Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

I.

Latar Belakang
kajadian

cedera

kepala

di

Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari


jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari
psien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera
kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan 10 %
termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan
para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan
pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan
mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok
tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.
Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah
identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan
yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3%
-5% yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya
dirawat secara konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik
bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.
Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio
cerebri, Contusion cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii fracture.

Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan


sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio
cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah
pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,
anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan
secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan
pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI CEDERA KEPALA


Cedera kepala adalah trauma mekanik
pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian
dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain
Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan /
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran,
sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik 1.
2. ANATOMI KEPALA
a. Kulit Kepala
Kulit kepala
terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin atau kulit
Connective tissue atau jaringan penyambung
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar.
Perikranium

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika


dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya
perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah
sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau

penderita

dewasa

yang

cukup

lama

terperangkap

sehingga

membutuhkan waktu

Lama untuk mengeluarkannya2.


Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang
berhbungan langsung dengan tengkorak

b. Tulang Tengkorak

Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak

terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh
otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus
frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian
bawah batang otak dan serebelum.2

c. Meninges

Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3

lapisan yaitu :
1) Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan

endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras,


terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari
kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.1

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada

permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus
dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat1

Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan

dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus

pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura
mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater
oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.2

3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater

adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri
dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.1

d. Otak

Otak merupakan suatu

struktur gelatin dengan berat


pada orang dewasa sekitar 14
kg. Otak terdiri dari beberapa
bagian yaitu proensefalon (otak
depan) terdiri dari serebrum dan
diensefalon, mesensefalon (otak
tengah)

dan

rhombensefalon

(otak belakang) terdiri dari pons,


medula

oblongata

dan

serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal

berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara.
Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab

dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada
medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung
jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.2
e. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.

Angka rata-rata pada

kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar
500 ml CSS per hari.3
f. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang

supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior).1
g. Vaskularisasi Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.

Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.1
3. ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan
intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang
akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang

tinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak.


TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg
dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala,
semakin buruk prognosisnya.2
b. Hukum Monroe-Kellie

Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu

konstan

karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume
intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponenkomponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan
serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).

Vic = V br+ V csf + V bl2

c. Tekanan Perfusi otak

Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata


(mean arterial presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO
kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi
penderita.2
d. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO
menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEGakan
menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak
akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap.2

4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Pada cedera kepala, kerusakan

otak dapat terjadi dalam dua tahap


yaitu

cedera

primer

dan

cedera

sekunder. Cedera primer merupakan


cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh
proses akselarasi deselarasi gerakan
kepala

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan

contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan
dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasideselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (contrecoup)1

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai

proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.1
5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal

3 deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan


morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena
pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan
oleh peluru atau tusukan4
b. Beratnya cedera

Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma

Scale adalah sebagai berikut :

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala

berat.

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

Glasgow
Glasgow Coma Scale
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah

nilai ai
4
3
2
1

5
4
3
2
1

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5


Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
1

c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium

dan lesi intrakranial.


1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut
antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular
(battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus
fasialis.4

Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya


hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan dengan
segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan
yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang
tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura
ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak
mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20
kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi
risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan
20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura

tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk


pengamatan.4

2. Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau

difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan
perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis.4,5

a. Hematoma Epidural

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang

potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau
menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau
temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan
biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena
pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus
vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.

Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.

Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau
telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki
kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala
yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering tampak :

Penurunan kesadaran, bisa sampai koma


Bingung
Penglihatan kabur
Susah bicara
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai


hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran
pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan
masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi
tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada
tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil
tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda
kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,

mencerminkan

adanya

disfungsi

rostrocaudal

batang

otak.

Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar


otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda
lainnya menjadi kabur

Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari

keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat
menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya
baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama.
Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status
neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural
dapat menunjukan adanya lucid interval yang klasik dimana penderita yang semula
mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan
bedah memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah
saraf

Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak

selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula


interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ).
Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat
diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas

b. Hematom Subdural
Hematoma

subdural

(SDH)

adalah perdarahan yang terjadi di


antara duramater dan arakhnoid.
SDH

lebih

sering

terjadi

dibandingkan EDH, ditemukan


sekitar 30% penderita dengan
cedera kepala berat. Terjadi paling
sering

akibat

robeknya

vena

bridging antara korteks serebral

dan sinus draining.

Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau


substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak.2

Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya
sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas
umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera
dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
1.Hematoma Subdural Akut

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai

48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan
pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan
dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48

jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural
akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan
subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala
yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran

mulai

menurun

perlahan-lahan

dalam

beberapa

jam.Dengan

meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita


mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan

intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi


unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang
otak.
3. Hematoma Subdural Kronik

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan

bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah


satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat
dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah
dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang
mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan
lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering

terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak
dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya
genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala
bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma
subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan
d. Kontusi dan hematoma intraserebral.

Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi

otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar
kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap

tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan
hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,
terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari.

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan

(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan
otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam
jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi
lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan
tergantung pada lokasi dan luas perdarahan, gejala yang muncul :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Sakit kepala mendadak yang eksplosif


Fotofobia
Mual dan muntah
Hilang kesadaran
Kejang-kejang
Gangguan respiratori
Shock.5

e. Cedera difus

Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera


akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering
terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan
cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi
disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat.
Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak
diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah
keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini
pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang
lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia
retrograde dan amnesia antegrad.2
Komosio cerebri klasik adalah

cedera

yang

mengakibatkan

menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai


dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul
defisist neurologis untuk beberapa waktu. Edfisit neurologis itu
misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi
serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca

komosio yang dapat cukup berat.


Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan
diman pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung
lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas aatau serangan
iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan
tetap koma selama beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan
gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam
keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg
menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis
dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan

cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah, dan


memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan.2

Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan

cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang
meski bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur
hidup perlu menjadi pertimbangan.

CEDERA MAXILLOFACIAL
Faktur maxilaris
Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan
dicirikan oleh:
-

Mobilitas palatum

Mobilitas hidung yang menyertai palatum

Epistaksis

Mobilitas 1/3 wajah bag tengah


Kalsifikasi menurut le fort
Lefort 1

Lefort II

Fraktur
nelintang
rendah pada maxila
yang hanya melibatkan
palatum, dicirikan oleh
pergeseran
arcus
dentalis maxila dan
palatum, maloklusi gigi
biasanya bisa terjadi.6

Fraktur ini dicirikan


mabilitas palatum dan
hidung end-block, juga
epistaksis yang jelas.
Biasanya
maloklusi
gigi dan pergeseran
pllatum
kebelakang.
Fraktur end-block pada
palatum dan sepertiga
tngah wajah tremasuk
hidung.6

Lefort III

Merupakan cedera paling berat, dimana perlekatan seluruh rangka


wajah terputus.seluruh komplek zigomatikus menjadi mobile dan
tergeser.6

Fraktur mandibula
Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati

rasa bibir bawah akibat kerusakan pada nervus mandibularis. Fraktur


pada umumnya akan disertai dislokasi fragmen tulang sesuai dengan
tonus otot yang berinsersi di tempat tersebut. Pada fraktur daerah
dagu, otot akan menarik fragmen tulang kearah dorsokaudal,
sedangkan pada fraktur bagian lateral tulang akan tertarik kearah
cranial
Fraktur gigi

Merupakan fraktur tersendiri atau bersama- sama dengan


fraktur maksila maupun mandibula, dimana gigi yang hancur perlu
dicabut, sementara yang patah dibiarkan

Fraktur os nasal

Biasanya disebabkan oleh trauma langsung, dimana pada


pemeriksaan didapatkan pembengkakan, epistaksis nyeri tekan dan
teraba garis fraktur. Foto radiologi diperlukan dalam membantu
diagnosis yakni, proyeksi foto PA dan lateral, sedangkan tindakan
yang perlu dilakukan adalah reposisi atau septoplasty

Fraktur orbita

Biasanya didapatkan gejala klinis berupa hematom monokel


yang dapat disertai diplopia, hemomaksila dan mati rasa pipi karena
cedera nervus infraorbitalis atau mati rasa dahi karena kerusakan
nervus supraorbitalis. Fraktur juga dapat menyebabkan enoftalmus
dan sering disertai terjepitnya muskulus rectus inferior di dalam
patahan sehingga gerakan bola mata sangat terganggu dan penderita
mengalami diplopia

Fraktur os zygoma

Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita


sehingga tidak disertai hematom orbita, tetapi terlihat sebagai
pembengkakan pipi di daerah arcus zygomaticus. Diagnosis ditegakan
secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi waters, yaitu
temporooksipital6

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos kepala

Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan
yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm,
Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari

inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis,
Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan
mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada
kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral
dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obatobatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi
shock, febris, dll).
4) Adanya lateralisasi.
5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
6)
7)
8)

depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.


Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler,

dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark /


iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
j. ABGs: Mendeteksi

keberadaan

ventilasi

atau

masalah

(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial

pernapasan

k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat


peningkatan tekanan intrkranial
l. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan
m. Kesadaran.7

7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya

memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala
sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat
membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala
tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau
berat.8
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.

Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain


airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan
cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak
sekunder dan mencegah homeostasis otak.8,9

Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.

Indikasi rawat antara lain:


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)


Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
Penurunan tingkat kesadaran
Nyeri kepala sedang hingga berat
Intoksikasi alkohol atau obat
Fraktura tengkorak
Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
Cedera penyerta yang jelas
Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
CT scan abnormal.5

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk

memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan


dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada
penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi
untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut:
a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau
lebih
dari 20 cc di daerah infratentorial
kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
tanda fokal neurologis semakin berat
terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis.4

8. PROGNOSA

Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya
pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai
kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala.2

Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma
juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

BAB III
KESIMPULAN

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga

penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya


kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang
terjadi.

Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua


tahap, yaitu cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari
suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder yang terjadi akibat berbagai
prosese patologis yang timbul sebagai tahapmlanjutan dari kerusakan
otak primer.

Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi


beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala,
beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari beberapa
referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedeera
kepala, yang walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun
merupakan penyebab kecacatan yang akan menetap seumur hidup
yang perlu dipertimbangkan.

Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang


menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi,
apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan
fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang
terkena.

Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan,


sensasi, berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak
yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan
bisa menyebabkan kebingungan dan koma.

Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area,


sehinnga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan
fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin
tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan
fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.
Daftar Pustaka

1. Japardi, I, 2004. Cedera Kepala. PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok


Gramedia, Jakarta.
2. American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United
States of America: Firs Impression
3. Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta:
penerbit buku kedokteran EGC
4. Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com

5. Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka


Cendekia.
6. Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia:
Lippicott Williams and Wilkins
7. Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
8. Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta:
Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta
9. Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif.
Sumatra Utara: USU Press.

Anda mungkin juga menyukai