Anda di halaman 1dari 13

A.

Definisi dan Konsep al-Ijarah


Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu
sendiri.
Pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada
objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang, pada ijarah objek transaksinya
adalah barang maupun jasa.
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat)
atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Artinya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara maruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Artinya:
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (26)
Berkatalah dia (Syuaib): Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah
seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan
jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak
hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
baik. (27)
Hadis

Riwayat

Ibn

Majah

dari

Ibnu

Umar,

bahwa

Nabi

bersabda:

.
Artinya
Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.
Hadis riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Said al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
.

Artinya:
Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukan-lah upahnya.
Rukun, Jenis dan Ketentuan Ijarah
Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah rukun ijarah adalah ijab dan qabul, dengan menggunakan kalimat: alIjarah, al-Istijar, al-Ikra dan al-Iktira. Akan tetapi menurut jumhur ulama rukun Ijarah ada
empat:
1. Orang yang berakad (Muajir atau penyewa dan mustajir atau yang menyewakan barang).
2. Sighat (ijab dan qabul)
3. Ujrah (ongkos sewa)
4. Manfaah (Manfaat)
Jenis Ijarah Menurut Objeknya
Berdasarkan obyeknya, Ijarah terdiri dari:
1. Ijarah dimana obyeknya manfaat dari barang, seperti sewa mobil, sewa rumah, dsb.
2. Ijarah dimana obyeknya adalah manfaat dari tenaga seorang seperti
jasa konsultan, pengacara, buruh, kru, jasa guru/dosen,dll. Pendapatan yang diterima dari
transaksi Ijarah disebut ujrah. Al-Ujrah ialah imbalan yang diperjanjikan dan dibayar oleh
pengguna manfaat sebagai imbalan atas manfaat yang diterimanya.Adapun syarat manfaat sewa
baik sewa barang maupun orang adalah:
1. Manfaat dapat diketahui secara rinci
2. Manfaat dapat disediakan secara nyata
3. Manfaat yang disewa dibolehkan syariah
4. Manfaat yang disewa harus dapat dinilai harganya
5. Manfaat yang disewa bukan pekerjaan wajib/fardhu yang memang wajib dilakukan
penyewa
6. Barang disewa tidak cacat yang mencegah pemanfaatannya
Rukun dan Ketentuan Ijarah pada Lembaga Keuangan Syariah
Dalam Fatwa DSN No. 6 Tahun 2000 tentang Pembiayaan Ijarah telah dijelaskan secara rinci
tentang Rukun dan Syarat Ijarah, Ketentuan Obyek Ijarah, dan Kewajiban LKS dan Nasabah
dalam Pembiayaan Ijarah.Adapun Rukun dan Syarat Ijarah menurut Fatwa DSN No. 6 Tahun
2000 tersebut adalah:
1. Pernyataan ijab dan qabul.
2. Pihak-pihak yang berakad (berkontrak): terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik aset, LKS),
dan penyewa (lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset, nasabah).
3. Obyek kontrak: pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset.
4. Manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah obyek kontrak yang harus dijamin, karena
ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri.
5. Sighat Ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara
verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset
(LKS) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).

Sedangkan ketentuan Obyek Ijarah menurut Fatwa DSN No. 6 Tahun 2000 antara lain:
1. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3. Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah
(ketidaktahuan)
yang
akan
mengakibatkan
sengketa.
6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga
dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7. Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran
manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam
Ijarah.
8. Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek
kontrak.
9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu,
tempat dan jarak.
Berkaitan dengan kelenturan dalam menentukan ujrah dapat dijelaskan lebih jauh sebagai
berikut:
1. Ujrah dapat ditentukan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak. Misalnya, seorang
mustakjir berkata kepada Muajjir, Jika seseorang menyewa mobil saya bulan ini
sewanya Rp 2.500,000 perbulan, jika bulan depan (masa lebaran), sewanya Rp
3.000.000,-.
2. Contoh lain, Jika seseorang menggunakan gedung ini untuk bank syariah, sewanya Rp
25 juta setahun, jika anda gunakan untuk Baitul Mal wat Tamwil sewanya Rp 20 juta
setahun.
Sedangkan syarat Ujrah (fee, bayaran sewa) sebagai berikut:
1. Harus termasuk dari harta yang halal
2. Harus diketahui jenis, macam dan satuannya
3. Tidak boleh dari jenis yang sama dengan manfaat yang akan disewa untuk menghindari
kemiripan riba fadhl.
4. Kebanyakan ulama membolehkan fee ijarah bukan dengan uang tetapi dalam bantuk jasa
(manfaat lain). Misalnya membayar sewa mobil 1 minggu dengan mengajar anaknya matematika
selama 1 bulan 8 Kali pertemuan.
5. Pemilik asset / manfaat dibolehkan meminta pembayaran di muka, baik sebagian maupun
seluruhnya. Hal ini dimaksudkan sebagai tanda keseriusan penyewa dalam janjinya untuk
menggunakan asset / manfaat tersebut.
B. Penanggungan Risiko Dalam Akad Ijarah
Dalam akad Ijarah juga berlaku hak khiyar, dimana penyewa berhak menolak ijarah karena cacat
barang (khiyar aib) dan Muajjir bertangung jawab untuk menjamin (mengganti) barang/orang
ijarah yang cacat. Hal ini dapat dicontohkan: (a) jika ternyata mobil sewaan atau LCD sewaan
rusak, maka muajjir harus menukar dengan barang lain yang bagus; dan (b) Jika ternyata

Yayasan X penyalur pembantu mengirim pembantu yang ternyata tidak bisa mengerjakan tugastugas yang dijanjikan, maka muajjir harus menggantinya dengan pembantu yang lain.
Konsekuensi
Hukum
dan
Pemeliharaan
Asset
dalam
Akad
Ijarah
Terdapat beberapa konsekuensi hukum dan ketentuan tentang tanggungjawab pemeliharaan asset
dalam akad Ijarah:
1. Konsekuensi hukum dan keuangan yang timbul dari akad ijarah adalah timbulnya hak atas
manfaat dari asset yang disewa oleh penyewa (mustajir) dan penerimaan fee/ujrah bagi pemilik
asset (muajjir).
2. Pemberi sewa (mujir) wajib menyediakan manfaat bagi penyewa dari asset yang disewa
dengan cara menjaga agar manfaat itu tersedia selama periode penyewaan dalam batas yang
normal. Apabila terjadi sesuatu yang membuat manfaat itu terhenti, maka pemberi sewa wajib
memperbaikinya/menggantinya.
3. Pada prinsipnya dalam kontrak ijarah harus dinyatakan dengan jelas siapa yang menanggung
biaya pemeliharaan asset obyek sewa. Sebagian ulama menyatakan jika kontrak sewa
menyebutkan biaya perbaikan ditanggung penyewa, maka kontrak sewa itu tidak sah, karena
penyewa menangung biaya yang tidak jelas. Hal ini sesuai dengan kaedah Al-Ajru wa adh
Dhaman La Yajtamiani. Artinya: pembayaran fee (bayaran sewa) tidak boleh berhimpun dengan
biaya perbaikan kerusakaan.
C. Perbedaan Dokumen Leasing Konvensional
Pada dasarnya perbedaan antara dokumen akad ijarah dengan leasing konvensional terletak pada
akad yang disebut dalam dokumen tersebut. Ada beberapa perbedaan dan persamaan antara
ijarah dan leasing. Terdapat beberapa aspek yang dapat digunakan untuk melihat perbedaan dan
persamaan antara ijarah dan leasing, yaitu
1. Pertama, dari sisi objek kontrak. Jika melihat dari segi obyek penyewaan, leasing hanya
berlaku untuk sewa menyewa barang saja. Jadi yang disewakan dalam leasing terbatas pada
manfaat barang saja. Sedangkan dalam kontrak ijarah objek transaksinya bisa berupa
manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Ijarah bila diterapkan untuk
mendapatkan manfaat barang disebut sewa menyewa, sedangkan bila untuk mendapatkan
manfaat tenaga kerja disebut upah-mengupah. Dengan demikian secara cakupan objek,
ijarah memiliki cakupan yang lebih luas.
2. Kedua, perpindahan kepemilikan. Dalam operating lease tidak terjadi pemindahan
kepemilikan aset baik di awal maupun di akhir periode sewa. Dalam hal ini praktik ijarah
sama dengan operating lease, tidak ada perpindahan kepemilikan baik di awal maupun akhir
periode. Berikutnya dalam financial lease, sudah disepakati dari awal bahwa penyewa akan
membeli atau tidak membeli aset yang disewa tersebut. Sedangkan varian lain dari akad
Ijarah adalah akad Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik (IMBT) yang memiliki ketentuan bahwa
pihak yang menyewakan berjanji diawal periode kepada pihak penyewa apakah akan
menjual barang tersebut atau menghibahkannya. Dengan demikian ada dua jenis IMBT,
yaitu: IMBT dengan janji menghibahkan barang di akhir periode sewa dan IMBT dengan
janji menjual barang pada akhir periode sewa.
3. Ketiga, lease-purchase (sewa-beli). Hal ini merupakan variasi kontrak lainnya dari leasing,
yakni kontrak sewa sekaligus beli. Dalam kontrak sewa-beli ini perpindahan kepemilikan
terjadi selama periode sewa secara bertahap. Bila kontrak ini dibatalkan maka barang

tersebut terbagi menjadi milik penyewa dan yang menyewakan. Menurut syariah akad ini
diharamkan karena adanya shafqatain fi al-shafqah (two ini one). Hal ini menyebabkan
gharar dalam akad, yakni ada ketidakjelasan apakah akad sewa atau akad beli yang
digunakan.
D. Beban Asuransi Dalam Akad Ijarah
Selama kewajiban nasabah sebagaimana dimaksud dalam Akad ini belum dipenuhi, maka
Agunan yang dapat diasuransikan wajib diasuransikan oleh dan atas beban nasabah kepada
Perusahaan Asuransi berdasarkan prinsip syariah yang ditunjuk dan atau disetujui oleh bank
terhadap risiko kerugian yang macam, nilai dan jangka waktunya ditentukan oleh bank.
Dalam perjanjian asuransi (Polis) wajib dicantumkan klausula yang menyatakan bahwa
bilamana terjadi pembayaran ganti rugi dari perusahaan asuransi, maka bank berhak
memperhitungkan hasil pembayaran klaim tersebut dengan seluruh kewajiban nasabah kepada
bank (Bankers Clause).
Premi asuransi atas Agunan wajib dibayar lunas atau dicadangkan oleh nasabah dibawah
penguasaan bank sebelum dilakukan penarikan pembiayaan atau perpanjangan jangka waktu
pembiayaan.
Dalam hal penutupan asuransi dilakukan oleh bank, dengan ini nasabah memberikan kuasa
kepada bank untuk mengasuransikan barang-barang yang menjadi objek sewa dan jaminanjaminan lainnya (bila ada) serta melakukan tindakan sehubungan dengan barang-barang
tersebut, dengan ketentuan bahwa biaya yang timbul dari penutupan asuransi sepenuhnya
menjadi beban nasabah.
Bila terjadi kerugian atas Agunan yang dipertanggungkan dalam Polis tersebut diatas, maka
dengan ini nasabah memberi kuasa kepada bank untuk mengajukan klaim serta menerima hasil
klaim tersebut dari perusahaan asuransi untuk kemudian mempergunakan hasil klaim tersebut
bagi pelunasan kewajiban/hutang nasabah kepada bank
Dalam hal ini, hasil klaim asuransi tersebut belum dapat memenuhi seluruh kewajiban/hutang
nasabah kepada bank, maka nasabah berkewajiban untuk menambah kekurangan tersebut.
Dalam hal hasil uang pertanggungan tidak cukup untuk melunasi kewajiban, sisa kewajiban
tersebut tetap menjadi kewajiban nasabah kepada bank dan wajib dibayar dengan seketika dan
sekaligus oleh nasabah pada saat ditagih oleh bank
Asli kwitansi atau pembayaran resmi premi asuransi dan asli polis asuransi beserta Bankers
Clause wajib diserahkan kepada bank.
E. Keterlambatan Pembayaran
Pada dasarnya ketentuan mengenai keterlambatan pembayaran dalam akad Ijarah masih
diperdebatkan dalam kalangan ulama. Ada yang membolehkan pengenaan biaya ganti rugi bagi

si penyewa yang melakukan keterlambatan pembayaran, dan ada pula yang mengharamkannya
karena alasan Riba dan Gharar.
Pendapat lain mengatakan, untuk menghindari riba dan gharar maka sebaiknya denda tersebut
diberikan dalam bentuk bantuan dana sosial ke lembaga-lembaga sosial. Namun Majlis Ulama
Indonesia telah mengeluarkan fatwa mengenai hal tersebut, ringkasnya dapat dilihat sebagai
berikut:
FATWA TENTANG GANTI RUGI (TA'WIDH)
Pertama: KETENTUAN UMUM
1. Ganti rugi (tawidh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena
kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan
kerugian pada pihak lain.
2. Kerugian yang dapat dikenakan ta'widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah
kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan dalam
rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
4. Besar ganti rugi (ta'widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti
dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan
terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah
al-dha-i' ah).
5. Ganti rugi (tawidh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang
piutang
(dain),
seperti
salam,
istishna'
serta
murabahah
dan
ijarah.
6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh
shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah
jelas tetapi tidak dibayarkan.

Kedua: KETENTUAN KHUSUS


1. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi
pihak yang menerimanya.
2. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara
pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang
timbul akibat proses penyelesaian perkara.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara kedua
belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari'ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Konsep Ariyah
1. Pengertian Pinjam Meminjam (Ariyah)
Menurut etimologi, ariyah diambil dari kata ara yang berarti datang dan pergi. Menurut
sebagian pendapat ariyah berasal dari kata taawuru yang sama artinya dengan tanawulu aw
tanawubu (saling menukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam meminjam.
Menurut terminologi syara ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikanya, antara lain:
a. menurut Syarkhasyi dan ulama malikiyah: Pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa
pengganti.
b. Menurut ulama Syafiiyah dan Hambaliyah: Pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa
mengganti
Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari
suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.
Pegertian pertama memberikan makna kepemilikan, sehingga orang yang meminjamkan tidak
dianggap sah kecuali jika barang yang dipinjamkan itu benar-benar menjadi miliknya, baik
terhadap pokok barang itu sendiri maupun manfaatnya. Adapun pengertian kedua memberikan
makna kebolehan, sehingga pinjaman itu tidak sah diberikan oleh orang yang meminjamnya,
yakni bahwa ia tidak boleh meminjamkan barang pinjaman tersebut kepada orang lain.
2. Landasan Syara
Memberikan pinjaman adalah perbuatan baik dan dianjurkan (mandub). Bahkan ulama
salaf sangat menekankan hal ini,[4] yang didasarkan pada Al-Quran dan Sunah.
a. Al-Quran
Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan taqwa. (QS. Al-Maidah : 2)
b. As-Sunah
Dalam hadis Bukhari dan Muslim dari Anas, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW, telah
meminjamkan kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendaraiya.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang jayyid dari Shafwan
Ibn Umayyah, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah meminjam perisai dari Shafwan bin

Umayyah pada waktu perang hunaian. Shafwan bertanya, Apakah engkau merampasnya, ya
Muhammad? Nai menjawab, Cuma meminjam dan aku bertanggung-jawab.

3. Rukun Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan
barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.
Menurut ulama Syafiiyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni ucapan
ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab
memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin
Rukun-rukun pinjaman ada lima: peminjaman (al-iarah), orang yang meminjamkan (al-muir),
peminjam (al-mustair), barang yang dipinjamkan (al-muar) dan ungkapan pemberian pinjaman
(sighat).
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:
1. Muir (orang yang meminjamkan)
2. Mustair (peminjam)
3. Muar (barang yang dipinjamkan)
4. Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan
ucapan maupun perbuatan.

4. Syarat Ariyah
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:
a. Muir Berakal Sehat
Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat
meminjamkan barang. Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan
ulama
lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang
dapat berbuat

kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang


orang yang sedang pailit (bangkrut).[10]

bodoh dan bukan

b. Pemegangan Barang Oleh Peminjam


Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang
peminjam, seperti halnya dalam hibah.

barang adalah

c. Barang (Muar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika Muar tidak dapat
dimanfaatkan, akad tidak sah. Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan
terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti
meminjamkan tanah, pakaian, binatang, dan lain-lain.
Oleh karena itu tidak boleh meminjamkan hamba perempuan untuk dipakai bersenang-senang
dan makruh pula meminjamkan manfaat kerja budak tersebut, kecuali jika ia adalah perempuan
yang masih mahram baik dengan peminjam maupun dengan penerima pinjaman.
5. Hukum (Ketetapan) Akad Ariyah
Menurut kebiasaan (urf), ariyah dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan secara
majazi.
a. Secara Hakikat
Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya.
Menurut malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada
pengganti apapun atau peminjam memiliki sesuatu yang semasa dengan manfaat menurut
kebiasaan.
Al-Kurkhi, ulama Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah
adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
Dari perbedaan pandangan diatas, dapat ditetapkan bahwa menurut golongan pertama, barang
yang dipinjam boleh dipinjamkan kepada orang lain, bahkan menurut Imam Malik, sekalipun
tidak di izinkan oleh pemiliknya asalkan digunakan sesuai fungsinya. Akan tetapi, ulama
Malikiyah melarangnya jika peminjam tidak mengizinkannya.
Alasan ulama Hanafiyah antara lain bahwa yang memberi pinjaman telah memberikan hak
penguasaan barang kepada peminjam untuk mengambil manfaat barang. Kekuasaan seperti itu
berarti kepemilikan. Dengan demikian, peminjam berkuasa penuh untuk mengambil manfaat
barang tersebut, baik oleh dirinya maupun orang lain.

Menurut golongan kedua, pinjam meminjam hanya sebatas pengambilan manfaat maka tidak
boleh meminjamkan lagi kepada orang lain, seperti halnya seorang tamu yang tidak boleh
meminjamkan makanan yang dihidangkan untuknya kepada orang lain.
Golongan pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak memiliki hak kepemilikan
sebagaimana pada gadai barang. Menurut golongan kedua, peminjam hanya berhak
memanfaatkannya saja dan ia tidak memiliki bedanya. Adapun menurut golongan pertama, gadai
adalah akad yang lazim (resmi), sedangkan ariyah adalah akad tabarru (derma) yang
dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, peminjam tidak memiliki hak kepemilikan,
sebagaimana pad aakad lazim sebab hal itu akan mengubah tabiat ariyah. Selain itu,
peminjampun tidak boleh menyewakannya.

b. Secara Majazi
Ariyah secara majazi adalah pinjam-meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran,
timbangan, hitungan dan lain-lain, seperti telur, uang dan segala benda yang dapat diambil
manfaatnya, tanpa merusak zatnya. Ariyah pada benda-benda tersebut harus diganti dengan
benda yang serupa dan senilai. Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupakan
ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena
itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan memanfatkannya.
6. Hak Memanfaatkan Barang Pinjaman
Jumhur ulama selain Hanafiyah bependapat bahwa peminjam dapat mengambil manfaat barang
sesuai dengan izin orang yang meminjamkan. Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
kewenangan yang dimiliki oleh peminjam bergantung pada jenis pinjaman, apakah orang yang
meminjamkannya secara mutlak atau terikat (muqayyad).
a. Ariyah Mutlak
Ariyah Mutlak, yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan
persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan
orang lain atau tidak dijelaskan cara penggunaanya. Contohnya, seorang meminjam binatang,
namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan binatang
tersebut, misalnya waktu dan tempat mengendarainya. Jadi hukumnya sebagaimana pemilik
hewan, yaitu dapat mengambil. Namun demikian, harus sesuai dengan kebiassan yang berlaku
pad amasyarakat. Tidak dibolehkan menggunakan binatang tersebut siang malam tanpa henti.
Sebaliknya, jika penggunaannya tidak sesuai kebiasaan dan barang pinjaman rusak, peminjam
harus bertanggungjawab.

b. Ariyah Muqayyad
Ariyah Muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan
kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya, peminjam
harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut. Hal ini karena asal dari batas adalah
menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil
manfaat barang. Dengan demikian, dibolehkan untuk melanggar batasa tersebut apabila kesulitan
untuk memanfaatkannya.
1. Batasan Penggunaan Ariyah Oleh Diri Peminjam
Jika orang yang meminjamkan membatasi hak penggunaan manfaat itu untuk dirinya sendiri dan
masyarakat memandang adanya perbedaan tentang penggunaan dalam hal lainnya, seperti
mengendarai binatang atau memakai pakaian. Dengan demikian, peminjam tidak boleh
mengendarai binatang atau memakai pakaian yang ada.

2. Pembatasa Waktu atau Tempat


Jika ariyah dibatasi waktu dan tempat, kemudian peminjam melewati tempat atau menambah
waktunya, ia bertanggungjawab atas penambahan tersebut.
3. Pembatasan Ukuran Berat dan Jenis
Jika yang disyaratkan adalah berat barang atau jenis kemudian ada kelebihan dalam bobot
tersebut, ia harus menanggung sesuai dengan kelebihannya.
Jika ada perbedaan pendapat antara orang yang meminjamkan barang dengan peminjam tentang
lamanya waktu meminjam, berat barang yang dibawa barang pinjaman atau tempat meminjam,
pendapat yang harus dimenangkan atau diterima adalah pendapat orang yang meminjamkan
barang. Karena dialah yang memberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut
sesuai dengan keinginannya.
6. Sifat Ariyah
Ulama Hanafiyah, Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan peminjam atas
barang adalah hak tidak lazim sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya. Pada
hibah, misalnya bisa saja orang yang meminjamkan mengambil barang yang dipinjamkannya
kapan saja, baik pinjam-meminjam itu bersifat mutlak atau dibatasi waktu, kecuali ada sebabsebab tertentu, yang akan menimbulkan kemadharatan saat pengembalian barang tersebut, seperti
kalau dikembalikan kepada waktu yang telah ditentukan barang akan rusak atau seperti orang-

orang yang meminjam tanah untuk mengubur mayat yang dihormati, maka orang yang
meminjamkan tidak boleh meminta kembali tanah tersebut dan si peminjampun tidak boleh
mengembalikannya sebelum jenazah berubah menjadi tanah.[19]
Alasan mereka antara lain bahwa ariyah adalah transaksi yang dibolehkan, sebagaiman sabda
Nabi Muhammad SAW:
Artinya:
Pemberian ditolak sedang pinjam-meminjam adalah (suatu akad) yang dikembalikan.
(HR. Ibnu Addy).
Menurut pendapat yang paling masyhur dari ulama Malikiyah, orang yang meminjamkan tidak
dapat meminta barang yang dipinjamkannya sebelum peminjam dapat mengambil manfaatnya.
Jika ariyah ditempokan pada suatu waktu, orang yang meminjamkan tidak boleh memintanya
sebelum habis waktunya. Akan tetapi, pendapat yang paling unggul menurut Ad-Dardir, dalam
kitab Syarah Al-Kabir, adalah orang yang meminjamkan dapat meminta barang yang
dipinjamkannya secara mutlak kapanpun ia menghendakinya.[20]
Dari pendapat di atas, jelaslah bahwa ulama Malikiyah membolehkan untuk mengembalikan
kalau ada akadnya bersifat umum. Adapun jika akad dibatasi oleh syarat, waktu atau adat mereka
melarangnya.
7. Ariyah Apakah Pinjaman atau Amanat?
Menurut sebagian Fuqaha, pinjaman itu harus ditanggung meskipun ada saksi barang
pinjaman itu rusak. Pendapat ini dikemukakan oleh Asyhab dan Syafii juga merupakan salah
satu pendapat Malik.
Fuqaha yang lain berpendapat sebaliknya, yakni bahwa pinjaman itu tidak ditanggung sama
sekali. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah.
Sebagian fuqaha ada juga yang berpendapat bahwa barang yang tidak jelas itu harus ditanggung,
apabila tidak ada saksi barang itu rusak dan tidak ada tanggungan terhadap barang yang yang
sudah jelas dan barang yang ada saksi bahwa barang itu rusak. Demikianlah pendapat yang
terkenal dari Malik, Ibnul Qasim dan kebanyakan pengikutnya.
Silang pendapat dalam hal ini berpangkal pada adanya pertentangan antara hadis-hadis yang
berkenaan dengan masalah itu. Yakni bahwa dalam sebuah hadis sahih disebutkan Nabi SAW
bersabda kepada Shafwan bin Umayyah:

Artinya:
Bahkan ia adalah pinjaman yang harus ditanggung dan dikembalikan. (HR. Abu Dawud dan
Ahmad).
Dan hadis yang artinya:
Bahkan ia adalah pinjaman yang harus dikembalikan.
Tetapi dalam riwayat lain dari Nabi SAW beliau bersabda:
Artinya:
Tidak ada tanggungan atas orang yang meminjam. (HR. Ibnu Majah)
Karena itu, bagi fuqaha yang mengambil hadis terakhir dan menguatkannya, menghapuskan
tanggungan dari peminjam. Sebaliknya, bagi fuqaha yang mengambil hadis Shafwan bin
Umayyah mewajibkan tanggungan atas peminjam.
Bagi fuqaha yang yang memilih jalan penggabungan memisahkan antara barang yang tidak jelas
atasnya dengan barang yang jelas. Kemudian mereka menerapkan hadis tanggungan ini kepada
barang yang tidak jelas dan menerapkan hadis yang lain kepada barang yang tidak jelas. Hanya
saja, hadis yang menyatakan, tidak ada tanggungan atas orang yang meminjam adalah hadis
yang tidak terkenal, sementara hadis Shafwan itu sahih

Anda mungkin juga menyukai