Oleh :
Siti Massita binti Misbari (11-2011-162)
Wan Noor Asmarina binti Wan Mahmood (11-2011-153)
Fatin Aina binti Mohamad Asri (11-2011-156)
Nurul Aini binti Abdul Rahman (11-2011-159)
DAFTAR ISI
0
Diagnosis
Epidemiologi ..
Etiologi
Patogenesis .
Gejala klinis
Diagnosis Kerja ..
Diagnosis Banding .
Penatalaksanaan ..
Komplikasi ..
Pencegahan ..
Prognosis ..
5
11
11
12
14
19
22
24
32
36
47
49
LAMPIRAN
51
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
28
38
39
41
Gambar 6. Memegang ibu jari dengan tangan lain dan gerakkan sendi supaya tidak kaku.. 41
Gambar 7. Mengikat jari dengan 2-3 karet gelang, lalu memisahkan dan merapatkan jari
berulang kali ..
41
Gambar 8. Menyangkut pada bagian depan kaki itu dan tarik ke arah tubuh dengan kain panjang
atau sarung..
42
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Proses terjadinya kecacatan 33
BAB I
PENDAHULUAN
Kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh M. leprae yang pertama kali
menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan
bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan beberapa negara di dunia. Penyakit
kusta masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga maupun petugas kesehatan sendiri. Hal ini
disebabkan karena masih kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru terhadap penyakit
kusta dan kecacatan yang ditimbulkannya.1
Pada tahun 2009, tercatat 17.260 kasus baru kusta di Indonesia (rate: 7,49/100.000) dan
jumlah kasus terdaftar sebanyak 21.026 orang dengan angka prevalensi: 0,91 per 10.000
penduduk. Sedangkan tahun 2010, jumlah kasus baru tercatat 10.706 (Angka Penemuan kasus
baru/CDR: 4.6/100.000) dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 20.329 orang dengan prevalensi:
0.86 per 10.000 penduduk.2 Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta yang merupakan
episode akut hipersensitifitas terhadap M. Leprae yang menyebabkan gangguan dalam
keseimbangan sistem imunologi.1 Istilah reaksi digunakan untuk mendeskripsi adanya simptom
dan tanda lesi inflamasi akut pada pasien lepra. Reaksi merupakan penyebab pasien datang
untuk berobat untuk pertama kali.3
Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi kusta tipe I atau reaksi reversal dan reaksi
kusta tipe II atau erythema nodosum leprosum (ENL). Reaksi tipe I (type I reaction/T1R) sering
berlaku pada pasien tipe borderline dan dianggap sebagai respons hipersensitivitas tipe IV
manakala reaksi tipe II merupakan respons hipersensitivitas tipe III.
disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat, ditandai adanya lesi kulit yang
memerah, bengkak, nyeri, panas, neuritis, gangguan fungsi saraf dan kadang disertai demam.
Sedangkan reaksi kusta tipe II merupakan reaksi humoral yang ditandai dengan timbulnya nodul
kemerahan, neuritis, gangguan saraf tepi, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh
lainnya.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DIAGNOSIS
A. ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
4
Deteksi sini T1R sangan penting untuk mencegah disabilitas permanen. Anamnesa dan
pemeriksaan yang teliti sangan penting untuk menegakkan diagnosa dengan cepat. Pada
pasien dengan T1R, harus dicari atau ditanyakan tanda-tanda klinis seperti
Tanda inflamasi pada lesi kulit yang ada (bengkak, kemerahan atau nyeri)
Nyeri dan bengkak pada saraf perifer
Tanda-tanda kerusakan saraf (gangguan sensasi atau kelemahan otot)
Gejala pada mata (lemas untuk menutup mata , mata merah akibat keratitis
terbuka)
Tangan dan kaki bengkak
Lesi kulit yang baru. Timbulnya lesi kulit yang baru pada pasien yang dalam
pengobatan MDT atau baru selesai pengobatan MDT harus dianggap sebagai
tanda reaksi daripada relaps.4
Pertanyaan yang bisa ditanyakan untuk menegakkan diagnosa T1R adalah seperti :
menjadi kelainan permanen. NFI bisa timbul tapa gejala yang lain dan sembuh sendiri
tanpa diketahui oleh pasien silent neuropathy.
Deteksi NFI dilakukan secara klinis.
digunakan tes monofilamen Semmes-Weinsten (atau pena ballpoint). Tes otot volunter
(Voluntary muscle testing) digunakan untuk mengetahui fungsi saraf motorik.5
a. Tes gangguan sensorik
1. Letakkan tangan di atas meja dengan telapak tangan menghadap ke atas.
2. Menjelaskan kepada pasien tentang pemeriksaan yang akan dilakukan.
3. Menyuruh pasien menutup mata.
4. Dengan menggunakan ballpoint pen atau tusuk gigi, sentuh di 4 tempat yang
ditunjukkan pada telapak tangan. Tekan dengan lembut, hanya cukup untuk
melakukan tekanan pada kulit. Jangan tekan terlalu kuat.
5. Menyuruh pasien menunjukkan temapt yang ditekan menggunakan jari
telunjuk (index finger) tangan sebelahnya.
6. Kedua-dua belah tangan diuji.
7. Ulang proses yang sama pada telapak kaki.
8. Hasil dari pemeriksaan dicatat.
Sekiranya pasien tidak dapat merasa ballpoint pen atau tusuk gigi, kita bisa mengatakan
bahwa pasien mengalami gangguan sensorik.4
Saraf facialis : menutup mata secara normal dan pasif (m. orbikularis okuli)
Saraf median : abduksi ibu jari (m. Abduktor pollicis brevis), abduksi jari tengah
Saraf ulnar : abduksi jari ke V (m. Abduktor digiti minimi)
Saraf radial : ekstensi pergelangan tangan (otot ekstensor)
Saraf popliteal lateral : dorsofleksi kaki (m.tibialis anterior, peroneus longus dan
brevis).4
Penelitian yang dilakukan oleh van Brakel et al., menggunakan studi konduksi
saraf dan tes sensorik kuantitatif, menunjukkan bahwa individu yang mengalami neuritis,
NFI atau episode reaksi baik sendiri maupun kombinasi menunjukkan adanya bukti
mengalami neuropati subklinis sampai 12 minggu sebelum perubahan dapat dideteksi
secara klinis.
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
dan membuat pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau
usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan perwarnaan terhadap basil
tahan asam, antar lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seseorang
penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengadung bakteri M. Leprae. Pertamatama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil, setelah
yerlebih dulu menetukan jumlah tempat yang akan diambil.
pemeriksaan rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian
bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling
7
infiltratif. Pemilihan kedua cuping telingan tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya
lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharap
mengandung basil paling banyak.6
M.leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), butiran (granular).
Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular merupakan bentuk mati.
Penting untuk membedakan antara bentuk solid dan non sloid karena bentuk solid lebih
berbahaya karena dapat berkembang biak dan dapat menularkan ke orang lain. Namun,
dalam praktek, sukar untuk membedakan solid dan non sloid karena dipengaruhi oleh
banyak macam faktor. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non sloid pada
sebuah sediaan dinyakatan dalam bentuk indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai
6+ menurut RIDLEY.6
2. Pemeriksaan histopatologi
Adanya kuman M.lepre masuk, akibatnya akan bergantung pada sistem imunitas
seluler (SIS) orang itu.
TT
Reaksi
lepromin
Stabilitas
imunologik
Reaksi
borderline
E.N.L
Basil dalam
hidung
Basil dalam
granuloma
Sel epiteloid
Sel datia
Langhans
Globi
Tipe
BB
BB
-
TT
3+
Ti
2+
BT
BT
1+
BL
BL
-
LL
Li
-
LL
-
++
++
++
+
++
+
++
0 - 1+
1+ - 3+
3 4+
4 5+
5 6+
5 6+
+
+++
+
++
+
+
+
+
+
9
Sel Virchow
Limfosit
+++
+++
++
+
+
++
+/
+++
Infiltasi zona
sub
epidermal
Kerusakan
saraf
+/-
++
+++
++
3. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi M. Leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi
antiprotein 16 kD serta 35kD.
antibodi
anti-lipoarabinomanan
yang
juga
dihasilakn
oleh
kuman
M.tuberkulosis.6
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosa lepra yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak didapatkan lesi kulit, misalnya pada
nonkontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik lepra ialah:
a. uji MLPA (Mycobacterium leprae Particle Aglutination)
b. uji ELISA (Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay)
c. ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).6
2. EPIDEMIOLOGI
Adanya variasi epidemiologi bergantung teknik metodologi yang berbeda dan perubahan
definisi kategori paucibacillar dan multibacillar. 30.1% penderita borderline leprosy di Nepal
mengalami TIR. Setengah daripadanya menunjukkan adanya nerve function impairment(NFI)
atau kerusakan saraf. Hasil ini didapatkan dari studi retrospektif oleh leprosy referral centre dan
studi yang sama dilakukan di India yang melaporkan angka TIR sebanyak 8.9% pada studi
kohort Hyderabad yang mewakili 1 tahun (1987) dan diikuti selma kurang lebih 6 tahun, 10.7%
di Orissa( 1992 dan 2002) dan 24.1% di Chadigarh lebih dari 15 tahun. Angka kumulatif di
Hyderabad adalah 24% paucibacillar( tuberkuloid dan borderline tuberkuloid) penderita dari
ahun 1982 1987.7
10
35.7% penderita MB pada studi kohort di Melawi mengalami TIR dan gangguan fungsi saraf.
19.9% penderita dalam studi prospektif di Thailand mengalami TIR, dimana setiap penderita
difollow up minimum 3 tahun setelah didagnosa kusta. Studi prospektif di Rumah Sakit Vietnam
menunjukkan prevalensi TIR adalah 29.1% dari 237 penderita. Studi prospektif di Bangladesh
menemukan insidens rate TIR sebanyak 17% pada tipe MB setelah di follow up selama 5 tahun,
dan menyarankan bahwa kerusakan saraf dan TIR berlaku 1.7 kali ganda pada laki-laki
berbanding perempuan. Penemuan ini memerlukan penelitian lebih lanjut. 7
3. ETIOLOGI
Mycobacterium leprae merupakan penyebab dari kusta, tidak dapat dikultur, gram positif,
obligat, intraselluler dan basil tahan asam. Genomenya lebih pendek dari Mycobacterium
tuberculosa. M.leprae mengkode sebanyak 1600 gene, dan berkongsi 1439 gene yang sama. M
leprae sama seperti Triponema pallidum yang mana tidak bersifat toksik, gejala klinis yang
timbul seperti penyakit kusta ini biasanya adalah respons host terhadap bakteri M.leprae atau
antara lain, akumulasi dengan jumlah bakteri yang tinggi yang kelihatan seperti infiltrasi.8
4. PATOGENESIS
Reaksi kusta:
Definisi reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang
merupakan suatu reaksi kekebalan (seluler respons) atau reaksi antigen antibodi( humoral
respons) dengan akibat merugikan penderita terutama pada saraf tepi yang bisa menyebabkan
gangguan fungsi (cacat ) yang ditandai dengan peradangan akut baik dikulit atau di saraf tepi.
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan,selama pengobatan dan sesudah pengobatan. Hal
yang mempermudah( pencetus) terjadinya reaksi kusta misalnya:9
Reaksi Kusta
merupakan faktor resiko terbesar untuk terjadinya TIR, tetapi sebagian kecil penderita dengan
tipe polar juga ada yang mengalami TIR. Lesi kulit menjadi eritema dan atau udem dan mungkin
ulserasi. Udem di tangan, kaki dan muka juga merupakan tanda reaksi namun untuk gejala
sistemik jarang berlaku.7
Yang memegang peranan peranan utama dalam hal ini adalah sistim imunitas
selluler(SIS) , yaitu terjadi peningkatan peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor
pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan adanya hubungan dengan reaksi hipersensitifitas
tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil Micobacterium leprae
berada,yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis
akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan
pengobatan segera memadai.6
TIR merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Gejala dermatopathological untuk
serangan TIR akut adalah udem, meningkatnya jumlah limfosit dalam lapisan dermis dan
hilangnya organisasi granuloma yang normal. Lama kelamaan, sel giant langerhans bertambah
12
jumlahnya. Studi yang terbaru menyatakan bahwa empat spesimen histopatologi menunjukkan
adanya udem dan giant sel sangat sensitif dalam indikator TIR.10
Antigen Micobakterium leprae telah ditemukan pada nerves dan kulit penderita TIR,
berlokasi di sel Schwann dan makrofag. Sel Schwann mengekspresikan toll-like receptor(TLR).
Infeksi Micobacterium leprae dapat menimbulkan ekspresi MHC II pada permukaan sel dan
dapat meningkatkan jumlah presentasi antigen yang dapat memicu limfosit CD4 membunuh sel
yang dimediasi oleh sitokin seperti TNF.7
Jumlah protein TNF yang tinggi dideteksi menggunakan teknik immunohistochemical
pada kulit dan nerves semasa TIR. TIR muncul dengan adanya mediasi melalui sel tipe Th 1 dan
lesi yang mengandung reaksi yang mengekspresikan pro-inflamasi seperti IFN-, IL-12 dan
oksigen sebagai radikal bebas yang memicu sintesis nitric oxide.
Sitokin yang dihasilkan semasa inflamasi TIR akan memberi kesan lokal yaitu dengan
adanya konversi dari kortikosteroid endogen( shuttle kortisol-kortisone) pada lesi kulit penderita
TIR. Gen akan mengekspresikan enzim tipe 2 11b-hydroxysteroid dehydrogenase yang mana
mengkonversi kortisol yang aktif manjadi cortisone yang tidak aktif berkurang pada lesi kulit
penderita TIR berbanding dengan kontrol. Ini mendukung hipotesis bahwa tingkat steroid aktif
endogen lokal meningkat selama T1R dalam menanggapi peradangan ditandai yang telah
memicunya tetapi tidak mencukupi untuk menekannya.7
5. GEJALA KLINIS
i.
luas.6
Timbul lesi baru makulopapular satelit yang kecil dan multiple.12
Lesi menjadi inflamasi akut disertai edema dan nyeri, bisa menjadi ulseratif.
Kebayakan edema di bagian muka, tangan dan kaki.
Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.6
Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa nyeri pada saraf (nyeri tekan atau spontan) dan
Reaksi tipe 1
Dapat terjadi pada kusta tipe PB maupun MB
Biasanya segera seteah pengobatan
Umumnya baik, demam ringan (subfebris) atau
Peradangan di kulit
tanpa demam
Bercak kulit lama menjadi lebih meradang
15
(merah), bengkak, berkilat, hangat. Kadangkadang hanya pada sebagian lesi. Dapat timbul
bercak baru.
Sering terjadi, umumnya berupa nyeri saraf
Saraf
Reaksi Tipe 1
Ringan
Berat
Bercak putih menjadi merah,
Bercak putih menjadi merah,
yang merah jadi lebih merah.
Bercak meninggi
Ulserasi (-)
malaise
Ulserasi (+)
Saraf tepi
Gejala konstitusi
Gangguan pada organ lain
Hipopigmentasi/eritema
meninggi, nodus
Kerusakan saraf
Menyebabkan hilangnya
sessasi/kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang
terkena
Reaksi reversal (reaksi tipe 1) lebih banyak terjadi pada pasien yang berada di spektrum
borderline (Borderline lepramatous, Mid Borderline, Borderline tuberculoid) karena tipe
borderline ini merupakan tipe tidak stabil. 11Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta
spectrum borderline adalah seperti tabel 7:
Borderline
MB
Mid Borderline (BB)
Lepromatosa (BL)
PB
Bordeline
Tuberculoid (BT)
Lesi
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
Makula
Plakat
Makula dibatasi
Plakat
Papul
Punched-out
Sukar dihitung
Dapat dihitung
Hampir simetris
Asimetris
dengan satelit
Halus berkilat
Agak kasar,agak
Masih simetris
Agak jelas
berkilat
Kering bersisik
Infiltrat saja
17
Tidak jelas
Agak jelas
Jelas
Lebih jelas
Jelas
Banyak
Agak banyak
Biasanya negative
Negatif
Negatif
Biasanya negatif
Positif lemah
BTA
Lesi kulit
Sekret hidung
Tes lepromin
6. DIAGNOSA KERJA
Kusta dengan reaksi reversal atau reaksi upgrading (Lepra reaksi tipe 1) adalah reaksi
reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline 12 (Lepramatosa indefinite, Borderline
lepramatous, Mid Borderline, Borderline tuberculoid, Tuberkuloid indefinite) karena tipe
borderline ini merupakan tipe tidak stabil, 11 sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang
memegang peran utama dalam hal ini adalah sistem imunitas selular (SIS), yaitu terjadi
peningkatan mendadak SIS. Pada reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan
disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat. Reaksi reversal
diperkirakan ada hubungannnya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan
terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi
pada pengobatan 6 bulan pertama.6 Dalam arti kata lain, reaksi reversal terjadi akibat respon
terhadap pengobatan.12
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda cardinal
(cardinal sign), yaitu:11
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan
(eritema) yang mati rasa (anestesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi (neuritis perifer)
kronis.
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paralisis) otot
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak.
3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).
18
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama di
atas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat di diagnosis dengan pemeriksaan klinis.
Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua, perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta. Jika
masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai (suspek).
Tanda-tanda tersangka kusta:11
1. Tanda-tanda pada kulit
a. Bercak kulit yang merah atau putih (gambran yang paling sering ditemukan)
b.
c.
d.
e.
f.
Pikirkan kemungkinan penyakit kulit lain (seperti panu, kurap, kudis, psoriasis, vitiligo)
Pengambilan kerokan jaringan kulit
Bila tidak ada petugas terlatih dan tidak tersedia sarana pemeriksaan kerokan jaringan
kulit, tunggu 3-6 bulan dan periksa kembali adanya tanda utama. Jika ditemukan tanda
utama, diagnosis kusta dapat ditegakkan. Bila masih meragukan suspek harus dirujuk.
Perlu diingat bahwa tanda-tanda utama tersebut dapat tetap ditemukan pada pasien yang sudah
sembuh atau release from treatment (RFT). Anamnesis yang teliti perlu dilakukan untuk
menghindari pengobatan ulang yang tidak perlu.
19
Umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi
luas.
Timbul lesi baru makulopapular satelit yang kecil dan multiple.12
Lesi menjadi inflamasi akut disertai edema dan nyeri, bisa menjadi ulseratif.
Kebayakan edema di bagian muka, tangan dan kaki.
Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.6
Ada atau tidaknya gejala neuritis akut.
Kadang-kadang bisa disertai demam.12
Lesi reaksi reversal tanpa nodus berarti reaksi non-nodular.6
7. DIAGNOSA BANDING
i. Relaps11
a. Untuk kusta PB, reaksi reversal seringkali dikelirukan sebagai relaps. Kebanyakan
pasien yang dicatat sebagai relaps sebenarnya adalah reaksi reversal terlambat.Ini
disebabkan karena tidak adanya standard baku (gold standard) sebagai pembanding
oleh karena hasil pemeriksaan BTA-nya sejak awal negatif.
b. Pada pasien MB, reaksi reversal kadang masih juga dikelirukan dengan relaps, tetapi
kemungkinan untuk mengkonfirmasi relaps secara bakteriologi lebih memungkinkan,
melalui kerokan jaringna kulit yang menunjukkan peningkatan indeks bakteri dan
atau indeks morfologi yang positif. Tetapi tidak semua pasien mempunyai data awal
pemeriksaan kerokan jaringan kulit tersebut untuk dapat dibandingkan.
Tabel 8. Diagnosis banding reaksi tipe 1 dengan relaps11
Gejala
Interval/onset
Reaksi tipe 1
Umunya dalam 4 minggu-6 bulan
Relaps
1 tahun atau lebih setelah RFT
RFT
lepromatosa
Borderline : 5 tahun
setelah RFT
MB : 9 tahun
20
Timbulnya gejala
Tipe kusta
Lesi lama
Mendadak, cepat
BT, BB, BL
Beberapa atau seluruh lesi menjadi
Lambat, bertahap
Semua tipe
Eritem dan plak di tepi lesi
Jumlahnya banyak
(-)
Terjadi keterlibatan saraf baru;
gangguan sensoris
Mungkin (+)
Terjadi penurunan BI
negative
Hasil tes tergantung tipe saat
relaps
Respons terhadap
BB dan BT
Bagus.
pemberian steroid
Lesi baru
Ulserasi
Keterlibatan saraf
Gangguan sistemik
BTA
Tes lepromin
Psoriasis
Tinea Circinata
Dermatitis seboroik
banding
21
Bercak
Merah
Efloresensi
meradang, mengandung
berlapis-lapis
vesikel/krusta
Gambar
8. PENATALAKSANAAN
A. MEDIKA MENTOSA
Kemoterapi kusta dimuali tahun 1949 dengan DDS sebagai obat tunggal. DDS
harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB, sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan
seumur hidup. Kekurangan monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya
kuman persisters serta terjadinya pasien defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi
terhadap DDS. Oleh sebab itu, pada tahun 1982 WHO merekomendasiikan pengobatan
kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB.11
Tujuan pengobatan MDT adalah:
1.
2.
3.
4.
5. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada
sebelum pengobatan
Dengan matinya kuman maka sumber penularan dari pasien, terutama tipe MB ke
orang lain terputus. Cacat yang sudah terjadi sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki
dengan MDT.
Bila pasien kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat
menjadi resisten/kebal terhadap MDT, sehingga gejala penyakit menetap bahkan
memburuk. Gejala baru dapat timbul pada kulit dan saraf.
Regimen Pengobatan MDT
Multi drug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat antikusta, salah
satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti
kusta lain bersifat bakteriostatik.11
Berikut ini merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT:
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini:
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe.
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan
oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:11
1. Pasien pausibasiler (PB)
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)
2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg)
1 tablet dapson/DDS 100mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28
23
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.
2. Pasien multibasiler (MB)
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)
2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg)
3 tablet lampren @ 100mg (300mg)
1 tablet dapson/DDS 100mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18
bulan.
3. Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun)
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)
2 kapsul rifampisin @ 150mg dan 300mg
1 tablet dapson/DDS 50mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28
1 tablet dapson/DDS 50mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.
24
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan:
Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
Dapson : 1-2 mg/kgBB
Lampren : 1mg/kgBB
Pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta digunakan seperti tabel 10 dan 11.
Tabel 10. Pedoman dosis MDT Tipe PB11
25
Jenis Obat
Rifampisin
<5 tahun
5-9 tahun
Berdasarkan 300mg/bula
berat badan
DDS
10.15 ahun
450mg/bulan
n
25mg/bulan
25mg/hari
50mg/bulan
50mg/hari
>15 tahun
600mg/bula
Keterangan
Minum di
depan
100mg/bula
petugas
Minum di
depan
100mg/hari
petugas
Minum di
rumah
<5 tahun
Berdasarkan
5-9 tahun
300mg/bula
10-15 tahun
450mg/bula
>15 tahun
600mg/bula
Keterangan
Minum di
berat badan
depan
25mg/bulan
50mg/bulan
100mg/bula
petugas
Minum di
depan
50mg/bulan
100mg/bula
petugas
Minum di
100mg/bula
150mg/bula
n
300mg/bula
rumah
Minum di
depan
Dapson
25mg/bulan
Lampren
50mg 2x
50mg setiap
50 mg per
petugas
Minum di
seminggu
2 hari
hari
rumah
a)
b)
c)
d)
27
4) Untuk pasien MB yang alergi terhadap dapson, pengobatan hanya dengan 2 macam
obat saja, yaitu rifampisin dan lampren sesuai dosis dan jangka waktu pengobatan
MB.
Efek Samping dan Penanganannya
Tabel 12. Efek samping obat-obat MDT dan penanganannya11
Masalah
Ringan
Air seni berwarna merah
Nama Obat
Penanganan
Rifampisin
Reassurance (menenangkan
penderita dengan penjelasan
Klofazimin
menjadi coklat
Masalah gastrointestinal
Anemia
MDT)
Dapson
Serius
Ruam kulit yang gatal
Alergi urtikaria
Ikterus (kuning)
Shock, purpura, gagal ginjal
Dapson
Dapson atau Rifampisin
Rifampisin
Rifampisin
3)
4)
5)
6)
29
Sesuai patogenesisnya, susunan saraf yang terkena akibat penyakit ini adalah susunan
saraf perifer, terutama beberapa saraf seperti saraf fasialis, radialis, ulnaris, medianus,
poplitea lateralis (peroneus communis) dan tibialis posterior. Kerusakan fungsi sensoris,
motoris, maupun otonom dari saraf-saraf tersebut secara spesifik memperlihatkan gambaran
kecacatan yang khas.
Berikut adalah tabel yang memperlihatkan kecacatan karena terganggunya saraf-saraf
tersebut.
Tabel 13. Kelainan yang timbul akibat gangguan fungsi saraf11
30
Saraf
Facialis
Motorik
Kelopak mata tidak
Ulnaris
menutup
Jari
manis
kelingking
Medianus
Fungsi
Sensorik
dan Mati
lemah/ tangan
rasa
Otonom
telapak
bagian
jari
akibat
lumpuh/ kiting
manis dan kelingking
kerusakan kelenjar
Ibu jari, telunjuk dan Mati rasa telapak
keringat, minyak dan
jari tengah lemah, tangan bagian ibu
aliran darah
lumpuh/ kiting
jari, jari telunjuk dan
jari tengah
Radialis
Peroneus
Tibialis posterior
Tangan lunglai
Kaki semper
Jari kaki kiting
Mati
rasa
telapak
kaki
2. Klasifikasi cacat
Kecacatan merupakan istilah yang luas yang maknanya mencakup setiap kerusakan,
pembatasan aktivitas yang mengenai seseorang. Tiap pasien baru yang ditemukan harus
dicatat tingkat cacatnya. Tiap organ (mata, tangan dan kaki) diberi tingkat cacat sendiri. 11
Tabel 14. Klasifikasi cacat pada tangan dan kaki6
Tingkat
0
Kriteria cacat
Tidak ada gangguan sensisbilitas, tidak ada kerusakan atau
terlihat
Terdapat kerusakan atau deformitas
Tabel 15. Klasifikasi cacat mata6
Tingkat
0
Kriteria cacat
Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan
31
penglihatan
Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan yang berat
pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari
pada jarak 6 meter)
Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat
Catatan :
Kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi, absorbsi, mutilasi,
kontraktur; sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea, iridosiklitis dan lagoftalmus. 6
10. PENCEGAHAN
1. Pencegahan Penyakit Kusta
Menghindari kontak droplet dari hidung dan sekret lain dari pasien yang mempunyai
infeksi M. leprae yang tidak mendapat pengobatan merupakan salah satu cara yang
direkomendasikan untuk mencegah penyakit ini. Pengobatan dengan antibiotik yang
bersesuaian akan menghentikan penyebaran penyakit ini. Mereka yang tinggal dengan
individu yang menghidap kusta yang tidak diobati mempunyai risiko 8 kali lebih besar untuk
terkena penyakit kusta karena mereka lebih dekat terhadap droplet yang terinfeksi. 13
2. Pencegahan Cacat Akibat Penyakit Kusta
Komponen pencegahan cacat adalah seperti berikut : 11
i.
Penemuan dini pasien sebelum cacat
ii.
Pengobatan pasien dengan MDT-WHO sampai RFT
iii.
Deteksi dini adanya reaksi ksta dengan pemeriksaan fungsi saraf secara rutin
iv.
Penanganan reaksi
v.
Penyuluhan
vi.
Perawatan diri
vii.
Penggunaan alat bantu
viii. Rehabilitasi medis (antara lain operasi rekonstrusi)
32
Upaya pencegahan-pencegahan cacat sendiri oleh pasien di rumah. Petugas kusta harus
memperhatikan pasien dengan cacat menetap dan menentukan tindakan perawatan diri
apa yang perlu dilakukan pasien itu dengan mengupayakan penggunaan material yang
mudah diperoleh disekitar lingkungan pasien.
Prinsip pencegahan cacat dan bertambah beratnya cacat pada dasarnya adalah 3M yaitu :
memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur
melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik
merawat diri
Berbagai tanda cacat pada mata, tangan dan kaki, dan cara pencehannya. 11
1. Mata
a. Untuk mata yang tidak dapat ditutup rapat (lagoftalmos)
Goresan kain baju, sarung bantal, tangan, daun, debu, rambut, asap dan lain-lain
dapat merusak mata. Akibatnya, mata akan merah, meradang dan terjadi infeksi
yang bisa mengkibatkan kebutaan. Untuk mencegah kerusakan mata dengan :
Memeriksa
Sering bercermin untuk melihat apakah ada kemerahan atau benda yang
masuk ke mata
Melindungi
Melindungi
mata
dari
debu
dan
angin
yang
dapat
melukai
2. Tangan
a. Untuk tangan yang mati rasa
Tangan yang mati rasa dapat terluka oleh :
Benda panas
Benda tajam
Gesekan dari alat kerja
Pegangan yang terlalu kuat pada alat kerja
Untuk mencegah luka pada tangan yang mati rasa dengan cara :
Memeriksa
Seringlah berhenti dan periksa tangan dengan teliti apakah ada luka atau
lecet yang sekecil apapun.
Melindungi
Lindungi tangan dari benda yang panas, kasar atau pun tajam, dengan
memakai kaos tangan tebal atau alas kain dan mencegah luka dengan
mambagi tugas supaya orang lain mengerjakan bagian berbahaya bagi
tangan yang mati rasa.
Merawat luka
Jika ada luka, memar atau lecet sekecil apapun, rawatlah dan
isitrehatkan bagian tangan itu sampai sembuh.
Gambar 3. Perlindungan pada tangan yang mati rasa
34
35
Tangan secara rutin untuk luka yang mungkin terjadi akibat penggunaan
tangan dengan jari yang bengkok.
Melindungi
Menggunakan alat bantu untuk akitivitas sehari-hari yang dimodifikasi
unutk digunakan oleh jari bengkok
Merawat
Sesering mungkin setiap hari memakai tangan lain untuk meluruskan
sendi-sendinya dan mencegah supaya jangan sampai terjadi kekakuan
lebih berat dengan cara :
Taruh tangan diatas paha seperti dalam gambar, luruskan dan
bengkokkan jari berulang kali
Gambar 5. Meluruskan dan bengkokkan jari berulang kali di atas
paha
Pegang ibu jari dengan tangan lain dan gerakkan sendi supaya
tidak kaku
Gambar 6. Memegang ibu jari dengan tangan lain dan gerakkan
sendi supaya tidak kaku
Atau jika ada kelemahan pada jari, kuatkan dengan cara taruh
tangan di meja atau paha, pisahkan dan rapatkan jari berulang
kali. Ikat jari dengan 2-3 karet gelang, lalu pisahkan dan rapatkan
jari berulang kali (jari ke 2 s/d 5)
36
3. Kaki
a. Untuk kaki yang semper
Kalau kaki semper dibiarkan tergantung, otot pergelangan kaki bagian belakang
(archilles) akan memendek sehingga kaki itu tidak bisa diangkat. Jari-jari kaki
akan terseret dan luka. Dan oleh karena itu miring waktu melangkah akan
mudah terjadi ulkus dibelakang jari kaki ke 4 dan 5.
Untuk mencegahnya dengan cara :
Memeriksa
Apakah ada luka atau tidak?
Melindungi
Unutk mencegah agar kaki yang semper (lumpuh) tidak bertambah cacat
maka dianjurkan
Selalu memakai sepatu supaya jari-jari tidak terseret dan luka
Angkat lutut lebih tinggi waktu berjalan
Pakai tali karet antara lutut dan sepatu guna mengangkat kaki
bagian depan waktu berjalan
Merawat
Duduk dengan kaki lurus ke depan. Pakailah kain panjang atau sarung
yang disangkutkan pada bagian depan kaki itu dan tarik ke arah tubuh.
Gambar 8. Menyangkut pada bagian depan kaki itu
dan tarik ke arah tubuh dengan kain panjang atau sarung
37
Jika kelemahan saja yang terjadi, kerjakan latihan seperti gambar berikut
Ikatlah karet (dari ban dalam) pada tiang atau kaki meja dan tarik tali
karet itu dengan punggung kaki, lalu tahan beberapa saat dan kemudian
ulangi beberapa kali
Gambar 9. Latihan menarik tali karet dengan punggung kaki
Gesekan dari sepatu/sandal yang terlalu besar ataupun kecil, batu dalam
Prognosis tergantung pada stadium penyakit. Kusta Borderline tuberkuloid (BT) biasanya
melibatkan kerusakan saraf yang cepat dan parah. Reaksi reversal jarang terjadi dengan penyakit
lepromatosa, justeru kusta lepromatosa adalah keadaan kronis dengan komplikasi jangka
panjang. Bahkan dengan MDT, pasien mengalami kerusakan saraf jangka panjang dan cacat.
Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap terapi, kepatuhan pasien, dan inisiasi awal
pengobatan. Relapse (penyakit baru setelah MDT memadai selesai) terjadi pada 0,01-0,14%
pasien per tahun dalam 10 tahun pertama. Resistensi dapson dan / atau rifampisin harus
dipertimbangkan. 14
Sekitar 5-10% pasien memiliki tipe reaksi reversal I pada tahun pertama setelah
menyelesaikan MDT. Karena mengurangi imunitas seluler, kehamilan dapat memicu
kekambuhan atau reaksi penyakit, terutama jenis reaksi II pada wanita hamil muda dari 40 tahun.
Dapson umumnya dianggap aman pada kehamilan, keselamatan klofazimin dan rifampisin yang
kontroversial, dan thalidomide (digunakan dalam reaksi tipe II) merupakan kontraindikasi
selama kehamilan. Tipe I dan reaksi tipe II dapat memicu kekambuhan penyakit. 14 Kusta pada
reaksi tipe 1 bertahan selama 2 hingga 4 bulan pada individu dengan BT dan sehingga 9 bulan
pada individu dengan BL.12
41
BAB III
PENUTUP
Penyakit kusta atau juga dikenali sebagai penyakit Hansen, merupakan penyakit
berjangkit yang disebabkan oleh jangkitan Mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang
susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian atas,
sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis.
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan beberapa negara di dunia. Pada referat ini telah
dibahas mengenai penyakit kusta dengan reaksi reversal di mana gejala klinis reaksi reversal
ialah umumnya sebagian atau seluruh lesiyang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi
baru dalam waktu yang relative singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritem, lesi eritem
menjadi makin eritomatosa, lesi macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate menjadi makin infiltrate
dan lesi lama menjadi lebih luas. Dengan diagnosa yang dini dan pengobatan yang tepat,
komplikasi-komplikasi dari penyakit kusta dapat dicegah dan dengan perawatan yang benar akan
dapat membantu mencegah komplikasi atau kecacatan yang sudah ada daripada menjadi lebih
parah. Justeru, penyakit kusta ini tidak boleh dipandang ringan karena merupakan salah satu
penyakit menular yang menimbul masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksudkan
bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan
dan ketahanan nasional.
42
DAFTAR PUSTAKA :
1. Prawoto, Kabulrachman, Udiyono A, Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya
reaksi kusta, http://eprints.undip.ac.id/6325/1/Prawoto.pdf
2. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1421-prevalensi-kusta-berhasilditurunkan-81-persen-.html
3. Sharma N, Koranne R.V, Mendiratta V, Sharma R.C, A study of leprosy reaction in a
tertiary Hospital in delhi, The Journal of Dermatology 2004;31:898-903
4. Kahawita I.P, Sirimanna G.M, Satgurunathan K, Athukorala D.N, Sri Lanka College of
Dermatologist : Guidelines on the management of leprosy reaction: 3-5
5. Walker S.L, Lockwood D.N.J, leprosy type 1 (reversal) reactions and their management,
diunduh dari http://www.leprahealthinaction.org/lr/Dec08/Lep372-386.pdf
6. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Penerbit FKUI Jakarta 2007; 73-88.
7. Stephen L.W, Diana N.J.L. Leprosy Type 1(reversal) reactions and their management.
Department of Infection and Tropical Disease, London School of Hygiene and Tropical
Medicine, Keppel St, London WC1E 7HT, UK. 2 December 2008.
8. Thomas H.R, Robert L.M, Chapter 186: Leptosy in Klaus W, Lowell A.G, Stephen I.K,
Barbara A.G, Amy S.P, David J.L. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th
Edition McGraw Hill comp. USA, 2008, page: 1786-96.
9. Modul pelatihan program P2 kusta.Sub Direktorat Kusta dan Frambusia , diperbanyak
oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
10. Indira P.K, Stephen I.W, Diana N.J.L. leprosy type 1 and erythmma nodosum leprosum.
Department of Infection and Tropical Disease, London School of Hygiene and Tropical
Medicine, Keppel St, London WC1E 7HT, UK. 28 Dicember 2007.
11. Mr. M.O. Regan, Dr. J. Keja. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta.
Kementerian Kesehatan RI. Direktor Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan 2012; 67-71, 99-104, 112-21, 123-25, 127-37.
12. Klaus Wolff, A.J. Richard, S. Dick. Lepra. Fitzpatricks Atlas Berwarna dan Sinopsis
Dermatologi Klinikal. Edisi kelima. Penerbit McGraw-Hill Medical.2005; 655-661.
13. MedicineNet.com. Leprosy. How is Leprosy Prevented? Diunduh dari
http://www.medicinenet.com/leprosy/page7.htm#what_are_the_complications_of_lepros
y. 24 Mei 2013.
43
44
LAMPIRAN
45
46