Anda di halaman 1dari 5

Lingkup Aktivitas Muslimah Di Luar Rumah

ManajemenQolbu.Com - Muslimah : Tujuan utama dari 'amal Islami kontemporer adalah


menegakkan hukum Allah di muka bumi. Tujuan ini akan tegak melalui sederetan hadaf
marhaliyah , yaitu ; membangun pribadi muslim , rumah yang islami dan masyarakat yang
islami, kemudian baru negeri yang islami.
1.
Peranan Muslimah dalam Mendidik Anggota Masyarakat
Apakah wanita mempunyai peran dalam mendidik anggota masyarakat ?
Islam diarahkan sekaligus bagi kaum wanita dan pria, dan yang dituntut selalu adalah
mempersiapkan pria muslimin dan wanita muslimat agar masyarakat islami tegak,
yakni masyarakat yang menerapkan syari'at Allah.
Allah telah menyebutkan pria dan wanita secara bersamaan dalam mayoritas sifatsifat yang diminta Firman-Nya :
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang
mu'min , laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama
Allah. Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (Qs.
Ahzab 33:35 )
Maka pribadi-pribadi muslim yang perlu dibentuk adalah pria dan wanita. Bagaimana
agar dapat tujuan itu tercapai ? Mungkinkah kaum pria sendiri yang melaksanakan
pendidikan kepada Rijal muslimin dan Nisa muslimat ? boleh jadi jika dikatakan
wanita muslimah dapat melaksanakan tugas mendidik pria dan wanita untuk Islam,
mungkin hal itu malahan lebih mendekati kebenaran . Tetapi kesendirian pria dalam
mengerjakan tugas ini, maka tidak pernah dikatakan oleh setiap orang yang berakal
satupun! Dan yang jelas, tak seorangpun dapat mengingkari peran wanita muslimah
dalam mendidik dan mempersiapkan anak pria dan wanita agar mereka menjadi
muslim dan muslimat harapan umat
Wanita muslimat tidak akan sanggup
melaksanakan peran ini, jika ia sendiri tidak memiliki banyak pemikiran dan akhlak
islami, tidak memiliki ilmu yang memadai tentang syari'at.
Keluarnya wanita dari rumahnya karena kewajiban memperlajari ilmu syari'at akan
memberikan kemantapan baginya dalam melaksankan risalahnya di rumah yang
merupakan kewajiban pertamanya. Jumlah pria yang mampu mengajarkan beberapa
ilmu syari'at kepada isteri-isterinya adalah sangat terbatas, lagi pula terkadang mereka
sukar untuk menemukan waktu yang pas sebagaimana sering kita saksikan dan telah
diketahui.
Kemudian bukanlah wanita muslimah mempunyai peran dalam mendidik dan
mempersiapkan nisa muslimat ? Jika para suami tidak mampu untuk mempersiapkan
isteri-isterinya untuk memikul peranya tersebut bukanlah kita kemudian menjadi
berkewajiban mengusahakan suatu masyarakat wanita islami yang bertugas
mentarbiyah dan mempersiapkan para isteri ini ? Dan siapakah yang lebih mampu
melaksanakannya tugas ini selain para wanita sendiri ? juga, bukankah lebih utama
secara syara' apabila yang menangani nisa muslimat tersebut adalah wanita
muslimat ? kaum muslimatlah yang paling tepat untuk mengajarkan kepada
sesamanya hal - hal yang wajib diketahui dari hukum halal dan haram, mendidik
mereka untuk selalu beriltizam dengan akhlaq Islami?
Dari berbagai pertimbangan di atas, kita menyakini bahwa kita memikul kewajiban
besar untuk menegakan masyarakat wanita islami yang dapat melaksanakan peran ini.
Masyarakat wanita seperti ini tidak akan tegak kecuali dengan nisa muslimat.

Sedangkan para wanita tersebut tidak akan dapat melaksanakan tugas ini kecuali
dengan keluar rumah.
"Wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anaknya" (muttafaq alaih)
Sesungguhnya setiap rumah tangga muslim membutuhkan seorang wanita muslimah
yang mencurahkan waktu dan perhatiannya di dalam rumah mengurus keperluan
suami dan anak-anaknya. Tetapi keislaman rumah tangga tidaklah terbatas pada
kebersihan, ketertiban, mentaati suami dan memberi perhatian kepada anak-anak.
Keislaman suatu rumah tangga merupakan sekumpulan dari makna-makna dan
mabda-mabda yang terlihat dengan jelas pada hubungan seluruh anggota keluarga
dengan Allah. Apabila wanita tidak terkait dengan seluruh makna-makna tersebut,
maka mungkinkah ia akan dapat menularkan makna-makna dan mabda-mabda
tersebut ke dalam rumah tangganya ? kita ingat kaidah bahwa orang yang tidak punya
apa-apa tidak akan dapat memberi apapun jua.
Dari mana dapat menumbuhkan wanita muslimah yang mempunyai rasa khauf
( takut ) pada Allah , yang taat pada suami dan mengurus serta mendidik anakanaknya agar sesuai dengan mabda-mabda Islam dan akhlak islami? Sementara
sekolah - sekolah dan pengurus - pengurus tinggi, mass media, masyarakat dan system
yang tersebar saat ini giat berusaha memproduksi (calon) isteri yang hanya pandai
bersolek dan mematut-matut perhiasan dan penampilan serta gemar untuk berkumpulkumpul untuk omong-kosong, kemudian sibuk "memperjuangkan persamaan hak"
Apabila dalam masyarakat kita tidak terdapat gerakan kewanitaan yang islami, yang
sanggup mendidik puteri - puteri mereka berdasarkan mabda dan akhlak islami, dan
menumbukan awatif khair ( perasaan baik ) dalam diri puteri - puteri mereka serta
menyuburkan kecintaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya , dan mengikat mereka
dengan nilai - nilai luhur ; jika tidak ada gerakan kewanitaan islami yang sanggup
membendung arus kebatilan yang telah menyebar di kalangan wanita, yang dapat
membangkitkan kembali pada mereka ruh islam, maka akan sangat sulit setelah itu
kita menemukan isteri muslimah yang mau berperan aktif dalam membangun rumah
tangga muslim.
Bisakah gerakan kewanitaan Islami bangkit di tengah-tengah masyarakat yang telah
menyimpang jauh, sementara suatu bagian dari masyarakat yang mempunyai peranan
vital tidak boleh keluar dari rumah guna menyebarkan kebajikan di kalangan kaum
wanita ? Badan -badan masyarakat jahiliyah tidak pernah menumbukan bibit-bibit
wanita sholihat, karena itu masyarakat da'wah islamiyah berkewajiban menempati
posisi masyarakat jahiliyah dalam melaksanakan tugas ini. Jika tidak, maka kita tidak
hanya akan kehilangan masyarakat muslim, bahkan juga akan kehilangan -bersama
dengan itu - rumah tangga muslim, dan pribadi muslim. Seorang wanita muslimah tak
mungkin dapat berkiprah membangun rumah tangga muslim apabila ia tidak
mempelajari Al-Islam, dan tidak mau berperan aktif bersama para saudari muslimah
lain.
Setiap wanita muslimah wajib mengambil peran dalam arus kewanitaan ini, turut
menghidup dan menyemarakkannya. Tidak berarti bahwa wanita harus meninggalkan
tugas rumah tangganya, tetapi ia harus dapat mengatur antara dua kewajibannya.
Insya Allah hal ini tidak sukarselama sang suami mau membantunya. Terlebih bagi
para wanita lajang, para isteri yang belum dikarunia anak dan para ibu yang anakanaknya sudah besar serta lainnya, mereka lebih banyak memiliki waktu dan
2.
Peranan Muslimah dalam Membangun Rumah Tangga Islami
Apakah wanita mempunyai peran dalam membangun rumah tangga islami ? atau
mungkin lebih tepat dengan pertanyaan: apakah rumah tangga islami akan dapat

berdiri tanpa wanita ( ibu rumah tangga ) muslimah ? Bukankah wanita merupakan
pemimpin rumah sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah Saw :
"Wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anaknya" (muttafaq alaih).
Sesungguhnya setiap rumah tangga muslim membutuhkan seorang wanita muslimah
tangga muslim membutuhkan seorang wanita muslimah yang mencurahkan waktu dan
perhatiannya di dalam rumah mengurus keperluan suami dan anak-anaknya. Tetapi
keislaman rumah tangga tidaklah terbatas pada kebersihan, ketertiban (keteraturan),
mentaati suami dan memberi perhatian kepada anak-anak.
Keislaman suatu rumah tangga merupakan sekumpulan dari makna-makna dan
mabda-mabda yang terlihat dengan jelas pada hubungan isteri dengan suami dan
anak-anaknya, pada hubungan seluruh anggota keluarga dengan Allah. Apabila
wanita tidak terkait dengan seluruh makna-makna tersebut, maka mungkinkah ia data
menularkan makna-makna dan mabda - mabda tersebut ke dalam rumah tangganya ?
Kita ingat kaidah bahwa orang yang tidak punya apa-apa tidak akan dapat
memberikan apapun jua.
Dari mana kita dapat menumbuhkan wanita muslimah yang mempunyai rasa takut
pada Allah, yang taat kepada suami dan mengurus serta mendidik anak-anaknya agar
sesuai dengan mabda-mabda Islami dan akhlaq-akhlaq islami? Sementara sekolah sekolah dan perguruan - perguruan tinggi, mass media, masyarakat dan system yang
tersebar saati ini giat berusaha memproduksi isteri yang hanya pandai bersolek dan
mematut-matut perhiasan dan penampilan serta gemar untuk berkumpul-kumpul
untuk omong kosong, kemudia sibuk "memperjuangkan persamaan hak".
Apabila dalam masyarakat kita tidak terdapat gerakan kewanitaan yang islami, yang
sanggup mendidik puteri-puteri mereka berdasar mabda dan akhlaq Islam, dan
menumbuhkan perasaan baik dalam diri puteri-puteri mereka serta menyuburkan
kecintaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan mengikat mereka dengan nilai nilai luhur ; jika tidak ada gerakan kewanitaan islami yang sanggup membendung arus
kebatilah yang telah menyebar di kalangan wanita ,yang dapat membangkitkan
kembali pada mereka ruh Islam, maka akan sangat sulit setelah itu kita menemukan
isteri muslimah yang mau berperan aktif dalam membangun rumah tangga muslim.
Bisakah gerakan kewanitaaan Islami bangkit di tengah-tengah masyarakat yang telah
menyimpang jauh, sementara suatu bagian dari masyarakat kita yang mempunyai
peranan vital tidak boleh keluar dari rumah guna menyebarkan kebajikan di kalangan
kaum wanita? Badan-badan masyarakat jahiliyah tidak pernah menumbuhkan bibit
wanita sholihat, karena itu masyarakat da'wah Islamiyah dalam melaksanakan tugas
ini. Jikat tidak, maka kita tidak hanya akan kehilangan masyarakat muslim, bahkan
kita juga akan kehilangan -bersamaan dengan itu - rumah tangga muslim, dan pribadi
muslim.
Seorang wanita muslimah tak mungkin dapat berkiprah membangun rumah tangga
muslim apabila ia tidak mempelajari Al-Islam, dan tidak mau berperan aktif bersama
para saudari muslimah lain. Setiap wanita muslimah wajib mengambil peran dalam
arus kewanitaan ini, turut menghidupkan dan menyemarakannya. Tidak berarti bahwa
wanita harus meninggalkan tugas rumah tangganya,tetapi ia harus dapat mengatur
antara dua kewajibanna. Insya Allah hal ini tidak sukar selama sang suami mau
membantunya.
Terlebih bagi para wanita lajang, para isteri yang belum dikarunia anak dan para ibu
yang anak-anaknya sudah besar serta lainnya, mereka lebih banyak memiliki waktu
dan tenaga untuk dicurahkan pada aktivitas - aktivitas amal-amal kewanitaan yang
bersifat islami. Ada saatnya kelak mereka akan mampu mengkondisikan arus Islami

Nisa'iy yang diharapkan. Puteri - puteri kaum muslimin dapat mengambil manfaat
dari arus Islami tersebut dan turut bermusahamah di dalamnya.
3.
Peranan Muslimah dalam Membangun Masyarakat Islami
Masyarakat bukan sekedar kumpulan dari individu, lebih dari itu merupakan
kumpulan interaksi dari kelembagaan. Peran lembaga-lembaga pada masyarakat
kontemporer bahkan nyaris mengalahkan peran individu. Berbagai lembaga yang ada
pada saat ini berperan penting dalam kehidupan orang banyak, dengan memberikan
pelayanan sesuai kebutuhan.
Sebagian lembaga-lembaga tersebut tidak mungkin dapat berjalan tanpa keberadaan
wanita, seperti badan pengajaran wanita, badan-badan kesehatan, badan-badan sosial
yang mengurusi kaum lansia (lanjut usia), anak-anak yatim,orang - orang cacat dan
lainnya. Mengapa badan-badan sosial seperti ini umumnya dijalankan oleh non
muslim, pria dan wanitanya secara bersama-sama, dan juga dilakukan oleh kaum
wanita muslimat yang kita ragukan keislamanya atau paling tidak oleh mereka yang
tidak beriltizam dengan islam?menga-pakah para wanita muslimat yang beriltizam
dengan islam tidak tertarik untuk mendirikan badan-badan yang telah berdiri, lalu
wanita yang beriltizam tersebut menggunakan peranya dalam melawan penggunaan
aktivitas kemanusiaan ini untuk tujuan - tujuan yang menyimpang? Mengapa lalu
mereka tidak memberikan saham dalam membangun masyarakat islami yang dicitacitakan lewat badan-badan ini ?
4.
Peranan Wanita Muslimah dalam Aktivitas Politik Islami
Pada prinsip asalnya , wanita adalah pengembala pada rumah suaminya, serta
melaksanakan pekerjaan sosial yang sesuai dengan wataknya takala kondisi rumah
tanganya memungkinkan. Adapun bidang politik, maka pada prinsip asalnya tidak
sesuai (tepat) dengan tabiat (watak ) wanita. Fakta yang menguatkan ini adalah bahwa
setiap negara asing telah membuka lapangan aktivitas di bidang politik bagi wanita
dengan seluas-luasnya tetapi hanya sedikit wanita yang menggeluti lapangan ini. Ini
membuktikan bahwa lapangan politik pada asalnya tidak tepat dengan watak dan
fitrah wanita. Lebih dari itu, lapangan politik akan membawa wanita kepada beberapa
pelanggaran syari'at, terutama akibat berbagai praktek yang berlaku dalam bidang
politik saat ini. Tetapi , prinsip asal tersebut tidak melarang adanya pengecualian
pada saat darurat.
Ini sama halnya dengan perang yang pada asalnya tergolong salah satu tugas kaum
pria dan tidak mungkin sesuai dengan watak wanita, tetapi islam membolehkan bagi
wanita untuk keluar guna berjihad dan langsung bertempur pada saat Islam berada
dalam kondisi terancam bahaya sebagaimana telah kita ketahui bersama. Atas dasar
ini kita mengatakan bahwa wanita muslimah dimungkinkan berperan serta dalam
bidang politik Islami karena kekecualian dan dalam situasi dan kondisi yang darurat
(sulit), seraya selalu memperhatikan adab-adab syari'at.
Para ahli fiqh mufakat bahwa menjaga agama tergolong dalam dharuriyat, karenanya
jika keikut sertaan wanita dalam bidang politik Islami bertujuan untuk menjaga
agama, untuk menerapkan syari'at Islam, maka musyawarah tersebut hukumnya
mubah,dan malahan dianjurkan dalam menghadapi masalah - masalah yang kompleks
dan urgen. Dalam konteks menjaga agama, pembolehan atau pewajiban keikutsertaan
wanita untuk berjihad lebih urgen ketimbang untuk berpolitik. Tetapi perlu tetap
diingat, semua itu adalah suatu pengecualian dari prinsip asal dan harus disertai adabadab syari'at.
Beberapa kaidah Syari'ah :

1.
Bekerjanya wanita di rumahnya merupakan tugas pertamanya dan musyawarah dalam
'amal islami di luar rumah juga merupakan kewajiban maka ia wajib memadukan antara dua
kewajiban tersebut.
2.
Setiap pria muslim hendaknya memberikan kesempatan kepada isterinya untuk turut
memberikan saham dalam aktivitas kewanitaan Islami.
Pemberian kesempatan
bermusahamah ini bukanlah merupakan shadaqah dari suami kepada isterinya melainkan
merupakan kewajiban syar'iy seorang suami. Hal ini sebagai qiyas atas perintah rasul kepada
kaum pria agar tidak melarang isteri-isteri mereka keluar ke masjid apabila para isteri
tersebut memintanya, sedangkan keluarnya wanita disini pun hanya untuk tugas Syar'iy, dan
sesuai dengan kaidah ushul fiqh :
"Suatu kewajiban yang tidak akan dapat terlaksana dengan sempurna kecuali dengan sesuatu
ha, maka sesuatu hal tersebut hukumnya juga wajib". Keikutsertaan wanita muslimat bersama
akhwat lain dalam aktivitas islami akan mendatangkan kebajikan pada dirinya, rumah
tangganya, serta pada suaminya. Ia akan memiliki kesempatan untuk mempelajari Al-Islam
atau mengajarkannya, mendidik wanita lain serta saling mengingatkan dalam ta'at kepada
Allah dan mencari ridho-Nya.
3.
Apabila sang suami tidak memperbolehkan isterinya keluar dari rumah untuk
berperan serta dalam amal islami,maka wajib atas wanita muslimah tersebut taat kepada sang
suami walaupun ia melihat bahwa keluarnya itu sangat penting atau wajib, karena taat kepada
suami harus didahulukan atas segala kewajiban yang lain tatkala terjadi "bentrokan".
Kemudian, jika sang suami mempunyai alasan yang benar dalam pelarangan, maka sang
suami tidak berdosa, tetapi apabila ia mencari-cari alasan dalam pelarangan tanpa sebab yang
jelas, atau sebab yang tidak cukup, maka sang suami berdosa dalam masalah itu, yang jelas
sang muslimah tersebut tidak boleh melanggarnya.
4.
Keikutsertaan wanita dalam 'amal organisasi Islami yang mengharuskan wanita
tersebut melakukan tugas - tugas tertentu merupakan masalah yang masyru'. Rasulullah SAW
sendiri telah mengambil bai'at dari kaum wanita, dan bai'at adalah derajat iltizam yang paling
tinggi. Jika seorang muslimah menemukan sekumpulan wanita muslimat dan ia bersepakat
untuk melaksanakan 'amal islami, maka itu adalah masalah yang masyru'. Tetapi, wanita
muslimah tidak berhak beriltizam dengan pekerjaan diluar rumah sekalipun 'amal tersebut
adalah 'amal Islami kecuali seizing suaminya karena hak suami harus didahulukan.
Seandainya sang suami tidak mau memberikan izin karena membuat alasan, maka ia berdosa,
sedangkan sang isteri harus tetap mentaatinya. Jika suami memberi izin kepada wanita
muslimah untuk bermusyawarakah tanpa harus beriltizam, maka musyawarahkah tersebut
wajib atas dirinya dalam batas-batas yang diizinkan suaminya.
Sepanjang da'wah dan jihad fisabilillah menjadi tujuan utama sepasang suami isteri maka
saling memahami akan tercapai diantara keduanya da memadukan antara tugas-tugas yang
berhimpitan akan menjadi mudah. Tugas pertama seorang isteri bersifat tetap yaitu taat
kepada suami, sementara tugas suami pertama juga tidak berubah, yaitu bersikap ma'ruf dan
kasih saying terhadap isterinya sehingga mawadah akan terpelihara dan rumah tangga akan
bahagia. Jika semua itu tercapai dengan cara yang membuat Allah ridho maka 'amal islami
tersebut akan menjadi penuh berkah dan kedua suami isteri tersebut akan mendapatkan
pahala dari Allah, Insya Allah. Amin
Semoga Shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada panutan kita semua Muhammad Saw,
kepada keluarga dan sahabatnya. Amin. (manajemenqolbu.Com)***
Sumber : Peranan Muslimah dalam Aktivitas Kontemporer, oleh Syakh Faishal Maulawi

Anda mungkin juga menyukai