Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
semua
ketentuan
hukum
yang
berhubungan
langsung
dengan
pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban baik dari
perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari
pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisasi, sarana, pedomanpedoman standar pelayanan medik, hukum di bidang kesehatan yurispudensi serta ilmu
pengetahuan bidang kedokteran/kesehatan. Yang dimaksud dengan hukum kedokteran ialah
bagian hukum kesehatan yang menyangkut pelayanan medis.
Hukum kesehatan mencangkup komponen hukum bidang kesehatan yang bersinggungan
satu sama lain, yaitu hukum kedokteran/kedokteran gigi, hukum keperawatan, hukum farmasi
klinik, hukum rumah sakit, hukum kesehatan masyarakat, hukum kesehatan lingkungan, dsb
(Konas PERHUKI, 1993)
Undang-undang Praktik Kedokteran (2004) merupakan aturan hukum atas ketentuan hukum
yang mengatur tentang pelayanan kedokteran/kesehatan.
2. Ruang Lingkup Hukum Kesehatan / Kedokteran
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam hukum kesehatan dikemukakan olehLeenen,
sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
seperti
menyelenggarakan
memelihara
dan
dan
menggiatkan
mempertinggi
usaha-usaha
derajat
dalam
kesehatan
lapangan
rakyat
dengan
pencegahan
dan
penyelidikan dan pengawasan, tetapi juga mengatur, membimbing, membantu dan mengawasi
usaha-usaha kesehatan badan-badan swasta.
Pada pengelompokkan keempat disebutkan hal-hal yang paling relevan dengan materi
hukum kedokteran. Inti dari hukum kedokteran adalah hubungan hukum yang dilakukan oleh
dokter dalam menjalankan profesinya, atau hubungan hukum yang dilakukan dokter mengenai
pemberian pelayanan medis.
Ruang lingkup hukum kedokteran:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
3.
Tanggung jawab hukum dokter adalah suatu keterikatan dokter terhadap ketentuanketentuan hukum dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab seorang dokter dalam bidang
hukum terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:
1. Hukum Perdata
A. Tanggung Jawab Hukum Perdata Karena Wanprestasi
Pengertian wanprestasi ialah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi
kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Pada dasarnya
pertanggungjawaban perdata itu bertujuan untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian
yang diderita oleh pasien akibat adanya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dari
tindakan dokter. Menurut ilmu hukum perdata, seseorang dapat dianggap melakukan
wanprestasi apabila :
melaksanakannya, karena pasien juga tidak mempunyai cukup informasi dari dokter
mengenai tindakan-tindakan apa saja yang merupakan kewajiban dokter dalam suatu
kontrak terapeutik.
B. Tanggung Jawab Perdata Dokter Karena Perbuatan Melanggar Hukum
(onrechtmatige daad)
Tanggung jawab karena kesalahan merupakan bentuk klasik pertanggungjawaban
perdata. Berdasar tiga prinsip yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yaitu sebagai berikut :
a.
dengan kepatuhan dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda orang
seorang dalam pergaulan hidup.
Seorang dokter dapat dinyatakan melakukan kesalahan. Untuk menentukan
seorang pelaku perbuatan melanggar hukum harus membayar ganti rugi, haruslah
terdapat hubungan erat antara kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan.
b.
c.
Sehubungan dengan hal itu seorang dokter harus bertanggung jawab atas
tindakan yang dilakukan oleh bawahannya yaitu para perawat, bidan dan sebagainya.
Kesalahan seorang perawat karena menjalankan perintah dokter adalah tanggung
jawab dokter.
2. Hukum Pidana
Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, dalam perkembangan
selanjutnya timbul permasalahan tanggung jawab pidana seorang dokter, khususnya yang
menyangkut dengan kelalaian, hal mana dilandaskan pada teori-teori kesalahan dalam hukum
pidana. Tanggung jawab pidana di sini timbul bila pertama-tama dapat dibuktikan adanya
kesalahan profesional, misalnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara
pengobatan atau perawatan.
Dari segi hukum, kesalahan / kelalaian akan selalu berkait dengan sifat melawan hukumnya
suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Seseorang
dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat menginsafi makna yang senyatanya dari
perbuatannya, dapat menginsafi perbuatannya itu tidak dipandang patut dalam pergaulan
masyarakat dan mampu untuk menentukan niat / kehendaknya dalam melakukan perbuatan
tersebut.
Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice apabila memenuhi
rumusan delik pidana yaitu : Perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan
dilakukan sikap batin yang salah yaitu berupa kesengajaan, kecerobohan atau kelapaan.
Kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana, diatur antara
lain dalam : Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351, 359, 360, 361,
531 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ada perbedaan penting antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medis. Pada tindak
pidana biasa yang terutama diperhatikan adalah akibatnya, sedangkan pada tindak pidana medis
adalah penyebabnya. Walaupun berakibat fatal, tetapi jika tidak ada unsur kelalaian atau
kesalahan maka dokternya tidak dapat dipersalahkan. Beberapa contoh dari criminal malpractice
yang berupa kesengajaan adalah melakukan aborsi tanpa indikasi medis, membocorkan rahasia
kedokteran, tidak melakukan pertolongan seseorang yang dalam keadaan emergency, melakukan
eutanasia, menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar, membuat visum et repertum
yang tidak benar dan memberikan keterangan yang tidak benar di sidang pengadilan dalam
kapasitas sebagai ahli.
Dalam literatur hukum kedokteran negara Anglo-Saxon antara lain dari Taylor 14 dikatakan
bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum apabila dia sudah
memenuhi syarat 4 D, yaitu : Duty (Kewajiban), Derelictions of That Duty (Penyimpangan
kewajiban), Damage (Kerugian), Direct Causal Relationship (Berkaitan langsung)
Duty atau kewajiban bisa berdasarkan perjanjian (ius contractu) atau menurut undangundang (ius delicto). Juga adalah kewajiban dokter untuk bekerja berdasarkan standar profesi.
Kini adalah kewajiban dokter pula untuk memperoleh informed consent, dalam arti wajib
memberikan informasi yang cukup dan mengerti sebelum mengambil tindakannya. Informasi itu
mencakup antara lain : risiko yang melekat pada tindakan, kemungkinan timbul efek sampingan,
alternatif lain jika ada, apa akibat jika tidak dilakukan dan sebagainya. Peraturan tentang
persetujuan tindakan medis (informed consent) sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
RI No. 585 Tahun 1989.
Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi medis (Dereliction of The Duty)
adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta secara kasuistis yang harus dipertimbangkan
oleh para ahli dan saksi ahli. Namun sering kali pasien mencampuradukkan antara akibat dan
kelalaian. Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien yang tidak bertambah baik belum
membuktikan adanya kelalaian. Kelalaian itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus dibuktikan
dahulu bahwa dokter itu telah melakukan breach of duty.
Damage berarti kerugian yang diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk fisik,
finansial, emosional atau berbagai kategori kerugian lainnya, di dalam kepustakaan dibedakan :
Kerugian umum (general damages) termasuk kehilangan pendapatan yang akan diterima,
kesakitan dan penderitaan dan kerugian khusus (special damages) kerugian finansial nyata yang
harus dikeluarkan, seperti biaya pengobatan, gaji yang tidak diterima.
Sebaliknya jika tidak ada kerugian, maka juga tidak ada penggantian kerugian. Direct causal
relationship berarti bahwa harus ada kaitan kausal antara tindakan yang dilakukan dengan
kerugian yang diderita.
3. Hukum Administrasi
Dikatakan pelanggaran administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata usaaha
negara. Contoh tindakan dokter yang dikategorikan sebagai administrative malpractice adalah
menjalankan praktek tanpa ijin, melakukan tindakan medis yang tidak sesuai dengan ijin yang
dimiliki, melakukan praktek dengan menggunakan ijin yang sudah daluwarsa dan tidak membuat
rekam medis.
Menurut peraturan yang berlaku, seseorang yang telah lulus dan diwisuda sebagai dokter
tidak secara otomatis boleh melakukan pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu mengurus lisensi
agar memperoleh kewenangan, dimana tiap-tiap jenis lisensi memerlukan basic science dan
Pertama, peraturan
3.
Ketiga, kebiasaan yang baik dan diikuti secara terus-menerus (dalam bidang
kedokteran), perjanjian internasional, perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi
yang diterapkan dalam praktik bidang kedokteran, merupakan sumber hukum dalam
bidang kedokteran.
4.
Keempat, putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, menjadi
sumber hukum dalam bidang kedokteran. Pokok masalah yang dihadapi masyarakat
dalam hubungannya dengan tenaga kesehatan adalah penyelenggaraan praktik
kedokteran yang tidak memuaskan sehingga UUPK disusun dengan penekanan pada
pengaturan praktik kedokteran dan bukan untuk penyelesaian sengketa.
Tujuan dari pengaturan praktik adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat,
kemudian mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan, dan memberikan kepastian
hukum. Apabila sengketa diibaratkan sebagai akibat suatu perbuatan (yang terjadi di hilir), maka
pengaturan
merupakan
upaya
preventif
untuk
menghindarkan
sengketa.
UUPK
memang bukan peraturan pertama yang dibuat untuk mengatur pelaksanaan tugas profesional
kesehatan, tetapi diharapkan dapat mengeliminasi permasalahan kesehatan yang akhir-akhir ini
merebak di masyarakat.
Pemberitaan di media massa cetak maupun elektronik, yang seakan-akan menuding petugas
kesehatan telah melalaikan kewajibannya, menumbuhkan keprihatinan dan ketidakpercayaan
masyarakat kepada komunitas yang menyediakan pelayanan kesehatan. Ironisnya, pers yang
diharapkan menjadi media pembelajaran bagi masyarakat tidak selalu mewartakan kebenaran,
misalnya mem-blow-up kematian setelah diimunisasi. Ini justru dapat menyesatkan
masyarakat yang membutuhkan pertolongan untuk mengupayakan kesehatan secara baik dan
benar demi kehidupan di masa depan yang lebih produktif.
Dengan menunjukkan bahwa UUPK hanya salah satu aspek hukum dalam penyelenggaraan
praktik kedokteran, diharapkan dapat menghilangkan anggapan bahwasanya UUPK adalah
hukum kesehatan. Bagi profesional medik, perlu memahami ruh yang terkandung dalam UUPK
supaya
perilaku
dan
pelayanannya
tidak
menyimpang
dari
etika
dan
norma
yang telah disepakati bersama sehingga dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada
profesi yang diembannya.