pada permukaan sel mast dan sel basofil Manusia diperantarai Imunoglobulin E pada hewan Imunoglobulin G Shock anafilaktik, yaitu: Emfisema pada paru-paru akibat konstriksi bronkhiolus Edema pada jaringan Kongesti pada alat-alat tubuh
Reaksi Anafilaksis (Reaksi
Hipersensitivitas Tipe I)
Tiga faktor penting patogenesis anafilaktik yaitu
reaksi antigen antibodi menyebabkan histamin keluar dari sel:
Histamin ini diantaranya menyebabkan dinding kapiler
menjadi permeabel hingga terjadi edema Kompleks antigen antibodi yang terjadi mengendap dan dapat menyumbat kapiler Kompleks antigen antibodi yang terjadi pada saat terdapatnya kelebihan antigen akan bersifat toksik
Reaksi Anafilaksis (Reaksi
Hipersensitivitas Tipe I)
Respon awal tubuh terhadap
hipersensitivitas tipe I adalah : Vasodilatasi Pembuluh darah bocor Kontraksi otot polos 5-30 menit setelah kontak dengan antigen (allergen), dan cenderung menghilang setelah 60 menit
Reaksi Sitotoksik (Reaksi
Hipersensitivitas Tipe II)
Sumber antigen homolog atau autolog
Antigen sasaran berupa komponen membran normal atau telah berubah (sifat intrinsik)
Reaksi Sitotoksik (Reaksi
Hipersensitivitas Tipe II)
Complement mediated cytotoxic, antibody
bereaksi dengan antigen lalu menjadi fiksasi komplemen lalu lisis. Sel yang dilapisi antibodi lebih mudah difagosit Good pasture syndrome; Reaksi transfusi, eritrosit donor tidak sesuai diselubungi antibodi diresipient, antibodi ditujukan untuk antigen inkompabilitas rhesus antibodi dibentuk terhadap elemen darahnya sendiri
Reaksi Sitotoksik (Reaksi
Hipersensitivitas Tipe II)
ADCC, mempunyai FCR dari Immunoglobulin
sehingga bisa melisis sel yang diselubungi, lisis membutuhkan kontak dan energi, terdapat sel netrofil, eosinofil, makrofag dan NK Antibody-mediated cellular dysfunction, contoh penyakitnya adalah myastenia gravis, graves disease (hipertiroidisme), thirotoksikosis
ADCC = Antibody Depend on Cytotoxic Cell (sitotoksisitas diperantarai
sel yang bergantung antibodi) FcR = Fc Reseptor Sel NK = sel Null Killer
Reaksi Kompleks Imun (Reaksi
Hipersensitivitas Tipe III)
Fase I: antibody bereaksi dengan antigen di sirkulasi
sehingga terbentuk antigen antibodi kompleks. Akan dibersihkan oleh MPS
Besar kompleks imun
Ukuran besar: dibersihkan sel fagosit sehingga tidak berbahaya, Ukuran medium: berbahaya, berada di sirkulasi lebih lama, berikat kurang kuat dengan sel fagosit Ukuran kecil: dikeluarkan melalui urin Jumlah kompleks imun Sangat banyak melebihi kapasitas sistem fagosit untuk membersihkan Disfungsi intrinsik sistem fagosit terdapat di sirkulasi lebih lama dan kemungkinan dideposisi di jaringan lebih besar Kerusakan tidak timbul apabila kompleks imun tetap dalam sirkulasi
Reaksi Kompleks Imun (Reaksi
Hipersensitivitas Tipe III)
Fase II: keluar dari pembuluh darah dan masuk
ke dalam berbagai jaringan tubuh
Peningkatan permeabilitas vaskuler oleh
imunoglobulin E mediator setelah antigen diberikan Miniatur reaksi tipe I akibat lepasnya histamin dan PAF Deposisi di ginjal, sendi, kulit, jantung, pem-serosa dan dinding pembuluh darah kecil
PAF : Platelet Aktivasi Factor
Reaksi Kompleks Imun (Reaksi
Hipersensitivitas Tipe III)
Fase III: kompleks imun dideposisi di jaringan
merangsang radang akut
Setelah 10 hari diberikan antigen menjadi demam,
urtikaria, arthalgia, pembesaran KGB dan proteinuria Paling penting pada patogenesis kerusakan jaringan
Fiksasi komplemen oleh kompleks imun aktifasi komplemen
dilepas fragmen biologik aktif, terutama anafilatoksin C3a dan C5a
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah
Faktor hemotaksis untuk lekosit netrofil
Reaksi Kompleks Imun (Reaksi
Hipersensitivitas Tipe III)
Fagositosis kompleks imun oleh leukosit akan
menyebabkan dilepaskan enzim lisosom netral Hanya Antibody (IgM dan IgG) yang berperan pada reaksi tipe III Peranan komplemen, dimana menurunnya kadar komplemen serum ternyata menurun beratnya kerusakan, tidak ada netrofil Konsumsi komplemen selama fase aktif akan menimbulkan menurunnya kadar komplemen di dalam serum
Reaksi Kompleks Imun (Reaksi
Hipersensitivitas Tipe III)
Kerusakan morfologik: Bila terdapat kontak berulang dengan suatu antigen akan timbul SLE
nekrosis sistemik, dan radang akut Fibrinoid necrosis, dinding pembuluh darah menjadi eosinofilik dan kotor, imunofuoresense.
Local imun compleks disease (arthus reaction) adalah
necrosis jaringan lokal akibat acute imune complex vasculitis
SLE = Systemic Lupus Eritematosus
Reaksi Arthus: suatu necrosis jairngan yang terlokalisir pada suatu tempat yang disebakban oleh vaskulitis kompleks akut
Reaksi Tipe Lambat (Reaksi
Hipersensitivitas Tipe IV)
Kontak sel T (disensitisasi) dengan kompleks
antigen molekul HMC, initiator sel T CD. Mensekresikan sitokin yang menarik sel-sel lain ke tempat tersebut. Efektor sel makrofag Reaksi mantoux (tes tuberkulin) individu telah disentisisasi terhadap basil TBC akibat infeksi. Setelah uji tuberkulin intrakutan, timbul daerah eritema, indurasi 6-12 jam, puncak (1-2 cm dalam 2-7 hari lalu perlahan menghilang
Reaksi Tipe Lambat (Reaksi
Hipersensitivitas Tipe IV) Pemeriksaan histologis Emigrasi limfosit dan monosit dalam pembuluh darah vena dermis timbul perivaskuler cuffing Gap antar endotel, meningkatkan permeabilitas vascular, kebocoran protein plasma, edema dermis, deposisi fibrin Lesi yang telah sempurna, venule dikelilingi limfosit (cuffing) hipertrofi endotel lalu hiperplasia (pada beberapa kasus) Bila antigen menetap atau tidak dihancurkan. Maka infiltrasi perivaskular diganti makrofag selama 2-3 minggu. Makrofag berubah menjadi sel epiteloid dan dikelilingi limfosit granuloma. Ciri khasnya adalah radang granulomatosa Referensi: Patologi I: Robbins L Kumar, Edisi 4.