Anda di halaman 1dari 6

Merancang Fleksibilitas Kerja yang Efektif

Selasa, 02 Oktober 2007 - 15:47 WIB

Keseimbangan antara hidup dan kerja semakin disadari arti pentingnya, tidak hanya oleh
kaum pengusaha yang ingin menarik, memotivasi dan mempertahankan top talent
mereka. Melainkan, juga dari sisi karyawan yang semakin menempatkan hal tersebut
sebagai alasan dalam memilih bos dan tempat kerja.
Di Amerika, penghargaan terhadap keseimbangan hidup dan kerja itu bahkan sudah
dilembagakan sejak 2003 oleh senat yang mempelopori National Work & Family Month,
yang dirayakan setiap Oktober. Bahkan di sana juga ada lembaga khusus yang peduli
dengan isu tersebut, yakni Alliance for Work-Life Progress.
Menurut penelitian, organisasi yang menerapkan program-program yang mendukung
terciptanya keseimbangan hidup dan kerja dalam strategi manajemennya memperlihatkan
diri sebagai tempat kerja yang lebih efektif. Berbagai aturan yang memungkinkan
fleksibilitas (jam) kerja terbukti meningkatkan kinerja karyawan karena memberikan
pilihan yang lebih luas kepada mereka (untuk berkreasi dan berinovasi).
Menurut pendiri website pencarian kerja MyPartTimePRO.com Ilyse Shapiro, banyak
alasan bagi perusahaan untuk (mulai) menerapkan program-program yang mendukung
keseimbangan hidup dan kerja, antara lain meningkatnya jumlah single-parent dan
keluarga-keluarga di mana suami maupun istri sama-sama bekerja.
"Perusahaan harus proaktif melembagakan program-program keseimbangan hidup dan
kerja dalam model bisnis mereka untuk menarik dan mempertahankan top talent. Ketika
itu dilakukan, baik perusahaan maupun karyawan sama-sama diuntungkan sebab
turnover, absensi dan stres turun ketika produktivitas naik," ujar dia.
Lebih jauh Shapiro menyarankan agar perusahaan mempertimbangkan 5 tips di bawah ini
sebelum menerapkan program keseimbangan hidup dan kerja:
1. Pastikan bahwa budaya perusahaan Anda mendukung inisiatif-inisiatif yang berkaitan
dengan penciptaan keseimbangan antara hidup dan kerja. Tentu membanggakan kalau
Anda bisa mengatakan pada karyawan, bahwa organisasi memberika fleksibilitas. Tapi,
hal itu sebaiknya bukan hanya janji surga. Manajemen, dari atas hingga bahwa harus
bahu-membahu menciptakan konsepnya sebelum melahirkan program secara formal.
2. Program-program keseimbangan hidup dan kerja akan efektif jika tidak diskriminatif.
Perusahaan harus memperlakukan semua karyawan setara, tanpa membedakan jenis
kelamin, suku, tingkat pendapatan, jabatan dan status kekeluargaan (lajang/menikah,
tanpa/punya anak).

3. Kelanjutan promosi karir dan kesempatan-kesempatan pelatihan. Karyawan yang


bekerja dengan jadwal fleksibel harus mendapatkan kesempatan yang sama dengan
mereka yang bekerja full-time --dalam promosi dan pelatihan .
4. Jangan (sampai) menjauhkan karyawan satu dengan yang lain (atau antara karyawan
dengan supervisornya).
5. Fleksibilitas adalah jalan dua arah. Program-program keseimbangan hidup dan kerja
yang efektif harus berlaku baik untuk karyawan maupun jajaran pimpinan perusahaan.
Tipe Karyawan: Tugas Apa yang Cocok untuk Mereka?
Senin, 24 September 2007 - 15:37 WIB

Dalam lingkaran bisnis, istilah alignment menjadi pembicaraan penting, di mana secara
mendasar bisa dimaknai sebagai upaya menyatukan berbagai aset yang ada untuk
mencapai tujuan bersama. Dalam praktiknya, di level karyawan "konsep" tersebut berarti
menyelaraskan individu dengan pekerjaan tertentu yang sesuai. Langkah pertama yang
harus diambil dalam proses ini adalah mengetahui tipe-tipe personalitas yang kerap
ditemukan dalam lingkungan bisnis, dan jenis pekerjaan apa yang cocok untuk mereka.
Salah satu ahli yang menekuni bidang ini adalah Richard Warner, pendiri Warner Design
Associates di San Diego, California dan menulis buku All Hands on Deck: Choosing the
Right People for the Right Jobs. Dalam buku ini, Warner mengidentifikasi 6 tipe
personalitas yang bisa membantu manajer atau profesional HR untuk menempatkan
karyawan pada posisi yang sesuai. Berikut 6 tipe karyawan tersebut --dan temukan apa
pekerjaan yang cocok untuk masing-masing:
--The Captain. Layaknya dalam sebuah kapal, seorang kapten tahu betul bagian-bagian
fundamental dari bisnis dan bagaimana mendelegasikan tugas-tugas untuk membuat
bisnis berjalan, tanpa mengurusi semuanya sendirian. Warner membandingkan mereka
dengan "orangtua yang ideal", yang "tak pernah pilih kasih dan selalu punya waktu untuk
menyelesaikan berbagai persoalan dan memberi dorongan serta nasihat." Para kapten,
kata Warner, harus diberi kekuasaan penuh untuk memberdayakan sebua regulasi dalam
area mereka.
--The Explorer. Sama halnya dalam dunia ilmu pengetahuan, para "eksplorer" tak hentihentinya mencari ide-ide dan wilayah-wilayah baru. Mereka adalah para pengambil risiko
dan tak jarang menerabas aturan. batasan-batasan. Berilah mereka kebebasan, mereka
akan membawa perusahaan ke dunia-dunia yang baru. "Jika Anda ingin mengembangkan
ide-ide baru dan berinovasi, temukan karyawan bertipe eksplorer," kata Warner.
--The Navigator. Sebagian dari Anda mungkin mengenal tipe ini sebagai administrator.
Mereka berpikir secara linier," terang Warner. "Jadi jelaskan saja sejarah dan progres
perusahaan Anda, dan apa yang harus dilakukannya kemudian."

--First Mates. Pada dasarnya sama dengan administrator, tapi kurang visibel.
"Keberadaan mereka nyaris tak disadari, tapi mereka bagus, diplomatis dan dapat
diandalkan," jelas Warner. Saran dia, beri mereka banyak pujian, dan dorong untuk
bersuara ketika mereka menemukan adanya persoalan dalam perusahaan.
--The Crew Member. Jika empat tipe di atas semuanya memastikan pekerjaan
terselesaikan dengan baik, maka harus ada satu orang lagi yang benar-benar
melakukannya. Inilah pekerjaan bagi para kru. Karyawan tipe ini umumnya bisa
diandalkan tapi ambisi mereka terbatas pada "bekerja dengan baik agar naik gaji".
--The Stowaway. Siapa mereka? "Orang-orang yang ingin mendapatkan tumpangan
(gratis). Setelah berhasil melewati proses rekrutmen dan bergabung dengan perusahaan,
mereka berprinsip "pokoknya kerja demi gajian akhir bulan". Tapi, jangan salah, ingat
Warner, mereka umumnya cerdas. "Jadi, cobalah pacu mereka. Jika hasilnya (tetap)
buruk, keluarkan!"
Kesan Terbaik, Kunci Sukses Wawancara Kerja
Senin, 06 Agustus 2007 - 15:51 WIB

Banyak hal telah berubah dalam dunia pencarian kerja. Namun, ada satu yang tetap sama, yakni tentang
bagaimana Anda harus menampilkan diri pada saat wawancara. Anda bisa saja mengirimkan lamaran via
email, atau direkomendasikan oleh teman yang sudah lebih dulu bekerja di perusahaan yang Anda
inginkan. Namun, Anda belum akan di-hire sampai pimpinan perusahaan bertemu langsung dan berbicara
dengan Anda. Wawancara. Sejauh ini, itulah momok bagi para pencari kerja.
Dalam proses rekrutmen dan seleksi, wawancara merupakan tahapan yang penting ketika perusahaan
dihadapkan pada lebih dari seorang kandidat yang memiliki kriteria dan latar belakang yang kurang-lebih
sama. Atau, tahapan ini menjadi demikian menentukan ketika posisi yang lowong membutuhkan calon
yang memiliki keterampilan-keterampilan interpersonal dan komunikasi, dengan kualifikasi teknis tertentu.
Chairman dan CEO Robert Half International, perusahaan spesialis penempatan tenaga kerja pertama dan
terbesa di dunia, Max Messmer yang menulis buku laris Job Hunting for Dummies menegaskan, kunci
sukses wawancara terletak pada kesan pertama yang Anda tinggalkan kepada pihak perusahaan.
Messmer mencontohkan, banyak kandidat yang melakukan "kesalahan" dengan memperlihatkan aksi yang
lebih menarik perhatian ketimbang jawaban-jawaban yang diberikannya selama wawancara. "Ada kandidat
yang ketika menunggu di lobi sambil makan, ada yang memain-mainkan pupennya selama wawancara dan
ada yang mengenakan pakaian dan tas dalam warna dan ukuran yang mencolok," rinci dia.
Menurut Messmer, persiapan mutlak diperlukan jika Anda hendak menjalani wawancara kerja.
1. Do the research
Pastikan Anda memiliki pengetahuan yang memadai tentang calon perusahaan Anda, sejarahnya,
industrinya dan sebagainya. Jika memungkinkan, cari tahu juga tentang orang yang akan mewawancarai
Anda. Dengan bekal itu, Anda akan memberikan kesan yang lebik baik dalam wawancara nanti.
2. Clarify your objectives
Sebelum melamar sebuah posisi yang ditawarkan, pastikan terlebih dahulu minat dan tujuan karir Anda.
Bersiaplah untuk menjelaskan mengapa Anda menginginkan posisi itu, dan Andalah orang yang cocok.

3. Get your questions ready


Jadilah partisipan yang aktif selama wawancara dengan mengajukan pertanyaan yang relevan, berdasarkan
hasil riset yang telah Anda lakukan.
4. Don't forget the "small" things
Perhatikan posisi duduk, membuat kontak mata, tidak berbicara terlalu cepat...kedengarannya sepele, tapi
bukankah Anda ingin pewawancara fokus pada apa yang Anda katakan, dan bukan apa yang Anda lakukan?
5. Dress smart
Jangan anggap remeh kekuatan dari penampilan profesional. Ini adalah saat pertama pihak perusahaan
melihat Anda, suka atau tidak, apa yang Anda kenakan bisa mempengaruhi proses

Karyawan Keluhkan Minimnya Komunikasi dari Manajemen Senior


Senin, 03 Desember 2007 - 13:09 WIB

Para karyawan mungkin memang banyak memiliki keluhan, tapi yang paling mengganjal
di hati mereka adalah ketika bos tidak terbuka mengenai apa yang sedang terjadi di
perusahaan.
Opinion Research Corporation (ORC), berpusat di Princeton, New Jersey, AS dalam
survei terbaru mereka menemukan, minimnya komunikasi dari manajemen senior tentang
bisnis menduduki peringkat pertama (disebut oleh 17% dari 1.150 karyawan tetap
maupun paroh-waktu yang disurvei) dalam daftar keluhan karyawan.
Permainan politik di kantor dan kurangnya kerjasama juga banyak dikeluhkan, masingmasing oleh 16% dan 15% responden, disusul kemudian: kebutuhan untuk menggunakan
bahasa yang "secara politik benar" (9%). Yang cukup tak terduga, hanya 4% yang
mengeluhkan soal pengawasan atas penggunaan email dan telepon kantor.
"Perlu ditekankan, faktor perbedaan usia sangat berpengaruh dalam hal ini," tegas
Direktur Employee Research Practice pada ORC Terry Reilly. "Minimnya komunikasi
dari para manajer senior lebih banyak dikeluhkan oleh karyawan usia 45 tahun ke atas.
Sedangkan mereka yang berusia antara 18-24 tahun lebih merasa kurang dalam hal
kerjasama tim."
Menurut Caroline Hawking dari Rothenberg International di New York, hal itu tidak
mengherankan. Karyawan yang lebih muda, jelas dia, berkembang lewat proyek-proyek
tim, sementara karyawan yang lebih tua, terutama dari generasi "baby boomer" tumbuh di
dunia di mana "pengalaman kerja pertama adalah orang-orang yang memberi pengarahan
langsung."
Bukan Prioritas
"Jajaran manajer puncak tidak menjadikan komunikasi sebagai prioritas utama," ujar
Reilly. "Mereka tidak menyadari dampaknya terhadap moral dan produktivitas karyawan.
Seandainya manajemen senior menyadari keterkaitan yang erat antara efek komunikasi
dengan produktivitas karyawan, mereka akan melakukannnya lebih sering."

Disarankan, terutama kepada jajaran eksekutif HR untuk beriventasi dalam pelatihan


komunikasi bagi para manajer senior termasuk lecel CEO.
Reilly juga menyebut penggunaan email sebagai salah satu faktor penyebab kegagalan
atau minimnya komunikasi di kantor dewasa ini.
"Email, meskipun tentu saja mengandung banyak sisi positif, sangat bersifat satu
dimensi. Satu arah, pasif dan tidak bisa menggantikan komunikasi tatap muka secara
langsung." ujar Reilly.
"Kebanyakan manajemen atau supervisor sekarang membiarkan email menggantikan
komunikasi tatap muka dan akibatnya, orang tidak memperoleh "cerita lengkapnya","
tambah dia.
Kendati demikian, Caroline Hawking mengingatkan, mencari pihak yang salah di balik
minimnya komunikasi justru bisa menimbulkan kesalahpahaman. Menurut dia, fokus
manajer senior adalah mengembangkan strategi perusahaan dan proses bottom-line, dan
pesan mereka dikomunikasikan ke bawah oleh manajer menengah, dan di situ letak
kesulitannya.
"Di sinilah letak peran HR," kata dia. "Manajer menengah memiliki tugas berat,
bagaimana menyampaikan strategi itu hingga menjadi aksi. Mereka bisa mendekati HR
untuk mengatakan, ini strategi kita setahun ke depan, bagaimana kita menyampaikannya
kepada tim?"
Karyawan yang Bagus pun (Masih) Perlu Support
Rabu, 21 November 2007 - 10:42 WIB

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang-orang di level staf memainkan peranan
penting dalam pertumbuhan perusahaan. Namun, banyak organisasi yang tidak mampu
mewujudkan fakta yang sederhana itu. Organisasi gagal memberikan support kepada
karyawan untuk "mengeluarkan" potensi mereka secara maksimal.
Sebuah survei baru atas 300 eksekutif di Amerika Utara, Eropa dan Asia-Pasifik
menemukan bahwa pada perusahaan-perusahaan berkinerja bagus, 8 dari 10 senior
eksekutifnya tahu dan menyadari pentingnya (peran) staf dalam mengantarkan
pertumbuhan.
Kebalikannya, pada perusahaan-perusahaan yang tergolong kurang sukses, hanya dua
pertiga dari senior eksekutifnya setuju bahwa staf merupakan bagian dari kunci-kunci
sukses.
Namun, pada sisi lain, ketika survei yang dilakukan oleh para konsultan dari The Forum
Corporation itu menyoroti lebih dekat pada atribut-atribut dan kinerja staf dalam

organisasi, ditemukan bahwa banyak di antara mereka menganggap bahwa senior mereka
telah gagal memberikan arahan atau support yang diperlukan.
Terutama pada perusahaan yang pertumbuhannya bagus, dua pertiga dari karyawannya
merasa tidak dipersiapkan. Keluhan utama mereka adalah kurangan pelatihan, pendidikan
dan pendampingan. Dan, seperlima responden menyebutkan perlunya arahan dan support
yang lebih banyak dari manajemen.
Sangat sedikit yang mengatakan bahwa mereka perlu diberi kebebasan yang lebih besar,
dan otoritas untuk mengambil keputusan.
"Manajemen senior, baik karena masalah waktu atau pun faktor-faktor lain, umumnya
memegang keyakinan yang salah bahwa staf yang bagus bisa berjalan sendiri untuk
mentransformasikan kinerja bisnis," ujar Direktur The Forum Corporation Andrew
Shapiro.
"Meskipun semua orang berkembang melalui tantangan-tantangan, namun staf merasa
akan gagal tanpa support yang diperlukan," tambah dia.
Apa itu support yang diperlukan?
Menurut Sapiro, staf perlu diperkuat dengan analisis-analisis survei tentang apa yang
membuat bisnis berkembang. Atau, dengan kata lain, tambah dia, perusahaan yang gesit
dan memiliki leadership kuat akan sukses --dengan menciptakan rantai-rantai baru
pertanggungjawaban dan rasa memiliki dalam organisasi.
"Menyadari kebutuhan-kebutuhan bisnis yang beragam, dari struktur organisasi hingga
manajemen proses, inovasi dan produk adalah resep untuk mencapai pertumbuhan
bisnis," simpul Sapiro. Untuk itu, tambah dia, diperlukan pemimpin yang mampu
menciptakan iklim "self-ownership".

Anda mungkin juga menyukai