Anda di halaman 1dari 15

RINGKASAN

Krisis energi adalah masalah yang sangat fundamental di Indonesia,


khususnya masalah energi listrik. Energi listrik merupakan energi yang sangat
diperlukan bagi manusia modern. Bahkan sebagian besar aktivitas manusia
ditunjang dengan sebuah peralatan dan teknologi yang menggunakan
listrik sebagai sumber energi. Cadangan energi fosil Indonesia kian hari makin
menipis, seperti minyak, cadangannya hanya 0,5 % dari cadangan dunia, gas
hanya sekitar 1,4 % dari cadangan dunia dan batu bara 3,1 %. Sumber energi
tersebut diperkirakan tak mampu memenuhi kebutuhan energi yang terus
meningkat. Oleh karena itu diperlukan sebuah inovasi baru dan terbaharukan
untuk memenuhi kebutuhan sumber listrik tersebut untuk kehidupan di masa
mendatang.
Ada beberapa trobosan yang telah dicoba untuk mengatasi masalah krisis
energi misalnya; Penggunaan energy geothermal (panas bumi), Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan sel surya. Namun semua itu kurang
tepat untuk diaplikasikan di Indonesia karena membutuhkan biaya yang besar.
Mikroalga sebagai salah satu komoditi hasil perairan dewasa ini telah menjadi
alternatif untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar untuk
dimanfaatkan. Seiring perkembangan bioteknologi mikroalga, sejumlah penelitian
mulai ditujukan untuk menghasilkan produk bermanfaat yang bernilai tinggi
diantaranya sebagai sumber bahan kimia dan sumber pembangkit listik.
Oleh karena itu kami menawarkan pemanfaataan Alga merah (Eucheuma
cottoni) untuk diambil ekstraknya dan diolah menjadi berupa karagenan dan
minyak. Karagenan difermentasi untuk menghasilkan biobioetanol, sedangkan
ekstraksi berupa minyak berfungsi sebagai biodesel. Dari hasil inilah yang akan
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembangkit listrik ramah lingkungan.
Pemanfaatan Alga merah (Eucheuma cottoni) sebagai solusi krisis energi listrik
sangat tepat diterapkan di Indonesia karena Indonesia merupakan negara maritim
yang memiliki banyak tumbuh Alga merah (Eucheuma cottoni) untuk
dibudidayakan dan dimanfaatkan.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Krisis energi adalah masalah yang sangat fundamental di Indonesia,
khususnya masalah energi listrik. Energi listrik merupakan energi yang sangat
diperlukan bagi manusia modern. Bahkan sebagian besar aktivitas manusia
ditunjang dengan sebuah peralatan dan teknologi yang menggunakan
listrik sebagai sumber energi. Hal ini menjadikan bahwa listrik menjadi sebuah
bagian yang tidak terpisahkan dalam aktivitas manusia. Sejak beberapa tahun
terakhir ini, para ahli mulai merubah pendapatnya tentang pemanfaatan sumber
energi yang ada di Indonesia. Timbulnya kesadaran akan sumber bahan bakar fosil
yang selama ini merupakan sumber energi andalan akan terancam kelangkaan
dalam beberapa tahun kedepan.
Cadangan energi fosil Indonesia kian hari makin menipis, seperti minyak,
cadangannya hanya 0,5 % dari cadangan dunia, gas hanya sekitar 1,4 % dari
cadangan dunia dan batu bara 3,1 %. Sumber energi tersebut diperkirakan tak
mampu memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat sehingga perlu adanya
pasokan energi listrik yang stabil untuk memenuhi kebutuhan. (Liputan 6).
Keanekaragaman sumber daya di perairan Indonesia merupakan kekayaan
alam yang kemungkinan besar masih sangat sedikit dimanfaatkan oleh manusia.
Wilayah perairan Indonesia mencapai sekitar 5,8 juta km2 serta mempunyai garis
pantai yang panjangnya sekitar 81.000 km, sehingga pemanfaatan sumberdaya
laut selayaknya dilakukan secara optimal. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia
memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Tingginya keanekaragaman
hayati di laut dapat merefleksikan potensi ekonomi perairan pesisir dan lautan
tersebut, dalam artian bahwa semakin tinggi keanekaragaman hayati yang
terkandung, semakin besar potensi yang dapat dikembangkan (Dahuri, 2003).
Mikroalga sebagai salah satu komoditi hasil perairan dewasa ini telah menjadi
alternatif untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar untuk
dimanfaatkan. Seiring perkembangan bioteknologi mikroalga, sejumlah penelitian
mulai ditujukan untuk menghasilkan produk bermanfaat yang bernilai tinggi
diantaranya sebagai sumber bahan kimia dan sumber pembangkit listik.

Rumusan Masalah
1. Apa kandungan alga merah (Eucheuma cottoni) sehingga memiliki potensi
sebagai pembangkit listrik?
2. Bagaimana cara pemanfaatan Alga merah (Eucheuma cottoni) sebagai sumber
pembangkit listrik?
Tujuan
1. Untuk mengetahui kandungan Alga merah (Eucheuma cottoni) sehingga
memiliki potensi pembangkit listrik
2. Untuk mengetahui cara pemanfaatan Alga merah (Eucheuma cottoni) sebagai
sumber pembangkit listrik.
Manfaat
1. Manfaat bagi penulis sendiri adalah untuk menambahkan landasan pengetahuan
tentang pemanfaatan Alga merah (Eucheuma cottoni) sebagai tenaga
pembangkit listrik
2. Manfaat bagi pembaca adalah untuk menambah pengetahuan dan kiranya bisa
dijadikan bahan referensi untuk melakukan kajian.
3. Manfaat bagi lingkungan akademis adalah untuk dijadikan sebagai landasan
dalam pembuatan karya ilmiah atau penulisan makalah dengan tema yang
sama, yaitu yang mencakup pemanfaatan Alga merah (Eucheuma cottoni)
sebagai tenaga pembangkit listrik.
4. Manfaat bagi masyarakat adalah sebagai sumber alternatif pembangkit listrik.

GAGASAN
Kondisi Kekinian tentang Permasalahan Kebutuhan Energi Listrik
Selama ini pembahasan energi hanya fokus pada jumlah pasokan energi
listrik. Akibatnya, perhatian masyarakat dan negara hanya berkutat pada
peningkatan jumlah produksi pertambangan. Faktor tingginya konsumsi bahan
bakar tidak dipertimbangkan sebagai fokus penting memperkuat cadangan energi.
Hendro Sangkoyo, pendiri School of Democratic of Economics, mengatakan
konsumsi energi Indonesia memang termasuk kecil di kawasan Asia, Australia,
dan Selandia Baru. Namun, jika kebutuhan energi dibandingkan jumlah industri
dan perumahan rakyat, Indonesia termasuk boros. Kita memang kecil. Tapi kalau
dilihat dengan kaca pembesar, sebenarnya kita boros.Hendro memberikan
contoh, Pondok Indah Mall 2 di Jakarta membutuhkan daya listrik 13 juta watt per
detik. Jumlah itu setara dengan konsumsi listrik 1.000 rumah dengan daya 1.300
watt per rumah. Total penggunaan listrik Pondok Indah Mall 2 setara dengan
konsumsi listrik Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.
Berdasarkan kesepakatan Konsorsium Pembangunan Mal ASEAN, di
Jakarta akan berdiri 214 mal menjelang tahun 2014. Akibatnya, kebutuhan listrik
untuk Jakarta setara dengan listrik yang mengaliri separo Sumatera.
(http://www.vhrmedia.com/2010/).

Konsumsi Listrik di Indonesia serta Estimasi Kekurangan Pasokan Listrik

Tabel 1. Konsumsi Listrik di Indonesia serta Estimasi Kekurangan Pasokan


Listrik (GWh).
(Sumber : Handbook of Energy, 2011)
8

Berdasarkan data rasio elektrifikasi yang dikeluarkan oleh Kementrian


Energi dan Sumber Daya Mineral, dapat diketahui bahwa hampir setengah dari
seluruh rumah tangga di Indonesia yang belum dialiri listrik. Ini tentu saja
menimbulkan kesenjangan ekonomi yang besar. Jakarta contohnya, menjadi
sebuah daerah dengan rasio elektrifikasi 100% yang kemungkinan besar
disebabkan karena status Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia, pusat bisnis
serta ekonomi negara. Statusnya membuat Jakarta harus membangun transmisi
baru untuk melancarkan kegiatan ekonomi Indonesia yang umumnya dilakukan di
Jakarta. Hal ini juga menimbulkan sebuah hipotesis, bahwa kegiatan
perekonomian akan timbul pada saat fasilitas energi terjamin, seperti listrik dan
energi untuk memasak (Data IESR, 2009).
Peluang Pengembangan Energi Listrik di Indonesia
a. Menipisnya cadangan minyak bumi
Setelah terjadinya krisis energi yang mencapai puncak pada 1970,
dunia menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak bumi, sebagai
salah satu tulang punggung produksi energi terus berkurang. Bahkan
beberapa ahli berpendapat, bahwa dengan pola konsumsi seperti sekarang,
maka dalam waktu 50 tahun cadangan minyak bumi dunia akan habis.
Keadaan ini bisa diamati dengan kecenderungan meningkatnya harga
minyak di pasar dalam negeri, serta ketidakstabilan harga tersebut di pasar
internasional, karena beberapa negara maju sebagai konsumen minyak
terbesar mulai melepaskan diri dari ketergantungannya kepada minyak
bumi sekaligus berusaha mengendalikan harga, agar tidak meningkat.
Sebagai contoh pada tahun 1970 negara Jerman mengkonsumsi minyak
bumi sekitar 75 persen dari total konsumsi energinya, namun pada tahun
1990 konsumsi tersebut menurun hingga tinggal 50 persen (Pinske, 1993).
Jika dikaitkan dengan penggunaan minyak bumi sebagai bahan
bakar sistem pembangkit listrik, maka kecenderungan tersebut berarti akan
meningkatkan pula biaya operasional pembangkitan yang berpengaruh
langsung terhadap biaya satuan produksi energi listriknya. Di lain pihak
biaya satuan produksi energi listrik dari sistem pembangkit listrik yang
memanfaatkan sumber daya energi terbarukan menunjukkan tendensi
menurun, sehingga banyak ilmuwan percaya, bahwa pada suatu saat biaya
satuan produksi tersebut akan lebih rendah dari biaya satuan produksi
dengan minyak bumi atau energi fosil lainnya.
b. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, pengetahuan dan kesadaran
masyarakat akan pelestarian lingkungan hidup menunjukkan gejala yang
positif. Masyarakat semakin peduli dengan upaya penanggulangan segala
bentuk polusi, mulai dari sekedar menjaga kebersihan lingkungan sampai
9

dengan mengontrol limbah buangan dan sisa produksi. Banyak


pembangunan proyek fisik yang memperhatikan faktor pelestarian
lingkungan, sehingga perusakan ataupun pengotoran yang merugikan
lingkungan sekitar dapat dihindari, minimal dikurangi. Setiap bentuk
produksi energi dan pemakaian energi secara prinsip dapat menimbulkan
bahaya bagi manusia, karena pencemaran udara, air dan tanah, akibat
pembakaran energi fosil, seperti batubara, minyak dan gas di industri,
pusat pembangkit maupun kendaraan bermotor. Limbah produksi energi
listrik konvensional, dari sumber daya energi fosil, sebagian besar
memberi kontribusi terhadap polusi udara, khususnya berpengaruh
terhadap kondisi iklim.
Pembakaran energi fosil akan membebaskan Karbondioksida (CO2)
dan beberapa gas yang merugikan lainnya ke atmosfir. Pembebasan ini
merubah komposisi kimia lapisan udara dan mengakibatkan terbentuknya
efek rumah kaca (treibhouse effect), yang memberi kontribusi pada
peningkatan suhu bumi. Guna mengurangi pengaruh negatif tersebut,
sudah sepantasnya dikembangkan pemanfaatan sumber daya energi
terbarukan dalam produksi energi listrik. Sebagai ilustrasi, setiap kWh
energi listrik yang diproduksi dari energi terbarukan dapat menghindarkan
pembebasan 974 gr CO2, 962 mg SO2 dan 700 mg NOx ke udara, dari
pada Jlka diproduksi dari energi fosil. Bisa dihitung, jika pada tahun 1990
yang lalu 85 persen dari produksi energi listrik di Indonesia (sekitar
43.200 GWh) dihasilkan oleh energi fosil, berarti terjadi pembebasan 42
juta ton CO2, 41,5 ribu ton SO2 serta 30 ribu ton NOx. Kita tahu bahwa
CO2 merupakan salah satu penyebab terjadinya efek rumah kaca, SO 2
mengganggu proses fotosintesis pada pohon, karena merusak zat hijau
daunnya, serta menjadi penyebab terjadinya hujan asam bersama-sama
dengan NOx. Sedangkan NOx sendiri secara umum dapat menumbuhkan
sel-sel beracun dalam tubuh mahluk hidup, serta meningkatkan derajat
keasaman tanah dan air jika bereaksi dengan SO2.
Solusi yang Pernah Ditawarkan
a. Penggunaan geothermal energy (panas bumi)
Sebagai salah satu sumber energi alternatif dan terbarukan, energi
geothermal memiliki kelebihan dan kekurangan. Layaknya energi lainnya,
energi geothermal (panas bumi) memiliki keunggulan dan kelemahan,
karena tidak ada sumber energi benar-benar yang sempurna.
Energi panas bumi atau energi geothermal adalah salah satu sumber
energi terbarukan yang dipercaya ketersediannya melimpah dan sangat
ramah lingkungan. Kandungan panas bumi yang dipunyai Indonesia,
diyakini mencapai 40 persen dari total potensi panas bumi dunia. Jika
potensi ini di manfaatkan tidak terbayang berapa energi yang dapat di

10

panen Indonesia. Meskipun melimpah dan ramah lingkungan bukan


berarti geothermal energy luput dari kekurangan. Energi geothermal
sendiri merupakan energi panas yang dihasilkan dan disimpan di dalam
bumi. Energi dihasilkan dari aktivitas tektonik yang terjadi di dalam bumi.
Di samping itu dapat pula berasal dari panas matahari yang diserap oleh
permukaan bumi.

Gambar 1. Pembangkit Listrik panas Bumi Dieng


Sumber : aangeo.wordpress.com
Kekurangan Energi Geothermal (Panas Bumi)
Energi geothermal pun memiliki kekurangan. Di antara kekurangan
energi geothermal adalah biaya modal yang tinggi, pembangunan
pembangkit listrik geothermal memerlukan biaya yang besar terutama
pada eksploitasi dan pengeboran, pembangkit listrik tenaga panas bumi
hanya dapat dibangun di sekitar lempeng tektonik di mana temperatur
tinggi dari sumber panas bumi tersedia di dekat permukaan.
b. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Indonesia memiliki tambang yang melimpah dan yang belum
dimanfaatkan secara maksimal yaitu tambang uranium. Uranium ini
merupakan bahan bakar nuklir. Ahli nuklir di Indonesia jumlahnya sudah
banyak, tersebar di berbagai instansi seperti BATAN (Badan Tenaga Nuklir
Nasional) yang merupakan cikal bakal pencetus berdirinya Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

11

Pada dasarnya, sumber panas yang dipakai pada PLTN merupakan


hasil dari reaksi pembelahan inti atom (fisi) secara berantai dan terkendali
dan terkendali, terkungkung di dalam kelongsong yang kedap udara dan
air, walaupun pada temperature operasi yang cukup tinggi.
Tenaga nuklir fisi dapat dibebaskan dari reaksi neutron dengan
uranium-235 yang disebut sebagai bahan bakar nuklir. Satu kilogram U235 akan menghasilkan energi sebesar 8,212x1013. Sehingga, energi fisi
dari 1 kg U-235 akan setara dengan pembakaran batubara sebanyak
2,941x106 kg.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dapat menambahkan atau
mengantisipasi kekurangan pasokan energi listrik yang ada, mengingat
semakin kompleksnya kebutuhan listrik dimasa modern ini. Selain itu,
sifat-sifat energi Nuklir merupakan Energi alam yang paling fundamental,
konsentrasi energi sangat tinggi, 1 gram U-235 = 3.000.000 gram batu bara
(fisika/teori), volume limbah kecil, mudah dikumpulkan, diproses dan
disimpan (diisolasi dari lingkungan dan manusia), pembelahan melalui
reaksi inti dengan neutron tidak menimbulkan polutan organik dan
anorganik (sebaliknya batubara dibakar dengan oksigen, menimbulkan
polutan organic dan nonorganic yang berbahaya bagi kesehatan) (Sumber :
Karangnews.com ).
c. Sel Surya
Riset dan pengembangan teknologi sel surya sebagai sumber energi
listrik terbarukan oleh LIPI gagal menuju komersialisasi. Mengantisipasi
krisis energi karena harga minyak terus melambung, LIPI beralih fokus
pada riset dan pengembangan sel bahan bakar dengan gas
hidrogen.Teknologi sel surya tidak bisa secara penuh menggantikan bahan
bakar minyak. Masih membutuhkan teknologi baterai yang lebih efisien
untuk menyimpan energinya. LIPI sejak tahun 1980 menetapkan riset dan
pengembangan sel surya untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan
energi (listrik) dari sumber energi terbarukan. Sel surya butuh sumber
energi sinar matahari sebagai sumber terbarukan itu. (Sumber: Kompas,
2011)

12

Solusi yang Ditawarkan


Pemanfaatan salah satu spesies alga merah (Rhodophyceae) yaitu
Eucheuma cottonii sebagai bahan baku biobiobioetanol yang berfungsi sebagai
pengganti batu bara pada sistem pembangkit listrik tenaga uap. E. cottoni dipilih
sebagai bahan baku karena banyak dibudidayakan di laut Indonesia misal Ambon,
Bali dan Sulawesi Tenggara, serta banyak wilayah perairan pantai yang berpotensi
sebagai tempat budidaya seperi pantai barat Sumatera, Bangka Belitung, perairan
pantai sebelah barat dan selatan Jawa, bagian timur Madura, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur dan
Maluku(Sumber : http://www.fao.org). Pada dasanya seluruh perairan pantai
Indonesia dapat digunakan sebagai budidaya E. cottoni atau alga jenis lain karena
perairan laut Indonesia memperoleh sinar matahari dengan intensitas tinggi,
namun ada beberapa faktor lingkungan yang harus dipenuhi untuk melakukan
budidaya yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Substrat harus stabil, terlindung dari ombak yang kuat dan umumnya
di daerah terumbu karang
Tempat dan lingkungan perairan tidak mengalami pencemaran
Kedalaman air pada waktu surut terendah 1- 30 cm
Perairan dilalui arus tetap dari laut lepas sepanjang tahun
Kecepatan arus antara 20 - 40 m/menit
Jauh dari muara sungai.
Perairan tidak mengandung lumpur dan airnya jernih. h. Suhu air
berkisar 27 28 oC dan salinitas berkisar 30 -37 ppt (Kadi,1998).

Eucheuma cottonii termasuk dalam salah satu jenis alga merah


(Rhodophyceae) dan memiliki nama lain Kappaphycus alvarezii karena
kandungan karaginan yang dimilikinya (Doty, 1986). Eucheuma cottoni memliki
susunan taksonomi sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Ordo
: Gigartinales
Famili
: Solieracea
Genus
: Eucheuma
Species : Eucheuma cottoni
Eucheuma cottoni memiliki ciri fisik thallus berbentuk silindris,
permukaan licin, dan cartilogegeus. Warna fisik tidak selalu tetap, kadang
berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atai merah. Perubahan warna terjadi karena
faktor ligkungan sebagai proses adaptasi kromarik yaitu penyesuaian proporsi
pigmen dengan berbagai intensitas pencahayaan (Aslan, 1998).
Menurut Anggadireja et al (1986) Eucheuma cottoni mempunyai
komposisi; air 12,90%, protein 5,12%, lemak 0,13%, karbohidrat 13,38%, serat
13

kasar 1,39%, Abu 14,21%, mineral Ca 52,82%, mineral Fe 0,11%, riboflamin 2,26
%, vitamin C 4%, dan karaginan 65,75%. Zat penyusun Eucheuma cottoni yang
akan dimanfaatkan sebagai biobiobioetanol adalah karaginan.
Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester kalium,
natrium, magnesium dan kalium sulfat dengan galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa
kopolimer. Karaginan adalah suatu bentuk polisakarida linear dengan berat
molekul di atas 100 kDa (Winarno 1996 ; WHO 1999). Karaginan tersusun dari
perulangan unit-unit galaktosa dan 3,6-anhidro galaktosa (3,6-AG). Keduanya
baik yang berikatan dengan sulfat atau tidak, dihubungkan dengan ikatan
glikosidik 1,3 dan -1,4 secara bergantian (FMC Corp 1977). Karaginan ini lah
yang akan difermentasi untuk menghasilkan bioetanol.

14

Keraginan didapat dengan cara pelarutan menggunakan pelarutan akuades,


dengan proses sebagai berikut; menurut Wiratni (2010) Alga merah Eucheuma
cottoni kering (dikeringkan secara manual ataupun dioven) diambil denga berat
tertentu kemudian direndam dalam
akuades selama 15 menit. Setelah itu
disaring dengan kain kemudian alga
merah di ekstraksi. Ekstraksi dilakukan
dalam erlenmeyer yang dipanaskan
dalam shacker water bath (Gambar 3).
Mula - mula pelarut
dipanaskan
terlebih dahulu, setelah mencapai
suhu 90 C alga merah dimasukkan
dan waktu ekstraksi mulai dihitung.
Gambar 2. Eucheuma cottoni
kering
Setelah waktu
tertentu,
ekstraksi
dihentikan
dengan
cara
filtrat
Sumber : www.dyitrade.com
dipisahkan dari ampas rumput laut.
Filtrat ini ditampung ke dalam gelas
beker yang berisi bioetanol teknis 90%
dengan 3 kali volum filtrat, sambil
diaduk sehingga terbentuk serat-serat
hidrokoloid (serat karagenan). Setelah
didiamkan sekitar 30 menit, serat ini
disaring dan dicuci dengan akuades
sampai air cucian ber-pH netral dan
Gambar 3. Shacker water
menghasilkan karagenan
basah.
Kereagenan basah itu yang akan
Sumber : www.google.com
difermentasi didalam sebuah tangki
dalam keadaan anaerob dan kedap cahaya, kemudian dilakukan destilasi. Dalam
proses destilasi, pada suhu 78 derajat celcius (setara dengan titik didih alkohol)
bioetanol akan menguap lebih dulu ketimbang air yang bertitik didih 95 derajat
celcius. Uap bioetanol didalam distillator akan dialirkan kebagian kondensor
sehingga terkondensasi menjadi cairan bioetanol.
Destilasi hasil fermentasi keraginan Eucheuma cottoni yang berupa
biobioetanol inilah yang akan digunakan sebagai bahan baku pengganti batu bara
pada sistem pembangkit listrik tenaga uap.
Akan diganti dengan biobioetanol
hasil fermentasi

15
Gambar 4. Ilustrasi sistem pembangkit listrik tenaga uap

Pihak-pihak yang dapat mengimplementasikan gagasan


Untuk merealisasikan biobioetanol dari Eucheuma cottoni sebagai bahan
baku pembangkit listrik teganaga uap diperlukan kerjasama dan partisipasi aktif
dengan berbagai pihak, seperti berikut ini:
1) Departemen Riset dan Teknologi di Indonesia sebagai pihak yang
berwenang mengeluarkan kebijakan dalam standart operasional konsep
inovasit ini sebagai teknologi yang terus berkembang;
2) PEMKOT sebagai sarana sarana perijinan gagasan ini;
3) PT. PLN merupakan pihak yang terkait dalam bidang pendistribusian
tenaga listrik;
4) Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dapat
mendukung dan memfasilitasi konsep ini yang berhubungan dengan
jaringan;
5) Badan Meteorologi dan Geofisika sebagai pihak yang membantu dalam
pencarian tempat dengan prakiraan cuaca;
6) Pemerintah daerah kota sebagai pendukung dengan adanya suatu ide
ilmiah ini.
Langkah-langkah Strategis Implementasi Gagasan
Langkah-langkah strategis untuk mewujudkan gagasan bioetanol dari
Eucheuma cottoni sebagai pembangkit listrik ini adalah:
1) melakukan pendekatan secara gradual (bertahap) kepada tokoh
masyarakat sebagai awal pelaksanaan kerjasama dengan masyarakat;
2) melakukan kerja sama dengan PEMKOT untuk merealisasikan gagasan
ini;
3) melakukan kerjasama dengan PT. PLN;
4) melakukan kerjasama dengan Badan Meteorologi dan Geofisika di tiap
daerah;
5) penanaman kepercayaan kepada masyarakat (trust) bakal menjadi lebih
baik jika dilakukan konsep teknologi ini;
6) melakukan mekanisme koordinasi dengan membagi tugas secara jelas,
termasuk pembagian keuntungan yang tidak merugikan salah satu pihak;
7) melakukan mekanisme evaluasi secara periodik dan profesional.
KESIMPULAN
Inti Gagasan
Hal pokok yang kami ambil dari konsep gagasan kami ini adalah
membuat suatu sistem pembangkit listrik yang ramah lingkungan menggunakan
Eucheuma cottoni sebagai sumber bioetanol dan biodiesel untuk bahan pembuatan
pembangkit listrik berbasis lingkungan. Dimana konsep tersebut merupakan suatu

16

alternatif sumber energi listrik yang semakin berkurang dengan konsumsi yang
semakin bertambah. Dengan didirikannya pembangkit listrik berbasis lingkungan
ini diharapkan agar kedepan masyarakat bisa merasakan energi listrik yang
terbarukan sebagai alternatif pembantu pasokan listrik daerah perkotaan yang
membutuhkan energi listrik yang banyak dan di daerah tepencil yang kekurangan
sumber energi listrik.
Teknik Implementasi Gagasan
Supaya gagasan bioetanol Eucheuma cottoni sebagai bahan baku
pengganti batu bara pada sistem pembangkit listrik tenaga uap ini dapat di
implementasikan dengan baik, maka haruslah didukung hal-hal berikut ini:
1) adanya riset berkelanjutan dalam pengembangan pemanfaatan energi yang
dihasilkan oleh makhluk hidup;
2) dukungan pemerintah pusat dalam penciptaan alternatif penghasil energi
listrik yang terbarukan dan ramah lingkungan;
3) dukungan dari Pemkot dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH)
dan juga penciptaan alternative energy listrik;
4) komitmen antara pemerintah dan masyarakat mengenai keberadaan
pembangkit ini agar Indonesia dapat menjadi negara dengan pengelolaan
energi mandiri;
5) diperlukan riset mengenai cara pendistribusiannya ke wilayah-wilayah
perkotaan khususnya dan untuk daerah yang belum terpasoki listrik pada
umumnya.

17

Prediksi Keberhasilan Gagasan


Dengan direalisasikannya gagasan Pemanfaatan Alga Merah (Eucheuma
cottoni) sebagai Tenaga Alternatif Pembangkit Listrik ini, sistem pembangkit
listrik yang ramah lingkungan akan terealisasi.

18

DAFTAR PUSTAKA
Anggadireja J, Istini S, Zatnika A, Suhaimi. 1986. Manfaat dan
Pengolahan Alga merah. Jakarta: Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi. hlm 128 - 135.

Aslan M. 1998. Budidaya Alga merah. Yogyakarta: Kanisius. 89 hlm.


FMC Corp. 1977. Carrageenan. Marine Colloid Monograph Number One.
Marine Colloids Division FMC Corporation. Springfield, New Jersey.
USA. p 23-29.
http://matoa.org/perkebunan-alga-sebagai-sumber-energi-terbarukan-danpereduksi-co2/
http://www.indoenergi.com/2012/04/mendapatkan-listrik-dari-sel-alga.html
http://ilmulistrik.com/potensi-ganggang-mikro-sebagai-sumber-energiterbarukan.html
http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2013/10/20/biobiobioetanol-rumput-lauteucheuma-cottonii-sebagai-energi-alternatif-bahan-bakar-yangterbarukan-dan-ramah-lingkungan-603440.html
Kadi

A, Atmadja WS. 1988. Alga merah Jenis Algae:Reproduksi,


Produksi,Budidaya dan Pasca Panen.Proyek Studi Potensi Sumberdaya
Alam Indonesia. Jakarta: Pusat penelitian dan Pengembangan Oseanologi.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 101 hlm.
WHO. 1999. Safety Evaluation of Certain Food Additives. International
Programme on Chemical Safety. Geneva. 260 p.
Winarno FG. 1996. Teknologi Pengolahan Alga merah. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. 112 hlm.

19

Anda mungkin juga menyukai