Anda di halaman 1dari 5

Mihwar Dakwah Itu, Perlahan Tapi Pasti

Dakwah dalam berkembangannya pasti melalui pentahapan/ melalui fase/


melalui mekanisme perubahan (proses) dari tahapan awal menuju tahapan
yang lebih semprna dan bgitu juga seterusnya seperti metamorfosa kupu
kupu yang berubah dari tahap satu ketahap lain disesuaikan dengan kondisi
sekitar. Dalam aktifis dakwah, proses itu dikenal dengan sebutan Mihwar.
Cahyadi Takariawan menyebutnya, mihwar adalah lingkar kegiatan, sehingga
setiap mihwar yang sebelumnya akan tetap melingkupi dan masih berlaku
meskipun sudah pada fase/ tingkatan yang lbih tinggi. Anis Matta
mendefinisaikan mihwar, bahwa mihwar adalah tahapan atau fase.
pekerjaan-pekerjaan dakwah untuk menyelesaikan peradaban ini menuju
apa yang dicita-citakan semua umat harus dilakukan dalam empat tahap/
fase.
1. Mihwar Tandzimi
Mihwar tandzimi merupakan tahap awal dalam membangun perencanaan
dakwah, dimana kita merekrut dan menanamkan pondasi perjuangan
(akidah) untuk lebih mengokohkan keimanannya dalam dakwah ini. Pada
fase ini fokus pembinaan ada pada pembinaan diri dan keluarga. Metode
pembinaan dan perekrutan kepada hubungan individu-individu. Sehingga
dalam fase ini berlaku menambah jumlah kader dan bagaimana
meningkakan kapasitas kader. Kuantitas dan kualitas tersebut yang akan
embangun kekuatan organisasi yang solid sebagai kekuatan yang akan
menggerakan roda dakkwah. Dan biasanya bersifat fase sirriyatud dakwah.
Mengadopsi bagaimana Rasul saw membuka ladang dakwah di Makkah
dengan merekrut orang-orang terdekat dan bisa menjadi pembela dakwah.
Disaat banyak orang lain yang masih antipati dan membenci ajaran yang
dibawa-nya. Menjadi kaum minoritas ditengah kebencian kaum minorotas
yang tidak suka dengan agenda-agenda dakwah-nya. Karena sejatinya
aktifitas dakwah akan selalu dihalangi oleh orang-orang pembenci dakwah
itu sendiri. Untuk melindungi komunitas minimalisnya, maka aktifitaspun
dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi dengan tetap berusaha
meningkatkan kualitas dan kuatitas pendukung dakwah itu sendiri. Karena
kita muncul dipermukaan maka orang kafir qurays akan menghalangi
aktifitas itu dan menyiksa orang yang terang terangan mengikuti ajaran
Rasul.
2. Mihwar Syabi
Mihwar Syabi merupakan tahapan kedua dalam membangun kerja-kerja
dakwah menuju masa yang dicita-citakan. Setelah bisa bertahan dalam
mengoptimalkan peran internal (organisasi, kapasitas dan kuantitas
personal) maka agenda selanjutnya adalah membangun basis masa untuk
menarik simpati masyarakat dengan kerja kerja social. Menjadikan basis
sosial yang luas dan merata sebagai kekuatan pendukung dakwah. Kaidah
dakwah mengatakan yaftalitun yatamayazun berbaur dan mewarnai, inilah

yang disebut mihwar syabi, dan kitapun telah melewati era jahriyah
jamahiriyah ini. Kalau basis organisasi (tandzimi) berorientasi pada kualitas
maka basis syabi berorientasi pada kuantitas. Pada fase ini fokus aktivitas
yaitu pelayanan masyarakat.
Menyebarkan islam kepada masyarakat
dengan metode yang lebih masif. Marhalah ini ditandai dengan adanya
organisasi sebagai perwajahan dakwah atau deklarasi terang-terangan dari
dakwah itu sendiri.
Masuknya Umar bin khatab menjadi amunisi baru bagi kaum muslim,
disamping juga sudah ada bsahabat-sahabat lain yang masuk islam. Setelah
dirasa cukup untuk berekspansi secara terang-terangan kepada para
pendukuk makkah sehingga banyak yang berminat dengan ajaran yang
dibawa Rasulullah. Tetapi kaum kafir qurays selalu membuat tekanan kepada
para pengikut rasulullah, apalagi pangikut rasul pada waktu itu kebanyakan
berasal dari ekomoni lemah, budak yang mengingkan persamaan dalam
derajatnya. Sehingga turunlah perintah Allah untuk berihijrah ke Yastrib dan
membuat kehidupan baru disana.
Sampai di Yastrib, sambutan orang Asnhor kepada orang muhajirin sangat
hnagat terhadap orang muhajirin. Musab bin Umair sukses membuat lading
dakwah di Yastrib. Rasul dan para sahabatpun merangkai kehidupan baru di
sana, dengan membangun masjid dan sarana pendkung lainnya.
Menyatukan kaum anshor dan kaum muhajirin dengan ikatan akidah dan
membangun basis soial dikalangan mereka. Suasana akidah dan social
diantara mereka membuat dakwah rasul memasuki fase baru. Fase dimana
membuat agenda-agenda dakwah menjadi membumi di daerah yastrib dan
meningkatkan hubungan dan aktifitas social (masjid, baitul mal, pasar, dan
lainnya) menjadi basis yang kuat. Ikatan akidah dan ukhuwah mereka
semakin kuat.
Suatu hari, Saad bin Rabi berkata kepada Abdurrahman bin Auf,
Sesungguhnya aku adalah orang yang banyak harta di kalangan Anshar,
bagilah hartaku menjadi dua bagian. Aku juga punya dua istri. Lihatlah mana
yang paling kau senangi di antara keduanya, lalu katakanlah kepadaku. Jika
telah habis masa iddahnya, nikahilah dia!
Namun, Abdurrahman bin Auf menolaknya. Semoga Allah memberikan
berkah-Nya kepadamu, keluargamu, dan hartamu! Lebih baik tunjukkan saja
di mana pasar kalian. Ia pun menunjukkan pasar Bani Qainuqa. Di sana,
Abdurrahman mendapatkan minyak samin dan keju. Keesokan harinya, dia
telah berdagang.
3. Mihwar Muasasi
Mihwar dakwah yang ketika adalah mihwar syabi dimana garapan dari
mohwar ini adalah ekspansi atau, membangun berbagai institusi/
lembaga/wajihah untuk mewadahi pekerjaan-pekerjaan dakwah di seluruh
sektor kehidupan dan seluruh segmen masyarakat. Dalam menjalankan
aktifitas kesehariannya ada orang-orang tertentu yang lebih memlih
menggunkan waktunya utnuk sesuatu yang menghasilkan baik secara materi
(bekerja, baik di sititusi atau membangun lapangan pekerjaan sendiri) atau
membangun komunitas atau lembaga dengan misi yang sama untuk lebih

bermanfaat kepada yang lain disamping sebagai tempat aktualisasi dan


pengembangan diri. Sehingga bagaimana lembaga-lembaga itu selain
bermanfaat juga tersibgoh dengan sibgoh islam. Tidak sekedar bermanfaat
tapi juga beraktifitas sesuai syari.
Kalau dalam tahap syabi, kader dakwah disebar ke masyarakat untuk
tampil cantik di hadapan masyarakat (begitu kata ust. Pradipto), maka
dalam tahap muasasi kader disebar ke seluruh institusi sehingga akan terjadi
penyebaran aktifitas dakwah disetiap isntansi dan akan ada jaringan aktivis
dakwah di seluruh institusi/waajihah yang strategis, sehingga setiap institusi
selaras, dan massif dalam visi, misi dan tujuan yang sama, yakni
membangun kehidupan bernegara dan masyarakat kampus yang lebih
Islami.
Ketika persaudaraan aqidah di antara kaum anshor dan muhajirin, maka
ikatan lainpun otomatis akan tumbuh dan menjadikan madinah (Yastrib)
menjadi rumah besar umat islam, dengan segala sendi kehidupan yang
menyokongnya disegala bidang. Bahkan ketika perang pertama pasca hijrah
di Yastrib (perang badar) semua meyambut baik dan memaksimalkan sega
potensi guna menegakkan islam di bumi Allah meski alat yang pakai minim,
begitu juga sumberdaya manusia yang ada. Meskipun demikian peperangan
1000 kaum kafir qurays dan 300 kaum muslim itu di menangkan kaum
muslimin tentunya dengan bantuan Allah swt kepada hamba-hamba Allah
yang dekat dengan-Nya.
4. Mihwar Dauly
Aktivitas dakwah ini sampai pada tingkatan institusi negara, inilah yang
disebut mihwar dauli. Namun kaidah yang harus dipahami pula oleh aktivis
dakwah adalah bahwa Negara (eksekutif, yudikatif dan legislative) adalah
wasilah (sarana) dan bukan merupakan tujuan sesungguhnya apalagi tujuan
akhir perjuangan. Jika untuk mencapai tujuan akhir yakni tegaknya dinullah
di muka bumi ini membutuhkan penguasaan wasilah-wasilah tersebut, maka
penguasaan wasilah atau masuknya kader dakwah ke dalam wasilah-wasilah
yang ada, menjadi suatu kewajiban, kaidah fikih menjelaskan maa laa
yatimmu al wajibu illa bihi fahuwa al wajibu (sesuatu yang tidak sempurna
bagi suatu kewajiban kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib).
Untuk masuk kedalam pemerintahan atau Negara bisa melalui jenjang karir
jika aktifis dakwah itu berstatus pegawai negeri sipil, atau bisa masuk
dengan jalur politik (partai politik untuk menempati pos-pos yang disediakan
untuk jabatan politik. Sehingga keduanya harus massif dan mempunyai
perencanaan yang baik, baik dari segi kualitas individu atau kualitas partai
politiknya.
Sehingga untuk bisa menembus jantung aktifitas Negara, para aktifis harus
mempunyai spesialisasi pendidikan yang baik dan kinerja yang baik guna
mempermudah promosi naik jabatan. Tentunya sekarang jabatan (karier
PNS) dipengaruhi tingkat pendidikannya, sehingga lulusan S1 jangan terlalu
berharap menjadi pejabat eselon atau kepala dinas atau wakil menteri.

Sehingga aktifis dakwah dituntun untuk bisa mengoptimalkan potensinya


sesuia dengan jenjang karir dan minatnya.
Berbeda dengan jabatan politik yang tidak mengharuskan untuk mempuyai
spesifikasi keilmuan dan jenjang perguruan tinggi bergelar doktor atau
profesor seperti bupati, walikota dan presiden. Meskipun akan sangat lebih
baik jika mempunyai pendidikan yang tinggi dan menguasai bidangnya
apalagi posisinya sebagai menteri. Selain tuntutan kapasitas keilmuan,
jenjang pendidikanpun terkait dengan nilai jual kader dakwah dihadapan
publik, lebih khusus masyarakat. Jika zaman dahulu orang dihormati karena
gelar kebangsawanannya, maka di zaman sekarang orang dihormati karena
gelar akademik yang disandangnya. Sehingga ketika aktifitas kenegaraan di
isi oleh orang-orang yang berkapasitas keilmuan atau kepemimpianan
ditambah mempunyai pengetahuan agama yang baik sebagai control moral
para pejabat, insya Allah Negara kita akan melejit menjadi Negara adil dan
sejahtera dalam naungan islam. Atau cita cita tertinggai Indonesia menjadi
Negara madani.
Ketika Pasca Fathu Makkah Rasulullah segera mengkordinasikan semua
elemen yang ada dan bersiap menata Negara islam dijazirah arab. Rasul
mulai mengirimkan duta-dutanya kenegeri-negeri lain guna menawarkan
islam atau guna perluasan wilayah Negara islam. Setelah berhasil ekspansi
para sahabatpun disiapkan untuk menjadi gubernur (pemimpin) di wilayah
yang baru bergabung dengan islam. Tentunya dengan kapasitas seorang
negarawan yang tidak diragukan lagi dan dengan kapasitas keislaman yang
baik.
Ketika Muadz hendak di utus untuk menjadi Gubernur di
Yaman,
rasulullahpun bertanya kepadanya Bagaimana engkau memberi keputusan
jika dihadapkan kepadamu sesuatu yang harus diberi keputusan ? Ia
menjawab: Aku akan putuskan dengan Kitab Allah, Bersabda Rasulullah: Jika
engkau tidak dapatkan dalam kitab Allah ? Ia menjawab: Dengan Sunnah
Rasulullah. Nabi bertanya ? Jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah? Ia
menjawab ; Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan seluruh
kemampuanku, maka rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi
Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah (Muadz) dalam
hal yang diridhai oleh Rasulullah saw. ( HR. Ahmad, Turmudzi, Abu Daud)
Agama dan Negara tidak bisa dipisahkan, keduanya bagaikan dua sisi mata
uang. Yang saling berhubungan dan membentuk jati diri masing masing.
Menyiapakan diri menjadi muslim negarawan adalah salah satu keyakinan
kita bahwa kita siap memimpin Negara, memimpin Indonesia yang
berpenduduk 240 juta jiwa dengan segala problematika yang kompleks yang
harus segera dituntaskan.
Setiap mihwar memiliki karakteristik dan metode dakwahnya masingmasing. Selain itu, setiap mihwar menuntut kompetensi yang lebih setiap
kali ia berpindah. Hal ini karena perpindahan mihwar dakwah bukan berarti
meninggalkan aktivitas di mihwar sebelumnya. Melainkan bertambahnya
amanah dakwah dan bertambahnya wilayah garapan serta bertambahnya
kompetensi yang dibutuhkan dan harus dimiliki oleh para aktivis dakwah.

Maka tak jarang terjadi perubahan mihwar dakwah menyebabkan beberapa


kader yang tidak mampu beradaptasi dengan mihwar baru mengalami
kefuturan bahkan insilah (keluar dari jamaah).
Menukil kata-kata Sang Ustadz Jika amanah atau mihwar kita meningkat,
adalah kewajiban kita meningkatkan kapasitas kita. Jika kapasitas kita tetap
dan kita tidak berusaha meningkatkannya, pastilah ada hak-hak kita dan
atau
hak-hak
orang
lain
yang
terkurangi
atau
terdzholimi.
Jika amanah kita meningkat, adalah kewajiban kita meningkatkan
pengorbanan kita. Jika pengorbanan kita tetap, pastilah ada hak-hak kita dan
atau hak-hak orang lain yang terkurangi atau terdzholimi.
Semakin tinggi pohon maka akan semakin kencang angin, setiap mihwar
mempunyai kapasitas ujian masing-masing. Karena sejatinya pertarungan
kebenaran dan kebatilan akan senantiasa bertarung. Sehingga tidaklah aneh
bagi aktifis dakwah, kebaikan yang ia lakukan akan selalu ada aral
rintangannya sehingga kita dituntuk menyiapkan perbekalan untuk
menghadapi itu semua baika bekal fikri (tsaqofi), fisik (jasadi), ruhy atau
maknawi.
Allahu alam

Anda mungkin juga menyukai