Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Higroma subdural pada bayi dan anak-anak yang disebut dalam berbagai
istilah seperti Higroma subdural, pengumpulan cairan subdural. Higroma subdural
adalah akumulasi cairan serebrospinal (CSF) pada subdural, tanpa darah. Hal ini
dapat disebabkan oleh kebocoran CSF pada trauma minor dalam pengaturan atrofi
otak, mengikuti meningitis pada anak-anak atau yang lebih umum setelah
shunting ventrikel.
Sebagian besar Higroma subdural yang kecil tidak signifikan secara klinis.
Namun, beberapa dari Higroma subdural dapat menjadi besar dan menyebabkan
kompresi dan gejala neurologis sekunder. Oleh karena itu, penting untuk
mendeteksi efek sekunder dari Higroma subdural yang berdekatan dengan
parenkim otak normal dan intervensi sebelum hal itu menyebabkan kerusakan
permanen.
Jika inisiasi pengobatan untuk Higroma subdural tidak cepat, mungkin
hadir sebagai perdarahan dan prognosis menjadi hematoma subdural setelah 3-4
minggu, umumnya dapat menyebabkan diagnosis yang membingungkan antara
Higroma subdural dengan hematoma subdural.
Pada orang dewasa, laporan tentang tingkat perkembangan dari trauma
Higroma subdural menjadi hematoma subdural kronis beragam sekitar 8 ~ 50%.
Di Korea, Lee et al melaporkan bahwa tingkat perkembangan dari Higroma
subdural traumatis kronis menjadi hematoma subdural pada orang dewasa dan
anak-anak adalah 33%, tapi sampai saat ini laporan mengenai frekuensi subdural
Higroma atau perkembangan tingkat perdarahan subdural hanya pada bayi dalam
literatur di seluruh dunia.
Hygroma subdural pada bayi dan anak-anak adalah suatu kondisi yang
dapat menekan perkembangan otak. Juga, kondisi ini sangat berbeda dari entitas

penyakit lain (benign pericerebral fluid collection of infancy, benign subdural


collections of infancy, benign extra-axial collections of infancy, benign
subarachnoid fluid collection of infancy) yang dapat menghilang secara spontan
tanpa terapi apapun. Sehingga penting untuk membuat diagnosis yang akurat.
Pada umumnya higroma subdural disebabkan pecahnya araknoid
sehingga

LCS

mengalir

dan

terkumpul

membentuk

kolam.

Penatalaksanaan yang diberikan serupa dengan terapi pada hematom


subdural kronis.
Berikut akan dilaporkan sebuah kasus higroma subdural yang terjadi pada
seorang anak perempuan berusia 1 tahun yang dirawat di ruang anak Rumah Sakit
Dr. Doris Sylvanus Palangkaraya.

BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
1. Identitas penderita
Nama penderita
: An. D.R.P
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 1 tahun
MRS
: Tanggal 09 Mei 2015
2. Identitas orang tua/ wali
Nama Ibu
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Ny. M
: 32 tahun
: SMA
: Swasta
: Jln. RTA Milono

Nama Ayah
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Tn. S
: 38 tahun
: S1
: Swasta
: Jln. RTA Milono

II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu kandung penderita, pada tanggal 09 Mei 2015,
pukul 21.00 WIB.
1. Keluhan utama: Kejang
2. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan kejang dirumah. Lama
kejang kurang lebih sekitar 45 detik. Kejang sebanyak 1 kali. Kejang
terjadi saat pasien bangun. Setelah kejang, pasien segera menangis. Kejang
baru pertama kali terjadi. Keluhan lain demam (+) sejak sore pukul 16.00
WIB. Demam muncul mendadak dan langsung tinggi. Turun saat diberi
obat penurun panas, tapi naik kembali. Demam disertai pilek. Batuk (-).
Mencret (+) sebanyak 1 kali tadi siang sebelum mulai demam. BAB (+)
berlendir.
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit apapun, pasien juga tidak pernah
mengalami sakit yang sama seperti sakit yang diderita saat ini.
4. Riwayat Antenatal
Saat hamil, ibu pasien tidak memiliki sakit maupun keluhan apapun.
Pasien dilahirkan secara spontan di rumah dengan bidan. Saat lahir

langsung menangis. Ibu pasien mengaku umur kehamilan saat itu sesuai/
cukup. Berat badan, panjang badan serta lingkar kepala ibu pasien tidak
ingat
5. Riwayat perkembangan
Pasien belum bisa berdiri. Bisa duduk tetapi harus dibantu
6. Riwayat imunisasi
Pasien sama sekali belum mendapatkan imunisasi
7. Riwayat pemberian makanan
Sebelum pasien sakit, pasien diberikan air ASI ad libitum. Selain itu, juga
diberikan bubur tim/saring sebagai makanan pelengkap. Biasa diberikan 3
sampai 5 kali sehari dalam sehari.
8. Riwayat keluarga
Susunan keluarga :
No.
1.
2.
3.

Nama/ status
Ny. W (Ibu pasien)
Tn. S (Ayah pasien)
An. D (Pasien)

Keterangan
Sehat
Sehat
Sakit

9. Riwayat sosial lingkungan


Pasien dan keluarga pasien tinggal di daerah RTA Milono. Di daerah
tersebut pasien tinggal di rumah pribadi dan di daerah perumahan, tidak
terlalu berdempetan. Rumah pasien jauh dari rawa-rawa, sungai ataupun
tempat pembuangan sampah.
III.PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum
Kesadaran
GCS
2. Tanda Vital
Nadi
Suhu
Pernapasan
Berat badan
3. Kulit

:
:
:

Tampak sakit sedang


Compos mentis
Eye (4), Verbal (5), Motorik (6)

:
:
:
:
:

120 kali/ menit, regular.


39,1 C
26 kali/ menit
11,5 kg
Warna kulit cokelat, tidak ada sianosis, turgor kembali
cepat, kelembaban cukup, pucat (-), petekie (-)

4. Kepala
Rambut

Rambut berwarna hitam, tebal, tidak mudah tercabut,


distribusi merata

Kepala
Mata

:
:

Bentuk kepala normal. Ubun-ubun menutup.


Palpebra tidak edema, konjungtiva anemis (+/+), sklera
tidak ikterik, air mata cukup, diameter pupil 3 mm/ 3

mm, isokor, reflek cahaya +/+, mata cekung (-)


Telinga simetris, tidak ada sekret, serumen minimal,

Hidung

tidak ada nyeri pada telinga


Hidung normal, tidak ada napas cuping hidung, tidak

Mulut

ada epistaksis, tidak ada secret


Mulut normal, tidak pucat, mukosa bibir kering (-),

Telinga

tidak ada pembengkakan atau pun perdarahan pada


gusi, lidah normal, tampak kotor, tidak ada tremor,
warna kemerahan pada sisi lidah kiri maupun kanan,
5. Leher

tidak ada hiperemi pada faring maupun tonsil.


Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada
kaku kuduk, tidak ada masa.

6. Toraks
Inspeksi
a. Paru
Inspeksi

Simetris, tidak ada retraksi.

Bentuk

simetris,

inspirasi

dan

ekspirasi

tidak

memanjang, tidak ada ketinggalan gerak, frekuensi


napas 26 kali/ menit, jenis pernapasan torakoPalpasi
Perkusi
Auskultasi

:
:
:

abdominal.
Tidak dievaluasi
Sonor pada semua lapang paru
Terdengar suara napas vesikuler, tidak ada ronkhi,
tidak ada wheezing

b. Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

:
:
:

Iktus kordis sulit terlihat


teraba pada SIC V midklavikula kiri
batas atas pada SIC II parasternalis, batas kanan pada
SIC IV parasternalis kanan, batas kiri pada SIC V

Auskultasi

midklavikularis kiri
frekuensi jantung 120 kali/ menit, regular, S1-S2
tunggal, tidak ada gallop dan murmur.

7. Abdomen
Inspeksi
Auskultasi

:
:

Datar
Bising usus terdengar normal

Palpasi

IV.

Hepar dan lien tidak teraba, tidak ada teraba masa

Perkusi
8. Ekstremitas

:
:

lainnya, tidak ada ascites, nyeri tekan negatif.


Timpani, kembung (+)
Akral hangat, tidak ada edema, capillary refill time <

9. Genitalia
10. Anus
11. Kaku Kuduk
12. Refleks fisiologis

:
:
:
:

2.
Perempuan, dbn
Tidak ada kelainan
(-)/negative
Normal

Pemeriksaan Laboratorium
Hasil laboratorium pada tanggal 09 Mei 2015
Hb
: 9.8 g/dL
Ht
: 29.5%
Leukosit : 8.840 /uL
Trombosit : 109.000 /uL
Eritrosit
: 3.54 x 106 /uL
GDS
: 92 mg/dl
DDR
: (-)/negatif

V. Resume
Nama

: An. D.R.P

Umur

: 1 tahun

Berat badan

: 11,5 kg

Keluhan utama

: Kejang

Uraian

: Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan kejang


dirumah. Lama kejang kurang lebih sekitar 45 detik.
Kejang sebanyak 1 kali. Kejang terjadi saat pasien
bangun. Keluhan lain demam (+) sejak sore pukul 16.00.
Demam muncul mendadak dan langsung tinggi. Mencret
(+) sebanyak 1 kali tadi siang sebelum mulai demam.

Pemeriksaan fisik

BAB (+) berlendir. Pilek sejak 1 hari SMRS.


: Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos
mentis, suhu 39,0C, nadi 120x/ menit, pernapasan 26 kali/

menit, hemangioma (-), sianosis (-), konjungtiva anemis,


(+/+), sklera tidak ikterik, mata cekung (-), mukosa bibir
kering (-), gusi tidak berdarah, suara paru vesikuler
normal, tidak ada ronkhi atau pun wheezing, suara jantung
S1 S2 tunggal, tidak ada gallop maupun murmur, abdomen
datar, tidak ada pembesaran hepar, nyeri tekan negatif,
bising usus normal, turgor kembali cepat, akral hangat,
capilary refill time < 2.
Pemeriksaan lab :
Hb
: 9.8 g/dL
Ht
: 29.5%
Leukosit : 8.840 /uL
Trombosit : 109.000 /uL
Eritrosit
: 3.54 x 106 /uL
GDS
: 92
DDR
: (-)/negatif
Diagnosa
a. Diagnosa banding
b. Diagnosa kerja
KDS
Febris
ISPA
Diare
Delay development
Anemia
VI.

Penatalaksanaan
- IVFD D5 NS 1050 cc/24 jam
- Inj. Cefotaxim 3 x 350 mg (IV) (ST)
- Inj. Gentamisin 2 x 30 mg (IV)
- Inj. Metilprednisolon 3 x 12,5 mg (IV)
- Inj. Phenobarbita 75 mg (IM)
- Rhinos drop 3 x 0,5 m
- Tiriz drop 1 x 0,5 ml
- Sanmol syrup 3 x 1 cth
- Phenobarbital 2 x 40 mh
-

Pasang NGT

VII.

Usul pemeriksaan
1. Pemeriksaan elektrolit.
2. Pemeriksaan CT Scan
3. Pemeriksaan Tinja lengkap

VIII. Prognosis
Quo ad vitam

: Ad bonam

Quo ad functionam

: Dubia ad bonam

Quo ad sanationam

: Dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I.

ANATOMI KEPALA
Berikut anatomi dari kepala :2
a

Kulit Kepala :

Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas tiga fosa yaitu : fosa anterior, media

dan posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media
tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak
bawah dan serebelum.
c

Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan, yaitu durameter, arakhnoid, dan piameter. Dimana ruang antara
durameter dan arakhnoid disebut ruang subdural. Ruang epidural terletak
antara durameter dan tabula interna tengkorak. Diantara selaput arakhnoid
dan piameter terdapat ruang subarakhnoid.

Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak.

Cairan serebrospinalis (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan


kecepatan 30 ml/jam.

Tentorium
Tentorium

serebeli

membagi

rongga

tengkorak

menjadi

ruang

supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fossa kranii media) dan
infratentorial (berisi fosa kranii psterior).

II.

DEFINISI HIGROMA SUBDURAL


Higroma subdural merupakan pengumpulan cairan likuor cerebrospinalis

(LCS) oleh kapsul dibawah duramater.3,4


Sebagian literatur juga menyatakan bahwa higroma subdural adalah
hematom subdural kronis/lama yang mungkin disertai oleh penumpukan/
pengumpulan cairan LCS di dalam ruang subdural. Kelainan ini agak jarang
ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput araknoid yang menyebabkan
cairan LCS keluar ke ruang subdural.7 Dengan demikian higroma subdural serupa
dengan hematom subdural kronik (HSD kronik) . Hematom subdural kronis ini

merupakan salah satu dari lesi fokal primer pada cedera otak yang terjadi akibat
trauma kapitis.1
III.

ETIOLOGI

a. Post-trauma kecelakaan
Pada umumnya higroma subdural disebabkan pecahnya araknoid sehingga
LCS mengalir dan terkumpul membentuk kolam. Post-traumatic subdural
hygroma merupakan kasus yang umum terjadi.2,3
b. Post-operasi (pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan
reseksi kista)
Higroma subdural akut dan kronik merupakan komplikasi post-operasi
yang umum terjadi dari pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan
reseksi kista. Shu-qing et al melaporkan suatu kasus higroma subdural setelah
tindakan reseksi suatu lesi desak ruang pada ventrikel lateral yang menyebabkan
deformasi brainstem dekompresif. Ia menyimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang sangat penting antara prosedur pembedahan, pencegahan kehilangan LCS
dan fluktuasi yang cepat dalam tekanan intrakranial.4
c. Komplikasi atau lanjutan dari Acute subdural hematoma/hematom
subdural akut
Kebanyakan subdural hygromas (SDGs) atau higroma subdural terjadi
sekunder akibat trauma. Cofiar et al melaporkan kejadian perkembangan suatu
higroma subdural pada pasien Acute subdural hematoma (ASDH) atau hematom
subdural akut, yang kemudian mengalami resolusi spontan cepat dalam waktu 9
jam akibat kontribusi terhadap pembesaran higroma subdural. Hematom subdural
akut merupakan kumpulan darah segar di bawah lapisan duramater, yang biasanya
cukup besar untuk menekan otak dan menyebabkan kematian hingga 60-80%
kasus. Resolusi spontan cepat pada kasus hematom subdural akut sangat jarang
terjadi. Salah satu mekanisme resolusi spontan yang pernah dilaporkan adalah
melalui terbentuknya higroma subdural. Resolusi hematom subdural akut dan

dampaknya

terhadap

higroma

subdural

harus

dipertimbangkan

selama

penatalaksanaan hematom subdural akut.5


d. Komplikasi dari tindakan anestesi
Higroma subdural merupakan kumpulan cairan subdural berupa cairan
xanthochromic yang jernih atau disertai darah. Membedakan antara higroma
subdural dan hematom sulit dilakukan dan mungkin artifisial, sebab higroma
sering mengalami progresifitas menjadi hematom. Vandenberg et al melaporkan
suatu kasus higroma subdural yang terjadi setelah tindakan anestesia spinal.
Subdural hematoma dan higroma subdural merupakan komplikasi yang jarang
dari anestesia spinal. Penyebab komplikasi ini yang mungkin terpikirkan adalah
kebocoran LCS melalui fistula dural yang terbentuk akibat tindakan punksi.
Kebosoran ini menyebabkan pemisahan otak bagian kaudal (caudal displacement
of the brain), dengan konsekuensi berupa peregangan dan rembesan dari venavena subdural intrakranial. Berkurangnya tekanan otak akibat atrofi serebral,
pengecilan otak pada alkoholik dan pintasan ventrikuler juga merupakan faktor
yang memberikan kontribusi. Namun, pada kebanyakan kasus, mekanisme yang
ada tetap belum diketahui dengan jelas. Vandenberg menggunakan MRI dan
radioisotope cisternography untuk mengelusidasi patogenesis kasus tersebut.6

IV.

DIAGNOSIS

a. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang


Post-traumatic subdural hygroma merupakan kasus yang umum terjadi,
namun penggalian diagnosis hanya dari anamnesis atau riwayat trauma tidak
bersifat definitif karena terdapat beberapa laporan data evolusi CT Scan dan
klinis.7,8 Dengan demikian, selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, diperlukan
juga penunjang berupa radiologis diagnostik yaitu CT Scan dan MRI.

Gambar. Suatu gambaran MRI yang menunjukkan higroma subdural biparietal.7

b. Gambaran klinis
Gambaran klinis menunjukkan tanda peningkatan tekanan intrakranial,
meski sering tanpa disertai tanda-tanda fokal. Penyembuhan cedera otak primer
yang biasanya berupa memar otak, terganggu akibat adanya higroma ini.8
Stein dalam penelitiannya menemukan berbagai gejala terkait cedera
kepala sebagai berikut:11

V.

TERAPI

Penatalaksanaannya yang diberikan serupa dengan terapi pada hematom


subdural kronis.1 Penanggulangan pada kasus hematom subdural kronis adalah
trepanasi dan evakuasi hematom atau penyaliran.1,3,8
Untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan operasi, terdapat indikasi
operasi. Salah satu kriteria dilakukan operasi adalah pergeseran midline shift
melebihi 5 mm pada gambaran CT Scan atau volume massa melebihi 20 cc.

BAB IV
DISKUSI

Sejak lahir hingga remaja, otak dan bagian intrakranial lainnya akan
mengalami tumbuh kembang baik secara fisiologis maupun anatomis.
Pada kasus ini diagnosis + higroma subdural didasarkan atas anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang.

Dari anamnesis tidak terdapat riwayat trauma kepala disertai muntah dan
kejang. Keluhan utama yang mendorong orang tua membawa anaknya adalah
adanya kejang.
Dari pemeriksaan fisik diperoleh hasil berupa febris, penurunan kesadaran
atau nilai GCS rendah (sama dengan 9). Sedangkan pemeriksaan penunjang CT
Scan menunjukkan suatu massa higroma subdural.
observasi tidak terdapat

Pada kasus ini, selama

tanda-tanda akan peningkatan tekanan intrakranial.

Dimana tindakan operasi berupa dekompresi diindikasikan oleh adanya lesi massa
desak ruang yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, bila tidak ada
lessi massa desak ruang, dapat diterapkan tindakan-tindakan konservatif berupa :3
1

Knock down atau induced coma dimana aktivitas neuron diturunkan dan
metabolisme direndahkan dengan harapan bahwa kebutuhan energi relatif
dapat dikurangi, vasokonsrtiksi, dan penurunan aliran darah serebral
(CBF) sehingga tekanan intrakranial turun.

Hiperventilasi, dimana dengan menurunnya PCO2 akan menyebabkan


vasokonstriksi dan berkurangnya aliran darah serebral sehingga tekanan
intrakranial menurun.

Drainase eksternal likuor kontinu dengan memasukan kateter kedalam


ventrikel sehingga akumulasi likuor dapat dihindari. Cara ini sekaligus
dimaksudkan untuk pemantauan tekanan intrakranial.

Mannitol 20% intravena dengan dosis 1-2 mg/kgbb yang diberikan secara
cepat. Pemberian ini didasari oleh timbulnya gradasi osmotik antara
plasma dan jaringan otak sehingga cairan interstisiel diharapkan dapat
tertarik ke rongga intravaskuler dan mengurangi tekanan intrakranial.

Gejala-gejala klinis adanya peningkatan tekanan intrakranial yang dikenal


dengan istilah trias Cushing adalah :3
1. Penurunan kesadaran sampai koma
2. Muntah proyektil

3. Peningkatan tekanan darah


4. Bradikardi
Terapi yang diberikan pada pasien ini berupa perawatan konservatif (non
bedah). Perawatan konservatif ini atas advis konsulen, dengan pertimbangan
bahwa tidak terdapat indikasi bedah dengan tidak ditemukan tanda-tanda
peningkatan tekanan inrakranial otak dan pada CT Scan tidak menunjukkan
pergeseran midline melebihi 5 mm, tidak terdapat massa dengan volume melebihi
20 cc.
CT scan pada anak yang dibuat beberapa hari kemudian sering
memperlihatkan dilatasi ventrikel ringan dan sering disertai koleksi CSS
ekstraserebral didaerah frontal. Koleksi CSS ini bukan subdural hygrome dan
tidak membutuhkan operasi drainage.1
Pengobatan non operatif dapat dicoba hingga dua minggu dengan berbagai
manipulasi, misalnya dengan pemberian asetazolamid untuk mengurangi poduksi
CSS, pemasangan drain lumbal untuk mengalirkan sebagian CSS, pemberian
antibiotika yang adekuat untuk mengatasi infeksi (bukan untuk mencegah infeksi),
posisi penderita head up 300.1
Berdasarkan literatur lain prognosis higroma sendiri berprognosis baik,
tetapi prognosis lebih ditentukan oleh cedera otak primernya. 8 Pada kasus ini,
terjadi subdural higroma tanpa adanya tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial selama observasi di ruangan anak dan tidak diketahui dengan jelas
adanya cedera otak primer. Sehingga prognosis pada kasus ini adalah dubia ad
bonam.

Anda mungkin juga menyukai