TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gagal jantung kongestif (congestive heart failure) adalah sindrom klinis akibat
penyakit jantung, ditandai dengan kesulitan bernapas serta retensi natrium dan air yang
abnormal, yang sering menyebabkan edema. Kongestif ini dapat terjadi dalam paru atau
sirkulasi perifer atau keduanya, bergantung pada apakah gagal jantungnya pada sisi
kanan atau menyeluruh.1
Gagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa kelainan
fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada jika disertai dengan
peninggian volume diastolik secara abnormal. Gagal jantung kongestif biasanya disertai
dengan kergagalan pada jantung kiri dan jantung kanan.2
2.2 Epidemiologi
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.Di Eropa
kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut,
dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat mencapai
4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka
pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari
ada sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung.
Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian
dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut
dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan.3
Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin
meningkat. Oleh karena itu gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang utama.
Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung masih punya harapan hidup 5
tahun. Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria
dan 42% wanita.3
2.3 Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dan segala jenis penyakit jantung
kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung
2.4 Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The New York
Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4 kelas, berdasarkan
hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha yang dibutuhkan untuk menimbulkan
gejala, sebagai berikut:
1. Kelas I : Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas fisik,
dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak napas.
2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya pembatasan
aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya pembatasan
aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan dari kegiatan biasa sudah
memberi gejala lelah, sesak napas.
4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan kegiatan
apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat beristirahat. 5
American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) heart
failure guidelines melengkapi klasifikasi NYHA untuk menggambarkan perkembangan
penyakit dan dibagi menjadi 4 stage, yaitu:
Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak memiliki penyakit
1.
Stage B pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak memiliki gejala-
3.
gagal jantung
4. Stage D pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut intervensi khusus. 6
2.5 Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada
jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan
neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel
kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan
aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem ReninAngiotensinAldosteron
(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretik peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.7
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan
dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.7
yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan
diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.
5) Gallop S3
6) Distensi vena leher
7) Refluks hepatojugular
8) Peningkatan tekanan vena jugularis
b. Kriteria minor :
1) Edema ekstremitas
2) Batuk malam hari
3) Hepatomegali
4) Dispnea deffort
5) Efusi pleura
6) Takikardi (120x/menit)
7) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Kriteria mayor dan minor : Penurunan berat badan 4,5 kg dalam 5 hari
pengobatan. Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau satu
kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah
- Pemeriksaan darah lengkap
- Kimia klinik (SGPT, SGOT, ureum, kreatinin, natrium, kalium, klorida,
kolesterol total, LDL, HDL)
b. Elektrokardiogram
Dalam kasus kardiogenik, elektrokardiogram (EKG) dapat menunjukkan bukti
MI ( Miocardium Infark ) atau iskemia, namun alam kasus noncardiogenic,
EKG biasanya normal.
c. Radiologi
1) Foto thoraks
Fungsi utama pemeriksaan foto thoraks adalah mengetahui ukuran dan
bentuk siluet jantung, serta edema di dasar paru-paru. 9 Pada gagal jantung
hampir selalu ada dilatasi dari satu atau lebih pada ruang-ruang di jantung,
menghasilkan
pembesaran
pada
jantung.
Pemeriksaan
radiologi
5) Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.
2. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas panghambat ACE, Antagonis Angiotensin II,
diuretik, Antagonis aldosteron, -blocker, vasodilator lain, digoksin, obat inotropik
lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.14,15
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit
diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau
tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan
diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat
kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas
pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV)
yang disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas neurohormonal, dan
pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian
dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis
yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian dimulai
dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat
sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal
jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol,
bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat
ACE dan diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada intoleransi terhadap
ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi
sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan
bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli
serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang
buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan
riwayat emboli, trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak
dan aneurisma ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau
aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada
aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat
digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia
atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk
mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 2 l/hari)
dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek
dapat
membantu
perbaikan
gejala
karena
mengurangi
metabolisme
serta
prognosa
yang
buruk.
Koreksi
hipoperfusi
memperbaiki
morfin
atau
diamorfin
penting
dalam
penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri
dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan
tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2 3 mg intravena dan
dapat diulang sesuai kebutuhan. 13
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload
serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal
jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang
lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis
pemberian harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri
tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada
pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 24 jam. 13
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan
pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis
hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan
fungsi hati. Dosis 0,3 0,5 g/kg/menit. 13
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator. Nesiritide
adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel.
Pemberiannya
akan
memperbaiki
hemodinamik
dan
neurohormonal,
dapat
BAB III
KESIMPULAN
Gagal jantung kongestif merupakan tahap akhir penyakit jantung yang dapat
menyebabkan meningkatnya mortalitas dan morbiditas penderita penyakit jantung.
Sangat penting untuk mengetahui gagal jantung secara klinis. Penatalaksanaan meliputi
penanganan non medikamentosa, dan obat - obatan serta dengan menggunakan terapi invasif.
Meskipun pengobatan farmakologis dan operatif yang saat ini tersedia untuk pasien CHF
dapat memperpanjang dan memperbaiki kualitas hidup, prognosis keseluruhan dari pasien
CHF masih tetap buruk. Dikarenakan proporsi pasien usia lanjut diperkirakan akan terus
meningkat dalam dekade mendatang , CHF diperkirakan juga akan menjadi mayor epidemik.
Jadi, untuk pasien-pasien CHF sangat memerlukan pendekatan terapi baru yang dapat
dipergunakan
secara
individual,
yang
akan
meningkatkan
kualitas
hidup
dan
dan
fatigue
merupakan
gejala
kardinal
CHF, adanya
ortopnea,
paroxysmalnocturnal dyspnea dan edema sekitar mata kaki akan lebih menegaskan diagnosa
dugaan gagal jantung. Banyak penderita CHF hanya menunjukkan sedikit tanda-tanda
klinis; pergeseran ictus cordis mungkin merupakan tanda kardiomegali yang paling sering
ditemukan. Semua pasien tersangka gagal jantung harus menjalani pemeriksaan standar yang
terdiri dari: pemeriksaan darah, EKG dan foto thoraks; penderita-penderita yang didiagnosa
klinis sebagai gagal jantung harus menjalani pemeriksaan echocardiogram.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nurdjanah S. Buku ajar ilmu penyakit dalam FK UI. 2006; ed IV
2. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrisons principle of internal medicine.2005; ed XVI
3. Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan.Buku ajar kardiologi. jakarta : balai penerbit
fakultas kedokteran universitas indonesia, 2004.hal 7 17,115 126.
4. Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006.hal.633-640.
5. Oemar, Hamed.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : balai penerbit fakultas kedokteran
universitas indonesia. 2004. hal. 7-12.
6. Kumar, Cotran, Robbins.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007. Vol. Volume
2.
7. Greenberg, Barry H. Congestuve Heart Failure, Philadephia, USA: Lipincott Williams
& Wilkins 2007 ; hal.167-168.
8. Goroll, Allan H., Primary medicine, office evaluation and management of the adult
patient sixth edition, Philadephia, USA: Lipincott Williams & Wilkins 2009;.hal.275287
9. Davis, Russell C. ABC of heart failure second edition, Australia: Blackwell publishing
2006;hal. 10-11.
10. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW, editors. Heart
failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker;
2005.p.449-65.
11. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in the older
patient. British Medical Bulletin 2005;75 and 76: 49- 62.
12. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive). In:
Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New
York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.
13. Grady KL, Dracus K, Kennedy G, at al. Team management of patients with heart
failure. A statement for healthcare professionals from The Cardiovascular Nursing
Councils of The American Heart Assiciation Circulation 2000