Anda di halaman 1dari 3

Cinta Merah Thessa Mae

Penulis:Haikal Hira Habibillah


Sepuluh menit lagi! geraham Pablo Mesinga mengeras. Telunjuknya mengarah pada kerlip lampu di daratan yang tampak
seperti kunang-kunang di tengah ladang. Dari Isabela City, perahu motor itu melaju dengan kecepatan penuh. Berayun-ayun di
atas gelombang pantai selat Basilan. Sementara di atas geladak, tiga lelaki serta seorang gadis menatap lurus ke arah
dermaga.
Sudah siap Joze ? suara Martinez dari ruang kemudi terdengar nyaring. Lelaki yang ditanya hanya tersenyum sambil
menepuk-nepuk sebuah kotak kayu disamping. Ibu jarinya diacungkan tanda semuanya beres.
Thessa ? Ia melihat gadis yang berdiri di ujung buritan. Thessa menoleh.
Bersiaplah! Sebentar lagi kau yang mengambil alih! seru Martinez melawan deru mesin serta angin malam yang cukup
kencang. Gadis itu mengangguk. Dirapatkannya kembali jaket serta topi yang menutupi rambut legamnya. Di atas pantai, bulan
yang sepotong menggambar bayangan perahu motor di atas riak gelombang yang tampak putih berkilauan.
Malam hampir tiba di ujungnya, saat tambatan telah terikat erat di dermaga. Debur ombak menjemput lolongan anjing malam
yang terdengar samar dari kejauhan. Dengan cekatan, Thessa Mae melompat ringan dari atas buritan perahu menuju sebuah
tempat tersembunyi di sudut pelabuhan Zamboanga, sebuah kota di semenanjung paling selatan Filipina.
*
Sore di kawasan pantai Zamboanga masih ditingkahi desiran angin serta debur air pasang yang datang membelah pesisir.
Seorang gadis tengah menyusuri sepanjang pantai yang tampak sepi hari itu. Annisa Ledesma namanya. Lahir di Moroland
atau Bumi Moro yang sebagian besar orang menyebutnya Mindanao, pulau terbesar kedua di wilayah selatan Filipina.
Sembilan belas tahun yang lalu. Kedua orang tuanya gugur dalam sebuah kontak senjata dengan gerilyawan komunis NPA di
pedalaman Basilan, dua bulan setelah ia dan saudara kembarnya lahir. Suasana kacau serta kepanikan luar biasa membuat
keluarganya tercerai-berai. Satu persatu penduduk yang melawan roboh meregang nyawa. Ama dan ina termasuk di dalamnya.
Sedangkan Aishah, nama saudari kembarnya itu tak pernah ditemukan sampai saat ini. Nisa sendiri berhasil diselamatkan oleh
Tito Yusuf Nur keluar dari wilayah itu, untuk kemudian memboyongnya ke semenanjung Zamboanga ini serta menjalani hidup
tenang sebagai keluarga nelayan yang sederhana.
Telapak kaki Nisa masih menapaki pasir hangat di sepanjang pantai. Jilbabnya yang lebar melambai-lambai dihembus angin
kering yang bertiup dari teluk Sibuguay. Tiba-tiba langkah kakinya terhenti saat ia mendengar sebuah suara memanggil
namanya. Seorang gadis bertopi lebar melambaikan tangan seraya berjalan ke arahnya. Wajah Noorsilah, sahabatnya itu
terlihat khawatir. Nisa tersenyum, saat Noor sudah berada disisinya. Mereka mengambil duduk di atas sebuah balok kayu.
Ada apa ?
Kabarnya tentara pemerintah sedang memburu para teroris yang dicurigai
Ya, aku juga mendengarnya. Tapi kenapa ? itu bukan sesuatu yang luar biasa!
Maksudmu ? Noor terlihat bingung.
Siapapun yang telah melakukan aksi teror itu, selalu saja kita yang menderita
Lalu ?
Sejarah telah menjadi saksi betapa kuatnya nafas Islam di tanah ini, Noor
Semenjak Sultan Sulu yang meneruskan tradisi para pedagang serta mubaligh arab yang pertama kali tiba. Lalu Sultan
Manguindanao yang berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Moroland sekarang ini sorot mata Nisa menembus kemilau
jingga dari riak pantai yang mulai beranjak temaram.
Tapi bahkan sampai hari ini, bumi Moro tetap saja menderita. Daerah ini tak ubahnya seperti Chechnya, Kashmir, Palestina,
atau Albania serta kawasan muslim lain yang bernasib serupa.
Semuanya harus hidup di bawah ancaman kekerasan dan kepedihan matanya meredup saat mengatakan itu. Dilepasnya
pandangan ke arah cakrawala yang luas membentang. Beberapa perahu nelayan tampak mulai berangkat. Sebentar lagi
maghrib tiba. Noor masih berada di sisinya. Ia hanya diam sambil mendengarkan. Gadis itu selalu senang bila bersama Nisa.
Sebab, Nisa selalu punya banyak cerita baru tentang kisah-kisah heroik dari shirah nabi. Mulai dari jaman Rasul, para sahabat,
bahkan sampai dengan sejarah pejuang Islam di negeri ini. Tapi sore ini, Noor melihat sesuatu yang lain di wajah sahabatnya
itu. Nisa tampak murung.
Kau sendiri kenapa, Nisa ?
MmmhhEh, apa maksudmu ?
Ikaw sakit ? rasa khawatir tampak di wajah Noor. Sahabatnya menggeleng.
Ada apa ? Ceritakan padaku! Nisa memandang gadis di depannya itu lalu menarik nafas dalam-dalam.
Entahlah Noor ! tiba-tiba saja hari ini ako merasa rindu pada ayah dan ibu.
Ooh, aku mengerti
Kau tahu, mereka adalah pejuang sejati bagiku ujarnya.
Anong nangyari ? Noorsilah ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Gerilyawan komunis menyerang desa kami, Noor. Tito Yusuf bercerita bahwa mereka telah membumihanguskan seluruh isi
desa dan membantai setiap warga muslim. Ama dan Ina syahid. Sila gugur sebagai martir. Dan saudariku,. Annisa terdiam.
Wajahnya memerah. Jelas sekali ia tengah berusaha mengendalikan perasaan.
Tak ada yang tahu dimana ia saat ini. Bahkan aku tak tahu apakah ia masih hidup atau tidak. Kami terpisah di tengah kancah
perang ! gadis itu kini tersedu. Tangannya yang gemetar menggenggam sebuah kalung bermata peluru. Noor segera
memeluknya sambil membisiki kata-kata yang menenangkan. Sementara, senja di atas pantai terus bergerak. Di langit, burungburung laut tampak melintas cepat ke arah selatan. Sekali lagi angin senja membelai lembut wajah gadis yang sedih itu. Kali ini
sambil membawa lantunan azan maghrib yang makin terdengar syahdu.
*
Beberapa puluh kilometer ke arah selatan. Di sebuah pos pertahanan NPA di pulau Basilan, senja yang sama juga baru turun di
kawasan Guindo. Di bawah sebatang pohon pinus, seorang gadis muda sedang membersihkan senjata otomatis. Wajahnya

yang dingin terlindung oleh seragam militer kusam yang membalut tubuhnya. Di seberang, Joze dan Pablo Mesinga masih
mencuri pandang ke arahnya. Kedua pemuda itu terlihat tak sabar.
Thessa ?
Tak bisakah kita berbincang lebih santai ? Pablo berpindah tempat sambil mencoba untuk mencairkan suasana. Tapi gadis itu
tak bergeming. Ia tetap saja asyik dengan kesibukannya. Ditimang-timangnya FN 46 kesayangannya sembari mengusap
lembut sebuah benda di pergelangan tangan. Sebuah selongsong peluru yang masih berkilat tampak terikat di situ.
Paede ba kitang tulungan ? tanya lelaki itu hati-hati. Sebenarnya, sudah lama ia menaruh hati pada gadis itu. Bersama Joze,
mereka berdua seperti berlomba untuk mendapatkan cintanya. Pablo tahu, Thessa memang lebih dahulu bergabung dengan
NPA. Kabarnya, ia diambil langsung oleh seorang petinggi organisasi itu ketika sebuah serangan terhadap pejuang muslim di
Moro terjadi beberapa belas tahun yang silam. Tapi ia masih tidak tahu asal-usul dari gadis itu yang sebenarnya.
Thessa, Please! Jangan siksa dirimu dengan sesuatu yang tak jelas!
Benar kata Pablo. Biarkan kami membantumu kali ini Joze ikut bicara. Ia mendekat. Tanpa prasangka, ia meraih tangan gadis
itu. Tapi tanpa diduga, Thessa segera menepisnya dengan kasar. Mata kedua pria itu terbelalak, saat sedetik kemudian gadis
itu telah memutar tubuhnya sambil mengarahkan moncong pistol pada mereka. Serentak, kedua pemuda itu mundur
bersamaan.
Jangan coba-coba! ancamnya dengan wajah marah.
Hei! Okeoke! Take it easy dear! bisik Joze.
Ya, ya..Patawad Thessa
Berikutnya, mereka berdua hanya bisa menatap punggung Thessa. Gadis itu sudah beranjak pergi dan masuk ke dalam
gubuknya. Kedua lelaki yang masih terkejut itu saling berpandangan sambil mengangkat bahu.
Kenapa dia, Joze ?
Entahlah. Dia mungkin tak doyan laki-laki, buddy! ujarnya terkekeh.
Ya. Thessa! perempuan tanpa cinta ! ha ha haaa dan keduanya larut dalam tawa.
Di dalam gubuk, Thessa masih menumpahkan rasa kesalnya. Tak seorangpun yang bisa memahami perasaannya selama ini.
Sejak bergabung dengan para gerilyawan itu, Thessa memang telah melewati masa-masa paling menyakitkan serta
kegemilangan sekaligus. Sebagai bagian dari cita-cita NPA untuk mendirikan sebuah otoritas yang mandiri, ia telah berhasil
membuktikan diri sebagai salah satu perwira yang patut diperhitungkan. Gerakan mereka cukup berhasil mengganggu stabilitas
keamanan di kawasan selatan Filipina. Meskipun selama ini, MNLF dan MILF lebih bersuara dibandingkan organisasinya, tapi
beberapa waktu terakhir, aksi-aksi yang telah mereka lakukan mulai membuka mata internasional. Ya, Thessa telah memiliki
sebuah dunia yang sangat membanggakannya.
Tapi kenyataannya, semua itu ternyata tak bisa membuatnya merasa nyaman. Gadis itu masih saja merasakan sebuah
kekosongan di dasar jiwanya. Bahkan sampai saat ini, belum ada sebuah jawaban yang memuaskan baginya tentang asal-usul
dirinya. Pamannya hanya meyakinkan bahwa kedua orang tuanya berasal dari pulau ini juga. Dan ia ditemukan dalam sebuah
kancah pertempuran. Sedang untuk informasi lainnya, Thessa sama sekali tak punya.
*
Penculikan wakil walikota Pagadian serta keluarganya tiga bulan yang lalu telah mengejutkan banyak pihak papar Rudolfo
Reyes. Thessa sedang terlibat briefing singkat menjelang pelaksanaan aksi mereka berikutnya. Ia memandang lelaki di depan
sambil menajamkan ingatan. Sembilan belas tahun sudah ia tumbuh di hutan-hutan sepanjang pulau Basilan ini. Besar di
tengah-tengah kekerasan hidup sekaligus kekejaman alam. Dan lelaki di depan itulah yang yang selama ini telah menemukan
sekaligus merawat dirinya. Lelaki itu selalu bilang padanya bahwa ia tak pernah tahu dimana keluarganya berada.
Ia memanggilnya tito Rudolfo. Sebagai salah satu petinggi di jajaran NPA, tito-nya telah mengajarkannya segala hal yang
berhubungan dengan aksi-aksi gerilya serta pengetahuan lain tentang sebuah gerakan. Thessa tumbuh menjadi seorang milisi
wanita yang sangat tangguh. Seorang gadis yang hidup bebas tanpa pernah mengenal cinta. Cinta Thessa memang hanya ia
curahkan untuk organisasi. Cinta merah yang akan selalu mengingatkannya pada ketidakpastian asal-usul dirinya. Karena yang
memang ia tahu hanyalah bagaimana cara mewujudkan cita-cita dari organisasi NPA yang telah membesarkannya selama ini.
Lalu aksi sabotase pada fasilitas telekomunikasi yang sempat melumpuhkan dua propinsi di wilayah Sembilan dua minggu
yang lalu. Itu adalah kerja yang sangat bagus. Saya bangga pada kalian mata elang sang pemimpin mengedar ke seluruh
anggota milisi. Tito Rudolfo masih terlihat gagah di usianya yang hampir enam puluh tahun.
Besok dini hari. Sebuah aksi yang lain saya harap bisa lebih membuka mata mereka. Martinez, Joze, serta Pablo akan
mengawal penyeberangan. Dua orang kontak kita lainnya sudah siap di Zamboanga. Sasaran tak berubah! Ada pertanyaan ?
tak terdengar suara apa-apa lagi di ruangan itu. Lalu seorang anggota milisi mengangkat tangannya.
Ya ?
Siapa penanggung jawab aksi kali ini ? Rudolfo Reyes tersenyum. Ia berjalan perlahan mendekati seorang gadis yang
nampak tenang di depan.
Thessa ? bisiknya. Si gadis menatapnya tajam.
Kuharap kau akan siap besok!
*
Sebuah Pajero butut mendekati mereka. Sepuluh menit lebih lambat dari waktu yang terjadwal. Martinez Mercado mengumpat
pada dua orang penjemput itu. Setelah berbasa-basi sejenak, Pablo dan Joze pergi mengambil kotak kayu dari atas perahu. Ia
memeriksa sekali lagi lalu meletakkannya di jok belakang. Thessa segera naik dan duduk di samping sopir.
Ako Joshep, ano ang pangalan mo ? siapa namamu ? sopir itu meliriknya sambil menyalakan rokok. Asap mengepul di dalam
ruang mobil yang pengap itu. Thessa tak menjawab. Dari kursi belakang, lelaki yang lain bersiul saat menatap wajahnya.
Hei! Ako ay si Marco! Semuanya seperti rencana ? pria di belakang ikut bicara. Thessa mengangguk perlahan. Pandangannya
masih lurus ke arah jalanan gelap di depan.
Jalan! perintahnya.
*
Matahari siang Zamboanga membelai jalanan ramai sepanjang kota. Dengan tergesa, Annisa menyusuri pinggiran lalu lintas
yang memadat di kawasan Upi. Dalam perjalanan pulang dari pasar tadi, ia baru ingat bahwa tito memesan tembakau

kesayangannya. Jadi ia mesti kembali. Pusat kota Zamboanga tampak ramai sekali siang itu. Di depan sebuah halte ia berhenti
sebentar sambil menunggu kerumunan orang-orang yang akan naik dan turun dari sebuah bis yang baru berhenti, ketika tibatiba,
Duuaaarrr! Buumm!!..
Sebuah bom meledak sangat dahsyat dari dalam bis yang penuh sesak itu. Pecahan kacanya berhamburan. Atapnya melayang
jauh sampai ke tengah jalan. Suara jerit tangis dan kesakitan membahana seketika. Orang-orang yang panik berlarian ke
segala arah. Asap hitam membumbung tinggi. Dalam sekejap, korban mulai berjatuhan. Dan masih disamping bangkai bis yang
berkobar itu, tubuh Annisa ikut roboh.
Ya Allaahhh! rintihnya. Meski masih sadar, seluruh badan gadis itu terkoyak hebat. Dari telinga dan hidungnya berleleran
darah segar. Dan diantara kerumunan massa yang mulai mendekat, tiba-tiba Nisa melihat seraut wajah yang tak lagi asing
baginya. Wajah yang belasan tahun ini selalu mengisi hari-hari sepinya. Ia memang belum pernah bertemu dengannya, tapi
Nisa seperti sudah menemukan sesuatu yang telah lama ia cari. Hatinya terasa damai. Dalam sekarat, Nisa mencoba
memanggil namanya. Dan seperti ada sebuah kekuatan besar, gadis asing itu mendekat. Seorang gadis cantik sebayanya
dengan glang bermata peluru ! Annisa masih sempat tersenyum sambil memperlihatkan kalung miliknya. Mulutnya yang
penuh darah berusaha untuk mengucapkan sesuatu. Tapi tak ada sedikitpun suara yang keluar. Thessa Mae nama gadis
asing itu- tampak sangat terperanjat. Ia lalu merengkuh tubuh tak berdaya itu.
Siapa namamu ? Ilang taon kana ? bisiknya gugup. Tapi tubuh yang tergolek itu semakin lemah. Thessa benar-benar kalut.
Hatinya ikut berkeping bersama serpihan benda-benda di sekitarnya. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Nisa.
Jangan pergi! Oh! Sa an ka na katira ? dimana rumahmu ? ia terus mendesak. Air matanya sudah beruraian di kedua belah
pipinya. Thessa memeluk tubuh saudaranya itu erat-erat, seperti tak mau lagi terpisah. Sementara itu, dunia Nisa semakin
samar. Di batas kesadaran terakhir, ia melihat senyum teduh Ama dan Ina yang siap menyambut kedatangannya. Mereka
berdua terus memanggil-manggil namanya.
Surabaya, Akhir Mei 2003
------------------Kosa kata (Tagalog)
Ina : ibu Patawad : maaf Ako : saya Ikaw : kamu
Tayo : kami Sila : mereka Anong nangyari ? : Apa yang terjadi ? Paede ba kitang tulungan ? : apa yang bisa saya bantu Tito :
paman
Ilang taon kana ? Berapa umurmu ? Ano ang pangalan mo ? Siapa namamu ?
Ako ay si : aku adalah Ama : ayah Sa an ka na katira ? : Kamu tinggal dimana ?
NPA : New Peoples Army, Sebuah gerakan militer berfaham komunis
MNLF : Moro National Liberation Front atau Front Pembebasan Nasional Moro
MILF : Moro Islamic Liberation Front atau Front Pembebasan Islam Moro, merupakan pecahan dari MNLF

Anda mungkin juga menyukai