Anda di halaman 1dari 28

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Gagal jantung merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang mengalami

peningkatan insidensi dan prevalensi dalam beberapa dekade terakhir 1. Gagal


jantung juga telah menjadi penyebab kesakitan dan kematian paling banyak di
seluruh dunia2. Gagal jantung merupakan suatu sindroma klinis kompleks yang
terjadi akibat gangguan jantung baik secara fungsional maupun secara struktural
yang mengganggu kemampuan ventrikel dalam mengisi dan memompakan darah3.
Gagal jantung dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti penyakit jantung
koroner, miokard infark, hipertensi, diabetes, penyakit katup, non-iskemik
kardiomiopati, miokarditis, remodeling ruang jantung akibat aritmia kronis
(seperti atrial fibrilasi), alkohol, obesitas, dan penyakit jantung bawaan4. Akan
tetapi, penyebab tersering dari gagal jantung adalah penyakit jantung koroner dan
hipertensi5.
Gagal jantung mempengaruhi sekitar 5 ribu orang di Amerika Serikat dan
lebih dari 500.000 kasus baru dilaporkan setiap harinya. Jumlah orang yang
meninggal akibat gagal jantung sekitar 300.000 setiap harinya. Gagal jantung
merupakan penyakit yang menyerang orang yang berusia tua dengan prevalensi
sekita 1% pada orang yang berusia dibawah 50 tahun dan 10% pada orang yang
berusia diatas 80 tahun. Dan sekitar 80% pasien yang dirawat di rumah sakit
dengan gagal jantung berusia diatas 65 tahun5. Di Indonesia, prevalensi gagal
jantung pada tahun 2013 sekitar 229.696 penduduk. Dan di Provinsi Sumatera
Utara, prevalensi gagal jantung pada tahun 2013 sekitar 11.622 penduduk6.
Gagal jantung merupakan penyakit yang bersifat progresif dan memiliki
prognosis yang cukup buruk. Sekitar 30% - 40% pasien yang didiagnosa dengan
gagal jantung akan meninggal dalam waktu satu tahun5. Oleh karena itu
diperlukan pemeriksaan dan deteksi dari manifestasi klinis yang baik sehingga
kualitas hidup penderita gagal jantung dapat ditingkatkan.
1.2.
Gagal Jantung
1.2.1. Definisi

Gagal jantung merupakan suatu sindroma klinis kompleks yang terjadi


akibat gangguan jantung baik secara fungsional maupun secara struktural yang
mengganggu kemampuan ventrikel dalam mengisi dan memompakan darah 3.
Menurut PERKI 2015, gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks
dimana seorang pasien harus memiliki tampilan berupa : gejala gagal jantung
(nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai /
tiak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki);
adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat7.
1.2.2. Epidemiolgi
Gagal jantung merupakan suatu masalah kesehatan yang serius. Prevalensi
gagal jantung di Amerika Serikat sebesar 5,8 juta dan prevalensi gagal jantung di
dunia sebesar 23 juta8. Di Amerika Serikat, insidensi gagal jantung tetap berada
pada keadaan yang stabil selama beberapa dekade terakhir dimana >650.000
kasus baru telah didiagnosa setiap tahunnya. Insidensi gagal jantung juga
meningkat seiring dengan bertambahnya usia, meningkat dari sekitar 20 per 1000
individu dengan usia antara 65 69 tahun menjadi >80 per 1000 individu dengan
usia diatas sama dengan 85 tahun. Ras juga mempengaruhi tingkat insidensi gagal
jantung dimana ras kulit hitam memiliki resiko yang paling tinggi untuk
menderita gagal jantung9.
Di Indonesia, prevalensi gagal jantung berdasarkan hasil diagnosis dokter
sebesar 0,13% atau sekitar 229.696 orang, sedangkan prevalensi gagal jantung
berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 0,3% atau sekitar 530.068 orang. Di
Sumatera Utara, prevalensi gagal jantung berdasarkan hasil diagnosis dokter
sebesar 0,13% atau sekitar 11.621 orang, sedangkan prevalensi gagal jantung
berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 0,3% atau sekitar 26.819 orang6.

1.2.3. Etiologi
Etiologi dari gagal jantung dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu gangguan
kontraktilitas jantung, peningtkatan afterload dan

gangguan pada pengisian

ventrikel. Terdapat dua mekanisme yang menyebabkan terjadinya gagal jantung

yaitu disfungsi sitolik dan disfungsi diastolik. Disfungsi sistolik adalah gagal
jantung yang disebabkan oleh adanya gangguan dalam proses pengosongan
ventrikel baik yang disebabkan oleh gangguan kontraktilitas ataupun peningkatan
afterload. Sementara itu, disfungsi diastolik adalah gagal jantung yang
diakibatkan oleh gangguan relaksasi atau pengisian ventrikel10.
Disfungsi sistolik biasanya disebabkan oleh gangguan kontraktilitas dan
peningkatan afterload. Gangguan kontraktilitas dapat disebabkan oleh penyakit
jantung koroner berupa infark pada miokard, penyakit jantung katup seperti mitral
dan aorta regurgiutasi dan juga kardiomiopati (dilated cardiomyopathy).
Peningkatan afterload biasanya disebabkan oleh hipertensi yang tidak terkontrol
dan juga penyakit jantung katup yaitu aorta stenosis. Disfungsi diastolik biasanya
disebabkan oleh hipertrofi ventrikel kiri, restrictive cardiomyopathy, fibrosis pada
miokardium dan pericard tamponade10.
1.2.4. Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi ACCF/AHA
dan klasifikasi fungsional New York Heart Association (NYHA). Klasifikasi
ACCF/AHA menggambarkan perkembangan dan progresifitas penyakit dan dapat
digunakan untuk menggambarkan kejadian pada individu dan populasi.
Sedangkan klasifikasi NYHA berfokus pada kemampuan dalam beraktivitas dan
simptom penyakit9.
Tabel 1 . Klasifikasi berdasarkan kelainan struktural jantung7
Stadium
Stadium A

Keterangan
Memiliki
resiko

tinggi

untuk

berkembang menjadi gagal jantung.


Tidak terdapat gangguan struktural atau
fungsional jantung, tidak terdapat tanda
Stadium B

atau gejala
Telah terbentuk
jantung

yang

penyakit

berhubungan

struktur
dengan

perkembangan gagal jantung, tidak


Stadium C

terdapat tanda atau gejala


gagal
jantung
yang
berhubungan

Stadium D

simtomatik

dengan

penyakit

struktural jantung yang mendasari


penyakit jantung struktural lanjut serta
gejala

gagal

jantung

yang

sangat

bermakna saat istirahat walaupun sudah


mendapat

terapi

medis

maksimal

(refrakter)2zxrrfvc

Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan kapasitas fungsional (NYHA)7


Kelas
Kelas I

Keterangan
Tidak
terdapat

batasan

dalam

melakukan aktifitas fisik. Aktivitas fisik


sehari
Kelas II

hari

tidak

menimbulkan

kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas


Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak
terdapat keluhan saat istirahat, namun
aktivitas

fisik

sehari

hari

menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau


Kelas III

sesak nafas.
Terdapat batasan aktivitas bermakna.
Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
tetapi

aktivitas

fisik

ringan

menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau


Kelas IV

sesak nafas
Tidak dapat melakukan aktivitas fisik
tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
istirahat.

Keluhan

melakukan aktivitas

meningkat

saat

1.2.5. Patofisiologi
Beberapa mekanisme kompensasi tubuh terhadap CO yang berkurang adalah
(1) mekanisme Frank-Starling, (2) perubahan neurohormonal, dan (3) hipertrofi
ventrikel dan remodeling11.
Pada gagal jantung yang disebabkan oleh gangguan kontraktilitas ventrikel
kiri, terjadi pengosongan ventrikel yang tidak sempurna. Sisa volume darah yang
terakumulasi ini memicu peningkatan kontraksi, seperti hukum Frank-Starling.
Walaupun begitu, mekanisme kompensasi ini mempunyai batas tertentu. Pada
gagal jantung yang sudah berat, terjadi peningkatan EDV dan tekanan balik ke
atrium kiri, dan dapat menyebabkan kongesti pulmoner dan edema11.
Tiga respon neurohormonal yang paling penting diantaranya (1) sistem
adrenergik, (2) sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan (3) peningkatan produksi
ADH. Ketiga mekanisme ini membantu mempertahankan resistensi perifer dan
tetap menstabilkan perfusi arteri ke organ vital. Aktivasi dari sistem saraf simpatis
memperkuat kontraktilitas jantung, meningkatkan HR serta vasokonstriksi yang
disebabkan oleh reseptor . Vasokontriksi arterial yang disebabkan oleh sistem ini
meningkatkan resistensi pembuluh perifer dan mempertahankan tekanan darah
(BP = CO x TPR) 11.
Sistem renin-angiotensin-aldosteron dimediasi dengan pengeluaran renin.
Renin adalah enzim yang mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang
kemudian diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II meningkatkan volume
intravaskular melalui dua mekanisme: (1) dari hipotalamus merangsang rasa haus
dan (2) dari korteks adrenal meningkatkan sekresi aldosteron. Aldosteron
menyebabkan reabsorpsi sodium dari ginjal menuju ke sirkulasi11.
Sekresi ADH dari pituitari posterior disebabkan oleh peningkatan angiotensin
II. ADH meningkatkan volume intravaskular dengan retensi cairan di nefron
distal. Peningkatan volume ini meningkatkan preload dan CO. ADH juga
menyebabkan vasokonstriksi sistemik11.
Stress pada jantung dapat menyebabkan hipertofi ventrikel kiri dan
peningkatan tekanan sistolik jantung untuk mengkompensasi kelebihan afterload.
Pola dari hipertrofi dan remodeling juga berbeda-beda berdasarkan overload
volume atau tekanan kronik. Dilatasi ruang jantung yang disebabkan oleh

kelebihan volum (mitral atau aorta regurgitasi) merangsang miosit memanjang.


Oleh karena itu, radius dari ruang jantung membesar disertai dengan penebalan
dinding, yang disebut hipertrofi eksentrik.Sedangkan dilatasi jantung yang
disebabkan oleh kelebihan tekanan (hipertensi atau aorta stenosis) merangsang
miosit membesar, yang disebut dengan hipertrofi konsentrik11.
1.2.6. Manifestasi Klinis
Tabel 3. Manifestasi Klinis Gagal Jantung7
Gejala
Tanda
Tipikal
Spesifik
- Sesak nafas
- Peningkatan JVP
- Ortopneu
- Refluks hepatojugular
- Paroxysmal nocturnal dyspnoe
- Suara jantung S3 (gallop)
- Tolerasnsi
aktifitas
yang
- Apex jantung bergeser ke lateral
- Bising jantung
berkurang
- Cepat lelah
- Bengkak di pergelangan kaki
Kurang tipikal
Kurang tipikal
- Batuk di malam/ dini hari
- Edema perifer
- Mengi
- Krepitasi pulmonal
- Berat badan bertambah > 2
- Suara pekak di basal paru pada
-

kg/minggu
Berat badan

jantung stadium lanjut)


Perasaan kembung/begah
Nafsu makan menurun
Perasaan bingung (terutama

pasien usia lanjut)


Depresi
Berdebar
Pingsan

turun

(gagal

perkusi
Takikardia
Nadi ireguler
Nafas cepat
Hepatomegali
Asites
Kaheksia

1.2.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding7,12


Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan gejala, penilaian klinis,
serta pemeriksaan penunjang seperti ekokardiografi, EKG, foto thoraks, dan
laboratorium.

Berdasarkan gejala dan penemuan klinis, diagnosis gagal jantung dapat


ditegakkan bila pada pasien didapatkan paling sedikit 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor dari kriteria Framingham.
Tabel 4. Kriteria Framingham
Kriteria mayor
Paroksismal

nokturnal

Kriteria minor
dispnea Edema ekstremitas

(PND)

Batuk malam

Distensi vena-vena leher

Sesak pada aktivitas

Peningkatan tekanan vena jugularis

Hepatomegali

Ronki basah basal

Efusi pleura

Kardiomegali

Kapasitas vital berkurang 1/3 dari

Edema paru akut


Gallop bunyi jantung III

normal
Takikardia (>120 denyut/menit)

Refluks hepatojugular positif


Mayor atau minor
Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada
pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk
membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik
/normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45-50%).
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi mengenai denyut, irama,
dan konduksi jantung, serta seringkali etiologi, misalnya perubahan segmen ST
iskemik untuk kemungkinan STEMI atau non-STEMI.
Pemeriksaan foto thoraks harus dikerjakan secepatnya untuk menilai
derajat kongesti paru dan untuk menilai kondisi paru dan jantung yang lain.
Kardiomegali merupakan temuan yang penting. Pada paru, adanya dilatasi relatif
vena lobus atas, edema vaskular, edema interstisial, dan cairan alveolar
membuktikan adanya hipertensi pulmonal.
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan:

Anemia
Prerenal azotemia
Hipokalemia dan hiperkalemia, yang dapat menimbulkan risiko aritmia
Hiponatremia, akibat penekanan sistem RAA (renin angiotensin aldosterone)
Peningkatan kadar tiroid, pada tirotoksikosis atau miksedema
Peningkatan produksi Brain Natriuretic Peptide (BNP), akibat peningkatan
tekanan intraventrikular, seperti gagal jantung
Selain itu kadar kratinin, glukosa, albumin, enzim hati, dan INR dalam

darah juga perlu dievaluasi. Sedikit peningkatan troponin jantung dapat terjadi
pada pasien gagal jantung.
Analisis gas darah memungkinkan penilaian oksigen (pO2), fungsi
respirasi (pCO2) dan keseimbangan asam basa (pH), terutama pada semua pasien
dengan distres pernafasan.

Gambar 1. Algoritma Diagnosis Gagal Jantung

*kondisi akut, MR-pro ANP dapat digunakan (batas nilai 120 pmol/L, i.e < 120 pmol/L = gagal
jantung unlikely
BNP = B-type natriuretic pepetide, EKG = elektrokardiografi, MR-pro ANP = mid regional pro
atrial natriuretic peptide, NT-pro BNP = N-terminal pro B-type natriuretic peptide
a. Eksklusi batas nilai natriuretic peptid dipilih untuk meminimalkan laju negatif palsu
b. Penyebab lain peningkatan level natriuretic peptide pada kondisi akut adalah ACS, atrial atau
ventricular aritmia, emboli paru, sepsis. Kondisi non-akut adalah usia tua ( > 75 tahun),
aritmia atrial, LVH

Diagnosis banding gagal jantung, antara lain:

Keadaan dimana terjadi gangguan retensi air dan garam, tanpa disertai

kelainan fungsi ataupun struktur jantung, contoh : Gagal Ginjal


Oedem paru non-cardiac, contoh: Acute Respiratory Distress Syndrome

1.2.8. Penatalaksanaan7
1.2.8.1 Penatalaksanaan Farmakologi
Beberapa pilihan obat-obatan pada pasien dengan gagal jantung, antara
lain:
ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %. ACEI memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi I, tingkatan

bukti A). ACEI kadang-kadang menyebabkan

perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan


angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan
fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, dengan atau tanpa gejala

10

Kontraindikasi pemberian ACEI


Riwayat angioedema
Stenosis renal bilateral
Kadar kalium serum >5,0 mmol/L
Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
Stenosis aorta berat

PENYEKAT
Kecuali kontraindikasi, penyekat harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %. Penyekat
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup

Indikasi pemberian penyekat


Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
ACEI/ ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada

kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat
Asma
Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu

jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)


ANTAGONIS ALDOSTERON
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi 35 % dan gagal

11

jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia


dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan
hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
Dosis optimal penyekat dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)

Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron


Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
Bersamaan dengan diuretic hemat kalium atau suplemen kalium
Kombinasi ACEIdan ARB

ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)


Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah
diberikan ACEI dan penyekat dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis
aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini,
ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat

(kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI

12

ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan

hipotensi simtomatik sama seperti ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan


batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan

bersama ACEI
HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap
ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)

Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN


Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak

dapat ditoleransi
Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat

dan ARB atau antagonis aldosteron


Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
Hipotensi simtomatik
Sindroma lupus
Gagal ginjal berat

DIGOKSIN

13

Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi
ejeksi ventrikel kiri 40% dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala,
menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi
tidak mempunyai efek terhadap angkakelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa,
tingkatan bukti B).
Indikasi pemberian digoksin
Fibrilasi atrial
dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat aktifitas > 110

-120x/menit
Irama sinus
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
Dosis optimal ACEI dan/atau ARB, penyekat dan antagonis aldosteron jika

ada indikasi.

Kontraindikasi pemberian digoksin


Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hati -hati jika pasien

diduga sindroma sinus sakit


Sindroma pre-eksitasi
Riwayat intoleransi digoksin

DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari
pemberian diuretic adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat)
dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien,
untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.

14

Tabel 5. Terapi pada gagal jantung menurut derajat gagal jantung13


Derajat
NYHA I

Untuk survival/ morbiditas


Untuk gejala
Lanjutkan ACE inhibitor / ARB jika Pengurangan/ hentikan diuretik
intoleran ACE inhibitor, lanjutkan
antagonis aldosteron jika pasca-MI.

NYHA II

Tambah penyekat beta jika pasca MI.


ACE inhibitor sebagai terapi lini +/- diuretik tergantung pada retensi
pertama, ARB jika intoleran ACE cairan
inhibitor. Tambah penyekat beta dan

NYHA III

antagonis aldosteron jika pasca MI.


ACE inhibitor + ARB atau ARB. Jika + diuretik + digitalis jika masih
intoleran ACE sendiri

simptomatik

Penyekat beta
NYHA IV

Tambah antagonis aldosteron


Lanjutkan ACE inhibitor/ ARB

+ diuretik + digitalis + consider

Penyekat beta

support inotrope sementara

Antagonis aldosteron

1.2.8.2 Tatalaksana Non-Farmakologi


1. Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan pengobatan
gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal
jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis.
Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung
2. Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup
pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi

15

3. Pemantauan berat badan mandiri


Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikanberat
badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik ataspertmbangan
dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C)
4. Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasiendengan
gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin padasemua pasien
dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikankeuntungan klinis (kelas
rekomendasi IIb, tingkatan bukti C)
5. Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagaljantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,mengurangi gejala
dan meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasiIIa, tingkatan bukti C)

6. Kehilangan berat badan tanpa rencana


Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantungberat.Kaheksia
jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunanangka kelangsungan
hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat badan stabil
sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasiendidefinisikan sebagai kaheksia.
Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati (kelas rekomendasi I,
tingkatan bukti C)
7. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronikstabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit
atau di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A)

16

8. Aktivitas seksual
Penghambat

5-phosphodiesterase

(contoh:

sildenafil)

mengurangi

tekananpulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut


dantidak boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat (kelas rekomendasi III,
tingkatan bukti B)
1.2.9. Prognosis
Secara umum, mortality rate untuk pasien gagal jantung yang dirawat inap
adalah 5-20% sementara penderita yang di luar rumah sakit adalah 20%
pada akhir tahun pertama setelah diagnosa ditegakkan dan setinggi 50%
pada 5 tahun pertama post diagnosis. Walaupun terdapat perbaikan
pengobatan.Setiap pasien yang rehospitalization mempunyai peningkatan
mortality rate sebanyak 20-30%. Cardiopulmonal stress testing merupakan
cara yang efektif untuk menilai survival rate pasien untuk tahun ke depan
dan indikasi transplantasi jantung. Pasien dengan NYHA IV, ACC/AHA
stage D mempunyai mortality yang melebihi 50% mortality pada tahun
pertama post diagnose. Gagal jantung yang disebabkan oleh myocard infark
akut mempunyai inpatient mortality rate 20-40%; mortality rate mendekati
80% pada pasien yang menderita hipotensi (contoh: cardiogenic shock)14.
1.3. Penyakit Jantung Koroner
1.3.1. Definisi
Coronary arterial disease atau yang biasa dikenal dengan penyakit jantung
koroner adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh penyempitan arteri koroner
akibat proses arterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya 15.Penyakit
jantung koroner dapat tidak menimbulkan manifestasi klinis, namun dapat
meningkatkan risiko untuk terjadinya angina, gagal jantung ataupun aritmia16.
1.3.2. Epidemiologi
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan suatu penyakit yang sangat
menakutkan dan masih menjadi masalah, baik di negara maju maupun
berkembang. Setiap tahunnya, di Amerika Serikat 478000 orang meninggal

17

karena penyakit jantung koroner, 1,5 juta orang mengalami serangan jantung,
407000 orang mengalami operasi peralihan, 300000 orang menjalani angioplasti.
Di Eropa diperhitungkan 20.000-40.-000 orang dari 1 juta penduduk menderita
PJK. Penyakit jantung, stroke, dan aterosklerosis merupakan penyakit yang
mematikan. Di seluruh dunia, jumlah penderita penyakit ini terus bertambah.
Ketiga kategori penyakit ini tidak lepas dari gaya hidup yang kurang sehat, yang
banyak dilakukan seiring dengan berubahnya pola hidup17.
Pada saat ini penyakit jantung merupakan penyebab kematian nomor satu
didunia. Pada tahun 2005 sedikitnya 17,5 juta atau setara dengan 30,0 % kematian
diseluruh dunia disebabkan oleh penyakit jantung. Menurut Badan Kesehatan
Dunia (WHO), 60 % dari seluruh penyebab kematian penyakit jantung adalah
penyakit jantung koroner (PJK)17.
PJK tidak hanya menyerang laki-laki saja, wanita juga berisiko terkena
PJK kasusnya tidak sebesar pada laki-laki. Pada orang yang berumur 65 tahun ke
atas, ditemukan 20 % PJK pada laki-laki dan 12 % pada wanita. Pada tahun 2002,
WHO memperkirakan bahwa sekitar 17 juta orang meninggal akibat penyakit
kardiovaskuler, terutama PJK (7,2 juta) dan stroke (5,5 juta)17.
1.3.3. Faktor Resiko
Faktor resiko yang dapat domodifikasi:

Usia
Jenis kelamin laki-laki
Riwayat keluarga penderita PJK

Etnis

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi


Merokok
Hipertensi
Dislipidemia: - Hipertrigliseridemia: 150 mg / dL
Low high-density lipoprotein (HDL) kolesterol: <40 mg / dL pada pria dan <50
mg / dL pada wanita
Diabetes melitus

18

Obesitas: lingkar pinggang> 102 cm pada pria dan> 88 cm di wanita


Stress
Diet lemak yang tinggi
Inaktifitas fisik
1.3.4. Patofisiologi
CAD biasanya disebabkan oleh penumpukan kolesterol yang tinggi atau
plak yang terdapat di dalam arteri.Plak tersebut kita kenal dengan plak atheroma
dan plak tersebut menyebabkan penebalan dinding arteri dan penyempitan lebar
dari arteri di mana arteri merupakan aliran darah untuk mencapai jantung. Jumlah
dari darah yang sampai dan mensuplai dari pada otot jantung ( myocardium )
dengan oksigen dan nutrisi dapat berkurang akibat adanya atheroma18.
Atheroma ini kemudian akan menyebabkan kerusakan serta cedera dari
dinding pembuluh darah arteri yang disebut endothelium. Saat endothelium
mengalami kerusakan, kolesterol, lemak, lipoprotein dan lain-lain akan mulai
mengakumulasi dari sisi dinding atau intima dari arteri yang cedera18.
Konsentrasi yang tinggi dari LDL akan menembus endothelium yang rusak
dan menjalani proses kimia yang disebut oksidasi. LDL tersebut bertindak sebagai
sinyal yang menarik sel darah putih atau leukosit untuk bermigrasi kea rah
dinding pembuluh darah, seperti makrofag. Ketika makrofag muncul mereka akan
memakan lipoprotein dan membentuk sel-sel busa.Sel-sel busa ini akan
memberikan perkembangan dari pada bentuk lesi atheroma menjadi tumpukan
lemak18.
Saat tumpukan lemak terbentuk, ia akan menarik sisi dari sel otot polos, di
mana mereka bermultiplikasi dan mulai memproduksi matriks ekstraselular yang
terdiri dari kolagen dan proteoglikan. Inilah yang akan membentuk plak
atherosclerosis yang besar. Ia akan mengubah tumpukan lemak menjadi plak
fibrosa. Lesinya kemudian mulai menonjol kearah dalam dinding dari pembuluh
darah yang menyebabkan terjadinya penyempitan lebar dari pada lumen 18.
Kemudian, plak fibrosa mulai bekerja sendiri dan plak tersebut akan
masuk ke pembuluh kecil untuk menyediakan suplai darah baginya yang disebut
angiogenesis. Setelah itu, plak akan memulai pengapuran kalsium untuk dideposit.

19

Bentuk plak akhir terdiri dari jaringan fibrosa yang ditutupi oleh inti ang kaya
akan lipid serta sel-sel nekrosis atau mati. Inilah yang menjadi kunci dalam
CAD.Wilayah ini gampang pecah dimana hal ini dapat menyebabkan agregasi
trombosit yang membentuk gumpalan plak dan lebih mempersempit arteri18.
Arteri yang menyempit karena adanya plak dapat menyebabkan angina
atau nyeri dada akibat dari otot jantung yang kurang oksigen. Deposit plak yang
berkepanjangan akan menyebabkan pembuluh darah menjadi makin sempit dan
mungkin bisa menyebabkan obstruksi yang akan mengarah pada serangan jantung
dan infark miokard18.

1.3.5. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis penyakit jantung koroner (PJK) bervariasi tergantung
pada derajat aliran darah arteri koroner. Bila aliran koroner masih mencukupi
kebutuhan jaringan, tidak akan timbul keluhan atau manifestasi klinis. Dalam
keadaan normal, dimana arteri koroner tidak mengalami penyempitan atau
spasme, peningkatan kebutuhan jaringan otot miokard dipenuhi oleh peningkatan
aliran darah sebab aliran darah koroner dapat ditingkatkan sampai 5 kali
dibandingkan saat istirahat, yaitu dengan cara meningkatkan frekuensi denyut
jantung dan isi sekuncup seperti pada saat melakukan aktifitas fisik bekerja atau
olahraga. Mekanisme pengaturan aliran koroner mengusahakan agar pasok
maupun kebutuhan jaringan tetap seimbang agar oksigenasi jaringan terpenuhi,
sehingga setiap jaringan mampu melakukan fungsi secara optimal19.
Proses terjadinya aterosklerosis dapat sejak masa kanak-kanak, dapat
berlangsung bertahun-tahun tanpa ada gejala. Kadang-kadang gejala timbul saat
usia 30-an. Banyak juga gejala baru timbul saat usia 50-60 tahun. Jika sumbatan
makin bertambah besar, maka aliran darah yang menuju jantung makin berkurang
sehingga menyebabkan angina pektoris atau nyeri dada. Angina ini timbul karena
ketidakseimbangan antara kebutuhan otot jantung akan dan oksigen dan suplai
darah oleh pembuluh koroner20.

20

Penyakit jantung koroner dapat memberikan manifestasi klinis yang


berbeda-beda. Dengan memperhatikan klinis penderita, riwayat perjalanan
penyakit, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi saat istirahat, foto dada,
pemeriksaan enzim jantung dapat membedakan subset klinis PJK. Manifestasi
klinis PJK meliputi :
1. Asimptomatik ( Silent Myocardial Ischemia )
2. Angina Pektoris.
a.Angina Pektoris Stabil
b. Angina Pektoris Tidak Stabil
c. Variant Angina ( Prinzmetal Angina )
3. Infark Miokard Akut
4. Dekompensasi Kordis
5. Aritmia Jantung
6. Mati Mendadak
7. Syncope
Pada penderita asimptomatik, Kadang penderita penyakit jantung koroner
diketahui secara kebetulan misalnya saat dilakukan check up kesehatan.
Kelompok penderita ini tidak pernah mengeluh adanya nyeri dada (angina) baik
pada saat istirahat maupun saat aktifitas. Secara kebetulan penderita menunjukkan
iskemia saat dilakukan uji beban latihan. Ketika EKG menunjukkan depresi
segmen ST. Pemeriksaan fisik, foto dada dan lain-lain dalam batas-batas normal.
Pada penderita Angina Pektoris Stabil, Nyeri dada yang timbul saat melakukan
aktifitas, bersifat kronis (> 2 bulan). Nyeri precordial terutama di daerah
retrosternal, terasa seperti tertekan benda berat atau terasa panas, seperti di remas
ataupun seperti tercekik. Rasa nyeri sering menjalar ke lengan kiri atas / bawah
bagian medial, ke leher, daerah maksila hingga ke dagu atau ke punggung, tetapi
jarang menjalar ke lengan kanan. Nyeri biasanya berlangsung singkat (1-5) menit
dan rasa nyeri hilang bila penderita istirahat. Selain aktifitas fisik, nyeri dada
dapat diprovokasi oleh stress / emosi, anemia, udara dingin dan tirotoksikosis.
Pada saat nyeri, sering disertai keringat dingin. Rasa nyeri juga cepat hilang
dengan pemberian obat golongan nitrat.

21

Pada penderita yang mengalami Angina Pektoris tak stabil, kualitas,


lokasi, penjalaran dari nyeri dada sama dengan penderita angina stabil. Tetapi
nyerinya bersifat progresif dengan frekuensi timbulnya nyeri yang bertambah
serta pencetus timbulnya keluhan juga berubah. Sering timbul saat istirahat.
Pemberian nitrat tidak segera menghilangkan keluhan. Keadaan ini didasari oleh
patogenesis yang berbeda dengan angina stabil. Pada angina tidak stabil, plak
aterosklerosis mengalami trombosis sebagai akibat plaque rupture (fissuring), di
samping itu diduga juga terjadi spasme namun belum terjadi oklusi total atau
oklusi bersifat intermitten. Pada pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan
adanya depresi segmen ST, kadar enzim jantung tidak mengalami peningkatan.
Penyakit jantung koroner dapat juga bermanifestasi sebagai infark miokard akut
yang Pre- Infarction. Penderita infark miokard akut sering didahului oleh keluhan
dada terasa tidak enak (chest discomfort). Keluhan ini menyerupai gambaran
angina yang klasik pada saat istirahat sehingga dianggap terjadi angina tidak
stabil. 30% penderita mengeluh gejala tersebut 1 4 minggu sebelum penderita
mengeluh gejala tersebut dirasakan kurang dari 1 minggu. Selain itu penderita
sering mengeluh rasa lemah dan kelelahan. Nyeri dada berlangsung > 30 menit
bahkan sampai berjam-jam. Lokasi nyeri biasanya retrosternal, menjalar ke kedua
dinding dada terutama dada kiri, ke bawah ke bagian medial lengan menimbulkan
rasa pegal pada pergelangan, tangan dan jari. Kadang-kadang nyeri dapat
dirasakan pada daerah epigastrium hingga merasa perut tidak enak (abdominal
discomfort). Gejala lain yang sering menyertai adalah mual, muntah, badan lemah,
pusing, berdebar dan keringat dingin.
1.3.6. Diagnosis7,18
Pendekatan diagnostic awal untuk CAD meliputi riwayat pasien secara
rinci termasuk menyusun daftar lengkap faktor risiko CAD, pemeriksaan fisik
secara menyeluruh mencakup penilaian dari semua denyut perifer di mana ketika
abnormal mungkin menandakan adanya penyakit arteri perifer yang mendasar dan
elektrokardiogram. Setelah evaluasi awal, kemudian dilakukan tes darah

22

laboratorium, stress testing dan kateterisasi jantung mungkin diperlukan untuk


membantu dalam penegakan diganosa pasti.
Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen).Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium.Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit).Keluhan angina tipikal
sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering
dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan
pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa
lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai
pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita,
penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan
angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai
angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung koroner (PJK).Hilangnya keluhan angina setelah terapi
nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis
banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus
dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,
diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan
terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak
seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri
pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam
memikirkan diagnosis banding SKA

23

Elektrokardiografi
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga
harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal
nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhan angina timbul kembali5.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block)
baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (20 menit) maupun
tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria
dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3
nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin.
Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia 40 tahun adalah
0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah 0,25 mV. Sedangkan pada perempuan
nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah
0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R
dan V4R adalah 0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang 0,1 mV
dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah 0,5 mV. Depresi
segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh
segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI
terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST
dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru
mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien

24

dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi
reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia5.
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG
pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen
ST 1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST 1
mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan
konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk
diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan
dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat
rendah.
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan
elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan
nonelevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP).
Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar 0,05 mV di
sadapan V1-V3 dan 0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi
segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten
(<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T
yang simetris 0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut.
Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik
dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.
Pemeriksaan Marka Jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner).
Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainankardiak nonkoroner seperti
takiaritmia,

trauma

kardiak,

gagal

jantung,

hipertrofi

ventrikel

kiri,

miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar


troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut,

25

emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada


dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada
seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah)
dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat,
CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang)
maupun infark periprosedural.
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral.
Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care
testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (1520 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin
SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral
memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of care testing
menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium
sentral.
Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak
seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
2. EKG normal atau nondiagnostik, dan
3. Marka jantung normal
Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi
ST atau inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard,
atau LBBB baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan marka jantung

26

Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka


jantung normal perlu menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Definitif SKA
dan angina tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat
di rumah sakit dalam ruang intensive cardiovascular care (ICVCU/ICCU).
Foto Thoraks
Mediastinum yang melebar mungkin menandakan aneurisma aorta dan
menjadi petunjuk pertama pada penyakit aorta yang tidak stabil sebagai akibat
dari ketidaknyamanan pada daerah dada.
Echocardiography
Echocardiography direkomendasikan untuk pasien dengan angina stabil
dan temuan fisik menunjukkan adanya penyakit katup jantung yang terjadi
bersamaan.Hal ini bisa untuk menilai pasien dengan dugaan hypertrophic
cardiomyopathy.Selain itu berfungsi juga untuk penilaian fungsi sistolik ventrikel
kiri kepada pasien yang telah didiagnosis dengan gagal jantung kongestif, aritmia
ventrikel yang kompleks, atau riwayat MI.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan sebagai bagian dari evaluasi awal
pasien dengan CAD mencakup KGD puasa, penilaian lipid (kolesterol total, HDL,
trigliserida, dan LDL. Penanda lain seperti lipoprotein A dan sensitivitas tinggi Creaktif protein, mungkin bisa menjagi penanda dalam menilai risiko jantung.
Peningkatan C-reaktif protein dapat menjadi penilaian dalam peningkatan
inflamasi penyakit pembuluh darah dan memprediksi resiko kejadian vascular ke
depannya, seperti MI dan kelainan serebrovaskular.
Coronary Arteriography
Kateterisasi jantung tetap menjadi Gold Standard untuk menentukan
adanya obstruktif CAD. Untuk membantu menghindari keterbatasan gambaran 2
dimensi anatomi 3 dimensi, beberapa pandangan dari berbagai sudut yang
diperoleh dapat mengetahui tingkat keparahan CAD yang biasanya berasal dari
angulasi dengan keparahan stenosis terbesar dalam segmen arteri koroner tertentu.
1.3.7. Penatalaksanaan

27

Berdasarkan langkah diagnostik yang dilakukan, maka perlu dengan segera


menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penganganan
selanjutnya. Terapi awal dapat diberikan pada pasien dengan diagnosis
kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat
sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang
dimaksud adalah morfin, oksigen, nitrat, aspirin (MONA) yang tidak harus
diberikan semua atau bersamaan7.
1. Tirah baring
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2
arteri < 95% atau yang mengalami distres respirasi.
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.
4. Aspirin 160 320 mg diberikan segera kepada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih dipilih
mengingat absorbsi sublingual yang lebih cepat.
5. Penghambat reseptor ADP
a) Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 2x90 mg perhari kecuali pada pasien STEMI yang
direnccanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik.
b) Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg yang dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg per hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor
ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang rawat darurat. Jika nyeri dada tidak
hilang dengan satu kali pemberian dapat diulang setiap lima menit sampai
maksimal tiga kali. NTG intravena diberikan kepada pasien yang tidak
responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Dalam keadaan tidak
tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena dapat diulang setiap 10 30 menit bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual.

28

Anda mungkin juga menyukai