DAFTAR
ISI
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
A. Definisi kusta dan reaksi
kusta..
2
B. Klasifikasi Reaksi Kusta..
2
C. Etiologi Reaksi
Kusta
D. Cara
Penularan
2
E. Epidemiologi Reaksi
Kusta
BAB II
PATOFISIOLOGI
4
BAB III GEJALA
KLINIS..
A. Kusta
.
7
B. Reaksi Kusta tipe
I.
C. Reaksi Kusta tipe
10
II
11
BAB IV PEMERIKSAAN
PENUNJANG.
BAB V
14
PENATALAKSANAAN...
..
17
1
BAB VI
KESIMPULAN
23
DAFTAR
PUSTAKA
24
BABI
PENDAHULUAN
organlainkecualisusunansarafpusat..Kustabiasadisebutjugalepraataumorbus
Hansen1.
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Reaksi kusta ini adalah
interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat
kronik,yangmerupakansuatureaksikekebalan(cellularresponse)ataureaksiantigen
antibody(humoralresponse).ReaksikustadibagimenjadiduayaitureaksitipeIatau
reaksireversalyangdisebabkankarenameningkatnyakekebalanselulersecaracepat
danreaksitipeIIataureaksierythemanodosumleprosum(ENL)yangmerupakan
reaksihumoralyangditandaidengantimbulnyanodulkemerahan,neuritis,gangguan
saraf,dll.
Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran
3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol, serta positif Gram. Sampai sekarang
belum dapat dibiakkan dalam media artifisial. Masa replikasi kuman memerlukan
waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 2-21 hari. Oleh
karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 25 tahun1.
Meskipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor
pencetus reaksi kusta sudah diketahui dengan jelas, namun penyebab pasti belum
diketahui. Kemungkinan reaksi ini menggambarkan episode hipersensitivitas akut
terhadap antigen basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang
telahada.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih belum diketahui.
Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakniselaput
lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kustaadalah:
a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah
mengering, diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15
tahun,dan adanyakontak yang lama danberulang-ulang.
Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan 13 %,
tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada
kelompok umur antara 25-35 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, tertama di Asia,
Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan subtropik, serta masyarakat yang social
ekonominya rendah.
3
BABII
PATOFISIOLOGI
ditegaskan bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi
reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga
dapat disebut reaksi borderline. Diperkirakan reaksi pada ENL ada hubungannya
dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempattempat basil lepra berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada
pengobatan 6 bulan pertama1.
Secara ringkasnya fenomena ini berupa kompleks imun akibat reaksi antara
antigen M.leprae + antibody (IgM, IgG) + komplemen kompleks imun.
Komplemen akan bergabung dengan kompleks imun dan akhirnya akan membentuk
endapan
kompleks
imun
dan
menghasilkan
polimorfonuklear
leukotaktik
factor.1Itulah sebabnya penimbunan kompleks imun pada pembuluh darah dan lesi
merupakan karakteristik reaksi ENL5.
Terdapat juga penelitian yang mempelajari peranan tumor nekrosis faktor alfa,
(TNF-a) pada patogenesiss ENL. Penderita LL yang menunjukkan reaksi ENL setelah
terapi MDT juga menunjukkan kadar TNF-a yang tinggididuga akibat sel
mononuklear pada darah tepi penderita ENL yang dapat meningkatkan jumlah
TNF.Faktor nekrosis tumor ini bisa menimbulkan kerusakan langsung pada sel dan
jaringan, mengaktifkan makrofag, memacu makrofag memproduksi IL-1 dan IL-6 dan
memacu sel hepar menghasilkan protein reaktif C (PRC).
Konsentrasi antigen dari bakteri yang tinggi dalam jaringan akan
meningkatkan level antibodi IgM dan IgG pada penderita tipe lepromatosa. Formasi
dan berkurangnya komplek imun serta aktivasi sistem komplemen dengan
meningkatnya mediator inflamasi, merupakan mekanisme imunopatologi penting
pada ENL. Selama reaksi ENL terjadi penurunan tingkat IgM anti PGL -1 (phenol
glukolipid) yang berasal dari dinding M. leprae. Sesudah penderita mengalami
pemulihan, memacu antibodi IgM membentuk komplek imun dengan konsentrasi
yang berlebihan dari PGL -1 dalam jaringan. Beratnya ENL disebabkan oleh
meningkatnya produksi sitokin oleh limfosit Th2 sebagai respon imun tubuh untuk
mengatasi peradangan.
Reaksi reversal (RR) merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat yang
dijumpai pada kusta tipe borderline. Antigen Mycobacterium leprae muncul pada
saraf dan kulit penderita reaksi tipe ini. Infeksi Mycobacterium leprae akan
meningkatkan ekspresi major histocompatibility complex (MHC) pada permukaan sel
makrofag dan memacu limfosit Th CD 4 untuk menjadi aktif dalam membunuh
Mycobacterium leprae2.
BAB III
GEJALA KLINIS
Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada multiplikasi dan diseminasi
kuman M. leprae, respons imun penderita terhadap kuman M. leprae, komplikasi yang
diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer6.
Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS). SIS baik
akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah akan
memberikan gambaran lepromatosa. Tipe I atau indeterminate tidak termasuk dalam
spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe
yang stabil sehingga tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe
lepromatosa polar merupakan lepromatosa 100% yang stabil. Sedangkan tipe antara
Li dan Ti disebut tipe borderline atau campuran, campuran antara tuberkuloid dan
lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri dari 50% tuberkuloid dan 50%
lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih
banyak lepromatosanya. Tipe-tipe ini merupakan tipe yang labil, sehingga bisa bebas
beralih tipe kearah TT atau LL. Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi
dapat dilihat pada table dibawah ini1:
Klasifikasi
Madrid
WHO
Pausibasilar, Multibasilar
Puskesmas
Pausibasilar, Multibasilar
Tabel 1. zona spektrum kusta
*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat
diketahui setelah 3minggu.
10
11
yang multiple, mengkilap, tampak berupa nodul atau plakat, ukurannya pada
umumnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai
bawah, wajah, lengan dan paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian
tubuh kecuali daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha dan daerah
perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi juga disertai gejala
sistematik seperti demam, malaise, nyeri sendi, nyeri otot dan mata, neuritis,
gangguan fungsi saraf, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh
lainnya. B i l a m e n g e n a i o r g a n l a i n d a p a t menimbulkangejala
sepertiiridosiklitis,neuritisakut,limfadenitis,arthritis,orkitis,dannefritisyangakut
denganadanyaproteinuria.Iajugadapatdisertaigejalakonstitusidariringansampaiberatyangdapat
diterangkansecaraimunologikpula.Lama perjalanan ENL dapat berlangsung 3 minggu
atau lebih, kadang lebih lama2.
12
Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf
perifer yangmenghasilkanclawhandataudropfoot.11Kerusakan mata pada kusta dapat
primerdansekunder.Primermengakibatkanalopesiapadaalismatadanbulumata,
juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkanoleh rusaknya
N.fasialis yang dapat membuat paralisisN.orbitkularis palpebrarum sebagian
atauseluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau
bersamasamaakanmenyebabkankebutaan2.
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada
kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrate
difus, berwarna merah muda, bentuk tidah teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di
ekstermitas, kemudian meluas keseluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih
eritematous disertai purpur, bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi
yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut1.
Gambaran histopatologi menunjukan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superficial, edema, dan proliferasi endothelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak
ditemukan
infiltrate
polimorfonuklear
seperti
pada
ENL
namun
dengan
13
BAB IV
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit
atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan
terhadap basil tahan asam, antara lain dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Jumlah
tempat yang diambil untuk pemeriksaan ruitn sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif (yang paling
eritematosa dan infiltratif).
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi
tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi
iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah. Irisan
yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar
mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra)
yang di dalamnya mengandung basil M.leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di
gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan ZiehlNeelsen.
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) akan tampak merah pada
sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan
butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan
granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan
nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai
dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang
(LP), 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP, 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP, 3+ bila 1-10
BTA rata-rata dalam 1 LP, 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP, 5+ bila 1011000 BTA rata-rata dalam 1 LP, 6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP.
14
2. Pemeriksaan histopatologik
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikellingi oleh limfosit yang
disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan sistem imunitas selular rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat
menghancurkan M. leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat
berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya.
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe
lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jarinagnnya tidak patologik1.
3. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang
tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yamg juga
dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Macam-macam pemeriksaan serologik
kusta ialah:
teknik voluntary muscle test (VMT) atau tes kekuatan otot dan untuk memeriksa
berkurangnya rasa raba dilakukan sensitivity test (ST) atau tes rasa raba. Untuk
membantu diagnosis ENL dapat dilakukan penyelidikan tentang abnormalitas
konduksi saraf termasuk sebagai berikut:
15
sensoris.
Saraf-saraf yang paling sering terlibat didalamnya adalah saraf ulnaris,
peroneal, median, dan saraf-saraf tibial.7
Pemeriksaan penunjang pada ENL dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan histopatologi
16
BAB V
PENATALAKSANAAN
Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy
(MDT), yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT
adalah: mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka
putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita1.
Obat obat dalam rejimen MDT-WHO
1. Dapson
Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat
enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA.
Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya
menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan.
Dosis : Dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat
badan untuk anak-anak.
Efek samping : Erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia,
neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia.
Efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.
2. Rifampisin
Sifat dan Farmakologi : Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis
lazim dan merupakan obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin
bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara
irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan adanya
resistensi.
Dosis : Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh
kuman kira-kira 99.9% dalam waktu beberapa hari.
Efek samping : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi
kulit.
3. Klofazimin
Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson.
Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini
juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan
reaksi kusta.
17
Dosis : 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1
mg/kgBB/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan
untuk mengurangi reaksi tipe I dan 2.
Efek samping : Hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan
gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).
4. Etionamid dan Protionamid
Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai
pada pengobatan kusta. Dosis diberikan 5-10 mg/kgBB setiap hari. Obat ini
bekerja bakteriostatik, cepat menimbulkan resistensi, lebih toksik, harganya
mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan lagi pada
rejimen pengobatan kusta.
Obat Kusta Baru
Pada pelaksanaan program MDT-WHO masalah-masalah yang timbul yaitu :
adanya resistensi kuman terhadap rifampisin dan lamanya pengobatan terutama pada
kusta MB. Pada penderita kusta PB timbul masalah yaitu masih menetapnya lesi kulit
setelah 6 bulan pengobatan dan Late Reversal Reaction (LVR) yang timbul justru
setelah selesai MDT. Maka diperlukan obat-obat baru yang memenuhi syarat antara
lain : Bersifat bakterisidal kuat terhadap M. leprae, tidak anatagonis terhadap obat
yang sudah ada, aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral dan
sebaiknya diberikan tidak lebih dari sehari sekali. Obat-obat yang sudah terbukti
efektif tersebut adalah : ofloksasin, minosiklin dan klaritomisin.
A. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan obat turunan fluorokuinolon yang paling efektif
terhadap M. leprae, dibandingkan dengan siprofloksaisn dan pefloksasin.
Dosis optimal harian 400 mg, dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis.
Kerjanya melalui hambatan pada enzim girase DNA mikobakterium. Efek
sampingnya adalah mual, daire dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai
gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, dizziness, nervousness, dan
halusinasi.
Walau
demikian
jarang
ditemukan
dan
biasanya
tidak
sintesis protein melakui mekanisme yang berbeda dengan obat anti kusta yang
lain. Dosis harian yang diberikan 500 mg. efek sampingnya adalah nausea,
vomitus, dan diare.
C. Klaritromisin
Klaritromisin merupakan golongan makrolid yang mempunyai aktivitas
bakterisidal dengan menghambat suntesis protein melalui mekanisme yang
lain dari minosiklin.
Penghentian obat lazim disebut release from treatment (RFT). Setlah RFT
dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis
minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Jika bakterioskopis tetap negatif dan
klinis tidak ada keaktifan baru maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut
release from control (RFC).
MDT untuk pausibasiler (I, TT, BT) adalah rifampisin 600 mg setiap bulan
dan DDS 100 mg tiap hari, keduanya diberikan 6-9 bulan, berarti RFT setelah 6-9
bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun
selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktifan baru secara
klinis dan bakterioskopis tetap negatif, dinyatakna RFC
Prinsip dalam penatalaksanaan reaksi kusta adalah mengontrol neuritis akut
dalam rangka pencegahan anastesi, paralisis dan kontraktur, serta menghentikan
kerusakan pada mata dan mencegah kebutaan.9Prinsip pengobatan reaksi kusta : 1).
Istirahat / imobilisasi 2). Pemberian analgesik / sedatif 3). Pemberian obat anti reaksi
pada reaksi berat 4). MDT diteruskan dengan dosis tidak berubah.
Penatalaksanaan reaksi kusta berbeda tergantung manifestasi dan berat
ringannya penyakit.
1. Reaksi ringan
Pada reaksi ENL ringan dapat diberikan analgesik / antipiretik
seperti Aspirin atau Asetaminofen, berobat jalan dan istirahat di rumah,
reaksi kusta ringan yang tidak membaik setelah pengobatan 6 minggu
harus diobati sebagai reaksi kusta berat.
2. Reaksi berat
Berikut adalah pedoman WHO untuk pengelolaan reaksi eritema
nodosumleprosum (ENL) berat.
19
Prinsip umum:
1. Reaksi ENL berat sering berulang dan kronis serta dapat bervariasi
dalam manifestasinya.
2. Manajemen ENL berat yang terbaik dilakukan oleh dokter di pusat
rujukan.
3. Dosis dan durasi obat anti reaksi yang digunakan dapat disesuaikan
oleh dokter sesuai dengan kebutuhan pasien individu.
4. Pemberian prednisone dengan cara bertahap atau tappering off
selama 12 minggu. Setiap 2 minggu pemberian prednison harus
dilakukan pemeriksaan untuk pencegahan cacat.
Dosis harian
1-2
40 mg
3-4
30 mg
5-6
20 mg
7-8
15 mg
9-10
10 mg
11-12
5 mg
kortikosteroid
atau
dimana
risiko
toksisitas
dengan
20
Dosis harian
1-4
40 mg
5-8
30 mg
9-12
20 mg
13-16
15 mg
17-20
10 mg
21-24
5 mg
Obat lain yang berguna dalam pengobatan reaksi ENL adalah pentoxifylline
saja atau dalam kombinasi denganklofazimin/ prednisolone. Karena alasanefek
samping teratogenik, WHO tidak menganjurkan penggunaanthalidomide untuk
manajemenreaksi ENL pada kusta.nPengobatan reaksi kusta tipe II berulang selain
prednison, perlu ditambahkan clofazimin dengan dosis dewasa sebagai berikut :
Selama 2 bulan 3 X 100 mg / hari , Selama 2 bulan2 X 100 mg / hari Selama 2 bulan1
X 100 mg / hari2.
21
BAB VI
KESIMPULAN
Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum
pengobatan, sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini
dibagi menjadi 2, yaitu : reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau reaksi
ENL dengan manifestasi klinis yang jelas.
Walaupun reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya masih
belum jelas. Beberapa factor pencetus diduga berkaitan dengan angka kejadian reaksi
ini, seperti : setelah pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik / psikis, imunisasi,
kehamilan, persalinan, menstruasi, infeksi, trauma, dll.
Reaksi ENL terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline
lepromatosa (BL). Reaksi ini ditandai dengan adanya nodus eritematosa yang nyeri,
terutama di ekstremitas, dan beberapa gejala prodormal dan gejala sistemik.
Penatalaksanaan dari reaksi ini ditujukan untuk mengatasi neuritis, mencegah
paralisis dan kontraktur, mengatasi gangguan mata, dan disarankan untuk istirahat
atau imobilisasi. Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dan cepat, dapat
mengurangi kecacatan permanen yang dapat terjadi pada penderita kusta.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosasih, A, Wisnu,M, Sjamsoe,E, dkk. Kusta. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin FKUI, edisi kelima. 2007. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hlm.73-88.
2. Prawoto.Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi (Studi
di
wilayah
kerja
Puskesmas
Kabupaten
Brebes).
Available
at:
Online
Journal
[Online].
2001.
Available
at:
url:http://dermatology.cdlib.org/121/case_presentations/leprosy2/chauhan.html.Access on:March 8
2013.
5. Freedbeg IM, Eizen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. 6th ed. 2003, New York: McGraw Hill. Hlm. 1962-1971.
6 . Wor l d H e a l t h O rga n i z a t i o n . WH O E x p e r t C o m mi t t e e o n
L e p r o s y S i x R e p o r t . W o r l d Health Organization, Geneva. 1988
7 . Sridharan R, Lorenzo NZ. Neuropathy of leprosy. 2007. Available
at
http://emedicine.medscape.com/article/1171421-overview
8 . L o c k w o o d D N J , B r y c e s o n AD M . L e p r o s y. I n : C h a m p i o n
R H , B u r t o n J L , B u r n s D A , Breathnach SM, editor. Rook. Wilkinson/Ebling
Textbook of Dermatology. 7th ed. London: Blackwel science; 1998.p.29
9. Menaldi,S. repository reaksi kusta.
Dept.
I.K.
23
24