Anda di halaman 1dari 14

Korupsi merupakan fenomena sosial yang hingga kini

masih belum dapat diberantas oleh manusia secara


maksimal. Korupsi tumbuh seiring dengan berkembangnya
peradaban manusia. Tidak hanya di negeri kita tercinta,
korupsi juga tumbuh subur di belahan dunia yang lain,
bahkan di negara yang dikatakan paling maju sekalipun.

Korupsi berasal dari bahasa latin, CorruptioCorrumpere yang artinya busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.
Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku
pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma
yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku
menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi
kepentingan pribadi.
Korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan
Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam
modus.

Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara


implisit menyebutkan tiga bentuk korupsi yaitu sogokan
(bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme.
Alatas mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan
kerabat, teman, atau sekutu politik untuk menduduki
jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang
dimilikinya dan dampaknya bagi kemaslahatan umum
(Alatas 1999:6).
Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini
adalah subordinasi kepentingan umum dibawah tujuantujuan pribadi yang mencakup pelanggaran-pelanggaran
norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang
dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan,
penipuan, dan sikap masa bodoh terhadap akibat yang
ditimbulkannya terhadap masyarakat.

Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian


dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini
tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang
konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi
politik dan administratif. Seorang administrator yang
memanfaatkan kedudukannya untuk menguras
pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik
maupun asing), memakai sumber pemerintah,
kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya
yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula
dikategorikan melakukan tindak korupsi.

Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam


posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan
mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan
korupsi.
Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah
menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan
untuk membendung korupsi.
Kurangnya pendidikan.
Adanya banyak kemiskinan.
Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami
perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit
transisional.

Keadaan

masyarakat yang semakin majemuk.


Greeds(keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku
serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap
orang.
Opportunities(kesempatan) : berkaitan dengankeadaan
organisasi atau instansi atau masyarakat yang
sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi
seseorang untuk melakukan kecurangan.
Needs(kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg
dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang
hidupnya yang wajar.
Exposures(pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan
atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan
apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan, dll.

Macam-Macam Korupsi

Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh UU No 31


Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 dalam pasalpasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, terdapat
33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam
7 kelompok yakni :
Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan
Negara
Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam
jabatan
Korupsi yang terkait dengan pemerasan
Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang

Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan


dalam pengadaan
Korupsi yang terkait dengan gratifikasi, dll.

Menurut Aditjandra dari definisi tersebut digabungkan dan


dapat diturunkan menjadi dihasilkan tiga macam model
korupsi (2002: 22-23) yaitu :

Model korupsi lapis pertama


Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana
prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang
membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan
publik atau pembatalan kewajiban membayar denda ke
kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa
untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau
petugas pelayan publik lainnya.

Model korupsi lapis kedua


Jarring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat
penegakan hukum, dan perusahaan yang mendapatkan
kedudukan istimewa. Menurut Aditjandra, pada korupsi
dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang
nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi,
dan lingkupnya bisa mencapai level nasional.

Model korupsi lapis ketiga


Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup
internasional dimana kedudukan aparat penegak hukum
dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh
lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas
di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang
produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi
anggota jarring-jaring korupsi internasional korupsi
tersebut.

Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi didasari


kesadaran kita atau individu untuk menempatkan
kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas
kepentingan pribadi atau golongan. Ini perlu ditekankan
sebab betapa pun sempurnanya peraturan, kalau ada niat
untuk melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang
ingin korup, korupsi tetap akan terjadi karena faktor mental
itulah yang sangat menentukan.
Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat
didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur
proses korupsi yaitu :
Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.

Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat


menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang
dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi,
menanggulangi dan memberantas korupsi di
Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada
Undang-Undang Republi Indonesia Nomor 30 Tahun
2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

Orde

Lama
Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960
Antara 1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran
lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis
dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan
Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di
bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa
kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di
Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo,
Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal
ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay
mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada
Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu
suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri
Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet
sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur
Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.

Orde Baru
Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971
Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara
atas bisnis-bisnis strategis.

Reformasi
Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan
oleh beberapa institusi:
1. Tim Tipikor (Tindak Pidana Korupsi)
2. Komisi Pemberantasan Korupsi
3. Kepolisian
4. Kejaksaan
5. BPKP
6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi
massa (mis: ICW)

Anda mungkin juga menyukai