hanya sedikit obat yang perlu diresepkan (31). Anak-anak di atas usia 8 tahun
dengan berat badan lebih dari 30 kg dapat diberikan standard four-drug FDC atau FDC yang
memiliki kandungan 4 jenis obat TB standar yang digunakan pada pasien dewasa selama fase
intensif (dua bulan) terapi.
2.2.6 Komplikasi Meningitis TBC
Pada suatu penelitian yang dilakukan Anderson et al didapatkan beberapa komplikasi
yang sering didapatkan pada meningitis TBC, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Hidrosefalus (42%)
Stroke (33%)
Epilepsy (28%)
Tuberkuloma
Kompikasi medulla spinalis
Hiponatremi
Disfungsi hipotalamus
12
Tujuan dari
tindakan operatif adalah menurunkan ukuran dari lesi yang akan menempati ruangan
intracranial dan meningkatkan TIK. Pemberian OAT sebelum tindakan operatif dapat
menurunkan resiko meningitis post operatif. Intervensi operatif segera perlu dilakukan untuk
kasus-kasus lesi ekstradural yang menyebabkan paraparesis.
2.3 Hidrosefalus Meningitis TBC
2.3.1 Patofisiologi Hidrosefalus pada Meningitis TBC
Hidrosefalus pada pasien dengan meningitis TBC bisa berupa tipe komunikan atau
non-komunikans (obstruktif). Pada kedua tipe tersebut penyebab utamanya adalah eksudat
yang menempati ruang subarachnoid atau aliran pada ventrikel. Pada stadium awal penyakit
ini eksudat mirip gelatin yang tebal memblokade ruang subarachnoid pada basal otak
(terutama pada interpendikular dan sisterna) yang menyebablan hidrosefalus komunikans.
Ekseudat menyebabkan adanya pembentukan skar yang tebal pada ruang subarachnoid yang
lagi-lagi berujung pada hidrosefalus komunikans. Hidrosefalus komunikans yang terjadi bisa
merupakan efek dari blockade granular arakhnoid yang menghalangi absorpsi dari likuor
serebri.
Inflamasi dari pleksus khoridalis dan ependima juga menyebabkan adanya produksi
yang berlebihan dari likuor serebri pada stadium akut penyakit ini. Hal tersebut juga terlibat
dalam terjadinya hidrosefalus dan peningkatan tekanan intracranial (TIK). Tipe obstruktif
atau non-komunikans terjadi saat aliran keluar ventrikel IV tersumbat oleh eksudat atau
jaringat parut leptomeningeal atau adanya obstruksi pada akuaduktus atau adanya
tuberkuloma subependimal. Tipe komunikans lebih sering ditemukan dibandingkan tipe
obstruktif. Dimana ditemukan 82% pada pasien meningitis TBC.
2.3.2 Insiden Hidrosefalus
13
14
2.3.5 Pencitraan
Kontras pada CT scan adalah pilihan pencitraan pada pasien yang sakit, terutama
pada pasien anak karena dapat dilakukan tanpa anesthesia atau sedasi dan dapat dikerjakan
dalam waktu yang singkat dibandingkan dengan MRI. Dimana MRI bisa membutuhkan
waktu yang relative lebih lama. Informasi mengenai ukuran ventrikel, keadaan subependima,
ada tidaknya infark atau tuberkuloma, dan keberadaan eksudat pada daerah basal dapat
didapatkan dengan CT scan kontras. Walaupun CT scan dapat membedakan antara
hidrosefalus komunikans dan non-komunikan informasi ini tidak selalu dapat didapatkan. CT
sacan juga tidak terlalu berarti dalam menilai tingkat keparahan blockade aliran likuor pada
meningitis TBC.
Ensefalografi adalah pemeriksaan terbaik untuk menilai tingkat obstruksi aliran
likuor. Sebagai contoh saat CT scan menemukan adanya dilatasi ventrikel lateran dan III
tanpa adanya pelebaran ventrikel IV bisa mengindikasi adanya obstruksi pada akaduktus.
Tapi saat ventrikel berdilatasi sulit ditentukan apakah obstruksi terjadi pada ventrikel IV atau
pada ruang subarachnoid, kecuali terlihat adanya hubungan antara ventrikel IV dengan
sisterna magna. Untuk menentukan perbedaan dari tipe hidrosefalus dibutukan pemeriksaan
dinamis seperti pneumoensefalogram dan ventrikulogram. Tetapi pemeriksaan ini merupakan
tindakan yang invasive untuk pasien.
2.3.6 Penatalaksanaan
15
Tatalaksana medikamentosa
Penatalaksanaan medikamentosa adalah penatalaksanaan awal yang diberikan pada
pasien hidrosefalus komunikans. Pemberian steroid dan diuretik seperti Manitol ataupun
Furosemid dan Acetazolamid menurunkan produksi dari liquor cerebri. Dosis Dexamethason
yang diturunkan secara perlahan (12-16 mg per hari) dapat diberikan untuk 4-6 minggu.
Manitol hanya dapat digunakan untuk dekompensasi yang bersifat akut dan tidak
direkomendasikan untuk penggunaan lebih dari 72 jam, karena dapat menyebabkan
terjadinya Rebound phenomenone pada hipertensi intrakranial. Acetazolamid (100 mg/kgBB)
dan Furosemid (1 mg/kgBB) dapat diberikan untuk periode yang lebih lama (bulan).
Tatalaksana medikamentosa kebanyakan berujung baik pada beberapa pasien yang memiliki
hipertensi intrakranial. Bersamaan dengan terapi di atas, juga tetap diberikan OAT untuk
menurunkan respon inflamasi dari jalur liquor cerebri. Pada penelitian, dilaporkan
Acetazolamid dan Furosemid lebih efektif untuk mencapai TIK yang normal, dibandingkan
pemberian OAT saja. Sebuah penelitian melaporkan, hidrosefalus komunikans diberikan
tatalaksana medikamentosa terlebih dahulu untuk menghindari pembuatan shunt. Walaupun
pasien tetap harus diawasi secara baik bila didapatkan penurunan fungsi sensoris ataupun
tidak adanya perbaikan pada terapi medikamentosa. Jika hal ini terjadi, pembuatan shun harus
segera dilakukan. Penggunaan Hyaluronidase intratekal pernah dicoba disamping
pemasangan shunt dan memberikan beberapa keuntungan pada peningkatan fungsi sensoris.
Tetapi tidak menunjukkan adanya kelebihan dibandingkan insersi shunt, sehingga terapi ini
sudah tidak dilakukan lagi.
Tatalaksana operatif
Tatalaksana
karena memberikan prognosis yang lebih baik. Pada suatu penelitian di Afrika Selatan,
dimana dilakukan pemberian terapi medikamentosa pada hidrosefalus obstruktif yang biasa
digunakan pada hidosefalus komunikans memberikan hasil yang kurang baik jika
16
Pemasangan Shunt
Ventrikulo-Arterial Shunt adalah pilihan awal dari prosedur pemilihan shunt.
Ketakutan akan menyebarnya bakteri TBC melalui shunt dilaporkan oleh Bhagwati et al.
yang juga melaporkan kebehasilan V-A Shunt pada pasien, walaupun peneliti lain melaporkan
adanya penyebarluasan kuman melalui shunt. Pada tahun 1980-an, V-P Shunt merupakan
pilihan utama pada pasien hidrosefalus karena meningitis TBC. Walaupun tetap ada risiko
secara teoritis akan adanya peritonitis TBC. Teknik pemasangan shunt-nya tidak berbeda
pada pemasangan shunt pada hidrosefalus karena sebab yang lain.
pemasangan shunt dengan harapan meminimalisir insersi benda asing pada tubuh,
menurunkan komplikasi dari pemasangan shunt (infeksi, blokade, pseudokista abdominal,
dan erosi kulit pada komponen shunt). Singh et al. melaporkan kesuksesan ETV pada 77%
dari 35 pasien dengan hidrosefalus karena meningitis TBC. Kesuksesannya tidak
berhubungan dengan tipe hidrosefalus, tetapi berhubungan dengan adanya dasar dari
ventrikel III yang tipis dan transparan. Karena pada pasien dengan meningitis TBC, dasar dari
ventrikel III biasanya tebal dan ruang arachnoid biasanya tertutupi oleh eksudat yang
menyebabkan kesulitan dalam pengenalan struktur anatominya. Hal tersebut menyebabkan
kemungkinan adanya kesalahn prosedur yang menyebabkan kerusakan pada arteri Basilar dan
cabang-cabangnya. Selain itu, keberadaan tuberkel yang tebal pada dasar ventrikel dan
17
jaringan granulasi yang mudah berdarah menyebabkan tindakan ini dihindari. Hal tersebut
dapat diatasi dengan pemberian OAT dalam beberapa minggu (4 minggu) sebelum dilakukan
ETV.
2.3.7 Komplikasi dari tindakan operatif
Pemasangan shunt
Dilaporkan komplikasi dari pemasangan shunt lebih banyak ditemukan pada pasien
dengan meningitis TB dibanding dengan kondisi yang lain. Alasannya adalah buruknya
keadaan umum pasien dan peningkatan sel dan protein pada liquor cerebri yang
menyebabkan obstruksi pada shunt. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah infeksi dan
erosi kulit di atas pemasangan shunt.
Endoscopic Third Ventriculostomy (ETV)
Kegagalan ETV dengan bocornya liquor cerebri dan perdarahan selama operasi
adalah komplikasi yang paling sering terjadi. Husain et al. melaporkan 3 dari 28 pasien yang
mendapatkan tindakan ETV pada hidrosefalus karena meningitis TBC berakhir dengan
komplikasi. Pada penelitian berikutnya, dilaporkan 7 komplikasi dari 26 pasien. Tetapi tidak
dilaporkan adanya komplikasi lain pada pasien-pasien tersebut. Risiko trauma pada atreri
Basiler dan cabangnya secara teoritis lebih tinggi didapatkan pada pasien dengan meningitis
TBC karena penebalan dan opasitas dari dasar ventrikel III.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson NE, Somarante J, Mason DF, Holland D, Thomas MG. Neurological and
systemic complications of tuberculous meningitis and its treatment at Auckland City
Hospital, New Zealand. Journal of Clinical Neuroscience 17 (2010) 11141118.
2. Chan KH, Cheung RTF, Fong CY, Tsang KL, Mak W, Ho SL. Clinical relevance of
hydrocephalus as a presenting feature of tuberculous meningitis. Q J Med 2003;
96:643648.
3. Nicola Principi, Susanna Esposito. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in
children. Department of Maternal and Pediatric Sciences, Universit degli Studi di
Milano, Fondazione IRCCS Ca Granda Ospedale Maggiore Policlinico. Via
Commenda 9, 20122 Milan, Italy. Tuberculosis 2012: 92; 377-383
4. Saitoh A, Pong A, Waecker Jr NJ, Leake JA, Nespeca MP, Bradley JS. Prediction of
neurologic sequelae in childhood tuberculous meningitis: a review of 20 cases and
proposal of a novel scoring system.Pediatr Infect Dis J2005;24:207e12.
5. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for
Tuberculosis Care (ISTC). 2nd ed. The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical
Assistance, 2009.
6. Farinha NJ, Razali KA, Holzel H, Morgan G, Novelli VM. Tuberculosis of the central
nervous system in children: a 20-year survey.J Infect 2000;41:61e8
19