Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi mata yang sering mengenai masyarakat salah satunya adalah
konjungtivitis. Pada dasarnya konjungtvitis adalah penyakit ringan, namun pada
beberapa kasus dapat berlanjut menjadi penyakit yang serius seperti gangguan
penglihatan maupun kebutaan apabila tidak ditangani secara adekuat.
Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi pada
konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva, selaput bening yang menutupi
bagian berwarna putih pada mata dan permukaan bagian dalam kelopak mata.
Konjungtivitis terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan
menyebar begitu cepat dan biasanya menyebabkan mata rusak.
Beberapa jenis konjungtivitis dapat mengenai pada usia bayi maupun dewasa.
Konjungtivitis pada bayi baru lahir, bisa mendapatkan infeksi gonokokus pada
konjungtiva dari ibunya ketika melewati jalan lahir. Karena itu setiap bayi baru
lahir mendapatkan tetes mata (biasanya perak nitrat, povidin iodin) atau salep
antibiotik

(misalnya

eritromisin)

untuk

membunuh

bakteri

yang

bisa

menyebabkan konjungtivitis gonokokal.


Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini,
mata sangat berair. Kotoran mata ada, namun biasanya sedikit. Konjungtivitis
bakteri biasanya mengenai kedua mata. Ciri khasnya adalah keluar kotoran mata
dalam jumlah banyak, berwarna kuning kehijauan. Konjungtivitis alergi juga
mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna merah, mata juga akan
terasa gatal. Gatal ini juga seringkali dirasakan dihidung. Produksi air mata juga
berlebihan sehingga mata sangat berair. Konjungtivitis papiler raksasa adalah
konjungtivitis yang disebabkan oleh intoleransi mata terhadap lensa kontak.
Biasanya mengenai kedua mata, terasa gatal, banyak kotoran mata, air mata
berlebih, dan kadang muncul benjolan di kelopak mata. Konjungtivitis virus
biasanya tidak diobati, karena akan sembuh sendiri dalam beberapa hari.
Walaupun demikian, beberapa dokter tetap akan memberikan larutan astringen
agar mata senantiasa bersih sehingga infeksi sekunder oleh bakteri tidak terjadi
1

dan air mata buatan untuk mengatasi kekeringan dan rasa tidak nyaman di mata
(Ilyas, 2003 dan American Academy of Opthalmology, 2005).
Obat tetes atau salep antibiotik biasanya digunakan untuk mengobati
konjungtivitis bakteri. Antibiotik sistemik juga sering digunakan jika ada infeksi
di bagian tubuh lain. Pada konjungtivitis bakteri atau virus, dapat dilakukan
kompres hangat di daerah mata untuk meringankan gejala. Tablet atau tetes mata
antihistamin cocok diberikan pada konjungtivitis alergi. Selain itu, air mata buatan
juga dapat diberikan agar mata terasa lebih nyaman, sekaligus melindungi mata
dari paparan alergen, atau mengencerkan alergen yang ada di lapisan air mata.
Untuk konjungtivitis papiler raksasa, pengobatan utama adalah menghentikan
paparan dengan benda yang diduga sebagai penyebab, misalnya berhenti
menggunakan lensa kontak. Selain itu dapat diberikan tetes mata yang berfungsi
untuk mengurangi peradangan dan rasa gatal di mata (Ilyas, 2003).
Biasanya konjungtivitis hanya menyerang satu mata. Jika tidak diobati bisa
terbentuk ulkus kornea, abses, perforasi mata bahkan kebutaan. Konjungtivitis
dapat hilang dengan sendiri, tapi ada juga yang memerlukan pengobatan (Effendi,
2008). Pada dasarnya konjungtivitis adalah penyakit ringan, namun pada beberapa
kasus dapat berlanjut menjadi penyakit yang serius. Untuk itu tidak ada salahnya
berkonsultasi dengan dokter mata jika terkena konjungtivitis (Ilyas, 2003).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi konjungtivitis?
2. Bagaimana etiologi konjungtivitis?
3. Bagaimana patogenesis konjungtivitis?
4. Bagaimana diagnosis konjungtivitis?
5. Bagaimana penatalaksanaan konjungtivitis?
1.1 Tujuan
1. Mengetahui definisi konjungtivitis
2. Mengetahui etiologi konjungtivitis
3. Mengetahui patogenesis konjungtivitis
4. Mengetahui diagnosis konjungtivitis
2

5. Mengetahui penatalaksanaan konjungtivitis


1.2 Manfaat
1. Menambah wawasan mengenai penyakit mata khususnya
2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit mata

BAB 2
3

STATUS PASIEN
Identitas Pasien
Nama

: Sdr. W

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 17 tahun

Alamat

: Pagak

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Pelajar

Status

: Belum menikah

Suku Bangsa

: Jawa

Tanggal Periksa

: 8 April 2013

Anamnesis
1. Keluhan Utama
: Kedua mata merah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
:
Pasien datang ke poli mata dengan keluhan mata merah sejak 1 minggu
yang lalu. Selain itu pasien juga mengeluhkan mata terasa mengganjal,
kotoran sedikit dan banyak keluar air. Jika bangun pagi mata terasa lengket.
Pasien tidak mengeluh panas dan gatal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
: Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
: Disangkal
5. Riwayat Pengobatan
: Pernah berobat ke Puskesmas dan diberi obat
tetes
6. Riwayat Kebiasaan

: Sering mengucek mata menggunakan tangan

Status Generalis
Kesadaran
: Compos mentis (GCS 456)
Vital sign
: Tidak dilakukan
1. Tensi : mmHg
2. Nadi

: x/menit

3. RR

: x/menit

4. Suhu : oC
Status Oftalmologis
4

OD
5/5
N/palpasi
Orthoporia

AV tanpa koreksi
TIO
Kedudukan
Pergerakan

OS
5/5
N/palpasi
Orthoporia

Hiperemi (-), edema (-),


Palpebra sup./inf.
Hiperemi (-), edema (-),
spasme (-), sikatriks (-)
spasme (-), sikatriks (-)
Hiperemi (+), folikel-folikel Konjungtiva (pars Hiperemi (+), folikel-folikel
dikonjungtiva tarsal inferior
tarsalis, pars
dikonjungtiva tarsal inferior
(-), injeksi konjungtiva (+),
bulbi, forniks)
(-), injeksi konjungtiva (+),
CI (-), PCI (-), jaringan
CI (-), PCI (-), jaringan
fibrovaskular (-)
fibrovaskular (-)
Jernih, edema (-), infiltrat (-),
Kornea
Jernih, edema (-), infiltrat (-),
arkus senilis (-)
arkus senilis (-)
Dalam
COA
Dalam
Normal
Iris
Normal
Sentral, round, reflek cahaya
Pupil
Sentral, round, reflek cahaya
(+), 3 mm
(+), 3 mm
Jernih
Lensa
Jernih

Diagnosis
Working diagnosis

: ODS konjungtivitis virus

Differential diagnosis : ODS konjungtivitis bakteri


ODS konjungtivitis alergi
Penatalaksanaan
Planning diagnosis

1. Slit lamp
2. Pemeriksaan sediaan (sekret) langsung
Planning therapy

1. Tobroson 6x1 tetes/hari ODS


2. Cefresh 6x1 tetes/hari ODS
KIE

1. Istirahat cukup
2. Tidak menggosok mata
3. Obat harus digunakan secara teratur
5

4. Mencuci tangan setelah memegang mata yang sakit


Prognosis
ad vitam

: dubia ad bonam

ad functionam

: dubia ad bonam

ad sanactionam

: dubia ad bonam

BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva

Konjungtiva adalah selaput lendir atau disebut lapisan mukosa. Konjungtiva


melapisi permukaan sebelah dalam kelopak mulai tepi kelopak (margo
palpebralis), melekat pada sisi dalam tarsus, menuju ke pangkal kelopak menjadi
konjuntiva fornics yang melekat pada jaringan longgar dan melipat balik melapisi
bola mata hingga tepi kornea. Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian :
1. Konjungtiva palpebra (menutupi permukaan posterior dari palpebra)
2. Konjungtiva forniks (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata)
3. Konjungtiva bulbi (bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian
posterior palpebra dan bola mata)

Gambar 3.1 Bagian Konjungtiva

Yang ada di palpebra disebut konjuntiva palpebra, di fornix disebut konjuntiva


fornics dan yang di bola mata disebut konjuntiva bulbi. Konjungtiva forniks
merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak di sudut nasal, di
canthus internus ada lipatan disebut plica semilunaris. Juga disitu menuju
benjolan menyerupai epidermoid yang disebut caruncula. Histologis lapisan
konjuntiva adalah epitel konjuntiva terdiri atas epitel superficial mengandung sel
goblet yang memproduksi mucin. Epitel basal, didekat limbus dan epitel ini
mengandung pigmen. Dibawah epitel terdapat stroma konjuntiva yang terdiri atas
lapisan adenoid yang mengandung jaringan limfoid dan lapisan fibrosa yang

mengandung jaringan ikat. Bagian yang padat adalah tarsus dan ditempat lain
jaringan longgar.
Kelenjar yang ada di konjuntiva terdiri kelenjar Krause (ditepi atas tarsus)
yang menyerupai kelenjar air mata. Pembuluh darah yang ada di konjuntiva
adalah a. siliaris anterior dan a. palpebralis. Konjuntiva mengandung sangat
banyak pembuluh limfe. Inervasi syaraf di palpebra oleh percabangan n.
oftalmikus cabang N. V (Ilyas, 2003).
Konjungtiva dibasahi oleh air mata yang saluran sekresinya bermuara di fornix
atas. Air mata mengalir dipermukaan belakang kelopak mata dan tertahan pada
bangunan lekukan di belakang kelopak mata tertahan di belakang tepi kelopak.
Air mata yang mengalir ke bawah menuju fornix dan mengalir ke tepi nasal
menuju punctum lakrimalis sehingga konjuntiva dan kornea selalu basah (Ilyas,
2003).

Gambar 3.2 Bola Mata

Kedudukan konjuntiva mempunyai resiko mudah terkena mikroorganisme atau


benda lain. Air mata akan melarutkan materi infektius atau mendorong debu
keluar. Alat pertahanan ini menyebabkan peradangan menjadi self-limited disease.
Selain air mata, alat pertahanan berupa elemen limfoid, mekanisme eksfoliasi
epitel dan gerakan memompa kantong air mata. Hal ini dapat dilihat pada
kehidupan mikroorganisme patogen untuk saluran genitourinaria yang dapat
tumbuh di daerah hidung tetapi tidak berkembang di daerah mata.
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari a.ciliaris anterior dan a. palpebralis yang
keduanya beranastomosis yang berasal dari a. ciliaris anterior berjalan ke depan
mengikuti m. rectus menembus sklera dekat limbus untuk mencapai bagian dalam
mata dan cabang-cabang yang mengelilingi kornea. Konjungtiva menerima
persyarafan dari percabangan pertama n. trigeminus yang berakhir sebagai ujungujung yang lepas terutama di bagian palpebra (Ilyas, 2003).
8

3.2 Histologi Konjungtiva


Epitel konjungtiva terdiri atas 2-5 lapis sel-sel epitel toraks berlapis, superficial
dan basal. Epitel konjungtiva di dekat limbus, yang melapisi karunkula dan di
dekat sambungan mukokutan di pinggir kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel
gepeng berlapis. Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet yang bulat
dan lonjong dan mengeluarkan secret mukus. Mukus ini meminggirkan inti sel-sel
goblet dan memungkinkan tersebarnya pada lapisan air mata prekornea. Sel-sel
epitel basal menangkap zat warna lebih dalam daripada sel-sel superficial dan di
dekat limbus berisi pigmen (Vaughan, 1994). Stroma konjungtiva terdiri atas
lapisan adenoid (superficial) dan fibrosa (dalam). Lapisan adenoid terdiri atas
jaringan limfoid. Lapisan fibrosa tersusun atas jaringan ikat yang melekat
lempeng tarsus secara heksagonal. Lapisan fibrosa tersusun longgar mengelilingi
bola mata (Kannelpolulus, 2000).
Kelenjar lakrimal aksesori (krause dan wolfring) yang susunannya maupun
fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terdapat di dalam stroma. Sebagian besar
kelenjar krause berada di forniks superior dan sebagian kecil di forniks inferior.
Kelenjar wolfring terletak di pinggir atas tarsus superior (Vaughan, 1994).
Pembuluh-pembuluh darah konjungtiva terdiri atas arteri siliar anterior dan
arteri palpebra. Saraf berjalan dari cabang oftalmik saraf cranial kelima. Hanya
terdapat sedikit serabut rasa sakit. Konjungtiva kaya akan getah bening
(Radjamin, 1984).
3.3 Definisi Konjungtivitis
Konjungtivitis merupakan radang pada konjungtiva atau radang selaput lendir
yang menutupi belakang kelopak dan bola mata (Ilias, 2009) atau lapisan luar
mata dan lapisan dalam kelopak mata.
Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi pada
konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva, selaput bening yang menutupi
bagian berwarna putih pada mata dan permukaan bagian dalam kelopak mata.
Konjungtivitis terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan
menyebar begitu cepat dan biasanya menyebabkan mata rusak. Beberapa jenis
9

Konjungtivitis dapat hilang dengan sendiri, tapi ada juga yang memerlukan
pengobatan (Effendi, 2008).
Konjungtivitis dapat mengenai pada usia bayi maupun dewasa. Konjungtivitis
pada bayi baru lahir, bisa mendapatkan infeksi gonokokus pada konjungtiva dari
ibunya ketika melewati jalan lahir. Karena itu setiap bayi baru lahir mendapatkan
tetes mata (biasanya perak nitrat, povidin iodin) atau salep antibiotik (misalnya
eritromisin) untuk membunuh bakteri yang bisa menyebabkan konjungtivitis
gonokokal. Pada usia dewasa bisa mendapatkan konjungtivitis melalui hubungan
seksual (misalnya jika cairan semen yang terinfeksi masuk ke dalam mata).
Biasanya konjungtivitis hanya menyerang satu mata. Dalam waktu 12 sampai 48
jam setelah infeksi mulai, mata menjadi merah dan nyeri. Jika tidak diobati bisa
terbentuk ulkus kornea, abses, perforasi mata bahkan kebutaan. Untuk mengatasi
konjungtivitis gonokokal bisa diberikan tablet, suntikan maupun tetes mata yang
mengandung antibiotik (Medicastore, 2009).
3.4 Etiologi Konjungtivitis
Konjungtivitis dibedakan bentuk akut dan kronis. Konjungtivitis dapat
disebabkan bakteri seperti konjungtivitis gonokok, virus, klamidia, alergi tolsik,
dan molluscum contagiosum (Ilias, 2009).
Konjungtiva bisa mengalami peradangan akibat:
1. Infeksi olah virus atau bakteri
2. Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
3. Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara lainnya; sinar ultraviolet dari las
listrik atau sinar matahari
3.5 Klasifikasi Konjungtivitis
1. Berdasarkan waktu:

Akut

kronis

2. Berdasarkan penyebabnya (Schwab dan Dawson, 2000):


Konjungtivitis akut bacterial

Konjungtivitis blenore
10

Konjungtivitis gonore

Konjungtivitis difteri

Konjungtivitis folikuler

Konjungtivitis angular

Konjungtivitis mukokataral

Blefarokonjungivitis

Konjungtivitis akut viral

Keratokonjungtivitis epidemika

Demam faringokonjungtiva

Keratokonjungtivitis herpetik

Keratokonjungtivitis New Castle

Konjungtivitis hemoragik akut

Konjungtivitis akut jamur


Konjungtivitis akut alergik

Konjungtivitis vernal

Konjungtivitis flikten
Bakteri patogen yang paling umum pada conjungtivitis infeksi meliputi

Pneumococcus, Staphylococcus aureus, Moraxella catarrhalis, dan Haemophilus


influenzae. Sedangkan yang jarang adalah Neisseria gonorrhoeae menyebabkan
konjungtivitis hiperakut purulenta, organismenya ditularkan dari genitalia ke
tangan lalu ke mata. Chlamydia adalah penyebab tersering dari konjungtivitis
persisten (Soewono, dkk., 1994).
Konjungtivitis viral dapat disebabkan oleh adenovirus, herpes simplex,
Epstein-Barr,

varicella

enterovirus.

Adenoviral

zoster,

molluscum

konjungtivitis

contagiosum,

biasanya

coxsackie,

menyebabkan

dan

epidemik

keratokonjungtivitis, follikular konjungtivitis, dan nonspesifik konjungtivitis


(Soewono, dkk., 1994). Virus picorna, atau enterovirus 70 menyebabkan
konjungtivitis hemoragik epidemik akut.1 Konjungtivitis viral sangat menular dan
menyebar melalui kontak langsung dengan orang atau permukaan yang
terkontaminasi oleh sekret (Soewono, dkk., 1994).

11

Iritasi jamur pada konjungtiva jarang terjadi, sedangkan 50% infeksi jamur
yang terjadi tidak memperlihatkan gejala. Terutama terjadi pada orang yang
keadaan umumnya buruk, yang sedang memakai steroid atau obat anti kanker.
Jamur yang dapat memberikan infeksi adalah candida albicans, yang dapat
memberikan

pseudomembran

pada

konjungtiva,

Actinomyces

sering

menimbulkan kanakulitis (Schwab dan Dawson, 2000).


Konjungtivitis alergi merupakan konjungtivitis noninfeksi, dapat berupa reaksi
cepat seperti alergi biasa dan reaksi terlambat sesudah beberapa hari kontak
seperti pada rekasi terhadap obat, bakteri dan toksik. Umumnya disebabkan oleh
bahan kimia dan mudah diobati dengan antihistamin atau bahan vasokonstriktor.
Dikenal beberapa macam bentuk konjungtivitis alergi seperti konjungtivitis
flikten, konjungtivitis vernal, konjungtivitis atopi, konjungtivitis alergi bakteri,
konjungtivitis alergi akut, konjungtivitis alergi kronik, sindrom Stevens Johnson,
pemfigoid okuli, dan sindrom Sjogren (Schwab dan Dawson, 2000).
Konjungtivitis flikten mempunyai 2 bentuk yaitu tipe bulbar dan limbal, yang
terjadi

akibat

realsi

hipersensitifitas

tipe

IV, berupa

alergi

terhadap

tuberkuloprotein, staphylococ, ascariasis, dan lain-lain. Biasanya kelainan ini


terdapat pada anak-anak dan orang dewasa muda (Schwab dan Dawson, 2000).
a

b
c

Gambar 3.3 Jenis Konjungtivitis. (a,b) Konjungtivitis bakteri, (c) Konjungtivitis viral

12

d
Gambar 3.4 Jenis Konjungtivitis. (a,b) Konjungtivitis alergi, (c,d) Konjungtivitis jamur

3.6 Patofisiologi Konjungtivitis


Konjungtiva mengandung epitel skuamosa yang tidak berkeratin dan
substansia propria yang tipis, kaya pembuluh darah. Konjungtiva juga memiliki
kelenjar lakrimal aksesori dan sel goblet (Soewono, dkk., 1994).
Konjungtivitis alergika disebabkan oleh respon imun tipe 1 terhadap alergen.
Alergen terikat dengan sel mast dan reaksi silang terhadap IgE terjadi,
menyebabkan degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi bertingkat dari
peradangan. Hal ini menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast, juga mediator
lain termasuk triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat, prostaglandin,
tromboksan, dan leukotrien. histamin dan bradikinin dengan segera menstimulasi
nosiseptor, menyebabkan rasa gatal, peningkatan permeabilitas vaskuler,
vasodilatasi, kemerahan, dan injeksi konjungtiva (Soewono, dkk., 1994).
Konjuntivitis infeksi timbul sebagai akibat penurunan daya imun penjamu dan
kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat menginvasi dari tempat yang
berdekatan atau dari jalur aliran darah dan bereplikasi di dalam sel mukosa
konjungtiva. Kedua infeksi bakterial dan viral memulai reaksi bertingkat dari
peradangan leukosit atau limfositik meyebabkan penarikan sel darah merah atau
putih ke area tersebut. Sel darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva dan
berakumulasi di sana dengan berpindah secara mudahnya melewati kapiler yang
berdilatasi dan tinggi permeabilitas (Soewono, dkk., 1994).
Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang menutupi
konjungtiva. Rusaknya lapisan ini memudahkan untuk terjadinya infeksi.
Pertahanan sekunder adalah sistem imunologi (tear-film immunoglobulin dan
lisozyme) yang merangsang lakrimasi.
Akibat lokasinya, konjungtiva terpapar banyak mikroorganisme dan faktor
lingkungan lain yang mengganggu. Beberapa mekanisme melindungi permukaan

13

mata dari subtansi luar; pada film air mata, unsur berairnya mengencerkan materi
infeksi, mucus menangkap debris, dan kerja memompa dari palpebra secara tetap
mengahanyutkan air mata ke duktus air mata; air mata mengandung substansi
antimikroba, termasuk lisozim dan antibody (IgG dan IgA).
Cedera pada epitel konjungtiva oleh agen perusak dapat diikuti oleh edema
epitel, kematian sel dan eksfoliasi, hipertrofi epitel atau granuloma. Mungkin pula
terdapat edema pada stroma konjungtiva (kemosis) dan hipertrofi lapis lmfoid
stroma (pembentukan folikel). Sel-seel radang, termasuk neutrofil, eusinofil,
basofil, limfosit dan sel plasma, dansering menunjukkan sifat agen perusak. Selsel radang bermigrasi dari stroma konjungtiva melalui epitel ke permukaan. Selsel ini kemudian bergabung dengan fibrin dan mucus dari sel goblet, membentuk
eksudat konjungtiva yang menyebabkan perlengketan tepian palpebra,
(terutama di pagi hari).
Sel-sel radang tampak dalam eksudat atau dalam kerokan yang diambil dengan
spatula platina steril dari permukaan konjungtiva yang telah dianastesi. Materi itu
dipulas dengan pulasan Gram (untuk menetapkan organism bakteri) dan dengan
pulasan Giemsa (untuk menetapkan jenis dan morfologi sel). Banyak leukosit
polimorfonuklear adalah ciri khas untuk konjungtivitis karena virus. Jika ada
pseudomembran atau membran sejati (missal: keratokonjungtivitis epidemika atau
konjungtivitis virus herpes simpleks), neutrofil akan paling banyak karena
nekrosis yang ada. Pada konnjungtivitis klamidia, neutrofil dan lomfosit terdapat
dalam jumlah yang sama (Ilyas, 2009).
3.7 Penegakan Diagnosis Konjungtivitis
3.7.1 Gejala dan Tanda Konjungtivitis
Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu tergores
atau panas, sensasi penuh di sekitar mata, gatal dan fotofobia. Sensasi benda
asing dan tergores atau terbakar sering berhubungan dengan edema dan
hipertrofi papiler yang biasanya menyertai hiperemi konjungtiva. Sakit pada
iris atau corpus siliaris mengesankan terkenanya kornea (Wijana, 1983).
Tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia, berair mata, eksudasi,
pseudoptosis, hipertrofi papiler, kemosis (edem stroma konjungtiva), folikel
14

(hipertrofi lapis limfoid stroma), pseudomembranosa dan membran,


granuloma, dan adenopati pre-aurikuler (Wijana, 1983).
Hiperemia adalah tanda paling mencolok pada konjungtivitis akut.
Kemerahan paling nyata pada forniks dan mengurang ke arah limbus
disebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. Warna
merah terang mengesankan konjungtivitis bakteri dan keputihan mirip susu
mengesankan konjungtivitis alergika (Wijana, 1983).
Berair mata (epiphora) sering mencolok, diakibatkan oleh adanya sensasi
benda asing, terbakar atau gatal. Kurangnya sekresi airmata yang abnormal
mengesankan keratokonjungtivitis sicca (Wijana, 1983).
Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut. Eksudat berlapislapis dan amorf pada konjungtivitis bakterial dan dapat pula berserabut
seperti pada konjungtivitis alergika, yang biasanya menyebabkan tahi mata
dan saling melengketnya palpebra saat bangun tidur pagi hari, dan jika
eksudat berlebihan agaknya disebabkan oleh bakteri atau klamidia (Wijana,
1983).
Pseudoptosis adalah turunnya palpebra superior karena infiltrasi ke
muskulus muller (M. Tarsalis superior). Keadaan ini dijumpai pada
konjungtivitis berat. Misalnya Trachoma dan keratokonjungtivitis epidemika
(Wijana, 1983).
Hipertrofi papila adalah reaksi konjungtiva non-spesifik yang terjadi
karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh
serabut-serabut halus. Ketika berkas pembuluh yang membentuk substansi
papila (selain unsur sel dan eksudat) sampai di membran basal epitel,
pembuluh ini bercabang-cabang di atas papila mirip jeruji payung. Eksudat
radang mengumpul di antara serabut-serabut dan membentuk tonjolantonjolan konjungtiva. Pada penyakit yang mengalami nekrosis (misal:
trachoma), eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan
ikat (Wijana, 1983).
Bila papilanya kecil, konjungtiva umumnya tampak licin mirip beludru.
Konjungtiva papiler merah mengesankan penyakit bakteri atau klamidia
(misal: konjungtiva tarsal merah mirip beludru adalah khas untuk trachoma
15

akut). Infiltrasi nyata ke konjungtiva menghasilkan papilla besar dengan


atap rata, poligonal, dan berwarna merah-keputihan. Pada tarsus superior
papila

seperti

ini

mengesankan

keratokonjungtivitis

vernal

dan

konjungtivitis papiler besar dengan sensitivitas lensa kontak; pada tarsus


inferior, mengesankan keratokonjungtivitis atopik. Papila besar dapat pula
timbul di limbus, terutama di daerah yang biasanya terpapar saat mata
dibuka (antara pukul 2 dan 4 dan antara pukul 8 dan 10). Di sini papila
tampak berupa tonjolan-tonjolan gelatinosa yang dapat meluas sampai ke
kornea. Papila limbus khas untuk keratokonjungtivitis vernal tetapi jarang
pada keratokonjungtivitis atopi (Wijana, 1983).
Kemosis dari konjungtiva sangat memberi kesan konjungtivitis alergik
akut tapi dapat juga timbul pada konjungtivitis gonococcal atau
meningococcal akut dan terutama pada konjungtivitis adenoviral. Kemosis
dari konjungtiva bulbar terlihat pada pasien dengan trichinosis. Kadangkadang, kemosis dapat muncul sebelum infiltrat seluler atau eksudasi terlihat
(Wijana, 1983).
Folikel terlihat pada kebanyakan kasus konjungtivitis virus. Pada semua
kasus konjungtivitis klamidia kecuali konjungtivitis inklusi pada neonatus,
pada beberapa kasus konjungtivitis parasitik, dan pada beberapa kasus
konjungtivitis

toksik

yang

disebabkan

obat-obatan

topikal

seperti

idoxuridine, dipivefrin, dan miotic. Foikel pada forniks inferior dan pada
batas tarsus mempunyai nilai diagnostik yang rendah, tapi saat terletak pada
tarsus (terutama tarsus atas), konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik
(yang menyertai obat-obatan topikal) harus dicurigai (Wijana, 1983).
Folikel terdiri dari hiperplasia limfoid fokal berada dalam lapisan limfoid
konjungtiva dan biasanya mengandung sentrum germinativum. Secara
klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, putih atau abu-abu
avaskuler. Dengan pemeriksaan slitlamp, pembuluh darah kecil dapat
terlihat timbul dari batas folikel dan mengelilingi folikel (Wijana, 1983).
Pseudomembran dan membran adalah hasil proses eksudatif dan berbeda
derajatnya. Sebuah pseudomembran adalah pengentalan di atas permukaan
epitel. Bila diangkat, epitel tetap utuh. Sebuah membran adalah pengentalan
16

yang meliputi seluruh epitel dan jika diangkat akan meninggalkan


permukaan yang kasar dan berdarah. Pseudomembran atau membran dapat
menyertai keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis herpes simplex
virus primer, konjungtivitis streptokokal, difteri, cicatrical pemphigoid, dan
eritema multiforme mayor. Juga mungkin timbul sebagai akibat buruk luka
bakar kimiawi, khususnya basa (Wijana, 1983).
Granuloma konjungtiva selalu mengenai stroma dan yang paling sering
adalah chalazia. Penyebab endogen lain termasuk sarcoid, sifilis, cat-scratch
disease, dan, yang jarang koksidiomikosis. Parinauds oculoglandular
syndrome meliputi granuloma konjungtival dan nodus limfe periaurikuler
yang menonjol, dan kelompok penyakit ini memerlukan pemeriksaan biopsi
untuk menegakkan diagnosa (Wijana, 1983).
Limfadenopati periaurikuler adalah tanda penting dari konjungtivitis.
Nodus periaurikuler yang terlihat mencolok tampak pada Parinauds
oculoglandular

syndrome

dan,

yang

jarang,

pada

epidemic

keratoconjunctivitis. Nodus periaurikuler yang besar maupun kecil, kadang


sedikit nyeri tekan, muncul pada konjungtivitis herpes simplex primer,
keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis inklusi, dan trachoma. Nodus
periaurikuler yang kecil dan tidak nyeri tekan muncul pada demam
faringokonjungtival dan konjungtivitis hemoragik akut. Kadang-kadang
limfadenopati periaurikuler dapat terlihat pada anak dengan infeksi kelenjar
meibomian (Wijana, 1983).
Pemeriksaan mata awal termasuk pengukuran ketajaman visus,
pemeriksaan eksternal dan slit-lamp biomikroskopi. Pemeriksaan eksternal
harus mencakup elemen (Vaughan, 1992) berikut ini :
a. Limfadenopati regional, terutama sekali preaurikuler
b. Kulit: tanda-tanda rosacea, eksema, seborrhea
c. Kelainan kelopak mata dan adneksa: pembengkakan, perubahan warna,
malposisi, kelemahan, ulserasi, nodul, ekimosis, keganasan
d. Konjungtiva: bentuk injeksi, perdarahan subkonjungtiva, kemosis,
perubahan sikatrikal, simblepharon, massa, sekret

17

Slit-lamp biomikroskopi harus mencakup pemeriksaan yang hati-hati


terhadap (Vaughan, 1992) :
a. Margo palpebra: inflamasi, ulserasi, sekret, nodul atau vesikel, nodul
atau vesikel, sisa kulit berwarna darah, keratinisasi
b. Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe, telur kutu dan
kutu
c. Punctum lacrimal dan canaliculi: penonjolan, sekret
d. Konjungtiva tarsal dan forniks

Adanya papila, folikel dan ukurannya

Perubahan

sikatrikal,

termasuk

penonjolan

ke

dalam

dan

simblepharon

Membran dan psudomembran

Ulserasi

Perdarahan

Benda asing

Massa

Kelemahan palpebra

e. Konjungtiva bulbar/limbus: folikel, edema, nodul, kemosis, kelemahan,


papila, ulserasi, luka, flikten, perdarahan, benda asing, keratinisasi
f. Kornea

Defek epitelial

Keratopati punctata dan keratitis dendritik

Filamen

Ulserasi

Infiltrasi, termasuk infiltrat subepitelial dan flikten

Vaskularisasi

Keratik presipitat

g. Bilik mata depan: rekasi inflamasi, sinekia, defek transiluminasi


h. Corak pewarnaan: konjungtiva dan kornea
3.7.2 Pemeriksaan Penunjang Konjungtivitis
18

Kebanyakan kasus konjungtivitis dapat didiagnosa berdasarkan anamnesa


dan pemeriksaan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus penambahan tes
diagnostik membantu (Vaughan, 1992).
1. Kultur
Kultur konjungtiva diindikasikan pada semua kasus yang dicurigai
merupakan konjungtivitis infeksi neonatal. Kultur bakteri juga dapat
membantu untuk konjungtivitis purulen berat atau berulang pada semua
grup usia dan pada kasus dimana konjungtivitis tidak berespon terhadap
pengobatan.
2. Kultur virus
Bukan merupakan pemeriksaan rutin untuk menetapkan diagnosa. Tes
imunodiagnostik yang cepat dan dilakukan dalam ruangan menggunakan
antigen sudah tersedia untuk konjungtivitis adenovirus. Tes ini
mempunyai sensitifitas 88% sampai 89% dan spesifikasi 91% sampai
94%. Tes imunodiagnostik mungkin tersedia untuk virus lain, tapi tidak
diakui untuk spesimen dari okuler. PCR dapat digunakan untuk
mendeteksi DNA virus. Ketersediannya akan beragam tergantung dari
kebijakan laboratorium.
3. Tes diagnostik klamidial
Kasus yang dicurigai konjungtivitis klamidial pada dewasa dan neonatus
dapat dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium. Tes diagnostik yang
berdasarkan

imunologikal

telah

tersedia,

meliputi

tes

antibodi

imunofloresens langsung dan enzyme-linked imunosorbent assay. Tes ini


telah secara luas digantikan oleh PCR untuk spesimen genital, dan,
karena itu, ketersediaannya untuk spesimen konjungtival lebih terbatas.
Ketersedian PCR untuk mengetes sampel okuler beragam. Meskipun
spesimen dari mata telah digunakan dengan performa yang memuaskan,
penggunaannya belum diperjelas oleh FDA.
4. Smear atau sitologi
Smear untuk sitologi dan pewarnaan khusus (mis.,gram, giemsa)
direkomendasikan pada kasus dicurigai konjungtivitis infeksi pada

19

neonatus, konjungtivitis kronik atau berulang, dan pada kasus dicurigai


konjungtivitis gonoccocal pada semua grup usia.
5. Biopsi
Biopsi konjungtiva dapat membantu pada kasus konjungtivitis yang
tidak berespon pada terapi. Oleh karena mata tersebut mungkin
mengandung

keganasan,

biopsi

langsung

dapat

menyelamatkan

penglihatan dan juga menyelamatkan hidup. Biopsi konjungtival dan tes


diagnostik pewarnaan imunofloresens dapat membantu menetapkan
diagnosis dari penyakit seperti OMMP dan paraneoplastik sindrom.
Biopsi dari konjungtiva bulbar harus dilakukan dan sampel harus
diambil dari area yang tidak terkena yang berdekatan dengan limbus dari
mata dengan peradangan aktif saat dicurigai sebagai OMMP. Pada kasus
dicurigai karsinoma glandula sebasea, biopsi palpebra seluruh ketebalan
diindikasikan. Saat merencanakan biopsi, konsultasi preoperatif dengan
ahli patologi dianjurkan untuk meyakinkan penanganan dan pewarnaan
spesimen yang tepat.
6. Tes darah
Tes fungsi tiroid diindikasikan untuk pasien dengan SLK yang tidak
mengetahui menderita penyakit tiroid.
Konjungtivitis non-infeksius biasanya dapat didiagnosa berdasarkan
riwayat pasien. Paparan bahan kimiawi langsung terhadapa mata dapat
mengindikasikan konjungtivitis toksik/kimiawi. Pada kasus yang dicurigai
luka percikan bahan kimia, pH okuler harus dites dan irigasi mata terus
dilakukan hingga pH mencapai 7. Konjungtivitis juga dapat disebabkan
penggunaan lensa kontak atau iritasi mekanikal dari kelopak mata
(Soewono, dkk., 1994).
3.8 Diagnosa Banding Konjungtivitis
Tabel 3.1 Diagnosa Banding Konjungtivitis (Ilyas, 2009).

Tanda
Tajam penglihatan
Silau
Sakit
Mata merah

Konjungtivitis
Normal
Tidak ada
Pedes, rasa kelilipan
Injeksi konjungtival

Iritis
Turun nyata
Nyata
Sakit
Injeksi siliar

Keratitis
Turun nyata
Nyata
Sakit
Injeksi siliar
20

Sekret
Lengket kelopak
Pupil

Serous, mukos,
purulen
Terutama pagi hari
Normal
Normal, tidak
terkena

Tensi

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada
Mengecil
Biasanya normal
atau rendah (pegal)
normal

Tidak ada
Mengecil

Tabel 3.2 Diagnosa Banding Tipe Konjungtivitis yang Lazim (Ilyas, 2009).

Klinik&sitologi

Viral

Bakteri

Klamidia

Gatal
Hiperemia
Air mata
Eksudasi

Minim
Umum
Profuse
Minim

Minim
Umum
Sedang
Menguncur

Adenopati
preurikular

Lazim

Jarang

Minim
Umum
Sedang
Menguncur
Lazim hanya
konjungtivitis
inklusi

Pewarnaan kerokan
dan eksudat
Sakit tenggorokan

Monosit
Kadang

Bakteri,
PMN
Kadang

Atopik
(alergi)
Hebat
Umum
Sedang
Minim
Tidak ada

PMN, Plasma sel

Eosinofil

Tidak pernah

Tak pernah

3.9 Penatalaksanaan Konjungtivitis


3.9.1 Non Farmakologi
Bila konjungtivitis disebabkan oleh mikroorganisme, pasien harus diajari
bagaimana cara menghindari kontraminasi mata yang sehat atau mata orang
lain. Perawat dapat memberikan intruksi pada pasien untuk tidak menggosok
mata yang sakit dan kemudian menyentuh mata yang sehat, mencuci tangan
setelah setiap kali memegang mata yang sakit, dan menggunakan kain lap,
handuk, dan sapu tangan baru yang terpisah untuk membersihkan mata yang
sakit. Asuhan khusus harus dilakukan oleh personal asuhan kesehatan guna
mengindari penyebaran konjungtivitis antar pasien.
Terapi spesifik terhadap konjungtivitis bacterial tergantung temuan agen
mikrobiologinya. Untuk menghilangkan sekeret dapat dibilas dengan garam
fisiologis.
3.9.2 Farmakologi
1. Penatalaksanaan Konjungtivitis Bakteri
Pengobatan kadang-kadang diberikan sebelum pemeriksaan
mikrobiologik dengan antibiotik tunggal seperti
21

a.
b.
c.
d.
e.

Kloramfenikol
Gentamisin
Tobramisin
Eritromisin
Sulfa
Bila pengobatan tidak memberikan hasil setelah 3-5 hari maka

pengobatan dihentikan dan ditunggu hasil pemeriksaan mikrobiologik.


Pada konjungtivitis bakteri sebaiknya dimintakan pemeriksaan sediaan
langsung

(pewarnaan

Gram

atau

Giemsa)

untuk

mengetahui

penyebabnya. Bila ditemukan kumannya maka pengobatan disesuaikan.


Apabila tidak ditemukan kuman dalam sediaan langsung, maka
diberikan antibiotic spectrum luas dalam bentuk tetes mata tiap jam atau
salep mata 4-5 x/hari. Apabila memakai tetes mata, sebaiknya sebelum
tidur diberi salep mata (sulfasetamid 10-15 %). Apabila tidak sembuh
dalam 1 minggu, bila mungkin dilakukan pemeriksaan resistensi,
kemungkinan difisiensi air mata atau kemungkinan obstruksi duktus
nasolakrimal.
2. Penatalaksanaan Konjungtivitis Virus
Pengobatan umumnya hanya bersifat simtomatik dan antibiotik
diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Dalam dua
minggu akan sembuh dengan sendirinya. Hindari pemakaian steroid
topikal kecuali bila radang sangat hebat dan kemungkinan infeksi virus
Herpes simpleks telah dieliminasi.
Konjungtivitis viral akut biasanya disebabkan adenovirus dan dapat
sembuh sendiri sehingga pengobatan hanya bersifat suportif, berupa
kompres, astrigen, dan lubrikasi. Pada kasus yang berat diberikan
antibodi untuk mencegah infeksi sekunder serta steroid topikal.
Konjungtivitis herpetik diobati dengan obat antivirus, asiklovir 400
mg/hari selama 5 hari. Steroid tetes deksametason 0,1 % diberikan bila
terdapat episkleritis, skleritis, dan iritis, tetapi steroid berbahaya karena
dapat mengakibatkan penyebaran sistemik. Dapat diberikan analgesik
untuk menghilangkan rasa sakit. Pada permukaan dapat diberikan salep
tetrasiklin. Jika terjadi ulkus kornea perlu dilakukan debridemen dengan

22

cara mengoles salep pada ulkus dengan swab kapas kering, tetesi obat
antivirus, dan ditutup selama 24 jam (Soewono, dkk., 1994).
3. Penatalaksanaan Konjungtivitis Alergi
Umumnya kebanyakan konjungtivitis alergi awalnya diperlakukan
seperti ringan sampai ada kegagalan terapi dan menyebabkan kenaikan
menjadi tingkat sedang. Penyakit ringan sampai sedang biasanya
mempunyai konjungtiva yang bengkak dengan reaksi konjungtiva
papiler yang ringan dengan sedikit sekret mukoid. Kasus yang lebih
berat mempunyai giant papila pada konjungtiva palpebranya, folikel
limbal, dan perisai (steril) ulkus kornea (Soewono, dkk., 1994).
a. Alergi ringan
Konjungtivitis alergi ringan identik dengan rasa gatal, berair, mata
merah yang timbul musiman dan berespon terhadap tindakan
suportif, termasuk air mata artifisial dan kompres dingin. Air mata
artifisial membantu melarutkan beragam alergen dan mediator
peradangan yang mungkin ada pada permukaan okuler.
b. Alergi sedang
Konjungtivitis alergi sedang identik dengan rasa gatal, berair dan
mata merah yang timbul musiman dan berespon terhadap
antihistamin topikal dan/atau mast cell stabilizer. Penggunaan
antihistamin oral jangka pendek mungkin juga dibutuhkan (Wijana,
1983).
Mast cell stabilizer mencegah degranulasi sel mast; contoh yang
paling sering dipakai termasuk sodium kromolin dan Iodoxamide.
Antihistamin topikal mempunyai masa kerja cepat yang meredakan
rasa gatal dan kemerahan dan mempunyai sedikit efek samping;
tersedia dalam bentuk kombinasi dengan mast cell stabilizer.
Antihistamin oral, yang mempunyai masa kerja lebih lama, dapat
digunakan bersama, atau lebih baik dari, antihistamin topikal.
Vasokonstriktor

tersedia

dalam

kombinasi

dengan

topikal

antihistamin, yang menyediakan tambahan pelega jangka pendek


terhadap injeksi pembuluh darah, tapi dapat menyebabkan rebound
23

injeksi dan inflamasi konjungtiva. Topikal NSAID juga digunakan


pada konjungtivitis sedang-berat jika diperlukan tambahan efek antiperadangan (Soewono, dkk., 1994).
c. Alergi berat
Penyakit alergi berat berkenaan dengan kemunculan gejala menahun
dan dihubungkan dengan peradangan yang lebih hebat dari penyakit
sedang. Konjungtivitis vernal adalah bentuk konjungtivitis alergi
yang agresif yang tampak sebagai shield coneal ulcer. Rujukan
spesialis harus dipertimbangkan pada kasus berat atau penyakit
alergi yang resisten, dimana memerlukan tambahan terapi dengan
kortikosteroid topikal, yang dapat digunakan bersama dengan
antihistamin topikal atau oral dan mast cell stabilizer. Topikal
NSAID dapat ditambahkan jika memerlukan efek anti-inflamasi
yang lebih lanjut. Kortikosteroid punya beberapa resiko jangka
panjang terhadap mata termasuk penyembuhan luka yang terlambat,
infeksi sekunder, peningkatan tekanan intraokuler, dan pembentukan
katarak. Kortikosteroid yang lebih baru seperti loteprednol
mempunyai efek samping lebih sedikit dari prednisolon. Siklosporin
topikal dapat melegakan dengan efek tambahan steroid dan dapat
dipertimbangkan sebagai lini kedua dari kortikosteroid. Dapat
terutama sekali berguna sebagai terapi lini kedua pada kasus atopi
berat atau konjungtivitis vernal (Schwab dan Dawson, 2000).
3.10 Komplikasi Konjungtivitis
Penyakit radang mata yang tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan
kerusakan pada mata atau gangguan pada mata dan menimbulkan komplikasi.
Beberapa komplikasi dari konjungtivitis yang tidak tertangani diantaranya :
1. Glaukoma
2. Katarak
3. Ablasi retina
4. Komplikasi pada konjungtivitis kataral teronik merupakan segala penyulit dari
blefaritis seperti ekstropin, trikiasis
24

5. Komplikasi pada konjungtivitis purulenta seringnya berupa ulkus kornea


6. Komplikasi pada konjungtivitis membranasea dan pseudomembranasea adalah
bila sembuh akan meninggalkan jaringan perut yang tebal di kornea yang
dapat mengganggu penglihatan, lama- kelamaan orang bisa menjadi buta
7. Komplikasi konjungtivitis vernal adalah pembentukan jaringan sikratik dapat
mengganggu penglihatan
3.11 Prognosa Konjungtivitis
Mata dapat terkena berbagai kondisi. Beberapa diantaranya bersifat primer,
sedang yang lain bersifat sekunder akibat kelainan pada sistem organ tubuh lain.
Kebanyakan kondisi tersebut dapat dicegah, bila terdeteksi awal dan dapat
dikontrol sehingga penglihatan dapat dipertahankan.
Bila segera diatasi, konjungtivitis ini tidak akan membahayakan. Namun jika
bila penyakit radang mata tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan
kerusakan pada mata atau gangguan dan menimbulkan komplikasi seperti
glaukoma, katarak maupun ablasi retina.

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosa ODS
konjungtivitis virus dan penatalaksanaannya adalah dengan pemberian antibiotiik
topikal.
Konjungtivitis yang lebih sering dikenal sebagai mata merah (pink eye) adalah
istilah yang diberikan untuk segala bentuk peradangan pada konjungtiva.
Konjungtivitis yaitu adanya inflamasi pada konjungtiva atau peradangan pada
25

konjungtiva, selaput bening yang menutupi bagian berwarna putih pada mata dan
permukaan bagian dalam kelopak mata. Konjungtivitis terkadang dapat ditandai
dengan mata berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat dan biasanya
menyebabkan mata rusak. Beberapa jenis konjungtivitis dapat hilang dengan
sendiri, tapi ada juga yang memerlukan pengobatan1.
4.2 Saran
Pemberian KIE kepada masyarakat mengenai konjungtivitis dan
penanganannya perlu dilakukan untuk menghindarkan terjadinya penularan
terhadap pasien atau keluarga pasien yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Opthalmology. 2005. External Disease and Cornea.
Section 11. San Fransisco: MD Association.
2. Ilyas DSM, Sidarta. 1998. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
3. Ilyas, H. Sidarta Prof. dr. SpM. 2003. Ilmu Penyakit Mata. FKUI. Jakarta. Hal
2, 134
4. Ilyas, Sidharta. 2009. Konjungtivitis. Dalam Ilmu Penyakit Mata. Balai
penerbit FKUI. Jakarta.
26

5. Kannelpoulus, A.J. 2000. Differential Diagnosis in Bacterial Conjungtivitis.


Available at: www.brilliantvision.com.
6. Koswandi, A., Robby N.L. Mata. Dalam Histologi. Jilid 4. Fakultas
Kedokteran. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
7. Radjamin, R.K.T., dkk. 1984. Konjungtivitis. Dalam Ilmu Penyakit Mata.
Airlangga University Press. Surabaya.
8. Schwab, I.R., Dawson, C.R. 2000. Konjungtiva dalam: Oftalmologi Umum.
Edisi 14. Widya Medika. Jakarta. Hal: 99-101, 115-116.
9. Soewono, W., Budiono, S., Aminoe. 1994. Konjungtivitis Vernal dalam:
Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Penyakit Mata. RSUD Dokter
Soetomo. Surabaya. Hal: 92-94.
10. Vaughan, D., Asbury, T. 1992. Oftalmologi Umum. Jilid 2. Edisi II. Widya
Medika. Yogyakarta. Hal: 81-82.
11. Vaughan, Daniel G. 1994. Konjungtiva. Dalam Oftamologi Umum. Jilid I.
Edisi XI. Widya Medika. Jakarta.
12. Wijana, Nana. 1983. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta. Hal: 43-44.

27

Anda mungkin juga menyukai