Anda di halaman 1dari 123

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman suku, agama, ras
budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa,
dimana setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda antara satu
dengan yang lain.1
Dengan demikian dapat dikatakan bangsa Indonesia dikenal sebagai
masyarakat yang majemuk dan dapat dilakukan sebagai masyarakat yang plural
dari aspek agama, suku bangsa, adat istiadat, hal ini tercermin dalam semboyan
Bhineka Tunggal Ika yang artinya walau berbeda-beda tetap satu jua.
Kemajemukan itu berarti beragamnya adat istiadat, salah satu bentuk adat istiadat
ialah perkawinan.2 Sistem perkawinan dalam masyarakat biasanya diatur oleh
adat-istiadat yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Adat-istiadat
menurut Koentjaraningrat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari
nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum serta aturan-aturan yang satu dengan
yang lainnya berkaitan menjadi suatu sistem yaitu sistem budaya. 3 Ini artinya
adat-istiadat adalah merupakan wujud kebudayaan pertama yang bersifat abstrak.
1 Aditya.Makalah tentang pengaruh keragaman suku, 23 Januari 2013.
http://aditianolblogspot.com/20112/11/makalah-tentang -pengaruh-keragamansuku.html

2http://aprilia180490.Wordpress.com/2010/05/29/keanekaragaman-suku-bangsa-di-indonesia. diakses Pada


Tanggal 15 Januari 2015

3 Koenjaraningrat, kamus istilah antropologi, (Jakarta: progress dan pusat bahasa departemen pendidikan
nasional, 2003) hal 2

Menurut Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,


tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik dari manusia dengan belajar.4 Menurut Tylor kebudayaan adalah suatu
keseluruhan komplek yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan,
hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari
oleh manusia sebagai anggota masyarakat.5
Beberapa defenisi kebudayaan yang telah penulis paparkan diatas , dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang sangat luas dan
sangat komplek yang ada dalam segala aspek kehidupan manusia.
Tindakan berinteraksi menurut pola-pola tertentu yang dilakukan oleh
manusia secara turun temurun juga disebut Tradisi. 6 Suatu aktivitas berpola
tersebut dalam setiap Individu memiliki batasan aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh adat masyarakatnya kedalam tingkat-tingkat tertentu. Tingkattingkat hidup Individu ( Stages along the Life-cycle) meliputi masa-masa bayi,
masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa purbertas, masa sesudah
nikah, masa hamil, masa tua dan sebagainya. Pada saat peralihan, waktu para
individu beralih dari satu tingkat hidup ketingkat yang lain, biasanya diadakan
upacara yang merayakan saat peralihan itu dan diatur oleh adat masyarakat
setempat. Peralihan tingkat hidup manusia menunjukan bahwa makin luasnya
4 Koentjraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2009) Hal. 144
5 Roger M. Keesing, Antropologi Budaya, ( Jakarta: Erlangga, 1989) Hal. 68.
6 Koentjaraningrat Dkk, Kamus Istilah Antropologi, (Jakarta: Progres Jakarta, 2003), Hal. 239

lingkungan sosial yang dia hadapi, oleh sebab itu upacara peralihan (rites de
passage) dimaksudkan untuk menolak bahaya gaib yang mengancam individu
tersebut. Namun, suatu kebudayaan antara suatu tempat dengan tempat yang
lainnya memiliki perbedaan. Walaupun upacara pada saat peralihan bersifat
universal atau menyeluruh hampir semua kebudayaan diseluruh dunia, hanya saja
tidak semua peralihan dianggap sama pentingnya dalam semua kebudayaan.7
Salah satu peralihan yang sangat penting pada life cycle dari semua
manusia diseluruh dunia adalah masa peralihan dari tingkat hidup remaja
ketingkat berkeluarga, yaitu perkawinan.8 Perkawinan merupakan sesuatu yang
sangat penting dalam kehidupan manusia karena perkawinan bukan hanya
merupakan peristiwa yang harus ditempuh atau dijalani oleh dua individu yang
berlainan jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah perkawinan sesungguhnya proses
yang melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, baik itu tanggung
jawab keluarga, kaum kerabat bahkan kesaksian dari seluruh masyarakat yang ada
dilingkungannya.
Berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 pada pasal 1
menegaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang
priadengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.9

7 Koentjraningrat, beberapa pokok antropologi sosial,( Jakarta: Dian Rakyat, 1992), h . 92


8 Koentjraningrat, beberapa pokok antropologi sosial,( Jakarta: Dian Rakyat, 1992), hal. 93

Dalam Islam perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku


pada semua mahkluk Allah, baik pada Manusia, Hewan maupun Tumbuhtumbuhan.10 firman Allah SWT dalam QS An-Nisa ayat 1 yang artinya:
Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah
menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia
menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. (An-Nisa`: 1)

Selain diatur oleh Undang-Undang dan Agama, perkawinan juga diatur


oleh adat istiadat berdasarkan aturan atau norma yang berlaku di daerah masingmasing.
Menurut adat pada umumnya perkawinan adalah urusan kerabat, urusan
keluarga dan urusan masyarakat. Hal ini terlihat dari campur tangannya kepalakepala suku, orang tua dan kepala persekutuan dalam pemilihan jodoh, bentuk dan
pelaksanaan perkawinan.11
Jadi dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan aktivitas yang
dianggap sakral sehingga hampir setiap masyarakat membatasi jodoh dalam
perkawinan dan bertujuan untuk menyebabkan timbulnya generasi baru yang akan
meneruskan golongan masyarakat.

9 E- jurnal Adil Niat Gulo, Degradasi Budaya Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat nias di Denpasar,
Fakultas Sastra Universitas Udayana

10 Slamet Abidin, fiqih munakahat, (bandung: pustaka setia, 1999), h. 9


11 Izar Wisma Mardanas, adat dan upacara perkawinan mentawai, ( Jakarta : Proyek Pengembangan
Media Kebudayaan, 1993), h. 51

Misalnya pada masyarakat Mentawai sistem perkawinan yang berlaku


menganut sistem Monogami (hanya satu istri).Selain itu ada juga perceraian
dilarang oleh adat dan kepercayaan yang mereka anut yaitu sistem patrilineal yang
mengambil garis keturunan dari pihak ayah.Berlakunya perkawinan Endogami
juga disebabkan karena adanya alak (pemberian atau pembayaran perkawinan).
pembayaran alak berupa barang-barang tidak bergerak yang diterima oleh
perempuan. Begitu juga perkawinan Eksogami tidak dilarang di Mentawai.
Perkawinan dalam suku yang sama di Mentawai sangat dilarang, walaupun orang
yang seuma itu telah bertempat tinggal diluar kampung semula. Halangan lain
yang tidak diperbolehkan yaitu mengambil jodoh dari suku yang sedang
bermusuhan. Sebelum perkawinan berlangsung, diadakan punen poabat (pesta
perdamaian).12
Masyarakat Minangkabau, dalam adat minang garis keturunan ditentukan
berdasarkan garis keturunan ibu disebut juga exogami. Masyarakat Minangkabau
yang menganut sistem exogami pada perkawinannya dimana mereka harus
menikah dengan suku yang berbeda dan tidak boleh menikah dengan suku yang
sama. Jika dengan suku yang sama dianggap bersaudara.13
Pada masyarakat suku Batak Toba, dimana sistem perkawinannya harus
dilakukan dengan sesama orang Batak Toba, artinya perkawinan dengan orang
12 IzarWisma Mardanas, adat dan upacara perkawinan mentawai, ( Jakarta : Proyek Pengembangan Media
Kebudayaan, 1993), h. 52-53

13 E Jounal Mister Rokib, Larangan Kawin Satu Suku, Pekan Baru, Riau, Indonesia, Sunday, may 26,
2013. http://mister rokib.blogspot.com/2013/05/ ejournal tentang-larangan-kawin-satu suku.html

yang bukan orang Batak Toba tidak diakui dalam adat orang Batak Toba. Apabila
seseorang yang ingin menikah dengan orang Batak Toba, harus masuk kedalam
masyarakat Batak Toba terlebih dahulu, dan menjadi bagian dari orang Batak
Toba yang dilakukan melalui pemberian marga kepadanya. Dalam hal orang/suku
Batak menganut sistem endogami kesukuan, artinya suku Batak hanya
diperbolehkan menikah dengan orang Batak.14
Selanjutnya, pada etnis Bali dikenal dan diakui adanya sistem warna
(wangsa). Sistem warna (wangsa atau kasta) ini dibedakan menjadi empat (catur
warna) yang meliputi: warna Brahmana15, Ksatria16, Waisya17, dan Sudra18. Sistem
warna ini dahulu disebut sistem kasta Sistem warna (wangsa) sangat berkaitan
dalam masyarakat, seperti dalam hal pelaksanaan perkawinan karena pawiwahan
yang dianggap ideal dalam masyarakat adat di Bali adalah perkawinan endogami
warna (kasta).19 Dalam hal ini etnis Bali/suku Bali menganut sistem endogami

14 E Journal Helga Septiani Manik, makna dan fungsi tradisi sinamot dalam adat sukubangsa batak toba
di perantauan surabaya, Biokultur, Vol.I/no.1/Januari-Juni2112, hal. 20

15 Warna Brahmana: Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat
yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.

16 Warna Ksatrya: Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang
setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan
dan pertahanan keamanan negara.

17 Warna Wesya: Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang
setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian,
perindustrian, dan lain- lain).

18 Warna Sudra: Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang
setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.

kekastaan, dimana etnis Bali hanya diperboleh menikah sekasta dan tidak boleh
menikah berlainan kasta.
Pada agam Islam ada beberapa syarat dan ketentuan dalam melaksanakan
perkawinan. Hal ini tertera pada QS. An-Nisa ayat 23 yang artinya:
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu
yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudarasaudara ibumu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu
yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara
perempuan sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari
istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang kamu
campuri. Tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan
(diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang
bersaudara.
(QS. An-Nisa : 23)

Begitu juga di Jambi perkawinan campuran terjadi pada etnis Melayu


dengan etnis Tionghoa.
Beberapa contoh yang penulis paparkan diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa dalam sistem perkawinan terdapat pembatasan perjodohan yaitu exsogami20
dan endogamy.21 Dalam sistem pembatasan ini masyarakat yang menganutnya
tidak lepas dari norma-norma yang menjadi pedoman bagi masyarakat dalam
19 E journal , Nyoman Ratih Noviyanti, Aspek Hukum Perkawinan Kawin Lari di Singaraja Bali , 28
Desember 2014http://madewarka.blogspot.com/2012/02/aspek-hukum-perkawinan-kawin-lari-di.html

20 Exogami adalah suatu larangan menikah pada luar batas suatu lingkungan tertentu.
21 Endogamiadalah suatu pembatasan jodoh yang mengharuskan menikah dalam batas lingkungan tertentu.
Lihat Koentjraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial,( Jakarta: Dian Rakyat, 1992), Hal . 95

kehidupannya. Dimana Masyarakat yang melarang nikah dengan orang yang


semarga disebut Exogami desa.22 Begitu pula sebaliknya, seperti yang terjadi di
India. Masyarakat India menganut paham Endogami, sebab disana masyarakat
harus menikah dengan batas kastanya sendiri. Maka hal itu disebut dengan
Endogami Kasta. Misalnya demikian, dari berbagai macam sistem perkawinan
yang dianut oleh masyarakat (suku bangsa). Realitas di lapangan bisa kita
saksikan, bahkan pembatasan jodoh bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak atau
harus dipatuhi. Dimana, ada diantara masyarakat yang menganut sistem
perkawinan tertentu, tetapi tidak di taati. Misalnya : suku Batak, yang menganut
sistem ke Kastaan. Tetapi menikah di luar Marga.
Fenomena perkawinan campuran bukanlah merupakan sesuatu yang aneh
dan tabo. Meskipun secara adat diberlakukan pembatasan perkawinan namun
realitasnya terdapat beberapa suku bangsa yang menikah tidak berdasarkan
pembatasan perjodohan, di Jambi bahkan perkawinan campuran terjadi bukan
hanya di tingkat kesukuan, tetapi perkawinan campuran juga terjadi pada level
keyakinan seperti perkawinan antara Agama Islam dan Kristen atau Kristen
dengan Budha dan lain-lain.
Masyarakat Kecamatan Nibung Sp IX dan Sp X, Kabupaten Musi Rawas
Utara, Provinsi Sumatera Selatan telah terjadi perkawinan campuran antara Etnis
Melayu Islam dengan Etnis Bali yang beragama Hindu. Dalam hal perkawinan
campuran ini terjadi perbedaan antar etnis dan mempunyai keunikan tersendiri
seperti pada acara pelamaran, akad nikah, pesta prkawinan serta pola hidup
22 Koentjraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial,( Jakarta: Dian Rakyat, 1992), Hal . 95

setelah menikah. Kondisi ini telah terjadi dalam waktu cukup lama dan sudah
melahirkan keturunan.
Berdasarkan fenomena ini penulis merasa tertarik untuk melakukan kajian
tentang perkawinan campuran antara Etnis Melayu Islam dengan Etnis Bali yang
beragama Hindu, dengan judul perkawinan campuran antara Etnis Bali dengan
Etnis Melayu Kecamatan Nibung Sp IX dan SP X, Kabupaten Musi Rawas Utara.
Povinsi Sumatera Selatan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi pokok-pokok permasalahan
dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa masyarakat melakukan perkawinan campuran Etnis Bali
dengan Etnis Melayu Kecamatan Nibung, Sp IX dan Sp X, Kabupaten
Musi Rawas Utara, Povinsi Sumatera Selatan?
2. Bagaimana proses perkawinan campuran Etnis Bali dengan Etnis
Melayu di Kecamatan Nibung, Kabupaten Musi Rawas Utara, Povinsi
Sumatera Selatan?
3. Apa kendala dari perkawinan campuran Etnis Bali dengan Etnis
Melayu di Kecamatan Nibung Sp IX dan Sp X, Kabupaten Kabupaten
Musi Rawas Utara, Povinsi Sumatera Selatan?
C. Batasan Masalah
9

Penelitian perkawinan campuran ini yang penulis maksudkan adalah


perkawinan antar kesukuan yaitu etnis Bali yang beragama Hindu dengan etnis
Melayu yang beragama Islam melakukan perkawinan campuran di Kecamatan,
Nibung Sp IX dan Sp X, Kabupaten Musi Rawas Utara, Provinsi Sumatera
Selatan.
D. Tujuan Penelitian
Setelah mengetahui pokok-pokok permasalahan dari penelitian, maka
tujuan yang hendak penulis capai dari kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk

mengetahui

pelaksanaan

perkawinan

campuran

antaraetnis

Melayudengan etnis Bali di Kecamatan NibungSp IX dan Kabupaten Musi


Rawas Utara, Provinsi Sumatera Selatan.
2. Untuk mengetahui hukum adat Bali mengatur perkawinan campuran di Desa
Nibung Sp IX Kecamatan Nibung Kabupaten Musi Rawas Utara, Provinsi
Sumatera Selatan.
3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang terjadi pada perkawinan campuran
antaraEtis Melayudengan Etnis Bali di Desa Nibung Sp IX, Kecamatan
Nibung, Kabupaten Musi Rawas Utara, Provinsi Sumatera Selatan.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :
a. Untuk menambah wawasan terutama dalam hal ilmu pengetahuan, dan
pengalaman bagi penulis khususya. Serta bagi pembaca pada umumnya
terkait dengan pelaksanaan, kendala dan persepsi masyarakat Nibung
tentang perkawinan campuran antara Etnis Bali dengan Etnis melayu.
10

b. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar serjana humaniora


pada jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Sastra dan
Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
c. Untuk menambah wawasan referensi, pustaka dan dapat digunakan
dalam penelitian selanjutnya mengenai skala yang lebih luas.
F. Kerangka Teori
1. Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah hasil semua seperangkat
sistem gagasan, tindakan, hasil atau benda-benda manusia yang diperoleh dengan
cara belajar dalam rangka hidup bermasyarakat dan dimiliki oleh manusia.23
Sedangkan menurut pakar antropologi yaitu Kluckhohan dan Kelly
kebudayaan adalah semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik
yang eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, yang ada pada suatu waktu
sebagai pedoman yang potensial untuk prilaku manusia.24
Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan itu mengarah kepada berbagai
aspek kehidupan, yang meliputi cara berlagu, kepercayan dan sikap-sikap, serta
hasil dari kegiatan manusia yang khas yang dipelajari untuk suatu masyarakat atau
kelompok penduduk tertentu.
Asimilasi merupakan salah satu konsep mengenai dinamika masyarakat dan
kebudayaan.25 Konsep-konsep mengenai dinamika masyarakat dan kebudayaan itu
adalah sebagai berikut:
23 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Prineka Cipta, 1990), Hal. 180
24 Roger M. Keesing, Antropologi Budaya, ( Jakarta: Erlangga, 1989) h. 68.

11

a.
b.
c.
d.
e.

Internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi


Evolusi kebudayaan
Difusi
Akulturasi dan asimilasi
Inovasi dan penemuan baru26

Asimilasi (assimilation) adalah proses sosial yang timbul bila ada:


a. Golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan
yang berbeda-beda.
b. Saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu lama,
sehingga
c. Kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing
berubah sifatnya yang khas, dan juga unsurnya masing-masing
berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.27
Biasanya, golongan-golongan yang tersangkut dalam proses asimilasi adalah
suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal ini
golongan minoritas mengubah sifat khas dari unsur-unsur kebudayaannya dan
menyesuaikan dengan kebudayaan dari golongan mayoritas. Sehingga lambat laun
kehilangan kepribadian kebudayaannya dan masuk kedalam kebudayaan
mayoritas.
Salah satu contoh asimilasi yang terjadi di Kecamatan Nibung adalah
asimilasi Etnis Bali dengan Etnis Melayu dalam hal perkawinan. Asimilasi ini
dapat terjadi dikarenakan adanya aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi,
berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari detik-ke detik, dari hari ke hari, dan
25 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropolgi, op.cit., h. 184
26 Ibid., h.184
27 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), Hal. 209

12

dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat tata
kelakuan.
Adat adalah aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau
dilakukan sejak dahulu kala; cara ( kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi
kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma,
hukum dan aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu
sistem.28
Adat dapat dikatakan sebagai suatu sikap dan cara berfikir serta bertindak
yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara
turun menurun yang terdapat dalam masyarakat. 29 Dengan kata lain, adat adalah
wujud ideal dari kebudayaan.30
Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan itu mengarah kepada berbagai aspek
kehidupan, yang meliputi cara berlagu, kepercayan dan sikap-sikap, serta hasil
dari kegiatan manusia yang khas yang dipelajari untuk suatu masyarakat atau
kelompok penduduk tertentu.
2. Etnis Melayu Jambi (suku Melayu)
Daerah Jambi, sudah sejak zaman dahulu didiami penduduk yang
heterogen. Penduduk heterogen Kesultanan Jambi tersebut terdiri dari:
1. Orang Melayu: keluarga Sultan, kelompok Bangsa XII, dan rakyat biasa
2. Batin
3. Penghulu
28 Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka,
1995), h. 6

29 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995)
30 Koentjaraningrat, kebudayaan mentalitas dan pembangunan, (jakarta: Renika Cipta, 1996), h. 20

13

4.
5.
6.
7.
8.

Kubu
Penduduk Tungkal
Orang Laut
Orang Arab
Orang Cina
Orang Melayu berada tersebar disepanjang aliran Sungai Batanghari, dari

muara Tebo sampai muara sabak yang termasuk dalam kekuasaan kesultanan
Jambi. Daerah kekuasaan Sultan dibedakan antara tanah nan berjenang dan tanah
nan berajo.31
Tanah nan berjenang yaitu tanah yang berada dibawah pemerintahan seorang
jenang. Tanah nan berjenang meliputi beberapa daerah di dataran tinggi Jambi di
luar area Batanghari. Penduduk di daerah ini terdiri dari orang Batin dan orang
Penghulu, orang Rawas yang berada di sepanjang sungai Tembesi, sebagian dari
suku Anak Dalam di tepi Timur sungai Tembesi, dan penduduk Meranginn.
Penduduk daerah ini harus membayar jajah pada Sultan.32
Penduduk bermukim pertama, penduduk bermukim di tanah nan berajo, yaitu
daeras teras kerajaan yang didiami oleh bangsa XII. Kedua, penduduk yang
bermukim di tanah nan berjenang meliputi beberapa derah di dataran tinggi Jambi
di luar area Batanghari. Penduduk daerah ini terdiri dari: orang Batin, orang
penghulu, orang Rawas yang bersal dari Palembang, orang Kubu (suku anak
Dalam), penduduk Merangin dan penduduk Tungkal. Penduduk daerah ini harus
membayar jajah pada Sultan.33
31 Linda Yanti, Dkk, Menuju Integrasi Nasional, (Yogyakarta: Andi Offset, 2013), Hal . 57
32 Ibid , Hal. 58
33 Lindayanti Dkk, Jambi Dalam Sejarah 1500-1942, (Jambi : Haritage, 2013) Hal. 13

14

Orang Batin terdiri atas kaum pendatang minangkabau yang menetap


sepanjang batang Tembesi dan Batang Asai dan kemudian membaur dengan
penduduk asli.
Orang Penghulu juga berasal dari minangkabau, dan oleh karena itu masih
mempunyai hubungan dengan Orang Batin. Mereka bermigrasi ke Jambi untuk
mencari emas dan pada awal kedatangan mereka bergabung dan tunduk kepada
Orang Batin.
Orang Kubu, yang menurut asal usulnya adalah keturunan keluarga
prajurit kerajaan Melayu Jambi pertama, yang menyingkir ke hutan karena tidak
mau tunduk kepada kerajaan sriwijaya. Orang Kubu itu dapat dibedakan menurut
dua kategori, yaitu Orang Kubu yang masih liar dan Orang Kubu yang sudah
bertempat tinggal tetap.34
Berdasarkan penjelasan diatas, masyarakat Kecamatan Nibung merupakan
bagian dari suku Melayu yang merupakan kategori rakyat biasa, karena
masyarakat Kecamatan Nibung tidak tergolong kedalam keluarga Sultan,
kelompok bangsa XII, melainkan menjadi buruh, penyadap karet dan petani.

3. Etnis Bali (Suku Bali)


Suku Bali adalah masyarakat yang mendiami pulau Bali
yang merupakan sebuah provinsi (Provinsi Bali). Pulau yang
dikenal sebaga Pulau Dewata ini berada di timur Pulau Jawa.
Dahulu kala ada sebuah kerajaan yang menguasai seluruh pulau
34 Ibid, Hal. 59

15

ini dan mengembangkan Kebudayaan Hindu yang melekat


hingga sekarang.

a. Sistem Kepercayaan/Religi Suku Bali


Masyarakat Bali sebagian besar menganut agama HinduBali. Mereka percaya adanya satu Tuhan dengan konsep Trimurti
yang terdiri atas tiga wujud, yaitu:
1. Brahmana : menciptakan;
2. Wisnu : yang memelihara;
3. Siwa : yang merusak.
Tempat ibadah agama Hindu disebut pura. Pura memiliki sifat
berbeda, sebagai berikut:
1. Pura Besakih: sifatnya umum untuk semua golongan.
2. Pura Desa (kayangan tiga): khusus untuk kelompok sosial
setempat.
3. Sanggah: khusus untuk leluhur.
b. Sistem Kekerabatan Suku Bali

16

Dulu perkawinan di Bali ditentukan oleh kasta. Wanita dari kasta


tinggi tidak boleh kawin dengan laki-laki kasta rendah, tetapi
sekarang hal itu tidak berlaku lagi. Perkawinan yang dianggap
pantang adalah perkawinan saudara perempuan suami dengan
saudara

laki-laki

istri

(mak

dengan

ngad).

Hal

itu

akan

menimbulkan bencana (panes).


Cara memperoleh istri berdasarkan adat ada dua, yaitu:
1. memadik, ngindih: dengan cara meminang keluarga gadis;
2. mrangkat, ngrorod: dengan cara melarikan seorang gadis.35
4. Perkawinan
a. Definisi Perkawinan
Berdasarkan ilmu Pokok-Pokok Antropologi Sosial, perkawinan adalah
salah satu peralihan yang sangat penting pada life cycle dari semua manusia di
seluruh dunia adalah masa peralihan dari tingkat hidup remaja ketingkat
berkeluarga. Dipandang dari sudut kebudayaan manusia, maka perkawinan
merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan
sexnya, ialah kelakuan-kelakuan sex, terutama persetubuhan.36

35 http://sosiologies.blogspot.com/2013/05/suku-bali.html

36 Koentjraningrat, beberapa pokok antropologi sosial,( Jakarta: Dian Rakyat, 1992), h . 93

17

Sedangkan menurut Syara, fuqaha telah banyak memberikan definisi.


secara umum diartikan akad zawaj adalah pemilikan sesuatu melalui jalan yang di
syariatkan dalam agama37
perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan
manusia karena perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa yang harus
ditempuh atau dijalani oleh dua individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi lebih
jauh adalah perkawinan sesungguhnya proses yang melibatkan beban dan
tanggung jawab dari banyak orang, baik itu tanggung jawab keluarga, kaum
kerabat bahkan kesaksian dari seluruh masyarakat yang ada dilingkungannya.

b. Jenis Atau Model Perkawinan


Setiap masyarakat memang harus kawin diluar batas suatu lingkungan
tertentu. Istilah ilmiahnya adalah exogami mempunyai arti yang amat relative, dan
selalu kita harus menerangkan exogami itu diluar batas apa.
1. Kalau orang dilarang kawin dengan saudara sekandungnya, maka kita
menyebut hal itu exogami keluarga inti.
2. Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai nama
3.

marga yang sama, maka kita menyebut hal itu exogami marga;
Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang hidup dalam
desanya sendiri, maka kita menyebut hal itu exogami desa.

37 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Piqih Munakahat, ( Jakarta: Amzah, 2009), Hal. 36

18

Lawannya istilah exogami adalah endogami. Itupun suatu istilah yang


relative, dan selalu harus kita terangkan endogami itu di dalam batas apa.
Demikian kalau dalam suatu desa orang selalu kawin dengan orang dari desanya
sendiri dan tak pernah mencari jodohnya diluar desa itu, maka akan kita sebut
bahwa di dalam desa itu orang melakukan endogami desa. Kalau dalam
masyarakat India ada

adat bahwa orang harus kawin dalam batas kastanya

sendiri, maka kita bicara tentang adanya dalam masyarakat India itu endogami
kasta, dsb.
Istilah endogami adalah istilah sumbang, atau dalam bahasa asing incest.
Sumbang atau incest timbul kalau adat exogami dalam suatu masyarakat ada adat
exogami keluarga inti (artinya orang dilarang kawin dengan saudara
sekandungnya), tetapi orang toh kawin atau bersetubuh dengan saudara
sekandungnya, maka orang itu melakukan sumbang. Demikian pula kalau di
dalam suatu masyarakat ada adat exogami marga, tetapi orang toh kawin atau
bersetubuh dengan gadis semarga, maka orang itu disebut telah melakukan
sumbang juga.38
c. Pola Menetap Setelah Menikah
Didalam Pokok-Pokok Ilmu Antropologi Sosial ada tujuh adat menetap
sesudah nikah yaitu:

38 Koentjraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial,( Jakarta: Dian Rakyat, 1992), Hal . 95

19

1. Adat utrolokal, yang member kemerdekaan kepada tiap pengantin baru


untuk menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami atau di
sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri.
2. Adat virilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap
sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami.
3. Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap
sekitar kediaman kaumkerabat istri.
4. Adat bilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal bergantiganti, pada satu masa tertentu sekitar pusat kediaman suami, pada lain
masa tertentu sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri.
5. Adat neolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal sendiri
ditempat kediaman yang baru, tidak mengelompok sekitar tempat
kediaman kaum kerabat suami maupun kaum kerabat istri.
6. Adat avunkulokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal
menetap sekitar tempat kediaman saudara-saudara laki-laki ibu
(avunculus) dari suami.
7. Adat natolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal
terpisah, suami sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri, dan
istri disekitar pusat kediaman kaum kerabatnya pula.
Adat menetap sesudah menikah antara lain mempengaruhi pergaulan
kekerabatan dalam suatu masyarakat. Misalnya dalam suatu masyarakat ada adat
Virilokal, dengan sendirinya di tempat-tempat, desa-desa, atau daerah-daerah lokal
akan mengelompok menjadi satu keluarga-keluarga yang terikat oleh suatu
hubungan kekerabatan yang dapat diperhitungkan melalui garis orang laki-laki
dalam tiap keluarga batih dalam suatu masyarakat serupa itu anak-anak terutama
bergaul dengan kaum kerabat dari pihak ayahnya, sedangkan kaum kerabat dari

20

pihak ibu yang semuanya tinggal ditempat-tempat, desa-desa, atau daerah-daerah


lain, kurang mereka kenal, demikian tiap adat menetap sesudah nikah menentukan
dengan kaum kerabat manakah orang akan bergaul.39
Didalam buku Fiqih Munakahat adalah setelah perkawinan biasanya untuk
beberapa hari suami/istri tinggal bersama orang tua suami atau istri. Setelah itu,
suami mengajak istrinya pindah kerumah yang telah dibelinya atau rumah
kontrakan.Hal ini dilakukan suami berkewajiban memberi tempat tinggal dan istri
berhak atas hal ini.
Istri diwajibkan menjaga kehormatan dirinya dan suaminya.Oleh karena
itu, istri yang sholehah ialah istri yang tidak berhianat kepada suaminya.Seperti
keluar rumah ketika suaminya tidak ada dirumah.Dengan perilaku istri yang
dituntut demikian, suami berkewajiban memberi tempat tinggal yang layak dan
betah untuk ditinggali.40
5. Perkawinan dalam Perspektif Islam
Menurut

imam

Syafii

memahami

istilah

ahlul

kitab,

sebagai orang-orang yahudi dan nasrani keturunan orang-orang


Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama
Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa
dan Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsabangsa lain. (juga karena adanya redaksi Min qoblikum (sebelum
39 Koentjraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial,( Jakarta: Dian Rakyat, 1992), Hal . 107
40 Beni Ahmad Saebani, Piqih Munakahat,( Bandung: Pustaka Setia, 2001), Hal. 46

21

kamu) pada ayat yang memboleh perkawinan itu. Menurut AlMaududi diperluas lagi oleh Mujtahid (pakar-pakar hukum)
kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama Budha
dan Hindu dan dengan demikian wanita-wanita mereka pun
boleh di nikahi oleh pria muslim, karena mereka juga telah
diberikan kitab suci (samawi).41
6. Perkawinan dalam Hukum Adat
Perkawinan menurut hukum adat Jambi tidak kaku dan
terlalu terikat pada sesuku.Dalam adat Jambi tidak ada larangan
kawin antara kedua orang sesuku.Dan tak ada ketentuan bahwa
anak-anak yang lahir dari perkawinan itu harus mengikuti garis
keturunan ayah atau ibu saja.Pada masyarakat adat Jambi,
keturunan itu bisa saja mengikuti garis keturunan ayah atau ibu,
dengan kata lain bersifat bilateral.Seperti diuraikan terdahulu,
perkawinan menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi kedua belah
pihak, yaitu tidak saja antara bujang dan gadis yang menikah,
tetapi juga mengikut kedua belah pihak sanak famili. Dalam adat
ditentukan apa yang menjadi kewajiban suami dan apa pula yang
menjadi kewajiban isteri, begitu pula kedua belah pihak orang
tua mereka.42
41 Baharuddin Ahmad Dkk, Nikah Beda Agama Di Indonesia, (Ciputat Tanggerang Selatan: Referensi,
2013), Hal. 89

42 Lembaga Adat Propinsi Jambi, Buku Pedoman Adat Jambi, Jambi: 1993, Hal. 43

22

7. Perkawinan dalam Undang-Undang


Tujuan utama dari UUP dan KHI adalah untuk mencipkan
kemaslahatan

dalam

perkawinan.Keabsahan
dipenuhinya

masyarakat

Indonesia

perkawinan

syarat-syarat

perkawinan,

dalam

ditentukan
baik

syarat

hal

dengan
materil

maupun syarat formil atau administrative, sebagaimana yang


telah diatur dalam UUP dan KHI serta tidak bertentangan dengan
agama. Hal ini ditegaskan dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974:
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) ini dan pasal-pasal yang
berkaitan langsung dengan ajaran Islam, seperti perkawinan
didasarkan (pada) Ketuhan Yang Maha Esa (pasal 1), perjanjian
perkawinan tidak

boleh melagar agama (pasal 29),

dan

sebagainya menunjukkan bahwa agama diberi peranan yang


besar dalam mengatur hidup dan kehidupan keluarga.43
Di dalam Al-quran surah Al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi:

43 Baharuddin Ahmad Dkk, Nikah Beda Agama Di Indonesia, (Ciputat Tanggerang Selatan:
Referensi, 2013), Hal. 122

23

Artinya :
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
maha

mengetahui

lagi

maha

Allah

mengenal.(QS.

Al-

Hujurat: 13).

Berdasarkan uraian diatas bahwasanya Allah itu menciptakan manusia bermacammacam suku dan berbangsa-bangsa, sehingga saling kenal dan mengenal antar
suku bangsa. Sesungguhnya Allah itu maha mengetahui lagi maha mengenal.

BAB II
METODE PENELITIAN
24

A. Lingkup Penelitian
Penelitian ini di lakukan di Kecamatan Nibung. Khususnya pada Etnis
Bali yang melakukan perkawinan campuran dengan Etnis Melayu. Penelitian ini
merupakan kajian etnografi yang berbentuk deskriptif

kualitatif. Deskriptif

adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan
sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti.44

B. Jenis Dan Sumber Data


Jenis data pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari penelitian kepada
sumbernya, tanpa ada perantara.Sumber yang dimaksud, dapat berupa bendabenda, situs, atau manusia.45Dalam hal ini data primer yang penulis maksudkan
adalah data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti (atau petugas-petugasnya)
dari sumber pertamana yaitu informan penelitian.data yang penulis maksudkan
adalah data melalui hasil wawancara, observasi dan dokumentasi tentang
perkawinan campuran Etnis Bali dengan Etnis Melayu di Kecamatan Nibung
Kabupaten Musi Rawas Utara, Provinsi Sumatera Selatan.
b. Data Sekunder

44 Rouni Kountur, Metode Penelitian Untuk Penyusunan Skripsi dan Thesis, (Jakarta : Buana Printing,
2009), h. 108

45 Mukhtar, Bimbingan Skripsi, Thesis dan Artikel Ilmiah, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), h.87

25

Data

sekunder

adalah

data

yang

bukan

diusahakan

sendiri

pengumpulannya oleh penelitian, misalnya dari majalah, Koran keteranganketerangan atau publikasi lainnya.46
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari
sumbernya.Data sekunder yang dimaksud adalah data yang diperoleh dari data
yang sudah terdokumentasi dan mempunyai hubungan dengan permasalahan di
teliti.Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah histori, geografis Etnis
Bali di Kecamatan Nibung, dan keadaan sosial masyarakat.
C. Metode Pengumpulan Data
Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan untuk penulisan skripsi
ini, ada beberapa metode yang peneliti gunakan untuk pengumpulan data.Dan
instrument pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara, observasi dan dokumentasi.
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewer) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu.47
Wawancara merupakan wahana strategis pengambilan data yang
memerlukan kejelian dan teknik-teknik tertentu. Dalam pengumpulan data ini,
penulis

menggunakan

utuk

wawancara

terstruktur

dan

tidak

terstruktur.Wawancara terstruktur adalah wawancara dimana pewawancara


46 Ibid., h. 90
47 Lexy J, Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandug: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 186

26

menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan yang diajukan. 48 Wawancara ini


digunakan untuk mencari informasi tentang perkawinan campuran antara Etnis
Bali dengan Etnis Melayu di Kecamatan Nibung, Sp IX dan Sp X. Informan yang
penulis wawancara yaitu: Bu Madining Sari, Wayan Sukrani, Kadek, Made
Kartini, Wayan Purniati dan Made Karti.
Sedangkan wawancara tidak terstruktur adalah wawancara dimana peneliti
maupun subyek penelitian lebih bebas menggukan pendapatnya, namun peneliti
tidak terkesan mengajari informan.49 Wawancara ini digunakan untuk mencari
informasi dari keluarga yang melakukan perkawinan campuran antara Etnis Bali
dengan Etnis Melayu di Kecamatan Nibung Musi Rawas Utara, Provinsi
Sumatera Selatan.
.
2. Observasi
Metode observasi atau juga disebut dengan pengamatan kegiatan pemusatan
perhatian semua objek dengan menggunakan seluruh indera. 50Dalam penelitian
ini, penulis menggunakan observasi yang secara terang-terangan atau tersamar
guna mendapatkan informasi megenai perkawinan campuran antara etnis Bali
dengan etnis Melayu di KecamatanNibung, SP IX SP X yaitu buku Nikah dan
Surat Izin menikah.

48 Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gadja Mada University,


2006), h.213

49Ibid., h. 213
50 Suharsimi Arikunto, prosedur penelian, (Jakarta: rineka cipta, 2006), h.158

27

Adapun yang dimaksud dengan observasi yang secara terang-terangan atau


tersamar adalah peneliti dalam melakukan pengumpulan data menyatakan terus
terang kepada sumber data, bahwa ia sedang melakukan penelitian. Jadi mereka
yang diteliti mengetahui sejak awal sampai akhir tentag aktivitas peneliti. Tetapi
dalam suatu saat peneliti juga tidak berterus terang atau tersamar dalam observasi,
hal ini untuk menghindari kalau suatu data yang dicari merupakan data yang
masih di rahasiakan.51
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumentasi
biasanya berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang.
Dokumentasi adalah sebagai cara mencari data mengurai hal-hal atau variablevariabel yang merupakan catatan buku, surat kabar, majalah, agenda dan lain
sebagainya.52 Dokumentasi penulis gunakan untuk memperoleh data yang
berhubungan dengan perkawinan campuran antara etnis Bali dengan etnis Melayu
di Kecamatan Nibung, Sp IX Sp X Kabupaten Muratara, Provinsi Sumatera
Selatan. Seperti surat izin menikah, dokumen dari lurah, dokumen dari kantor
Camat Nibung.
D. Penentuan Sampel Dan Informan
Sampel adalah sumber informasi data itu sendiri, sampel dapat berupa peristiwa,
manusia, situasi dan sebagainya.Untuk menentukan informan peneliti juga
menggunakan purposive sampling disebut juga sampel bertujuan yaitu
penyampelan dilakukan dengan menyesuaikan gagasan, asumsi, sasaran, tujuan,
51 Sugioyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 67
52 Suharsimi Arikunto, prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h.149

28

manfaat yang hendak dicapai oleh peneliti.53 Penulis menentukan informan di


lapangan, yaitu orang yang mampu diajak berbicara seperti : Tokoh Masyarakat,
Nibung, kepala Desa Nibung. Dan dari mereka pula akan ada penambahan sampel
atau subjek atas rekomendasinya.

E. Tehnik Analisis Data


Analisis data adalah kegiatan mengatur, mengurutkan, mengelompokkan,
memberi kode atau tanda, dan mengatagorikan tanda tersebut yang di peroleh dari
wawancara, observasi, dan dokumentasi di masukan dalam analisis data. Analisis
data penelitian budaya berupa proses pengkajian hasil wawancara, pengamatan,
dan dokumen yang terkumpul. data tersebut banyak jumlahnya, yang kurang
relefan patut di reduksi. Analisis bersifat terbuka, open ended dan induktif.54
1. Reduksi Data
Reduksi data adalah identifikasi satuan unit bagian terkecil yang
ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan focus.Setelah
itu membuat koding. Memberi kode pada setiap satuan supaya dapat di telusuri
data yang berasal dari sumber mana.55

2. Penyajian data
53 Suwardi Endraswara, Metode Teori Tekhnik Penelitian Kebudayaan, ( Yogyakarta: Pustaka Widyatama,
2006), Hal. 115

54.Suwardi Endaswara, Metode teori teknik Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama,
2006), Hal. 215.

55 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitataif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013),


Hal. 288.

29

Pada penelitian kualitatif ini penyajian data bisa di lakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya.
3. Pengambilan Kesimpulan dan Verivikasi
Kesimpulan awal yang di kemukakan masih bersifat sementara dan akan
berubah apabila tidak di temukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada
tahap pengumpulan data berikutnya.
F. Tringulasi Data
Tringulasi data adalah tekhnik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data.56
Penelitian dengan sumber ini dapat di lakukan dengan cara:
a) Membandingkan data hasil

observasi dengan data hasil

wawancara.
b) Membandingkan apa yang di katakan orang di depan umum
dengan apa yang di katakan secara pribadi
c) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang
situasi peneliti dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.
d) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa,
orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada
atau orang pemerinta.
e) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen
yang berkaitan.
G. Jadwal Penelitian
Penelitian di lakukan dengan pembuatan proposal, kemudian di lanjutkan
dengan perbaikan hasil seminar proposal skripsi.Setelah pengesahan judul dan
56 Ibid.Hlm. 330

30

riset, maka penulis mengadakan pengumpulan data, perivikasi, dan analisis data
dalam waktu berurutan. Hasil penulis akan berkonsultasi kepada dosen
pembimbing sebelum di ajukan sidang munaqasah nantinya. Hasil sidang
munaqasah di lanjutkan dengan perbaikan dan pengadaan laporan skripsi .

31

BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Lokasi dan Etnis Bali di Nibung


Kecamatan Nibung adalah bagian dari Kecamatan Rawas
Ilir Kabupaten Musi Rawas yang pada masa kepemimpinan
Bupati Bpk. Drs. H. Soeb Tamat dijadikan proyek Transmigrasi
32

pada tahun 1986. Ada masa proyek Transmigrasi terdiri atas


Satuan Pemukiman (SP) yakni Sp. 1, 2, 3,4, 5, 6, 7, 8, 9 10 dan
11, hanya ada dua Desa asli yaitu Tebing Tinggi dan Desa Ridan
yang selanjutnya dirubah menjadi nama Desa Jadi Mulya.
Pada masa royek Transmigrasi warga didatangkan dari
daerah pulau Jawa Barat, Jawa Timur dan selama pembinaan
Departemen Transmigrasi warga diberi jatah 0,25 ha lahan
pekarangan 1 ha lahan usaha 1 dan 2 ha lahan usaha II, dengan
budidaya pertanian palawija, perkebunan karet.57
Berdasarkan hasil observasi di lapangan menurut Pak Agus
salah seorang etnis Bali dan juga mantan ketua Organisasi Bali ia
menceritakan bahwa: etnis Bali sampai ke Nibung yaitu terjadinya
tranmigrasi pada zaman orde baru, ketika pemerintahan Soeharto. Penduduk Bali
ke Nibung yang disebabkan oleh sempitnya wilayah untuk melangsungkan hidup,
dikarenakan bertambahnya jumlah penduduk dan sempitnya lapangan pekerjaan.
Ada juga faktor ekonomi yang membuat mereka meninggalkan kampung
halamannya untuk melangsungkan kehidupan, dan mencari kehidupan yang
baru.Pada awalnya masyarakat Bali yang tinggal di Nibung mayoritas sebagai
nelayan ketika hidup di Bali.Dikarenakan hal tersebut maka mereka

57 Dokumentasi Camat Nibung, Selayang Pandang Kecamatan Nibung Kabupaten Musi Rawas Utara,
2015

33

bertransmigrasi ke Palembang yaitu tepatnya di Kecamatan Nibung kabupaten


muratara. khususnya di Desa Mulya Jaya / Sp IX dan Srijaya Makmur X.58
Menurut Pak Wayan Muka selaku Wakil Lurah dan
sekretaris Parisade etnis Bali di SP IX ia mengatakan pada tahun
1986

orang

Bali

mendengar

bahwa

ada

pengangkatan

transmigrasi, maka pada waktu itu orang-orang Bali yang


ekonominya

lemah

mereka

siap-siap

untuk

mengurus

keberangkatannya untuk bertransmigrasi ke Sumatera Selatan.


Banyaknya yang melakukan transmigrasi yaitu Pulau Jawa, dan
Pulau Bali. Pada akhir tahun 1986 memasuki tahun 1987 orangorang yang bertransmigrasi di berangkatkan ke Sumatera
Selatan, orang-orang yang bertransmigrasi berkisar 1000 jiwa
yang di tempatkan ada waktu itu Kabupaten Musi Rawas Ilir,
sekarang

terpisah

menjadi

Kabupaten

Musi

Rawas

Utara.

Sedangkan orang Bali mereka di tempatkan di blok E SP IX (Desa


Karya Makmur). Setelah sampai di Kecamatan Nibung mereka
berkeinginan

untuk

merubah

hidup

dan

mengadu

nasib,

kemudian mereka mengolah lahan yang di sediakan oleh


pemerintah.59

58 Hasil Wawancara Pak Wayan Agus selaku Mantan Ketua Organisasi Etnis Bali, (Rabu, 25 Maret, 2015)
Pukul. 16.00 Wib

59Hasil Wawancara Pak Wayan Muko Selaku Wakil Lurah di Kecamatan Nibung, (Kamis, 07 Mei, 2015)
Pukul. 11.00 Wib

34

Menurut Buk Madining Sari salah seorang etnis Bali yang


melakukan perkawinan campuran dengan etnis melayu di
Kecamatan Nibung Sp X. Ia menjelaskan bahwa etnis Bali itu
sampai di Kecamatan Nibung ini adalah trasmigrasi pada tahun
1987. Kami yang bertransmigrasi adalah orang-orang yang
ekonominya

lemah

sehingga

kami

bertransmigrasi

untuk

mengubah hidup kami, di Bali mayoritas pekerjaannya sebagai


nelayan,

bangunan

dan

sebagainya.Untuk

itu

kami

ingin

mengadu nasib di kecamatan Nibung, Kabupaten Muratara,


Provinsi Sumatera Selatan ini.

B. Keadaan Geografis
Kecamatan Nibung berada dibagian Utara Kabupaten Musi
Rawas Utara, secara astronomis terletak pada posisi 102 0700
- 1034000 BT dan 22000 - 33800 LS. Kecamatan
Nibung mempunyai luas wilayah 60.292,6 M2 dengan batasbatas sebagai berikut:

Sebelah
Sebelah
Sebelah
Sebelah

Utara berbatasan dengan Provinsi Jambi.


Selatan berbatasan dengan Rawas Ilir.
Barat berbatasan dengan Kecamatan Rawas Ulu.
Timur berbatasan dengan Kabupaten Musi Banyu

Asin

35

Kecamatan Nibung terdiri atas 1 kelurahan dan 10 Desa


yakni:
1) Kelurahan Karya Makmur (SP.9)
2) Desa Tebing Tinggi.
3) Desa Jadi Mulya (Ridan)
4) Desa Bumi Makmur (SP.1)
5) Desa Sumber Sari (SP.2)
6) Desa Krani Jaya (SP.5)
7) Desa Sumber Makmur (SP.7)
8) Desa Mukya Jaya (SP.8)
9) Desa Srijaya Makmur (SP.10)
10)
Desa Kelumpang Jaya (SP. 11)
11)
Desa Jadi Mulya 1 (Pemekaran 10-2-2009)60
C. Pemerintahan
Merujuk pada Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 dalam
hal peyelenggaraan pemerintahan Desa dan perberdayaan
Masyarakat, Peran Camat sebagai berikut:
1. Camat

berperan

sebagai

fasilitator

penyelenggaraan

Pemerintahan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat.


2. Peranan Camat berhubungan dengan Tugas Bupati / Wali
kota

pembinaan

dan

pengawasan

Penyelenggaraan

Pemerintahan Desa.
3. Tugas dan peran Camat diwadahi dalam rangka pelimahan
sebagai urusan Pemerintahan kepada Camat.
Dalam pelayan masyarakat saat di kantor Camat Nibung
secara struktur masih ada kekosongan jabatan yakni Kasi
60 Dokumentasi Camat Nibung, Selayang Pandang Kecamatan Nibung Kabupaten Musi Rawas Utara,
2015

36

Kesejahteraan

Sosial,

Kasi

Ketentraman

Ketertiban

dan

Perlindungan Masyarakat, Kasubag Keuangan dan Kasubag


Umum dan Kepegawaian (struktur terlampir) namun kekurangan
personil tersebut tidak menjadi kendala dalam pelayanan, juga
dari 10 Desa dalam Kecamatan Nibung Sekretaris Desa yang
Pegawai Negeri Sipil berjumlah 6 orang sedagkan yang lain
diangkat oleh Kepala Desa dengan anggaran Desa. Sesuai
dengan amanat Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa
dan peraturan pemerintahan No. 43 Tahun 2014 ada 7 Kepala
Desa yang di Jabat oleh PNS yang dikarenakan 7 Kepala Desa
tersebut habis masa Jabatan.61
D. Kependudukan
Jumlah penduduk sebagaimana tersebut yang wajib KTP
berjumlah 14.730 Jiwa dari jumlah wajib KTP yang telah
mempunyai Nomor Induk Kependudukan (NIK) berjumlah 13.259
Jiwa (89,93%)

dan juga telah melakukan perekaman, yang

telah mendapatkan e- KTP berjumlah 12.751 (96,12%) hal ini


terkendala pendistribsian dari Jakarta. Namun mereka dapat
dilayani dengan Kartu Tanda Penduduk SIAK.

61 Dokumentasi Camat Nibung, Selayang Pandang Kecamatan Nibung Kabupaten Musi Rawas Utara,
2015

37

Hingga saat ini proses pelayanan kepada masyrakat akan


kebutuhan Kartu Keluarga yang dikarenakan

penambahan

anggota keluarga, keluar dari anggota keluarga yang disebabkan


pernikahan, pindah, datang dan juga dikarenakan hilang data
dilayani

di

Kantor

Camat

Nibung,

yang

tentunya

proses

administrasi dilakukan dari tingkat Rukun Tetangga Kelurahan


dan Desa dalam Kecamatan Nibung.62
Jumlah penduduk Kecamatan Nibung sampai dengan 31
Januari 2015 berjumlah 24.760 Jiwa, secara rinci data dilihat dari
table berikut ini:

No
Uru
t

1
1
2
3
4
5
6

Nama Desa

2
Kl. Karya
Makmur
Desa Tebing
Tinggi
Jadi Mulya
Bumi Makmur
Sumber Sari
Krani Jaya

Jmlh
KK

Jumlah
kepadat
an

3
976

Lakilaki
4
1.776

Perempu
an
5
1.683

395

1.045

359
1.121
435
456

418
2.201
663
901

L+P
6
3.459

7
1,41

932

1.977

8,06

383
1.964
570
784

801
4.165
1.233
1.685

10,26
1,53
1
6,77

62 Dokumentasi Camat Nibung, Selayang Pandang Kecamatan Nibung Kabupaten Musi Rawas
Utara, 2015

38

7
8
9
10
11

Sumber Makmur
Mulya Jaya
Srijaya Makmur
Kelumpang Jaya
Jadi Mulya I
Jumlah

915
466
791
452
402
6.769

1.657
765
1.689
979
785
12.879

1.531
814
1.518
905
797
11.881

3,188
1.579
3.207
1.884
1.582
24.760

8,76
8,49
1,06
6,77
2,03
4,11

.
Berdasarkan data di atas maka jumlah KK di Desa Muliya
Jaya berjumlah 466 KK, dengan jumlah Laki 765 dan jumlah
perempuan

814,

dengan

jumlah

keseluruhan

1579

dan

kepadatan penduduk mencapai angka 8,49.


Begitu juga Desa Srijaya Makmur jumlah KK 791, dengan
jumlah laki-laki 1689 dan perempuan 1518, dengan jumlah
keseluruhan 3207, kepadatan penduduk 1,06.
E. Pendidikan
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Kecamatan Nibung, Pendidikan merupakan faktor penting dan
sangat mendasar.Untuk mewujudkan semua itu, sarana dan
prasarana pendidikan haruslah memadai. Di Kecamatan Nibung
dapat dikatakan cukup, hal ini dapat dilihat dengan adanya
Taman kanak-kanak, SD, Madrasah, dan Pondok Pesantren yang
mampu mengeluarkan siswa-siswi yang dapat bersaing untuk
mengikuti perkembangan zaman. sampai sekarang ini anak-anak

39

Masyarakat Nibung banyak manimba ilmu diluar baik itu SLTA,


SMA, pondok pesantren bahkan perguruan tinggi.63
Berdasarkan hasil observasi penulis dilapangan

di Desa

Mulya Jaya dan Desa Srijaya Makmur atau SP IX dan SP X:


pada etnis Bali pendidikan sangat diutamakan kepada
anak-anak mereka yang sudah waktunya untuk menuntut ilmu,
di Nibung anak-anak masyarakat etnis Bali sudah menuntut ilmu
baik itu SD, SLTA, SMA bahkan perguruan tinggi.64
Pada etnis Melayu melihat hal pendidikan kurang begitu
penting, dikarenakan setelah lulus jenjang SMP, jarang sekali
melanjutkan ke jenjang SMA, disebabkan pengaruh lingkungan
sehingga banyak yang menikah. Dari 100% angka pendidikan,
maka 30% yang melanjutkan ke SMA ataupun perguruan tinggi.65
Jumlah

lembaga

pendidikan

Negeri

dan

Swasta

dan

Kelompok Belajar dalam Kecamatan Nibung.

63 Hasil Wawancara dengan Pak Sekcam Nibung, (Jumat, 20 Maret 2015) pukul 10 Wib
64 Hasil Wawancara Pak Wayan Muko Selaku Wakil Lurah di Kecamatan Nibung, (Kamis, 07 Mei, 2015)
Pukul. 11.00 Wib

65 Hasil Wawancara dengan Pak M. Fatkhan. SE selaku wakil kades Sp X di Kecamatan Nibung, (Kamis,
07 Mei 2015)

40

No

1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Nama lembaga Pendidikan Kejar Paket


Negeri / Swasta
Nama Kel/ Desa Pau Tk SD SMP/ SMA A
B
C
d
/
MTS /
MI
MA
2
3
4
5
6
7
8
9 10
Kl.
Karya
1
1
2
Makmur
Desa Tebing
1
2
Tinggi
Jadi Mulya
2
1
Bumi Makmur
3
1
1
1
Sumber Sari
1
1
Krani Jaya
1
Sumber
1
1
2
1
2
Makmur
Mulya Jaya
1
1
Srijaya Makmur
1
1
3
1
Kelumpang Jaya
2
1
Jadi Mulya I
1
Jumlah
4
10 18
4
3
-

Berdasarkan data table diatas, maka Desa muliya jaya


memiliki 1 Paud, SD/MI 2. Begitu juga di Desa Srijaya Makmur
memiliki Paud 1, TK 1, SD/MI 3, SMP/MTS 1.
F. Sistem Mata Pencaharian
Untuk memenuhi kebutuhan hidup perlu adanya mata
pencaharian dalam masyarakat. Mata pencaharian adalah sarana
mutlak

bagi

manusia

untuk

mendapatkan

sesuatu

yang

diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk itu

41

manusia harus berusaha sekuat tenaga agar mendapatkan hasil


yang diinginkan semaksimal mungkin.
Kecamatan Nibung yang berada didaratan tingi dan sangat
sedikit sekali rawa-rawa, sehingga penduduknya sangat kurang
berminat untuk dibidang pertanian. Yang menjadi dambaan
warga Nibung adalah dibidang perkebunan yang terdiri atas
perkebunan karet dan kelapa sawit. Pada awalnya warga Nibung
mengusahakan perkebunan karet, untuk perkebunan kelapa
sawit dimulai pada tahun 1994 yakni sejaknya masuk investator
perkebungan kelapa sawit yakni PT London Sumatera TBK yang
pada tahap awal mengikuti pola pemitraan namun selanjutnya
berkembang para petani kebun membuka sendiri. Namun yang
sangat membanggakan warga Nibung dalam hal perkebunan
cukup professional yakni mematuhi petunjuk para petugas
penyuluh lapangan sehingga lahan perkebunan tersebut cukup
berhasil.66
Berdasarkan hasil dilapangan menurut menurut Pak Agus
salah seorang etis Bali dan juga mantan ketua organisasi Bali
mengatakan bahwa:
Sistem mata pencaharian kami etnis Bali kebanyakan
berkebun, terutama dibidang perkebunan karet, karena
66 Dokumentasi Camat Nibung, Selayang Pandang Kecamatan Nibung Kabupaten Musi Rawas Utara,
2015

42

sejak awal kami orang Bali datang ke Nibung kami sudah


disiapkan oleh pemerintah tanah dan bibit karet, sebagai
mata pencaharian kami.67
Begitu juga menurut Bu Madining Sari salah seorang etnis
Bali yang sebelumnya memeluk agama Hindu.Ia menjelaskan
bahwa:
Sistem mata pencaharian orang Bali mayoritasnya
berkebun karet, kan awalnya orang Bali kesini mereka
sudah diajarkan oleh petugas penyuluhan lapangan yaitu
bagaimana cara menanam karet yang baik, dan menyadap
karet yang baik. sehingga orang-orang Bali mematuhi apa
yang telah di ajarkan oleh petugas tersebut dan mereka
cukup berhasil dalam perkebun sawit dan dapat memenuhi
kebutuhan kami sehari-hari.68
Sedangkan pada etnis Melayu sistem mata pencaharian
mayoritasnya

perkebunan, terutama di bidang perkebunan

sawit.Sekitar 1.131 Ha sedangkan perkebunan karet sekitar 523


Ha. Menurut Pak Peri salah seorang warga Nibung Sp X ia
mengatakan bahwa:
Kami warga Nibung ini khususnya di Desa Srijaya Makmur
Sp X awalnya mata pencaharian kami motong karet setelah
harga karet merosot atau bisa dikatakan harganya maka
kami sekarang ini kebanyakan ngelangsir buah sawit dan
merondol buah sawit. Jikalau harga karet naik, kami mulai
motong lagi.69

67 Hasil Wawancara Pak Wayan Agus Selaku Mantan Ketua Organisasi Etnis Bali, (Rabu, 25 Maret, 2015)
Pukul. 16.00 Wib

68 Hasil wawancara dengan Bu Madining Sari, (Selasa, 05 Mei 2015)


69 Hasil wawancara dengan Pak Peri, (Rabu, 06 Mei 2015)

43

44

BAB IV
PEMBAHASAN
A. Faktor-Faktor yang Melatar Belakangi Terjadinya
Perkawinan Campuran.
Dalam perkawinan campuran, terdapat beberapa faktor
yang melatar belakangi terjadinya perkawinan campuran yaitu:
Pertama Faktor Adat Dinamis, Kedua Faktor Lingkungan.
1. Faktor Adat Dinamis (Tidak Mengikat).

45

Faktor

adat

dinamis

adalah

faktor

adat

yang

tidak

mengikat, dimana adat-adat yang terdahulu yang mestinya tidak


boleh dilakukan tetapi sekarang dilakukan. Karena adanya
pengaruh pada lingkungan dan seiring dengan perubahan
zaman, sehingga adat tersebut jarang lagi digunakan.Agar lebih
jelas lagi berikut penjelasannya.
a. Adat Bali
Menurut adat lama masih dipengaruhi oleh sistem Klen dan
sistem Wangsa.Maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan
antara warga sekelen, atau setidak-tidaknya antara orang-orang
yang dianggap sederajat dalam wangsa.70Artinya orang Bali itu
harus menikah sesama orang Bali dan tidak boleh menikah diluar
orang

Bali

dan

juga

orang-orang

yang

sederajat

dengan

kedudukan dalam catur warna atau wangsa.Contohnya kasta


Brahmana yaitu kalangan orang-orang Ulama dan kalangan
Pendeta tidak boleh menikah dengan orang-orang kastanya
Sudra yaitu rakyat biasa (petani), begitu juga kasta Kasatria tidak
boleh menikah dengan kasta Waisya dan seterusnya.Namun,
setelah terjadinya percampuran budaya antara etnis Bali dengan
etnis Melayu, maka sistem perkawinan berdasarkan Klen dan
sistem wangsa tidak lagi mengikat.Karena adanya pengaruh
70 I Nyoman Arthayasa Dkk, Petunjuk Teknis Perkawinan Hindu, (Surabaya: Paramita, 2004), hal. 11

46

pada

lingkungan

dan

perubahan

zaman.

Sebagaimana

pernyataan dari Pak Wayan Muka selaku Wakil Lurah dan


Sekretaris Parisada etnis Bali berikut pernyataannya:
Sekarang di Bali perkawinan tidak mesti sekasta karena
masyarakatnya sudah mengerti tentang perubahan zaman
jadi mereka boleh menikah dengan kasta yang lain
misalnya dari Sudra ke Brahmana, dari Waisya ke kasatria
toh juga derajat kita sesama manusia sama-sama ciptaan
Tuhan, jadi tidak dipermasalahkan. Kalau dulu memang
susah sekali, kadang-kadang sampai ngumpat, orang
tuanya membawa pedang. Tapi sekarang zaman sudah
berubah artinya situasi sudah memungkinkan antara Sudra
dengan Brahmana begitupun yang lainnya di sekolahan
sudah gabung tiada bedanya. Di kecamatan Nibung sistem
kasta masih ada tetapi tidak dihargai begitu tinggi Cuma
biasa-biasa saja contohnya di blok D ada yang menikah
namanya Ida Bagus dari golongan kasta Brahmana dengan
kasta Sudra. Mungkin dia mengerti dengan lingkungan dan
juga dengan perubahan zaman jadi dia tidak panatik
tentang perbedaan kasta.71

Begitu juga menurut Pak Wayan Agus salah seorang etnis


Bali

dan

juga

mantan

ketua

organisasi

Bali

berikut

pernyataannya:
Kalau dulu adat Bali memang tidak boleh menikah antara
kasta Sudra dengan kasta Brahmana karena merupakan
tidak sederajat, tetapi sekarang ya mau gimana lagi tetap
terjadi dia yang nama suka sama suka. Beda dengan yang
dulunya, kalau dulu kan sistem kerajaan, tetapi sekarang
zaman sudah berubah jadi transparan sudah gak ada lagi
kalangan mana kalau dia sudah mau ya jadi. Kalau dulu
memang gak bisa sama sekali, orang mau ketemu gak
71 Hasil Wawancara Pak Wayan Muka selaku Wakil Lurah dan Sekretaris Parisada etnis Bali,
(Kamis, 07 Mei, 2015) Pukul. 11.00 Wib

47

bisa. pada zaman dulu mereka main kelompok orang


Brahmana harus sesama Brahmana, Sudra sama Sudra.
Sekarang kita kan sudah membaur dengan suku-suku yang
lain dan juga perubahan zaman. Tapi masih ada yang
memegang adat seperti itu tapi sedikit.72

Jadi

dari

beberapa

pernyataan

diatas

dapat

penulis

simpulkan bahwa didalam adat Bali yang kental dalam hal


perkawinan dan juga kesehariannya mereka
beda

kasta,

maksudnya

dalam

hal

tidak dibolehkan
perkawinan

dan

kesehariannya harus sekasta. Minsalnya kasta Brahmana harus


menikah sesama kasta Brahmana tidak boleh menikah dengan
kasta Sudra ataupun Waisya, begitupun kesehariannya.Karena
mereka tidak seklen dan juga tidak sederajat dengan kasta yang
mereka anut, dan juga mereka tidak mau turun pangkat ataupun
kedudukanya. Setelah terjadinya perubahan zaman dan juga
mereka telah membaur dengan budaya yang lain, maka sistem
kasta itu jarang digunakan lagi. Dan juga mereka beranggapan
kita sama-sama manusia, sama-sama menghadap sang pencipta
(Tuhan yang maha Esa) lagipun dimata tuhan derajat kita
manusia sama.
b. Adat Melayu
Perkawinan menurut hukum adat Jambi tidak kaku dan
terlalu terikat pada suku.Dalam adat Jambi tidak ada larangan
kawin antara kedua orang sesuku.Dan tak ada ketentuan bahwa
anak-anak yang lahir dari perkawinan itu harus mengikuti garis
keturunan ayah atau ibu saja.Pada masyarakat adat Jambi,
72 Hasil Wawancara Pak Agus Selaku Mantan Ketua Organisasi Etnis Bali, (Rabu, 25 Maret, 2015) Pukul.
16.00 Wib

48

keturunan itu bisa saja mengikuti garis keturunan ayah atau ibu,
dengan kata lain bersifat bilateral. 73Artinya perkawinan itu tidak
berdasarkan satu suku saja, tetapi boleh menikah dengan suku
yang lain asalkan memeluk agama yang sama. Menurut cerita
Ibu Wama selaku warga Nibung Sp X, menjelaskan bahwa:
Orang Melayu disini menikah tidak mesti sesama orang
Melayu saja, boleh dengan agama lain asalkan satu agama.
Misalkan beda etnis, etnis Melayu yang beragama Islam
dengan etnis Bali yang beragama Hindu, dalam proses
pernikahan mereka harus memeluk satu agama.74

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa, pada etnis Melayu


perkawinan itu tidak terlalu

mengikat artinya perkawinan itu

tidak mesti sesuku saja. Boleh menikah dengan suku yang lain
asalkan satu agama.
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor terjadinya
perkawinan campuran di Kecamatan Nibung, Sp IX dan Sp X hal
ini dikarenakan adanya proses intraksi sosial dalam masyarakat,
salah satunya intraksi sosial antara etnis Bali dengan etnis
Melayu. Di Kecamatan Nibung mayoritasnya etnis Melayu, dalam
kesehariannya berdampingan dengan etnis Bali dimana kedua
73 Lembaga Adat Provisi Jambi, Buku Pedoman Adat Jambi, (Jambi: 1993), Hal. 44
74 Hasil Wawancara dengan Bu Wama, (Kamis, 07 Mei 2015) Pukul 2. 30 Wib

49

etnis

tersebut

saling

membutuhkan

untuk

mewujudkan

lingkungan yang damai, aman dan sejahtera.Karena hidup


berdampingan kedua etnis tidak mudah untuk mewujudkan hal
tersebut, salah satu hal yang harus dilakukan dalam lingkungan
adalah saling menghargai dan menghormati antara kedua etnis,
terutama masalah suku, adat dan bahasa.
Sedangkan minoritasnya etnis Bali di Kecamatan Nibung,
dalam kesehariannya lebih cendrung kepada adat Melayu
setempat. Karena keberadaan etnis Bali dikelilingi oleh etnis
Melayu,
mengikuti

sehingga
cara

secara

tidak

kehidupan

langsung

yang

ada

kesehariannya
disekelilingnya.

Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Pak Wayan Agus salah


seorang etnis Bali dan juga mantan ketua organisasi Bali berikut
penjelasannya:
Intinya kami saling menghargai dan menghormati dengan
etnis Melayu, umpamanya kalau orang muslim puasa kami
etnis Bali ini tidak sembarangan makan didekat orang
muslim. Begitupun dengan Etnis Bali kalau etnis Bali lagi
Nyepi orang-orang muslim baik dari pemuda maupun
orang dewasa sewaktu berkendaraan lewat depan rumah
kami mereka tidak mau kebut-kebutan yang sampai
menggangu kami. Jadi kami disini antara suku Bali dengan
suku Melayu, kami saling toleransi antar beragama.75

75 Hasil Wawancara Pak Agus Selaku Mantan Ketua Organisasi Etnis Bali, (Rabu, 25 Maret, 2015) Pukul.
16.00 Wib

50

Hal ini sebanding dengan pendapat Pak Wayan Muka


selaku Wakil Lurah dan Sekretaris Parisada etnis Bali berikut
penjelasannya:
Kami disini dengan etnis-etnis yang lain hidupnya
berdampingan, kami tidak pernah ribut antar etnis. Karena
kami saling menjaga dan menghormati antara yang satu
dengan yang lainnya, seandainya orang Islam lagi puasa
kami tidak pernah makan sembarangan didekat orang
Islam. Begitupun sebaliknya kalau kami lagi sholat atau
lagi nyepi baik orang Islam maupun etnis yang lain tidak
pernah mengganggu kami. Intinya kami saling menjaga
dan menghormati antar etnis.76

Dari data diatas maka suku Melayu merupakan mayoritas


yang berada di Kecamatan Nibung, Desa Karya Makmur Sp IX
dan Desa Srijaya Makmur Sp X, sedangkan etnis Bali merupakan
minoritas. Dari suku Melayu yang mayoritas, maka terjadi proses
asimilasi dengan suku Bali yang minoritas.
Asimilasi merupakan salah satu konsep mengenai dinamika masyarakat dan
kebudayaan.77 Konsep-konsep mengenai dinamika masyarakat dan kebudayaan itu
adalah sebagai berikut:
f.
g.
h.
i.

Internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi


Evolusi kebudayaan
Difusi
Akulturasi dan asimilasi

76 Hasil Wawancara Pak Wayan Muka selaku Wakil Lurah dan Sekretaris Parisada etnis Bali, (Kamis, 07
Mei, 2015) Pukul. 11.00 Wib

77 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropolgi, op.cit., h. 184

51

j. Inovasi dan penemuan baru78


Asimilasi (assimilation) adalah proses sosial yang timbul bila ada:
a. Golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan
yang berbeda-beda.
b. Saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu lama,
sehingga
c. Kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing
berubah sifatnya yang khas, dan juga unsurnya masing-masing
berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.79
Biasanya, golongan-golongan yang tersangkut dalam proses asimilasi adalah
suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal ini
golongan minoritas mengubah sifat khas dari unsur-unsur kebudayaannya dan
menyesuaikan dengan kebudayaan dari golongan mayoritas.Sehingga lambat laun
kehilangan kepribadian kebudayaannya dan masuk kedalam kebudayaan
mayoritas.
Salah satu asimilasi yang terjadi di Kecamatan Nibung adalah asimilasi
Etnis Bali dengan Etnis Melayu dalam hal perkawinan. Asimilasi ini dapat terjadi
dikarenakan adanya aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan,
dan bergaul satu sama lain dari detik-ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke
tahun, selalu menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan.
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Ibu Made Karti salah seorang etnis Bali
yang dulunya memeluk agama Hindu bahwa:
78 Ibid., h.184
79 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), Hal. 2009

52

warga yang berada disekitar kami mayoritasnya umat


Islam, lagipun teman-teman saya pun banyak orang Islam.
Saya pernah di ajak teman-teman untuk ikut pengajian
karena saya beda agama saya menolak padahal di dalam
hati saya pengen ikut teman-teman saya. Sehingga saya
curhat dengan teman dekat saya yang bernama Neni,
jikalau ada orang Islam yang mau menikah sama saya,
saya mau masuk Islam. Setelah itu Neni kenalkan dengan
Edi Purnomo, selama Dua Minggu kami menjalin hubungan
dan kami menikah.80
Begitu juga pemaparan dari Buk Wayan Sukrani salah seorang etnis Bali yang
dulunya memeluk agama Hindu bahwa:
Dalam masuk Islam, etnis Bali tergantung pada agama Islam baik itu
laki-laki yang Islam atau perempuan yang Islam kalau mau menikah maka
calon yag tidak agama Islam harus msuk Islam barulah boleh terjadi
pernikahan tersebut kalau tidak mau masuk Islam maka pernikahan itu
tidak boleh atau tidak terjadi
Dari pernyataan tersebut, perkawinan campuran yang terjadi di Kecamatan
Nibung juga disebabkan adanya faktor lingkungan.Yaitu masyarakat Bali yang
minoritasnya tinggal dilingkungan ditengah wilayah mayoritas Melayu.
B. Proses Perkawinan Campuran antara Etnis Bali Yang
Beragama Hindu Dengan Etnis Melayu Yang Beragama
Islam
1) Proses perkawinan campuran etnis bali dengan etnis
melayu
Dalam setiap pernikahan terdapat prosesi yang harus
dilaksanakan, proses tersebut adalah melamar, akad nikah, pesta
perkawinan. Penjelasan dari masing-masing proses ini adalah:
80 Hasil wawancara dengan Bu Kadek, (Rabu, 06 Mei 2015)

53

1. Melamar
Melamar merupakan proses awal terciptanya hubungan
yang akrab, serasi, persesuaian antara laki-laki dan perempuan
untuk menentukan atau menetapkan pilihannya menuju jenjang
perkawinan. Artinya ketika hendak melakukan perkawinan tentu
adanya perundingan atau biasa dikenal dengan (melamar)
antara kedua belah pihak.
a. Proses Melamar dalam Etnis Melayu
Di Kecamatan Nibung proses melamarnya hampir sama
dengan proses lamaran di Provinsi Jambi. Dimana, masyarakat
Provinsi Jambi sebelum masuk rumah dan memulai pembicaraan
kedua belah pihak mempelai, nenek mamaknya berbalas pantun
atau seloko-seloko. Sedangkan pada masyarakat Nibung, proses
lamarannya tidak menggunakan pantun atau seloko-seloko.
Sebagaimana yang telah di nyatakan oleh Bu Wama salah
seorang warga Nibung bahwa:
Sebelah laki-laki datang bersama perangkat Desa
kerumah keluarga perempuan, dengan tujuan untuk
meminang perempuan tersebut, apabila disetujui maka
dari pihak laki-laki memberi tanda sebagai ikatan berupa
cincin emas dengan tujuan bahwasanya si perempuan itu
sudah di lamaratau di pinang. Jika suatu hari terjadi
masalah yang berujung terjadinya gagal terjadinya
pernikahan dikarenakan salah satu calon mempelai
bertingkah atau melanggar aturan yang menyebabkan
tidak
terjadinya
pernikahan
maka
di
kenakan
sangsi/hukum.Sangsi
tersebut
berupa,
apabila
si
perempuan melanggar atau membatalkan terjadinya
pernikahan maka si perempuan membayar dua kali lipat
yang telah diberikan oleh laki-laki, tetapi apabila laki-laki
membatalkan terjadinya pernikahan maka apa yang telah

54

di berikan kepada perempuan hilang begitu saja (jadi milik


perempuan).81
Begitu juga yang telah dikatakan oleh Pak Peri selaku ketua
pemuda Sp X ia mengatakan bahwa:
Pihak keluarga laki-laki beserta nenek mamak dan juga
perwakilan dari perangkat Desa Sp X datang kerumah
perempuan yang ingin di lamarnya, kemudian nenek
mamak laki-laki mengatakan kepada pihak keluarga
perempuan kalau maksud dan tujuannya datang untuk
melamar. Kalau pihak keluarga perempuan itu setuju, maka
dari
pihak
laki-laki
tersebut
memberikan
tanda
keseriusannya kepada perempuan tersebut.Tanda itu
berupa uang ataupun cincin emas, yang merupakan bahwa
perempuan itu sudah dilamar.Dengan adanya tanda seperti
itu, apabila laki-laki yang meyebabkan batalkan pernikahan
maka tanda yang diberikannya hilang begitu saja.Dan
apabila si perempuan yang membatalkannya maka si
perempuan mengganti dua kali lipat.82
Jadi

dari

beberapa

penjelasan

diatas,

dapat

penulis

simpulkan bahwa proses melamar pada etnis Melayu. Pihak lakilaki beserta nenek mamak dan perwakilan dari perangkat Desa,
datang ketempat perempuan yang ingin dilamar.Jika orang tua
perempuan menyetujui, maka pihak laki-laki memberi tanda
berupa cincin ataupun uang.Dengan adanya tanda seperti itu,
apabila laki-laki yang meyebabkan batalkan pernikahan maka
tanda yang diberikannya hilang begitu saja.Dan apabila si

81 Hasil Wawancara dengan Bu Wama, (Kamis, 07 Mei 2015) Pukul 2. 30 Wib


82 Hasil Wawancara dengan Pak Peri, (Kamis, 07 Mei 2015) Pukul 16. 30 Wib

55

perempuan

yang

membatalkannya

maka

si

perempuan

mengganti dua kali lipat.


b. Proses Melamar dalam Adat Bali
Proses lamaran dalam etnis Bali sangat berbeda sekali
dengan proses lamaran dalam etnis Melayu. Dimana, dalam etnis
Melayu sesudah melamar calon mempelai perempuan tidak
diboleh tinggal di tempat mempelai laki-laki, karena belum di
ijab dan di qabulkan.Tetapi didalam etnis Bali sesudah melamar,
mempelai perempuan boleh tinggal ditempat calon mempelai
laki-laki. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Pak Wayan
Muka selaku Wakil Lurah dan Sekretaris Parisada etnis Bali ia
mengatakan bahwa:
Dalam melamar ada beberapa hal yang harus dilakukan
yaitu 3 kali tahap pertemuan. Pertemuan Hari pertama
orang tua pihak lelaki datang menemui pihak perempuan
dengan mengutarakan tujuannya yaitu pihak lelaki
mengabari kepada pihak perempuan wahwa mereka akan
datang beserta keluarga pada waktu yang akan datang (1
atau 2 minggu akan datang). Pertemuan hari Kedua
dimana pihak lelaki datang dengan keluarga dan perangkat
Desa dengan membawa sesajen menemui keluarga
perempuan. Pada situasi dan waktu inilah pihak lelaki
mengutarakan niat dan maksunya yang sebenarnya yaitu
pihak laki laki mengatakan adanya maksud kami datang
berombongan ini adalah kami menyampaikan keinginan
putra kami, yang mana putra kami kenal akrab dengan
putri bapak dan mereka saling suka dan saling mencintai.
Maka dengan adanya kesaksian dari anak kami
sedemikian,
maka kami mengutarakannya langsung
kepada bapak selaku orang tua dari gadis yang disukai
oleh anak kami, bahwasanya kami datang untuk melamar
putri bapak yang bernama (.) . dalam hal ini proses
lamaran tidak cukup sebatas disini saja dan ada beberapa

56

hal lagi yang dilalui yaitu pertama orang tua perempuan


tersebuat akan bertanya kepada anaknya apakah benar
wahai anakku engkau kenal sama putra bapak yang datang
melamarmu, apakah engkau menyukainya dan bersedia
untuk dinikahinya. Apabila putrinya menjawab ia maka
orang tuanya menanggapi tujuan pihak leleki dengan
melontarkan pertanyaan apakah bapak dan ibu bersedia
bermenantu dengan anak kami, apabila mereka menjawab
ia makan orag tua perempuan tersebut memberi jawaban
bahwa dia menerima lamaran tersebut. Kedua apabila
lamaran sudah diterima maka mereka melakukan
penghitungan hari, bulan yang baik utuk menentukan hari
pernikahannya dan apabila pada hari tersebut adalah hari,
bulan baik dan pihak lelaki mau membawa calon mempelai
wanita maka keluarga perempuan memperbolehkan
langsung dibawa.Pertemuan hari ketiga yaitu hari
berlagsung akad nikah pada kali ini berbeda dengan hari
pertama dan kedua, pada pertemuan ini pihak perempun
yang datang menemui pihak lelaki dengan tujuan
mengantar calon mempelai perempuan kerumah mempelai
leleki.83
Begitu juga yang dikatakan Pak Wayan Agus salah seorang
etnis Bali dan juga mantan ketua organisasi Bali ia mengatakan
bahwa:
Proses etnis Bali melamar ada tiga tahapan yaitu.Pertama,
yang laki-lakinya datang kerumah perempuan dia
menceritakan tujuan awal dan maksud dia datang
kemudian dia menceritakan kalau dia sudah mempunyai
kesepakatan dengan si perempuan, nah baru kedepannya
dia menceritakan tentang pelamarannya.Tahap kedua dia
menentukan hari, kapan dia datang melamar.Tahap ketiga
yaitu sesudah melamar dia baru menentukan kapan mau
mengambil perempuan dan diajak kerumah laki-laki
kemudian dia menentukan hari lagi untuk akad nikah.84
83 Hasil Wawancara Pak Wayan Muka selaku Wakil Lurah dan Sekretaris Parisada etnis Bali, (Kamis, 07
Mei, 2015) Pukul. 11.00 Wib

84 Hasil Wawancara Pak Agus Selaku Mantan Ketua Organisasi Etnis Bali, (Rabu, 25 Maret, 2015) Pukul.
16.00 Wib

57

Dari beberapa penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa


melamar dalam adat Bali mempunyai tiga tahapan. Pertama,
yang laki-lakinya datang kerumah perempuan dia menceritakan
tujuan awal dan maksud dia datang kerumah si perempuan,
Tahap

kedua

melamar.Tahap

dia

menentukan

ketiga

yaitu

hari,

sesudah

kapan

dia

melamar

dia

datang
baru

menentukan kapan mau mengambil perempuan dan diajak


kerumah laki-laki kemudian dia menentukan hari lagi untuk akad
nikah.Jadi, setelah dilamar oleh etnis Melayu, mereka tidak lagi
menggunakan adat Bali, tetapi menggunakan adat Melayu.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Bu Made karti salah seorang
etnis Bali yang dulu memeluk agama Hindu mengatakan bahwa:
Sewaktu suami saya melamar saya, dia datang bersama
keluarganya beserta perwakilan dari perangkat Desa juga.
Kemudian salah satu dari keluarga suami saya ngomong
sama orang tua saya, tujuan mereka datang kerumah mau
melamar saya, terus orang tua saya menjawab: kalau
mereka berdua senang sama senang ya silahkan saya gak
melarang.
Sesudah
itu
dia
memberikan
tanda
keseriusannya kepada saya berupa cincin, setelah dilamar
saya diajak oleh orang tua suami saya tinggal dirumah
kakak perempuan suami saya.85

c. Hantaran Dalam Melamar

85 Hasil wawancara dengan Bu Made Karti, (Kamis, 07 Mei 2015)

58

Dalam adat Melayu Jambi antaran adat terlebih dahulu


dimusyahwarahkan atau dibicarakan dalam pertemuan nenek
mamak atau temu ahak atau temu adat (antara pihak laki-laki
dengan pihak perempuan).
Di Kecamatan

Nibung, pada etnis Melayu antaran adat

dalam melamar apabila kedua calon mempelai direstui, maka


mempelai laki-laki membawa berupa uang, cicin mas dan
perlengkapan isi kamarnya. Sebagaimana yang telah dikatakan
oleh Pak Edi Sudarso selaku Kadus di Desa Srijaya Makmur ia
mengatakan bahwa:
antaran adat sewaktu melamar biasanya yang kami bawa
uang, emas dua gram beserta perlengkapannya. Mulai dari
alat cosmetiknya sampai keperlengkapan mandinya.86
Sedangkan dalam etnis Bali ketika mau melamar antaran
adatnya

berupa sesajen. Hal ini berdasarkan wawancara saya

dengan pak Agus selaku mantan ketua organisasi Bali, di


Kecamatan Nibung.
Jadi dalam hal melamar etnis Bali dengan etnis Melayu di
Kecamatan Nibung Sp IX dan Sp X, menggunakan adat Melayu.

86 Hasil Wawancara dengan Pak Edi Sudarso selaku Kadus di Desa Srijaya Makmur, (Kamis, 07 Mei 2015)

59

Dalam hantarannya membawa berupa cincin mas dua gram dan


uang berdasarkan kemampuan dari pihak laki-laki.
2.

Akad Nikah
Akad nikah adalah ijab dan qabul dimana keduanya ada

keterkaitan antara satu dengan yang lain. Keduanya mempunyai


arti membantu maksud berdua dan menunjukkan tercapainya
ridha secara batin.
Maksud ijab dalam akad nikah seperti ijab dalam berbagai
transaksi lain yaitu pernyataan yang keluar dari dari salah satu
pihak yang mengadakan akad atau taransaksi, baik berupa katakata,

tulisan

atau

isyarat

yang

mengungkapkan

adanya

keinginan terjadi akad, baik salah satunya dari piahak suami atau
dari istri. Sedangkan qabul adalah pernyataan yang datang dari
pihak kedua baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang
mengungkapkan persetujuan dan ridhanya.
Berdasarkan

dari

penjesan

diatas,

ijab

tidak

dapat

dikhususkan dalam hati sang istri, wali dan wakilnya. Demikian


juga dengan qabul, jika seorang laki-laki berkata kepada wali
perempuan: Aku nikahi putrimu atau nikahkan aku dengan
putrimu bersama si Fulanah. Wali menjawab: Aku nikahkan
kamu dengan putriku atau aku terima atau aku setuju. Ucapan
pertama desebut ijab dan ucapan kedua adalah qabul.
a. Proses Akad Nikah Etnis Melayu
60

Akad Nikah di Kecamatan Nibung tidak jauh berbeda dengan ditempat


lainnya.Dalam

pelaksanaannya

pengantin

laki-laki

duduk

bersila

siap

melaksanakan akad nikah.Acara akad nikah dimulai dengan pembacaan ayat suci
Al-Quran

yang

dilanjutkan

dengan

pemeriksaan

berkas

pernikahan,

penandatanganan berkas.Pihak yang bertandatangan adalah pengantin laki-laki,


pengantin perempuan, wali dan 2 orang saksi. Kemudian dilanjutkan dengan
penyerahan perwalian dari orang tua atau wali pengantin perempuan kepada imam
kampung/penghulu yang akan menikahkan. Orang tua atau wali perempuan
mengucapkan, dengan mengucapkan Bismillahi Rahmani Rahim saya orang
tua/wali

pengantin

perempuan

menyerahkan

perwalian

kepada

imam

kampung/penghulu untuk menikahkan anak saya dengan lak-laki (disebutkan


nama pengantin laki-laki).
Ijab qabul dilakukan dengan pengantin laki-laki berhadapan dengan imam
lalu saling memegang tangan kanan yang berupa salaman.Pengantin laki-laki
dibimbing oleh imam untuk menjawab pertanyaan imam, setelah merasa lancar
maka ijab qabulpun dilaksanakan. Beberapa bacaan yang diucapkan oleh imam
harus diikuti oleh pengantin laki-laki seperti: istigfar, syahadatain, shalawat, lalu
ijab qabul. Proses ijab kabul ini biasanya diulang 2-3 kali untuk memperjelas
ketepatan jawaban laki-laki. Sesudah di ijab qabulkan baru melakukan khutbah
nikah yang diseleggarakan oleh imam kampung atau pak penghulu.
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh pak Edi Sudarso selaku Kadus di
Desa Srijaya Makmur atau Sp X ia mengatakan bahwa:
Proses akad nikah di Kecamatan Nibung ini, pengantin perempuan dan
pengantin laki-laki keluar serempak dari dalam rumah beserta kaum

61

kerabat kedua mempelai, menuju ketempat yang telah disediakan.Acara


akad nikah dimulai dengan pembacaan ayat suci al-quran yang
dilanjutkan dengan pemeriksaan berkas pernikahan, penandatanganan
berkas dan juga harus ada dua orang saksi.pengantin laki-laki terlebih
dahulu dibimbing oleh pak penghulu untuk menjawab pertanyaan. Setelah
merasa lancar, ada beberapa bacaan yang dibacakan oleh pak penghulu
dan harus diikuti oleh pengantin laki-laki, bacaan tersebut: istigfar,
syahadatain, shalawat, lalu ijab qabul. Ucapan ijab qabul diucapkan oleh
imam dengan mengatakan saudara A bin B saya menikahkan engkau atas
perwalian orang tua/wali kepada saya dengan..............dengan mahar
. karena Allah dan dijawab oleh pengantin laki-laki saya terima
nikahnya.....................dengan mahar karena Allah. Proses ijab
kabul ini biasanya diulang 2-3 kali untuk memperjelas ketepatan jawaban
laki-laki.87
Sama halnya dikatakan oleh pak Dedek salah satu warga di Desa Srijaya
Makmur atau Sp X ia mengatakan bahwa:
Pada waktu pernikahan adek saya, pengantin laki-lakinya datang kerumah
beserta kaum kerabatnya.Kemudian pengantin laki-lakinya duduk bersila
dihadapan pak penghulu, sedangkan adek saya duduk didekat kaum
kerabat kami.Acara akad nikahnya dimulai dengan pembacaan ayat suci
Al-quran yang dilanjutkan dengan pemeriksaan berkas pernikahan,
penandatanganan berkas dan juga harus ada dua orang saksi.pengantin
laki-laki terlebih dahulu dibimbing oleh pak penghulu untuk menjawab
pertanyaan, Setelah merasa lancar, ada beberapa bacaan yang dibacakan
oleh pak penghulu dan harus diikuti oleh pengantin laki-laki, bacaan
tersebut: istigfar, syahadatain, shalawat, lalu ijab qabul. Ucapan ijab qabul
diucapkan oleh imam dengan mengatakan saudara A bin B saya
menikahkan engkau atas perwalian orang tua/wali kepada saya
dengan..............dengan mahar . karena Allah dan dijawab oleh
pengantin laki-laki saya terima nikahnya.....................dengan mahar
karena Allah. Proses ijab kabul ini biasanya diulang 2-3 kali
untuk memperjelas ketepatan jawaban laki-laki.88
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa proses akad
nikah pada etnis Melayu di Kecamatan Nibung diawali dengan pembacaan ayat
87 Hasil Wawancara dengan Pak Edi Sudarso selaku Kadus di Desa Srijaya Makmur, (Kamis, 07 Mei 2015)
88 Hasil Wawancara dengan Pak Dedek, (Kamis, 07 Mei 2015)

62

suci Al-quran dan dilanjutkan dengan pemeriksaan berkas pernikahan,


penandatanganan berkas dan juga harus ada dua orang saksi. Sebelum di ijab
qabulkan pengantin laki-laki dibimbing dulu oleh pak penghulu, setelah merasa
lancar ada beberapa bacaan yang dibacakan oleh pak penghulu dan diikuti oleh
pengantin l aki-laki, bacaan tersebut: istigfar, syahadatain, shalawat, lalu ijab
qabul. Biasanya proses ijab qabul diulang 2-3 kali. Sesudah di ijab qabulkan baru
melakukan khutbah nikah yang diseleggarakan oleh imam kampung atau pak
penghulu.

b. Proses Akad Nikah Etnis Bali


Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Pak Wayan Agus
salah seorang etnis Bali dan juga mantan ketua organisasi etnis
Bali berikut paparannya:
Sebelum melangsungkan akad nikah terlebih dahulu kami
etnis Bali ni menentukan hari baiknya, jikalau harinya
sudah ditentukan maka didalam umat Hindu calon
mempelai laki-laki menjemput calon mempelai perempuan
diajak kerumah mempelai laki-laki.Sebelum masuk rumah
mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan itu
disambut oleh keluarga mempelai laki-laki dengan sesajen
yang
telah
disiapkan.Setelah
itu
baru
mempelai
perempuan masuk rumah dan melakukan upacara, upacara
tersebut berupa mengikatkan jempol tangan mempelai laki
dan mempelai perempuan menjadi satu (mengikat janji)
mereka melakukan sumpah dihadapan sesajen yang
diselenggarakan oleh pinandita yang membacakan mantramantra didepan penganten tadi kemudian disaksikan
dengan parisada Kecamatan dan diundang seluruh umat
Hindu yang berada di Kecamatan Nibung. Sesudah
melakukan upacara tersebut kedua mempelai tadi keluar
rumah, didepan rumah disambut lagi dengan sesajen yang

63

berupa menginjak telur ayam bersama baru dinyatakan


sah sebagai suami istri.89
Jadi, dari penjelasan diatas sama halnya yang telah
dijelaskan oleh Pak Wayan Muka selaku Wakil Lurah dan
Sekretaris Parisada etnis Bali ia mengatakan bahwa:
Sebelum melangsungkan akad nikah terlebih dahulu kami
etnis Bali ni menentukan hari baiknya, jikalau harinya
sudah ditentukan maka didalam umat Hindu calon
mempelai laki-laki menjemput calon mempelai perempuan
diajak kerumah mempelai laki-laki.Sebelum masuk rumah
mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan itu
disambut oleh keluarga mempelai laki-laki dengan sesajen
yang
telah
disiapkan.Setelah
itu
baru
mempelai
perempuan masuk rumah dan melakukan upacara, upacara
tersebut berupa mengikatkan jempol tangan mempelai laki
dan mempelai perempuan menjadi satu (mengikat janji)
mereka melakukan sumpah dihadapan sesajen yang
diselenggarakan oleh pinandita yang membacakan mantramantra didepan penganten tadi kemudian disaksikan
dengan parisada Kecamatan dan diundang seluruh umat
Hindu yang berada di Kecamatan Nibung. Sesudah
melakukan upacara tersebut kedua mempelai tadi keluar
rumah, didepan rumah disambut lagi dengan sesajen yang
berupa menginjak telur ayam bersama baru dinyatakan
sah sebagai suami istri.
Berdasarkan

penjelasan

di

atas,

dalam

perkawinan

campuran pada umumya menggunakan proses perkawinan etnis


Melayu. Hal ini dikarenakan kedua mempelai memeluk agama
Islam dan juga didalam agama Hindu perempuan diwajibkan ikut
suami.Jadi secara tidak langsung dalam melakukan akad nikah
menggunakan adat Melayu.Sebagaimana pernyataan dari Bu

89 Hasil Wawancara Pak Agus Selaku Mantan Ketua Organisasi Etnis Bali, (Rabu, 25 Maret, 2015) Pukul.
16.00 Wib

64

Made Karti salah seorang etnis Bali yang dulunya memeluk


agama Hindu berikut pernyataannya.
Setelah suami saya minta izin dengan orang tua saya, dan
orang tua saya mengizinkannya dengan satu syarat untuk
menjaga saya seumur hidup saya. Setelah itu orang tua
saya menyuruh untuk mengikuti suami saya, adapun halhal yang yang terjadi dalam proses perkawinan semuanya
mengikuti adat suami saya dan orang tua saya tidak lagi
berhak atas diri saya. Karena dalam adat Hindu apabila ada
perempuan yang turun dari rumah (menikah) maka
sepenuhnya hak laki-laki.90
Jadi, dari beberapa penjelasan diatas dapat kita ketahui
bahwa dalam melakukan perkawinan campuran khususnya etnis
Bali yang Bergama Hindu dan etnis Melayu yang beragama
Islam, dimana ketika melakukan akad nikah lebih cendrung
menggunakan adat Melayu.

3. Pesta Perkawinan
Pesta kawinan adalah suatu acara atau upacara dengan
mengumpulkan orang banyak bahwasanya dengan diadakannya
pesta perkawinan untuk mengabari kepada seluruh masyarakat
sanak

family

didalam

keluarga

tersebut

telah

melakukan

pernikahan dan memberi doa agar hubungan kedua mempelai


berjalan dengan baik sampai keturunannya.

90 Hasil wawancara dengan Bu Made Kartini, (Rabu, 06 Mei 2015)

65

a. Pesta Perkawinan pada Etnis Bali


Pada etnis Bali tidak menggunakan pesta perkawinan
tetapi menggukan istilah upacara, dimana pada adat Bali ada
tiga macam bentuk upacara. Pertama upacara Nista yaitu
dikalangan

masyarakat

kecil

(menengah

kebawah),

kedua

upacara Madya dimana upacara ini dilakukan pada kalangan


masyarakat sedang (menengah) dan yang ketiga yaitu upacara
Uttama, dalam hal upacara tersebut dilakukan pada kalangan
masyarakat besar (menengah keatas). Walaupun dalam etnis Bali
ada tiga macam bentuk upacara, namun nilai ritualnya tetap
sama. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pak Wayan Muka
selaku Wakil Lurah di Sp IX, sekaligus sekretaris parisada etnis
Bali berikut ungkapannya:
upacara pada pernikahan kami Bali ada tiga macam
pertama Nista, Madya dan Uttama. Nista itu adalah
sekedar membuat sesajen-sesajen artinya kemampuan
orang itu rendah sehingga dibuat sesajen secara nista (ada
dikit), Madya itu adalah ditengah-tengah artinya berarti
kemampuan itu sederhana, makanya dia membuat
undangan lebih banyak dari Nista namun, isi sesajennya
tidak berkurang dan tidak berlebih akan tetapi ukuran
sesajennya sesuai dengan tingkatannya. Misalnya Nista
adalah masyarakat kecil ukuran sesajennya juga kecil
contoh dalam satu tandan pisang Nista adalah satu biji
pisang. Sedangkan Madya adalah masyarakat menengah
ukuran sesajennya ukuran sesajennya lebih besar dari
Nista conyahnya dalam satu tandan Madya adalah satu
sisir. Dan yang terakhir Uttama itu adalah masyarakat
besar artinya kalangan masyarakat
atas, ukuran
sesajennya lebih besar dari Nista dan Madya contohnya

66

dalam satu tandan Nista satu biji, Madya satu sisir


sedangkan Uttama satu tandan.91
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan
bahwa di dalam agama Hindu upacara perkawinan mempunyai
tiga tingkatan. Dimana tingkatan itu adalah Nista, Madya,
Uttama.

Nista

adalah

sekedar

membuat

sesajen-sesajen,

artinya kemampuan seseorang itu rendah sehingga dibuat


sesajen secara Nista (ada dikit), Madya itu adalah ditengahtengah artinya berarti kemampuan itu sederhana, makanya dia
membuat

undangan

lebih

banyak

dari

Nista

namun,

isi

sesajennya tidak berkurang dan tidak berlebih akan tetapi


ukuran sesajennya sesuai dengan tingkatannya. Sedangkan
Uttama

itu

adalah

masyarakat

besar

artinya

kalangan

masyarakat atas, ukuran sesajennya lebih besar dari Nista dan


Madya.

b. Pesta Perkawinan dalam Adat Melayu


Dikecamatan Nibung, pesta perkawinan tidak jauh beda
dengan pesta perkawinan adat Melayu Jambi. Dimana, biasanya
menggunakan istilah ulu antar.Ulu antar ialah (serah terima),
dalam pelaksanaan pesta perkawinan ditandai dengan mengarak
91 Hasil Wawancara Pak Wayan Muka selaku Wakil Lurah dan Sekretaris Parisada etnis Bali, (Kamis, 07
Mei, 2015) Pukul. 11.00 Wib

67

penganten, serah terima dan mendudukkan sepasang pengantin


dinobatkan sebagai raja dan ratu sehari, dengan memakai
pakaian

adat

dan

setempat.Penganten

hiasan

sesuai

laki-laki

dengan

sebelum

pakaian

diarak

dan

adat
duduk

bersanding dengan pengantin perempuan, dijemput oleh nenek


mamak atau menti/utusan dari pihak perempuan. Sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh Pak Edi Sudarso selaku Kadus di Desa Srijaya
Makmur atau Sp X ia mengatakan bahwa:

Disaat pesta perkawinan penganten laki-laki turun dari


rumah bibi penganten perempuan sebagai ibu angkat dari
penganten laki-laki, diarakkan kerumah penganten
perempuan.
Sesampai
didepan
rumah
penganten
perempuan, dari pihak laki-laki mengucap salam dan
langsung dijawab oleh pihak perempuan. Setelah itu nenek
mamak dari pihak perempuan menjemput penganten lakilaki dibawa kedalam rumah dan diduduk sandingkan
dengan pengantin perempuan.
Bedasarkan uraian diatas bahwasanya didalam adat Bali
pesta perkawinannya tidak menggunakan pesta, hanya saja
mereka

menggunakan

upacara-upacara

ritual

pada

saat

perkawinan. Sedangkan pada etnis Melayu pesta perkawinannya


biasanya menggunakan istilah Ulu Antar, dalam pelaksanaan
pesta perkawinan ditandai dengan mengarak penganten, serah
terima

dan

mendudukkan

sepasang

pengantin

dinobatkan

sebagai raja dan ratu sehari, dengan memakai pakaian adat dan
hiasan sesuai dengan pakaian adat setempat.
68

Jadi, setelah melakukan perkawinan campuran, pada pesta


perkawinan menggunakan adat Melayu. Karena

dalam agama

Hidu perempuan wajib ikut suami, sementara itu pak Wayan


Agus salah seorang etnis Bali dan juga mantan ketua organisasi
etnis Bali mengatakan bahwa:
Apabila laki-lakinya beragama Hindu yang perempuannya
Islam otomatis yang perempuannya masuk agama Hindu.
Tetapi apabila yang laki-lakinya beragama Islam yang
perempuannya beragama Hindu maka yang perempuannya
masuk agama Islam.92

Jadi

secara

tidak

langsung

pada

pesta

perkawinan

campuran menggunakan adat Melayu. Sebagaimana yang telah


dinyatakan oleh Buk Made Karti salah satu etnis Bali yang
dulunya memeluk agama Hindu pernyataannya sebagai berikut:
Sejak kecil teman saya kebanyakan orang Islam dan
tetangga saya pun sekelilingnya orang Islam, jadi sedikit
banyaknya saya tau tentang Islam, makanya sewaktu
pernikahan, saya menggunakan tradisi dan tata cara
orang Islam93
92 Hasil Wawancara Pak Agus Selaku Mantan Ketua Organisasi Etnis Bali, (Rabu, 25 Maret, 2015) Pukul.
16.00 Wib

93 Hasil wawancara dengan Bu Made Karti, (Kamis, 07 Mei 2015)

69

Pada perkawinan Buk Wayan Sukrani juga menggunakan


tradisi secara Islam, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bu
Wayan Sukrani sebagai berikut:
Keluarga suami saya bisa dikatakan keluarga terpandang
dalam hal beragama, jadi orang tua dari pihak suami saya
meminta, dalam hal perkawinan kami harus menggunakan
tradisi atau kebiasaan orang yang beragama Islam, demi
menjaga nama baik keluarga94
Jadi dari beberapa pernyataan di atas, dapat diketahui
bahwa di dalam acara perkawinan campuran mereka masih
menggunakan tradisi-tradisi keislaman yang di selenggarakannya
pada waktu pernikahan.

4. Pola Menetap Setelah Menikah


Masyarakat

etnis

Bali

yang

melakukan

perkawinan

campuran dengan etnis Melayu, setelah menikah mayoritasnya


mengikuti adat virilokal, dimana pengantin baru menetap sekitar
pusat kediaman kaum kerabat suami.95 Dikarenakan sebelum
menikah sang istri beragama Hindu sedangkan suami beragama
94 Hasil wawancara dengan Bu Wayan Sukrani, (Selasa, 05 Mei 2015)
95 Koentjraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial,( Jakarta: Dian Rakyat, 1992), Hal . 107

70

Islam. setelah menikah sang istri pindah keagama sang suami,


jadi,

secara tidak langsung sang istri mengikuti sang suami.

Didalam umat Hindupun mengatakan apabila sesudah menikah


sang istri diwajibkan ikut suami. Sebagaimana pernyataan dari
Buk Made Karti salah seorang etnis Bali yang dulunya memeluk
agama Hindu berikut pernyataannya:
Setelah menikah saya tinggal di rumah orang tua suami
saya selama satu tahun, sesudah itu kami berencana mau
pindah

rumah

mengizinkan

tetapi

kami

orang

pindah.

tua

suami

saya

tidak

Orang

tua

suami

saya

mengatakan kepada kami, kalian tidak usah pindah, kalian


buka usaha disini saja masalah dana biar bapak bantu.

96

Begitupun pernyataan dari Buk Wayan Sukrani salah


seorang etnis Bali yang dulunya memeluk agama Hindu berikut
pernyataannya:
Saya boleh pindah oleh orang tua suami saya dengan
syarat harus membangun rumah disebelah rumah orang
tua suami saya.97

96 Hasil wawancara dengan Bu Made Kartini, (Rabu, 06 Mei 2015)


97 Hasil wawancara dengan Bu Kadek, (Rabu, 06 Mei 2015)

71

Jadi

dari

beberapa

penjelasan

diatas

dapat

penulis

simpulkan bahwa dalam pola menetap setelah menikah yaitu


masih disekitar lingkungan rumah orang tua suami.
2). Proses Perkawinan Campuran Etnis Melayu Yang
Beragama Islam Dengan Etnis Bali Yang Beragama Hindu.
Dalam hal perkawinan ada beberapa proses yang mesti
dilakukan,

proses

pernikahan,

proses

tersebut
adat

adalah

pernikahan,

proses
proses

adat
adat

sebelum
setelah

menikah. Penjelasan dari masing-masing proses ini adalah:


1. Melamar
Melamar merupakan proses awal terciptanya hubungan
yang akrab, serasi, persesuaian antara laki-laki dan perempuan
untuk menentukan atau menetapkan pilihannya menuju jenjang
perkawinan. Artinya ketika hendak melakukan perkawinan tentu
adanya perundingan atau biasa dikenal dengan (melamar)
antara kedua belah pihak.
a. Proses Melamar dalam Etnis Melayu
Di Kecamatan Nibung proses melamarnya hampir sama
dengan proses lamaran di Provinsi Jambi. Dimana, masyarakat
Provinsi Jambi sebelum masuk rumah dan memulai pembicaraan
kedua belah pihak mempelai, nenek mamaknya berbalas pantun
atau seloko-seloko. Sedangkan pada masyarakat Nibung, proses
lamarannya tidak menggunakan pantun atau seloko-seloko.

72

Sebagaimana yang telah di nyatakan oleh Bu Wama salah


seorang warga Nibung bahwa:
Sebelah laki-laki datang bersama perangkat Desa
kerumah keluarga perempuan, dengan tujuan untuk
meminang perempuan tersebut, apabila disetujui maka
dari pihak laki-laki memberi tanda sebagai ikatan berupa
cincin emas dengan tujuan bahwasanya si perempuan itu
sudah di lamar atau di pinang. Jika suatu hari terjadi
masalah yang berujung terjadinya gagal terjadinya
pernikahan dikarenakan salah satu calon mempelai
bertingkah atau melanggar aturan yang menyebabkan
tidak
terjadinya
pernikahan
maka
di
kenakan
sangsi/hukum.Sangsi
tersebut
berupa,
apabila
si
perempuan melanggar atau membatalkan terjadinya
pernikahan maka si perempuan membayar dua kali lipat
yang telah diberikan oleh laki-laki, tetapi apabila laki-laki
membatalkan terjadinya pernikahan maka apa yang telah
di berikan kepada perempuan hilang begitu saja (jadi milik
perempuan).98
Begitu juga yang telah dikatakan oleh Pak Peri selaku ketua
pemuda Sp X ia mengatakan bahwa:
Pihak keluarga laki-laki beserta nenek mamak dan juga
perwakilan dari perangkat Desa Sp X datang kerumah
perempuan yang ingin di lamarnya, kemudian nenek
mamak laki-laki mengatakan kepada pihak keluarga
perempuan kalau maksud dan tujuannya datang untuk
melamar. Kalau pihak keluarga perempuan itu setuju, maka
dari
pihak
laki-laki
tersebut
memberikan
tanda
keseriusannya kepada perempuan tersebut.Tanda itu
berupa uang ataupun cincin emas, yang merupakan bahwa
perempuan itu sudah dilamar.Dengan adanya tanda seperti
itu, apabila laki-laki yang meyebabkan batalkan pernikahan
maka tanda yang diberikannya hilang begitu saja.Dan
apabila si perempuan yang membatalkannya maka si
perempuan mengganti dua kali lipat.99

98 Hasil Wawancara dengan Bu Wama, (Kamis, 07 Mei 2015) Pukul 2. 30 Wib


99 Hasil Wawancara dengan Pak Peri, (Kamis, 07 Mei 2015) Pukul 16. 30 Wib

73

Jadi

dari

beberapa

penjelasan

diatas,

dapat

penulis

simpulkan bahwa proses melamar pada etnis Melayu. Pihak lakilaki beserta nenek mamak dan perwakilan dari perangkat Desa,
datang ketempat perempuan yang ingin dilamar.Jika orang tua
perempuan menyetujui, maka pihak laki-laki memberi tanda
berupa cincin ataupun uang. Dengan adanya tanda seperti itu,
apabila laki-laki yang meyebabkan batalkan pernikahan maka
tanda yang diberikannya hilang begitu saja.Dan apabila si
perempuan

yang

membatalkannya

maka

si

perempuan

mengganti dua kali lipat. Jadi setelah di lamar oleh etnis Bali,
mereka

tidak

lagi

menggunakan

adat

Melayu

tetapi

menggunakan Bali. Sebagaimana yang dikatakan oleh Buk Kadek


Suparti salah seorang etnis Melayu yang dulunya memeluk
agama Islam beliau mengatakan bahwa:
Proses lamaran saya menggunakan adat Bali dimana
orang tua suami saya datang kerumah saya dengan
mengatakan tujuannya kepada orang tua saya, mereka
memberi tau kepada orang tua saya kalau mereka akan
datang beserta keluarga dan pinandita pada waktu yang
akan datang. Setelah dua minggu orang tua suami saya
beserta keluarganya dan pinandita datang lagi kerumah
mereka membawa buah-buahan menemui orang tua saya,
mereka mengatakan tujuan dan maksud yang sebenarnya
kalau mereka ingin melamar saya. Dari pihak suami
mengatakan maksud kami datang kerumah bapak kami
ingin menyampaikan keinginan anak kami bahwasanya
putra kami kenal akrab dengan putri bapak dan mereka
saling mencintai. Maka dari itu dengan adanya kesaksian
dari anak kami, maka kami langsung mengatakan kepada
bapak selaku orang tua dari gadis yang disukai oleh anak
kami, bahwa kami datang untuk melamar anak bapak yang

74

bernama Ijayanti (Kadek Suparti). Setelah itu orang tua


saya menjawab kalau mereka saling suka dan saling
mencintai saya merestui asalkan anak saya benar-benar di
jaga. Setelah dilamar saya di ajak oleh keluarga suami saya
tinggal dirumahnya, karena masih banyak proses yang
harus saya lakukan. Pertama, upacara hari kelahiran,
kedua, upacara bayi 42 hari (1 bulan 7 hari), upacara 1
oton (6 bulan), upacara menek deha (akhil balig). Dan hari
selanjutnya orang tua suami saya menentukan hari lagi
untuk berlangsungnya akad nikah.100

b. Proses Melamar dalam Adat Bali


Proses lamaran dalam etnis Bali sangat berbeda sekali
dengan proses lamaran dalam etnis Melayu. Dimana, dalam etnis
Melayu sesudah melamar calon mempelai perempuan tidak
dibolehkan tinggal di tempat mempelai laki-laki, karena belum di
ijab dan di qabulkan. Tetapi didalam etnis Bali sesudah melamar,
mempelai perempuan boleh tinggal ditempat calon mempelai
laki-laki. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Pak Wayan
Muka selaku Wakil Lurah dan Sekretaris Parisada etnis Bali ia
mengatakan bahwa:
Dalam melamar ada beberapa hal yang harus dilakukan
yaitu 3 kali tahap pertemuan. Pertemuan Hari pertama
orang tua pihak lelaki datang menemui pihak perempuan
dengan mengutarakan tujuannya yaitu pihak lelaki
mengabari kepada pihak perempuan wahwa mereka akan
datang beserta keluarga pada waktu yang akan datang (1
atau 2 minggu akan datang). Pertemuan hari Kedua
dimana pihak lelaki datang dengan keluarga dan perangkat
100 Wawancara dengan Ibuk Kadek Suparti, (Jumat, 11 September 2015). Pukul 9: 30 Wib

75

Desa dengan membawa sesajen menemui keluarga


perempuan. Pada situasi dan waktu inilah pihak lelaki
mengutarakan niat dan maksunya yang sebenarnya yaitu
pihak laki laki mengatakan adanya maksud kami datang
berombongan ini adalah kami menyampaikan keinginan
putra kami, yang mana putra kami kenal akrab dengan
putri bapak dan mereka saling suka dan saling mencintai.
Maka dengan adanya kesaksian dari anak kami
sedemikian,
maka kami mengutarakannya langsung
kepada bapak selaku orang tua dari gadis yang disukai
oleh anak kami, bahwasanya kami datang untuk melamar
putri bapak yang bernama (.) . dalam hal ini proses
lamaran tidak cukup sebatas disini saja dan ada beberapa
hal lagi yang dilalui yaitu pertama orang tua perempuan
tersebuat akan bertanya kepada anaknya apakah benar
wahai anakku engkau kenal sama putra bapak yang datang
melamarmu, apakah engkau menyukainya dan bersedia
untuk dinikahinya. Apabila putrinya menjawab ia maka
orang tuanya menanggapi tujuan pihak leleki dengan
melontarkan pertanyaan apakah bapak dan ibu bersedia
bermenantu dengan anak kami, apabila mereka menjawab
ia makan orag tua perempuan tersebut memberi jawaban
bahwa dia menerima lamaran tersebut. Kedua apabila
lamaran sudah diterima maka mereka melakukan
penghitungan hari, bulan yang baik utuk menentukan hari
pernikahannya dan apabila pada hari tersebut adalah hari,
bulan baik dan pihak lelaki mau membawa calon mempelai
wanita maka keluarga perempuan memperbolehkan
langsung dibawa. Pertemuan hari ketiga yaitu hari
berlagsung akad nikah pada kali ini berbeda dengan hari
pertama dan kedua, pada pertemuan ini pihak perempun
yang datang menemui pihak lelaki dengan tujuan
mengantar calon mempelai perempuan kerumah mempelai
leleki.101
Jadi, dari penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa
melamar dalam adat Bali mempunyai tiga tahapan. Pertama,
yang laki-lakinya datang kerumah perempuan dia menceritakan
tujuan awal dan maksud dia datang kerumah si perempuan,
101 Hasil Wawancara Pak Wayan Muka selaku Wakil Lurah dan Sekretaris Parisada etnis Bali, (Kamis, 07
Mei, 2015) Pukul. 11.00 Wib

76

Tahap kedua dia menentukan hari, kapan dia datang melamar.


Tahap ketiga yaitu sesudah melamar dia baru menentukan kapan
mau

mengambil

perempuan

dan

diajak

kerumah

laki-laki

kemudian dia menentukan hari lagi untuk akad nikah.


Setelah lamaran diterima, masih banyak lagi proses adat
yang harus dilakukan oleh kedua mempelai. Proses tersebut
adalah:
a. Upacara Bayi Lahir
Upacara ini tidaklah mempunyai arti yang istimewa, kecuali
luapan rasa gembira dan bahagia atas hadirnya sang bayi
kedunia angayu bagia dengan menghaturkan sekedar upacara
kecil dihadapan Sang Dumadi.102
Maksud dari

upacara bayi lahir adalah upacara hari

kelahiran calon mempelai wanita yang ingin menikah dengan


etnis Bali kemudian wanita tersebut masuk agama hindu,
walaupun wanita tersebut sudah gadis tetap di upacarai hari
kelahirannya. Diupacarai dengan sesajen dari awal kelahirannya
sesudah itu dibuatkan nama (pemberian nama) kepada calon
mempelai tersebut, upacara hari kelahiran ini dimulai dengan
hari kelahirannya, bayi 42 hari (1 bulan 7 hari), upacara 1 oton (6

102 Ida Ayu Putu Surayin, Manusa Yajna, (Surabaya: Paramita Surabaya, 2002), Hal 7

77

bulan), upacara menek deha (akil balig). Upacara ini terbagi dua
pertama upacara tingkatan kecil dan upacara yang lebih besar.
a) Dalam Upacara Tingkatan Kecil Sediakan Teledan.
Raka-raka selengkapnya.
Nasinya:
-

Nasi muncuk kukusan di atas taledan dengan raka-raka

selengkapnya.
Kojong rangkadan kacang saur.

Sampiyannya:
-

Jeet guak.
Canang sari/atau canang genten.
1 buah penyeneng.

b) Dalam Upacara Yang Lebih Besar


Banten pada upacara tingkatan kecil ditambah dengan 1
buah jrimpen wakul yaitu: 1 buah wakul yang berisi srobong yang
didalamnya berisi:
-

Raka-raka.
1 tumpeng nasi putih
Kojong rangkadan.
Sampiyannya jeet guak, sesedep, dan canang sari
Untuk menentukan upacara tersebut disesuaikan dengan

batas

kemampuan

sesorang,

kalau

orang

itu

mampunya

ditingkatan yang kecil cukup sebatas yang kecil saja begitupun


sebaliknya tidak ada paksaan dalam menentukan upacara
tersebut. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Pak Wayan

78

Agus salah seorang etnis Bali dan juga mantan ketua organisasi
Bali dia mengatakan bahwa:
Upacara bayi lahir dilakukan apabila etnis yang bukan dari
etnis Bali terutama etnis Melayu yang ingin menikah
dengan etnis Bali setelah proses lamaran diterima maka
diwajibkan mengikuti upacara bayi lahir (pembersihan diri)
mulai dari lahir sampai dia menikah dan juga langsung
pemberian nama kami Bali, misalkan namanya Ijayanti
setelah melakukan upacara bayi lahir namanya diganti
menjadi Kadek Suparti. Untuk menentukan upacaranya
tergantung pada kemampuan pihak laki-laki kalau dia
mampu melakukan upacara yang besar ya lakukan yang
besar tetapi kalau dia tidak mampu yang besar cukup
upacara yang kecil saja.103
Dari penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa setiap
etnis

yang

bukan

dari

etnis

Bali

yang

ingin

melakukan

pernikahan dengan etnis Bali kemudian etnis tersebut masuk


agama Hindu setelah proses lamaran diterima dia mengikuti
upacara bayi lahir. Dimana proses upacara tersebut bertujuan
untuk membersihkan tubuh calon mempelai dan sekaligus
pemberian nama dalam etnis Bali.
b. Bayi 42 Hari (1 Bulan 7 Hari)
Setelah bayi berusia 42 hari (1 bulan 7 hari), diadakanlah
upacara yauh lebih besar, yang kadangkala diperlukan seorang
pendeta untuk melaksanakan upacara tersebut. Dapat juga
disebut Upacara Macolongan.

103 Hasil Wawancara Pak Agus Selaku Mantan Ketua Organisasi Etnis Bali, (Jumat, 11 September, 2015)
Pukul. 9.30 Wib

79

Dalam upacara ini disamping untuk pembersihan jiwa raga


si

bayi

dari

segala

noda

dan

kotoran,

juga

bertujuan

mengembalikan Nyama Bajang si bayi dan pembersihan si


ibu agar dapat memsuki tempat-tempat suci seperti Pemerajaan,
Pura dan sebagainya. Kiranya perlu dikemukakan perbedaan
antara Catur Sanak dengan Nyama Bajang.
Catur Sanak adalah empat saudara. Yang dimaksud dalam
hal ini adalah 4 (empat) unsur/benda beserta kekuatannya, yang
dianggap sangat membantu pertumbuhan dan keselamatan si
bayi sejak mulai terciptanya didalam kandungan sampai dia lahir.
Nyama Bajang adalah semua kekuatan-kekuatan yang
membantu Sang Catur Sanak didalam kandungan, dalam proses
pertumbuhan, penyempurnaan jasmani serta keselamatan si
bayi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh pak Wayan Muka
salah seorang etnis Bali dan juga selaku sekretaris parisada etnis
Bali dia mengatakan bahwa:
Menurut kepercayaan kami yang beragama Hindu bahwa
bayi yang berumur 42 hari (1 bulan 7 hari) harus kami
upacarai untuk pembersihan jiwa raga si bayi dari segala
noda dan kotoran, juga bertujuan mengembalikan Nyama
Bajang si bayi dan pembersihan si ibu agar dapat
memasuki tempat suci seperti pemerajaan, Pura, dan
sebagainya. Begitupun etnis yang lain terutama etnis
Melayu yang menikah dengan etnis kami Bali kemudian dia
masuk agama Hindu, setelah proses lamaran diterima kami
mengadakan upacara bayi lahir, upacara bayi 42 hari (1
bulan 7 hari) maksud bayi 42 hari adalah membersihkan
jiwa mempelai wanita dari segala noda dan kotoran dan
juga agar bisa memasuki tempat suci karena upacara ini

80

merupakan
Hindu.104

syarat

syahnya

menikah

denga

agama

c. Upacara 1 Oton (6 Bulan)


Upacara 1 oton ini dilakukan pada saat bayi berusia 6
bulan

kemudian

dilakukan

upacara

agar

bayi

tersebut

mendapatkan kekuatan dalam pertumbuhan dan keselamatan si


bayi. Bentuk sesajennya adalah Tingkat Bebangkit Ditambah
Pengempungan terbagi atas beberapa bagian upacara yaitu:
-

Banten ayaban tingkat Bebangkit.


Banten di Surya.
Turun Tanah, medagang geti-geti.
Meguntig.
Banten di ari-ari.
Banten di kemara.

d. Upacara Menek Deha (Akil Balig)


Yang dimaksud dengan upacara menek deha ini adalah
khususnya dialami para anak perempempuan yang mengalami
haid pertama, sedangkan untuk anak laki-laki ditandai dengan
suara yang berubah menjadi besar/parau, di Bali disebut dengan
suara ngembakin para gadis dan jejaka pada umumnya disebut
para teruna-teruni, usia yang sedang mulai mekar berkembang.
Upacara menek deha hanya sebagai ungkapan rasa syukur
dari orang tua dan rasa kasih sayangnya, bahwa si anak telah
104 Hasil Wawancara Pak Wayan Muka selaku Wakil Lurah dan Sekretaris Parisada etnis Bali, (Jumat, 11
September, 2015) Pukul. 10.00 Wib

81

mengalami perjalanan usia secara wajar (alamiah) dan sehat,


dan rasa bangga memiliki anak remaja yang menjadi kembang
rumah tangga.
Upacara menek deha tidak dilaksanakan oleh semua
orang, dan tidak dipaksakan harus melaksanakan, sebagaimana
halnya yajna, adalah adanya dukungan minat dan kemampuan
serta rasa cinta dan kasih sayang, juga suatu kebiasaan disuatu
keluarga. Menurut cerita Pak Wayan Agus salah seorang etnis
Bali dan juga mantan ketua organisasi etnis Bali mengatakan
bahwa:
Upacara menek deha ini dilakukan juga setelah proses
lamaran diterima, menurut keyakinan kami Hindu bahwa
upacara ini adalah menunjukkan rasa syukur kami sebagai
orang tua dan rasa kasih sayang kami, bahwa si anak telah
mengalami perjalanan usia secara wajar dan sehat, dan
rasa bangga memiliki anak remaja yang menjadi kembang
rumah tangga. Makanya upacara menek deha ini kami
lakukan setelah proses lamaran diterima, kami merasa
senang karena mempunyai anak yang bisa melanjutkan
generasi kami yang akan datang.105
Dari penjelasan pak wayan agus diatas dapat penulis
simpulkan bahwa upacara menek deha ini adalah menunjukkan
rasa syukur dari orang tua karena orang tua tersebut memiliki
anak yang sudah mengalami perjalanan usia secara wajar
(alamiah) dan sehat, dan juga bangga memiliki anak remaja yang
menjadi kembang rumah tangga.
105 Hasil Wawancara Pak Agus Selaku Mantan Ketua Organisasi Etnis Bali, (Jumat, 11 September,
2015) Pukul. 9.30 Wib

82

2. Akad Nikah
Akad nikah adalah ijab dan qabul dimana keduanya ada
keterkaitan antara satu dengan yang lain. Keduanya mempunyai
arti membantu maksud berdua dan menunjukkan tercapainya
ridha secara batin.
Maksud ijab dalam akad nikah seperti ijab dalam berbagai
transaksi lain yaitu pernyataan yang keluar dari dari salah satu
pihak yang mengadakan akad atau taransaksi, baik berupa katakata,

tulisan

atau

isyarat

yang

mengungkapkan

adanya

keinginan terjadi akad, baik salah satunya dari piahak suami atau
dari istri. Sedangkan qabul adalah pernyataan yang datang dari
pihak kedua baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang
mengungkapkan persetujuan dan ridhanya.
Berdasarkan

dari

penjesan

diatas,

ijab

tidak

dapat

dikhususkan dalam hati sang istri, wali dan wakilnya. Demikian


juga dengan qabul, jika seorang laki-laki berkata kepada wali
perempuan: Aku nikahi putrimu atau nikahkan aku dengan
putrimu bersama si Fulanah. Wali menjawab: Aku nikahkan
kamu dengan putriku atau aku terima atau aku setuju. Ucapan
pertama desebut ijab dan ucapan kedua adalah qabul.

a. Proses Akad Nikah Etnis Melayu

83

Akad Nikah di Kecamatan Nibung tidak jauh berbeda dengan ditempat


lainnya.Dalam

pelaksanaannya

pengantin

laki-laki

duduk

bersila

siap

melaksanakan akad nikah.Acara akad nikah dimulai dengan pembacaan ayat suci
Al-Quran

yang

dilanjutkan

dengan

pemeriksaan

berkas

pernikahan,

penandatanganan berkas.Pihak yang bertandatangan adalah pengantin laki-laki,


pengantin perempuan, wali dan 2 orang saksi. Kemudian dilanjutkan dengan
penyerahan perwalian dari orang tua atau wali pengantin perempuan kepada imam
kampung/penghulu yang akan menikahkan. Orang tua atau wali perempuan
mengucapkan, dengan mengucapkan Bismillahi Rahmani Rahim saya orang
tua/wali

pengantin

perempuan

menyerahkan

perwalian

kepada

imam

kampung/penghulu untuk menikahkan anak saya dengan lak-laki (disebutkan


nama pengantin laki-laki).
Ijab qabul dilakukan dengan pengantin laki-laki berhadapan dengan imam
lalu saling memegang tangan kanan yang berupa salaman.Pengantin laki-laki
dibimbing oleh imam untuk menjawab pertanyaan imam, setelah merasa lancar
maka ijab qabulpun dilaksanakan. Beberapa bacaan yang diucapkan oleh imam
harus diikuti oleh pengantin laki-laki seperti: istigfar, syahadatain, shalawat, lalu
ijab qabul. Proses ijab kabul ini biasanya diulang 2-3 kali untuk memperjelas
ketepatan jawaban laki-laki. Sesudah di ijab qabulkan baru melakukan khutbah
nikah yang diseleggarakan oleh imam kampung atau pak penghulu.
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh pak Edi Sudarso selaku Kadus di
Desa Srijaya Makmur atau Sp X ia mengatakan bahwa:
Proses akad nikah di Kecamatan Nibung ini, pengantin perempuan dan
pengantin laki-laki keluar serempak dari dalam rumah beserta kaum

84

kerabat kedua mempelai, menuju ketempat yang telah disediakan.Acara


akad nikah dimulai dengan pembacaan ayat suci al-quran yang
dilanjutkan dengan pemeriksaan berkas pernikahan, penandatanganan
berkas dan juga harus ada dua orang saksi.pengantin laki-laki terlebih
dahulu dibimbing oleh pak penghulu untuk menjawab pertanyaan. Setelah
merasa lancar, ada beberapa bacaan yang dibacakan oleh pak penghulu
dan harus diikuti oleh pengantin laki-laki, bacaan tersebut: istigfar,
syahadatain, shalawat, lalu ijab qabul. Ucapan ijab qabul diucapkan oleh
imam dengan mengatakan saudara A bin B saya menikahkan engkau atas
perwalian orang tua/wali kepada saya dengan..............dengan mahar
. karena Allah dan dijawab oleh pengantin laki-laki saya terima
nikahnya.....................dengan mahar karena Allah. Proses ijab
kabul ini biasanya diulang 2-3 kali untuk memperjelas ketepatan jawaban
laki-laki.106
Sama halnya dikatakan oleh pak Dedek salah satu warga di Desa Srijaya
Makmur atau Sp X ia mengatakan bahwa:
Pada waktu pernikahan adek saya, pengantin laki-lakinya datang kerumah
beserta kaum kerabatnya.Kemudian pengantin laki-lakinya duduk bersila
dihadapan pak penghulu, sedangkan adek saya duduk didekat kaum
kerabat kami.Acara akad nikahnya dimulai dengan pembacaan ayat suci
Al-quran yang dilanjutkan dengan pemeriksaan berkas pernikahan,
penandatanganan berkas dan juga harus ada dua orang saksi.pengantin
laki-laki terlebih dahulu dibimbing oleh pak penghulu untuk menjawab
pertanyaan, Setelah merasa lancar, ada beberapa bacaan yang dibacakan
oleh pak penghulu dan harus diikuti oleh pengantin laki-laki, bacaan
tersebut: istigfar, syahadatain, shalawat, lalu ijab qabul. Ucapan ijab qabul
diucapkan oleh imam dengan mengatakan saudara A bin B saya
menikahkan engkau atas perwalian orang tua/wali kepada saya
dengan..............dengan mahar . karena Allah dan dijawab oleh
pengantin laki-laki saya terima nikahnya.....................dengan mahar
karena Allah. Proses ijab kabul ini biasanya diulang 2-3 kali
untuk memperjelas ketepatan jawaban laki-laki.107

106 Hasil Wawancara dengan Pak Edi Sudarso selaku Kadus di Desa Srijaya Makmur, (Kamis, 07 Mei
2015)

107 Hasil Wawancara dengan Pak Dedek, (Kamis, 07 Mei 2015)

85

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa proses akad


nikah pada etnis Melayu di Kecamatan Nibung diawali dengan pembacaan ayat
suci Al-quran dan dilanjutkan dengan pemeriksaan berkas pernikahan,
penandatanganan berkas dan juga harus ada dua orang saksi. Sebelum di ijab
qabulkan pengantin laki-laki dibimbing dulu oleh pak penghulu, setelah merasa
lancar ada beberapa bacaan yang dibacakan oleh pak penghulu dan diikuti oleh
pengantin l aki-laki, bacaan tersebut: istigfar, syahadatain, shalawat, lalu ijab
qabul. Biasanya proses ijab qabul diulang 2-3 kali. Sesudah di ijab qabulkan baru
melakukan khutbah nikah yang diseleggarakan oleh imam kampung atau pak
penghulu.

b. Proses Akad Nikah Etnis Bali


Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Pak Wayan Agus
salah seorang etnis Bali dan juga mantan ketua organisasi etnis
Bali berikut paparannya:
Sebelum melangsungkan akad nikah terlebih dahulu kami
etnis Bali ni menentukan hari baiknya, jikalau harinya
sudah ditentukan maka didalam umat Hindu calon
mempelai laki-laki menjemput calon mempelai perempuan
diajak kerumah mempelai laki-laki.Sebelum masuk rumah
mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan itu
disambut oleh keluarga mempelai laki-laki dengan sesajen
yang
telah
disiapkan.Setelah
itu
baru
mempelai
perempuan masuk rumah dan melakukan upacara, upacara
tersebut berupa mengikatkan jempol tangan mempelai laki
dan mempelai perempuan menjadi satu (mengikat janji)
mereka melakukan sumpah dihadapan sesajen yang
diselenggarakan oleh pinandita yang membacakan mantramantra didepan penganten tadi kemudian disaksikan
dengan parisada Kecamatan dan diundang seluruh umat
Hindu yang berada di Kecamatan Nibung. Sesudah
86

melakukan upacara tersebut kedua mempelai tadi keluar


rumah, didepan rumah disambut lagi dengan sesajen yang
berupa menginjak telur ayam bersama baru dinyatakan
sah sebagai suami istri.108
Jadi, dari penjelasan diatas sama halnya yang telah
dijelaskan oleh Pak Wayan Muka selaku Wakil Lurah dan
Sekretaris Parisada etnis Bali ia mengatakan bahwa:
Sebelum melangsungkan akad nikah terlebih dahulu kami
etnis Bali ni menentukan hari baiknya, jikalau harinya
sudah ditentukan maka didalam umat Hindu calon
mempelai laki-laki menjemput calon mempelai perempuan
diajak kerumah mempelai laki-laki.Sebelum masuk rumah
mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan itu
disambut oleh keluarga mempelai laki-laki dengan sesajen
yang telah disiapkan. Setelah itu baru mempelai
perempuan masuk rumah dan melakukan upacara, upacara
tersebut berupa mengikatkan jempol tangan mempelai laki
dan mempelai perempuan menjadi satu (mengikat janji)
mereka melakukan sumpah dihadapan sesajen yang
diselenggarakan oleh pinandita yang membacakan mantramantra didepan penganten tadi kemudian disaksikan
dengan parisada Kecamatan dan diundang seluruh umat
Hindu yang berada di Kecamatan Nibung. Sesudah
melakukan upacara tersebut kedua mempelai tadi keluar
rumah, didepan rumah disambut lagi dengan sesajen yang
berupa menginjak telur ayam bersama baru dinyatakan
sah sebagai suami istri.109
Berdasarkan

penjelasan

di

atas,

dalam

perkawinan

campuran antara etnis Melayu dengan etnis Bali pada umumnya


menggunakan adat Bali. Hal ini dikarenakan kedua mempelai
memeluk

agama

Hindu

dan

juga

didalam

agama

Hindu

108 Hasil Wawancara Pak Agus Selaku Mantan Ketua Organisasi Etnis Bali, (Rabu, 25 Maret, 2015)
Pukul. 16.00 Wib

109 Hasil Wawancara Pak Wayan Muka selaku Wakil Lurah dan Sekretaris Parisada etnis Bali, (Kamis, 07
Mei, 2015) Pukul. 11.00 Wib

87

perempuan diwajibkan ikut suami. Jadi secara tidak langsung


dalam

melakukan

akad

nikah

menggunakan

adat

Bali.

Sebagaimana pernyataan dari Bu Ijayanti (Kadek Suparti) salah


seorang etnis Melayu yang dulunya memeluk agama Islam
berikut pernyataannya.
Pada pernikahan saya semuanya menggunakan adat Bali,
karena saya menikah dengan orang Bali. Lagipun orang tua
saya mengakatan karena suami kamu orang Bali secara
tidak langsung kamu ikut suami kamu, kan yang menafkahi
kamu adalah suami kamu makanya kamu harus ikut suami
kamu. Karena dalam adat Hindu apabila ada perempuan
yang turun dari rumah (menikah) maka sepenuhnya hak
laki-laki.110
Jadi, dari beberapa penjelasan diatas dapat kita ketahui
bahwa dalam melakukan perkawinan campuran khususnya etnis
Melayu yang beragama Islam dengan etnis Bali yang Bergama
Hindu, dimana ketika melakukan akad nikah menggunakan adat
Bali karena etnis Melayu tersebut masuk agama Hindu.

3.

Pesta Perkawinan
Pesta kawinan adalah suatu acara atau upacara dengan

mengumpulkan orang banyak bahwasanya dengan diadakannya


pesta perkawinan untuk mengabari kepada seluruh masyarakat
sanak

family

didalam

keluarga

tersebut

telah

110 Hasil wawancara dengan Bu Ijayanti (Kadek Suparti), (Jumat, 11 September 2015)

88

melakukan

pernikahan dan memberi doa agar hubungan kedua mempelai


berjalan dengan baik sampai keturunannya.
a. Pesta Perkawinan dalam Adat Melayu
Dikecamatan Nibung, pesta perkawinan tidak jauh beda
dengan pesta perkawinan adat Melayu Jambi. Dimana, biasanya
menggunakan istilah ulu antar.Ulu antar ialah (serah terima),
dalam pelaksanaan pesta perkawinan ditandai dengan mengarak
penganten, serah terima dan mendudukkan sepasang pengantin
dinobatkan sebagai raja dan ratu sehari, dengan memakai
pakaian adat dan hiasan sesuai dengan pakaian adat setempat.
Penganten laki-laki sebelum diarak dan duduk bersanding
dengan pengantin perempuan, dijemput oleh nenek mamak atau
menti/utusan dari pihak perempuan. Sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh Pak Edi Sudarso selaku Kadus di Desa Srijaya Makmur atau
Sp X ia mengatakan bahwa:
Disaat pesta perkawinan penganten laki-laki turun dari
rumah bibi penganten perempuan sebagai ibu angkat dari
penganten laki-laki, diarakkan kerumah penganten
perempuan.
Sesampai
didepan
rumah
penganten
perempuan, dari pihak laki-laki mengucap salam dan
langsung dijawab oleh pihak perempuan. Setelah itu nenek
mamak dari pihak perempuan menjemput penganten lakilaki dibawa kedalam rumah dan diduduk sandingkan
dengan pengantin perempuan.
Bedasarkan uraian diatas bahwasanya didalam adat Bali
pesta perkawinannya tidak menggunakan pesta, hanya saja

89

mereka

menggunakan

upacara-upacara

ritual

pada

saat

perkawinan. Sedangkan pada etnis Melayu pesta perkawinannya


biasanya menggunakan istilah Ulu Antar, dalam pelaksanaan
pesta perkawinan ditandai dengan mengarak penganten, serah
terima

dan

mendudukkan

sepasang

pengantin

dinobatkan

sebagai raja dan ratu sehari, dengan memakai pakaian adat dan
hiasan sesuai dengan pakaian adat setempat.

b. Pesta Perkawinan pada Etnis Bali


Pada etnis Bali tidak menggunakan pesta perkawinan
tetapi menggukan istilah upacara, dimana pada adat Bali ada
tiga macam bentuk upacara. Pertama upacara Nista yaitu
dikalangan

masyarakat

kecil

(menengah

kebawah),

kedua

upacara Madya dimana upacara ini dilakukan pada kalangan


masyarakat sedang (menengah) dan yang ketiga yaitu upacara
Uttama, dalam hal upacara tersebut dilakukan pada kalangan
masyarakat besar (menengah keatas). Walaupun dalam etnis Bali
ada tiga macam bentuk upacara, namun nilai ritualnya tetap
sama. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pak Wayan Muka
selaku Wakil Lurah di Sp IX, sekaligus sekretaris parisada etnis
Bali berikut ungkapannya:
upacara pada pernikahan kami Bali ada tiga macam
pertama Nista, Madya dan Uttama. Nista itu adalah
sekedar membuat sesajen-sesajen artinya kemampuan

90

orang itu rendah sehingga dibuat sesajen secara nista (ada


dikit), Madya itu adalah ditengah-tengah artinya berarti
kemampuan itu sederhana, makanya dia membuat
undangan lebih banyak dari Nista namun, isi sesajennya
tidak berkurang dan tidak berlebih akan tetapi ukuran
sesajennya sesuai dengan tingkatannya. Misalnya Nista
adalah masyarakat kecil ukuran sesajennya juga kecil
contoh dalam satu tandan pisang Nista adalah satu biji
pisang. Sedangkan Madya adalah masyarakat menengah
ukuran sesajennya ukuran sesajennya lebih besar dari
Nista conyahnya dalam satu tandan Madya adalah satu
sisir. Dan yang terakhir Uttama itu adalah masyarakat
besar artinya kalangan masyarakat
atas, ukuran
sesajennya lebih besar dari Nista dan Madya contohnya
dalam satu tandan Nista satu biji, Madya satu sisir
sedangkan Uttama satu tandan.111
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan
bahwa di dalam agama Hindu upacara perkawinan mempunyai
tiga tingkatan. Dimana tingkatan itu adalah Nista, Madya,
Uttama.

Nista

adalah

sekedar

membuat

sesajen-sesajen,

artinya kemampuan seseorang itu rendah sehingga dibuat


sesajen secara Nista (ada dikit), Madya itu adalah ditengahtengah artinya berarti kemampuan itu sederhana, makanya dia
membuat

undangan

lebih

banyak

dari

Nista

namun,

isi

sesajennya tidak berkurang dan tidak berlebih akan tetapi


ukuran sesajennya sesuai dengan tingkatannya. Sedangkan
Uttama

itu

adalah

masyarakat

besar

artinya

kalangan

masyarakat atas, ukuran sesajennya lebih besar dari Nista dan


Madya.
111 Hasil Wawancara Pak Wayan Muka selaku Wakil Lurah dan Sekretaris Parisada etnis Bali, (Kamis, 07
Mei, 2015) Pukul. 11.00 Wib

91

Jadi, setelah melakukan perkawinan campuran, pada pesta


perkawinan menggunakan adat Bali. Karena dalam agama Hidu
perempuan wajib ikut suami, sementara itu pak Wayan Agus
salah seorang etnis Bali dan juga mantan ketua organisasi etnis
Bali mengatakan bahwa:
Apabila laki-lakinya beragama Hindu yang perempuannya
Islam otomatis yang perempuannya masuk agama Hindu.
Tetapi apabila yang laki-lakinya beragama Islam yang
perempuannya beragama Hindu maka yang perempuannya
masuk agama Islam.112

Jadi

secara

tidak

langsung

pada

pesta

perkawinan

campuran menggunakan adat Bali. Sebagaimana yang telah


dinyatakan oleh Buk Ijayanti (Kadek Suparti) salah satu etnis
Melayu yang dulunya memeluk agama Islam pernyataannya
sebagai berikut:
Pada pesta perkawinan saya menggunakan adat Bali
dimana sebelah keluarga saya ada yang kurang setuju
kalau diadakan pesta dirumah orang tua saya karena
mereka mengatakan saya menikah dengan orang yang
bukan seagama dengan saya. makanya sewaktu
pernikahan, saya menggunakan tradisi dan tata cara
orang Bali113
112 Hasil Wawancara Pak Agus Selaku Mantan Ketua Organisasi Etnis Bali, (Rabu, 25 Maret, 2015)
Pukul. 16.00 Wib

113 Hasil wawancara dengan Bu Ijayanti (Kadek Suparti), (Jumat, 11 September 2015)

92

Jadi dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa di


dalam

pesta

perkawinan

campuran,

lebih

cendrung

menggunakan adat Bali karena mempelai wanita menikah


dengan etnis Bali kemudian masuk agama Hindu. Jadi secara
tidak langsung sewaktu pernikahan menggunakan adat Bali.

4.

Pola Menetap Setelah Menikah


Masyarakat etnis Melayu yang melakukan perkawinan

campuran dengan etnis Bali, setelah menikah mayoritasnya


mengikuti adat virilokal, dimana pengantin baru menetap sekitar
pusat kediaman kaum kerabat suami.114 Dikarenakan sebelum
menikah sang istri beragama Islam sedangkan suami beragama
Hindu. Setelah menikah sang istri pindah keagama sang suami,
jadi,

secara tidak langsung sang istri mengikuti sang suami.

Didalam umat Hindu pun mengatakan apabila sesudah menikah


sang istri diwajibkan ikut suami. Sebagaimana pernyataan dari
Buk Ijayanti (Kadek Suparti) salah seorang etnis Melayu yang
dulunya memeluk agama Islam berikut pernyataannya:
Setelah menikah saya tinggal di rumah orang tua suami
saya, karena suami saya adalah satu-satunya anak laki-laki
114 Koentjraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial,( Jakarta: Dian Rakyat, 1992), Hal . 107

93

dari orang tua suami saya. Makanya orang tua suami saya
tidak mengizinkan kami pindah dari rumahnya..

115

Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa


dalam pola menetap setelah menikah masih disekitar lingkungan
kaum

kerabat

suami.

Karena

sang

istri

setelah

menikah

mengikuti sang suami, dalam umat Hindu pun mengatakan


apabila sesudah menikah sang istri diwajibkan ikut suami.

C. Kendala pada Perkawinan Campuran antara Etnis Bali


Dengan Etnis Melayu
Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh pasangan yang
melakukan perkawinan campuran antara etnis Bali dengan etnis
Melayu di Kecamatan Nibung SP IX dan SP X, dalam hal ini
penulis membagi kendala tersebut kedalam dua hal yaitu:
1). Pra Pernikahan
a. Status Keyakinan / Agama
Kecamatan Nibung adalah Kecamatan yang memiliki adat
yang bersendikan syara, syara bersendikan kitabullah. Jadi,
siapa pun yang melakukan perkawinan dalam agama yang sama,
115 Hasil wawancara dengan Buk Ijayanti/Kadek Suparti, (Jumat, 11 September 2015)

94

tentu diperbolehkan. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh


pak Zainul selaku ketua penghulu di Kecamatan Nibung sebagai
berikut:
Di dalam agama Islam menikah beda etnis itu boleh.
Asalkan salah satu dari mereka harus ada yang mengalah,
apalagi sesama Islam. Dalam proses perkawinan harus
satu agama.116
Buk Made Karti salah seorang etnis Bali yang terkendala
dalam

hal

perbedaan

agama

ketika

hendak

melakukan

perkawinan. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Buk Made


Karti, salah seorang etnis Bali yang sebelum menikah Buk Made
Karti memeluk agama Hindu. Buk Made Karti mengatakan
bahwa:
Suami saya mengatakan kamu mau gak menikah sama
saya, tapi kamu masuk Islam terlebih dahulu, kalau kamu
mau masuk Islam saya mau menerima kamu untuk jadi
isteri saya.117

116 Hasil wawancara dengan Pak Zainul, ketua penghulu, (Sabtu, 09 Mei 2015)
117 Hasil wawancara dengan Bu Made Karti, (Kamis, 07 Mei 2015)

95

Begitu juga pada perkawinan Buk wayan Sukrani salah


seorang etnis Bali yang dulunya memeluk agama Hindu ia
mengatakan bahwa:
Keluarga suami saya agak fanatik tentang perbedaan
agama apalagi dalam hal perkawinan, pihak keluarga
suami saya mau menerima saya asalkan saya masuk
agama Islam terlebih dahulu. Dikarenakan suka sama suka
akhirnya saya bersedia masuk agama Islam.118

Kecamatan Nibung adalah Kecamatan yang memilki hukum


adat yang berlandaskan Al-Quran dan Hadits

yaitu

adat

bersendikan syara, syara bersendikan kitabullah. Sebagian


penduduk Kecamatan Nibung adalah beragama Islam, oleh
karena itu perkawinan beda agama sangat tidak bisa diterima.
Begitupun

dalam

perundang-undangan

di

Indonesia

tidak

memperkenankan adanya pernikahan atau perkawinan beda


agama. Jadi jika melakukan perkawinan harus memeluk salah
satu agama, seperti data diatas jika etnis Bali beragama Hindu
menikah dengan etnis Melayu yang beragama Islam maka harus
memeluk satu agama yaitu agama Islam, karena mayoritas
masyarakat Nibung beragama Islam.

118 Hasil wawancara dengan Bu Wayan Sukrani, (Selasa, 05 Mei 2015)

96

b. Kendala Pada Orang Tua


Kedala yang terjadi pada perkawinan campuran yaitu pada
orang tua karena berbeda agama. Menurut Buk madining Sari
salah seorang etnis Bali yang dulunya memeluk agama Hindu ia
mengatakan bahwa:
Sebelum saya menikah, orang tua saya sangat melarang
keras kepada saya untuk melakukan perkawinan
campuran, karena orang tua saya maunya menikah dengan
satu agama, tidak berpindah ke agam a lain.Tapi
dikarenakan kami saling mencintai maka kami nekat untuk
kawin lari.119
Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui dalam melakukan
perkawinan campuran, orang tua sangat mempengaruhi untuk
menentukan suatu perkawinan apalagi berbeda agama, ini
merupakan kendala yang dialami oleh Bu Madining Sari.
c. Pembagian Sistem Marga
Dalam Kamus Istilah Antropologi

adat adalah

wujud

gagasan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma-norma,


hukum, serta aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya
berkaitan menjadi suatu sistem kebudayaan.120
Adat dapat pula dikatakan sebagai suatu sikap dan cara
berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma
dan aturan-aturan yang ada secara turun temurun yang terdapat

119 Hasil wawancara dengan Bu Madining Sari, (Selasa, 05 Mei 2015)


120 Koentjaraningrat dkk, Kamus Istilah Antropologi, (Jakarta:Progres, 2003), Hal. 2

97

dalam masyarakat.121 Dengan kata lain, adat adalah wujud ideal


dari kebudayaan.122
Dalam perkawinan campuran, adat pun terkadang menjadi
kendala ketika melakukan perkawinan. Terutama dalam hal
pembagian harta warisan, berikut penjelasan tentang
pembagian harta warisan kedua etnis.
1. Etnis Bali
Dalam agama Hindu sistem pembagian harta warisan anak
perempuan tidak mendapatkan harta sedikitpun, karena anak
perempuan tidak mempunyai tanggungan apa-apa. Tetapi anak
perempuan itu mendapatkan harta warisan dari suaminya
saja.Sedangkan harta warisan didalam agama Hindu, semuanya
jatuh

kepada

anak

laki-laki.

Dikarenakan

anak

laki-laki

mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya


dan juga dalam agama Hindu, anak laki-laki itu adalah sebagai
penerus

didalam

keluarganya.

Sebagaimana

yang

telah

dijelaskan oleh pak Wayan Agus salah seorang etnis Bali dan juga
mantan ketua organisasi etnis Bali mengatakan bahwa:
Dalam agama Hindu, harta warisan semuanya jatuh
kepada anak laki-laki. Dimana anak-laki-laki itu mempunyai
tanggung jawab penuh atas keluarganya misalkan
sewaktu upacara ngaben mulai dari dananya, ngurusi
manyatnya sampai kepembakaran manyat semuanya anak
laki-laki, maka dari itu anak laki-laki dalam agama Hindu
sangat
diutamakan.
Sedangkan
anak
perempuan
121 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1995), Hal. 63
122 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.(Jakarta: Renika Cipta, 1996), Hal. 20

98

sedikitpun tidak mendapatkan harta warisan, mereka


hanya dapat harta warisan dari suaminya.123
Berdasarkan

uraian

diatas,

sama

halnya

yang

telah

dijelasan oleh Pak Wayan Muka selaku Wakil Lurah di Sp IX,


sekaligus sekretaris parisada etnis Bali berikut penjelasannya:
Didalam agama Hindu itu adatnya sangat keltal sekali
terutama dalam hal pembagian harta warisan. Dimana,
harta warisan itu semuanya jatuh kepada anak laki-laki.
Karena anak laki-laki itu mempunyai tanggung jawab
penuh atas keluarganya misalkan
sewaktu upacara
ngaben mulai dari dananya, ngurusi manyatnya sampai
kepembakaran manyat semuanya anak laki-laki, maka dari
itu anak laki-laki dalam agama Hindu sangat diutamakan.
Sedangkan anak perempuan sedikitpun tidak mendapatkan
harta warisan, mereka hanya dapat harta warisan dari
suaminya.124
Bagitu juga penjelasan dari Buk Made Karti salah seorang
etnis

Bali

yang

dulunya

memeluk

agama

Hindu

berikut

pernyataannya:
Dalam agama Hindu adat sangat kental, bahkan adat itu
diutamakan apalagi dalam hal pembagian harta warisan.
Yang mendapatkan harta warta warisan, semuanya jatuh
kepada anak laki-laki, dikarenakan anak laki-laki itu dalam
agama Hindu mempunyai tanggung jawab yang besar.
Sementara kami yang perempuan kami tidak mendapatkan
sedikit pun, kami cuma dapat harta warisan dari suami..125
123 Hasil Wawancara Pak Agus Selaku Mantan Ketua Organisasi Etnis Bali, (Rabu, 25 Maret, 2015)
Pukul. 16.00 Wib

124 Hasil Wawancara Pak Wayan Muka selaku Wakil Lurah dan Sekretaris Parisada etnis Bali, (Kamis, 07
Mei, 2015) Pukul. 11.00 Wib

125 Hasil wawancara dengan Bu Made Karti, (Kamis, 07 Mei 2015)

99

Sama halnya yang dikatakan oleh Bu Madining Sari salah


seorang etnis Bali yang dulunya memeluk agama Hindu bahwa:
Agama Hindu itu adalah agama yang sangat kental
tentang adat, bahwa kami selaku anak perempuan tidak
mendapatkan harta warisan sepersen pun, dikarenakan
anak laki-laki mempunyai tanggung jawab yang besar di
dalam keluarga contohnya dalam hal upaca Ngaben
(pembakaran mayat). Makanya anak laki-laki itu lebih
diutamakan
dibandingkan
dengan
kami
yang
126
perempuan.

2. Etnis Melayu
Dalam etnis Melayu pembagian harta warisan berdasarkan
kepada hukum atau ajaran dalam agama Islam.Hal ini terlihat
didalam buku Fiqih Mawarits.Dimana, dalam buku tersebut
membahas tentang ilmu Faroidl.Menurut istilah Faroidl berarti
suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan nilai besar-kecilnya
oleh syariah.127 Sebagaimana yang telah dijelaskan didalam AlQuran surah An-Nisa ayat 11 dan 12, yang artinya:
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan
untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan.Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang
tinggalkan.Jika dia anak (perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh
setengah (harta yang ditinggalkan), jika dia (yang meninggal) memmpunyai
anak.Jika dia yang (mninggal) tidak mempunyai anak dan dia mewarisi oleh
kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.Jika dia (yang
meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
126 Hasil wawancara dengan Bu Madining Sari, (Selasa, 05 Mei 2015)
127 Muhammad Mashum Zein, Fiqih Mawarits, (Jombang : Darul Hikmah, 2008), Hal. 10

100

(pembagian-pembagian tersebut diatas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya


atau (dan setelah dibayar) utangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui,
Mahabijaksana. (Q.S. An-Nisa Ayat 11).
Seperempat harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka
buat (dan setelah dibayar) utangnya.Para istri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah
dibayar) utang-utangmu.Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau sesorang saudara (seibu), maka
bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.Teetapi jika
saudara-saudara seibu ibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama
dalam bagian sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan
setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli
waris).Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.
(Q.S. An-Nisa Ayat 12).

Jadi, dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa didalam


agama Hindu semua harta warisan itu semuanya jatuh ketangan
anak laki-laki.Sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan
sedikitpun dari harta warisan, tetapi anak perempuan mendapat
warisan dari suaminya. Sedangkan didalam etnis Melayu sistem
pembagian harta warisan berdasar hukum Islam, dimana anak
laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua maka bagian mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan, jika dia anak perempuan satu-satunya maka dia memperolah
setengah dari harta warisan.jika dia (yang meninggal) memmpunyai anak. Jika dia
yang (mninggal) tidak mempunyai anak dan dia mewarisi oleh kedua ibu

101

bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal)
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
Jadi setelah melakukan perkawinan campuran sistem pembagian harta
warisan yaitu menggunakan adat Melayu atau berdasarkan hukum Islam. Karena
etnis Bali yang melakukan perkawinan campuran tersebut sudah memeluk agama
Islam. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Buk Made Karti salah
seorang etnis Bali yang dulunya memeluk agama Hindu berikut
pernyataannya:
Setelah

saya

menikah

dengan

suami

saya,

sistem

pembagian harta warisan berdasarkan agama Islam.128


Berdasarkan penjelasan dari Buk Made Karti mengalami hal
yang serupa yang dikatakan oleh Buk wayan Sukrani salah
seorang etnis Bali yang dulunya memeluk agama Hindu adalah
berikut:
Setelah

saya

menikah

dengan

suami

saya,

sistem

pembagian harta warisan berdasarkan agama Islam.129


Jadi,

berdasarkan

penjelasan

diatas

dapat

penulis

simpulkan bahwa setelah melakukan perkawinan campuran

128 Hasil wawancara dengan Bu Made Karti, (Kamis, 07 Mei 2015)


129 Hasil wawancara dengan Bu Wayan Sukrani, (Selasa, 05 Mei 2015)

102

dalam pembagian harta warisan yaitu menggunakan adat Melayu


atau berdasarkan hukum Islam.
2). Kendala Pasca Pernikahan
a. Kesulitan dalam Memahami dan Menjalankan Ajaran
Islam
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Buk Wayan
Sukrani salah seorang etnis Bali yang dulunya memeluk agama
Hindu ia mengatakan bahwa:
Sudah hampir delapan tahun saya masuk agama Islam
dan

menikah

dengan

suami

saya,

ternyata

sampai

sekarang saya belum begitu memahami tentang ajaran


agama Islam.130

Begitupun yang terjadi pada Buk Madining Sari salah


seorang etnis Bali yang dulunya memeluk agama Hindu berikut
pernyataan dari Buk Madining Sari:
Saya menikah sudah hampir tiga belas tahun, namun
saya baru memahami tentang ajaran Islam.131

130 Hasil wawancara dengan Bu Wayan Sukrani, (Selasa, 05 Mei 2015)


131 Hasil wawancara dengan Bu Madining Sari, (Selasa, 05 Mei 2015)

103

Dari pernyataan tersebut, di dalam perkawinan campuran


antara etnis Bali dengan etnis Melayu di kecamatan Nibung SP IX
dan SP X. juga ada yang terkendala dalam hal adaptasi nilai-nilai
agama Islam.

b. Di asingkan Dari Keluarga (Disasosiasi)


Menurut cerita dari Buk wayan sukrani salah seorang etnis
Bali yang dulunya memeluk agama Hindu ia menceritakan
bahwa:
Setelah saya menikah dengan suami saya, saya sangat
diasingkan dari kelompok etnis Bali.tidak hanya sebatas
kelompok etnis saja tetapi dikeluarga dan sanak famili saya
juga diasingkan, karena saya menikah dengan orang
Melayu yang beragama Islam.132
Sedangkan menurut cerita dari Buk Made Karti seorang
etnis Bali yang dulunya memeluk agama Hindu ia menceritakan
bahwa:
Setelah saya menikah dengan suami saya, kedua orang
tua saya tidak membenci saya.Tetapi saudara saya
menjauhi saya, karena saya menikah dengan orang Melayu
bahkan saya pindah ke agama Islam.tidak hanya sebatas
keluarga tetapi didalam kelompok etnis Bali pun saya
diasingkan.133
132 Hasil wawancara dengan Bu Wayan Sukrani, (Selasa, 05 Mei 2015)
133 Hasil wawancara dengan Bu Made Karti, (Kamis, 07 Mei 2015)

104

Jadi

dari

beberapa

pernyataan

diatas

dapat

penulis

simpulkan bahwa di dalam melakukan perkawinan campuran,


khususnya etnis Bali dengan etnis Melayu hubungan antara
keluarga bisa terpisah dan dikeluar dalam marga etnis Bali.
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Pak Wayan Agus mantan
ketua organisasi Bali,
Apabila orang kami Bali ni menikah dengan orang diluar
agama Hindu. Maka dia secara resmi keluar dari kelompok
kami

Bali,

bahkan

dengan

keluarga

pun

sangat

di

asingkannya.134

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil peneliti yang peneliti lakukan di Kecamatan
Nibung, tentang Perkawinan Campuran Antara Etnis Bali
Dengan Melayu Di Kecamatan Nibung, Sp Ix Dan Sp X,
Kabupaten Musi Rawas Utara, Provinsi Sumatera Selatan
dapat disimpulkan bahwa:
134 Hasil Wawancara Pak BambangSelaku Mantan Ketua Organisasi Etnis Bali, (Rabu, 25 Maret, 2015)
Pukul. 16.00 Wib

105

1. Masyarakat Kecamatan Nibung antara etnis Bali dengan etnis


Melayu

hidupnya

mereka

saling

berdampingan,
membaur,

dalam

saling

kesehariannya

menghargai

dan

menghormati. Sehingga terbentuknya pola interaksi sosial


antara etnis Bali dengan etnis Melayu.
2. Proses perkawinan campuran antara etnis Bali dengan etnis
Melayu, dibenarkan oleh

kedua etnis dengan ketentuan

melalui proses adat, dimana, proses adat ini kedua etnis


melakukan perundingan terlebih dahulu untuk menentukan
adat

mana

yang

akan

dipakai.

Di

kecamatan

Nibung

perkawinan campuran antara etnis Bali dengan etnis Melayu,


yang pernah terjadi jika perempuannya dari etnis Melayu
sedangkan laki-lakinya dari agama Hindu, maka secara tidak
langsung pindah keagama Hindu dan diupacarai secara
Hindu. Dan juga apabila perempuannya etnis Bali, lakilakinya etnis Melayu

maka si perempuannya etnis Bali

masuk agama Islam dan mengikuti adat Melayu. Dalam etnis


Melayu proses perkawinannya adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
3. Kendala

Proses Melamar
Proses Akad Nikah
Proses pada pesta perkawinan
Proses Menetap Setelah Menikah
yang terjadi pada perkawinan campuran antara etnis

Bali dengan etnis Melayu adalah sebagai berikut:


a. Pra Pernikahan
1) Status Keyakinan / Agama
2) Kendala Pada Orang Tua

106

3) Pembagian Sistem Marga


b. Kendala Pasca Pernikahan
1) Kesulitan dalam Memahami dan Menjalankan Ajaran
Islam
2) Diasingkan Dari Keluarga (Disasosiasi)
B. Saran
1. Untuk

etnis

Bali

yang

telah

melakukan

perkawinan

campuran dengan etnis melayu agar lebih tekun dan


ditingkatkan

dalam

memahami

ajaran-ajaran

dalam

agama Islam karena untuk bekal di akhirat nanti, di


samping itu bisa mengajarkan kepada anak-anak tentang
ilmu keislaman.
2. Bagi masyarakat yang melakukan perkawinan campuran
antara Etnis Bali dengan Etnis Melayu di Kecamatan
Nibung,

Kabupaten

Muratara

agar

dapat

lebih

inklusifdalam bermasyarakat.
3. Bagi masyarakat yang melakukan perkawinan campuran
antara etnis Bali dengan etnis Melayu dimanapun mereka
berada dan dalam kondisi apapun agar tetap menjaga dan
menghormati antara etnis, untu mewujudkan hubungan
keluarga yang damai, aman dan harmonis.
C. Kata Penutup
Alhamdulliah peneliti ucapkan Kehadirat Allah Swt, atas
rahmat dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini
yang berjudul Perkawinan Campuran Antara Etnis Bali

107

Dengan Etnis Melayu Di Kecamatan Nibung, Kabupaten


Musi Rawas Utara, Provinsi Sumatera Selatan.
Adapun dalam hal penulisan skripsi ini terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan, baik dari penulisan, pengutipan dan
sebagainya.Mohon di maafkan dari berbagai pihak, karena
peneliti masih dalam keadaan belajar.
Dan juga hanya kepada Allah Swt, peneliti memohan
semoga skripsi ini bermanfaat bagi peneliti sendiri khususnya
dan bagi yang membaca umumnya.Amiiin.

Jambi
Juli 2015
Penulis,
CANDRA ARIANTO
Nim. AS. 110992
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Baharuddin Dkk, Nikah Beda Agama Di Indonesia, Ciputat Tanggerang
Selatan: Referensi, 2013
Abidin Slamet, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Ahmad Saebani Beni, Piqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 2001
Arthayasa I Nyoman Dkk, Petunjuk Teknis Perkawinan Hindu, Surabaya:
Paramita, 2004
Arikunto Suharsimi, prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 2006
Chulsum Ummi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya: Khasiko, 2006
108

Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Jakarta: Balai Pustaka, 1995
Endaswara Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan,Yogyakarta: Gadja Mada
University, 2006
Gustini NuraeniHeni, Studi Budaya di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2013
Hadikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : Citra Aditya Bakti,
1995
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Bandung: Rosdakarya, 1996
Koentjraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2009
Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1992
Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.(Jakarta: Renika
Cipta, 1996
Kountur Rouni, Metode Penelitian Untuk Penyusunan Skripsi dan Thesis,Jakarta :
Buana

Printing, 2009

Lembaga Adat Propinsi Jambi, Buku Pedoman Adat Jambi, Janbi: 1993
Lindayanti, Jambi dalam Sejarah 1500-1942, Jambi: Pusat Kajian Pengembangan
Sejarah dan Budaya Jambi, 2013
Lindayanti, Menuju Integrasi Nasional, Yogyakarta: Andi Offset, 2013
Mashum Zein Muhammad, Fiqih Mawarits, Jombang : Darul Hikmah, 2008
M. Keesing Roger, Antropologi Budaya, Jakarta: Erlangga, 1989
Moleong J, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandug: Remaja Rosdakarya,
2005
Muhammad Azzam Abdul Aziz, Piqih Munakahat, Jakarta: Amzah, 2009

109

Mustofa Ahmad, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: Pustaka Setia, 1999


Mukhtar, Bimbingan Skripsi, Thesis dan Artikel Ilmiah, Jambi: Sulthan Thaha
Press, 2007
Wisma Mardanas Izar, Adat dan Upacara Perkawinan Mentawai, Jakarta : Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan, 1993
Sugioyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2012

DAFTAR JURNAL
Ejournal, Mia Retno Prabowo, Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan Yang
Berlatar Belakang Etnis Batak Dan Etnis Jawa,

Fakultas Psikologi,

Universitas Gunadarma, diakses pada tanggal 15 Desember 2014


http://aprilia180490.

Wordpress.com/2010/05/29/keanekaragaman-suku-bangsa-

di-indonesia. diakses Pada Tanggal 15 Januari 2015


E- jurnal Adil Niat Gulo, Degradasi Budaya Dalam Upacara Perkawinan
Masyarakat nias di Denpasar, Fakultas Sastra Universitas Udayana

110

E Jounal Mister Rokib, Larangan Kawin Satu Suku, Pekan Baru, Riau, Indonesia,
Sunday, may 26, 2013. http://mister rokib.blogspot.com/2013/05/ ejournal
tentang-larangan-kawin-satu suku.html
E Journal Helga Septiani Manik, Makna dan Fungsi Tradisi Sinamot dalam Adat
Sukubangsa

Batak

Toba

di

Perantauan

Surabaya,

Biokultur,

Vol.I/no.1/Januari-Juni2112, hal. 20

INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA


Judul : Perkawinan campuran antara Etnis Melayu dengan Etnis Bali di Desa
Nibung Sp IX, Kec, Nibung, Kab, Muratara
A. Observasi
Mengenai letak geografis Etnis Melayu dengan Etnis Bali di Kecamatan
Nibung, Sp IX dan Sp X, Kabupaten Muratara, Provinsi Sumatera Selatan.
B. Wawancara

111

1. Apa yang melatar belakangi etnis Bali sampai di Desa Nibung?


2. Apa yang melatar belakangi melakukan perkawinan campuran dengan
etnis Melayu?
3. Adat apa yang digunakan ketika melakukan acara perkawinan? Bali,
Melayu ataukah campuran? Mengapa?
4. Bagaimana tradisi di keluarga setelah pernikahan dalam hal pembagian
harta warisan?
5. Adakah kendala sebelum dan sesudah melakukan perkawinan campuran?
6. Adakah dampak positif dengan melakukan perkawinan?
(Tokoh Adat Nibung)
7. Berapa banyakkah etnis Bali yang melakukan perkawinan campuran
dengan etnis Melayu?
8. Bagaimanakah tanggapan masyarakat tentang perkawinan campuran etnis
Bali dengan etnis Melayu di Desa Nibung?
(Tokoh Adat Nibung)
9. Berapakah jumlah kepala keluarga (KK) etnis Bali di Desa Nibung?

112

113

114

115

116

LOKASI PENELITIAN

Lokasi Kantor Camat Nibung

Lokasi Kantor Desa Kecamatan Nibung

117

Lokasi Pura/Tempat Ibadah Etnis Bali di Kecamatan Nibung

118

Foto Bersama Pak Wayan Muka Sekretaris Parisada Etnis Bali

119

Foto Bersama Pak Wayan Agus Beserta Istri Mantan Ketua


Organisasi Etnis Bali

Foto Bersama Buk Made Karti Etnis Bali yang melakukan


perkawinan campuran dengan etnis Melayu

120

Foto Bersama Buk Wayan Sukrani Etnis Bali yang melakukan


perkawinan campuran dengan etnis Melayu

DAFTAR NAMA-NAMA INFORMAN

N
O

NAMA

JABATAN

Pak Zainul

Selaku Penghulu di Kecamatan

Wayan Muka

Nibung

Pak M. Fatkhan. SE

Selaku Wakil Lurah di Kecamatan

Edi Sudarso

Nibung
Selaku Wakil Kades Nibung

Wama

Selaku Kadus di Desa Srijaya

Peri

Makmur Kecamatan Nibung

Dedek

Warga Nibung

Wayan Agus

Warga Nibung

Made Karti

Warga Nibung

10

Wayan Sukrani

Selaku Mantan Ketua Organisasi

11

Madining Sari

Bali
Mantan Etnis Bali
Mantan Etnis Bali
Mantan Etnis Bali

121

CURRICULUM VITAE

Nama

: Candra Arianto

Tempat Tanggal Lahir

: Simpang Bukit 03-04-1990

Jurusan

: Sejarah Kebudayaan Islam

Nim

: As.110992

Fakultas

: Adab Dan Humaniora

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Status

: Belum Menikah

Nama Ayah

: M. Yusuf

Nama Ibu

: Maimunah

Anak Ke

: 1 (pertama)

Alamat Asal

: Simpang Bukit, Kecamatan Pelawan,


Kabupaten Sarolangun
JENJANG PENDIDIKAN

Tahun 1997-2003

: SD N 123 Desa Bukit

122

Tahun 2003-2007

: Ponpes Saadatudarein Tahtul Yaman,


Jambi Seberang

Tahun 2007-2008

: Ponpes Al-Hidayah Sarolangun

Tahun 2008-2011

: MAN 1 Sarolangun

Tahun 2011-2015

: Institut Agama Islam Negeri


Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
PENGALAMAN ORGANISASI

Tahun 2008-2009

: Pramuka

Tahun 2009-2010

: Paskibraka

Tahun 2012-2013

: Anggota Lembaga Mahasiswa Jurusan


Fakultas Adab Dan Humaniora IAIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

123

Anda mungkin juga menyukai