Case 34333333333333 GW
Case 34333333333333 GW
Nama Mahasiswa
: Rifqa wildaini
NIM
: 030.07.218
Tanda tangan :
I.
IDENTITAS PASIEN
DATA
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Suku Bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Keterangan
Asuransi
No. RM
II.
PASIEN
By. Ny. S
4 hari
Laki-laki
AYAH
IBU
Tn. F
Ny. S
30 tahun
26 tahun
Laki-laki
Perempuan
Dumeling rt/rw 03/04, Wanasari
Islam
Islam
Islam
Jawa
Jawa
Jawa
D3
SMA
wiraswasta
Ibu Rumah Tangga
Rp 2.500.000
Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
BPJS Non PBI
802.901
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung pasien
pada hari Rabu, 31 oktober 015, pukul 14.00 WIB, di Ruang Dahlia RSUD
Kardinah.
a. Keluhan Utama
Sesak nafas
Pasien seorang bayi laki-laki rujukan dari rumah sakit mitra keluarga
datang pada tanggal 28 oktober 2015 ke rs kardinah, os lahir pada tanggal 27
oktober 2015 pukul 18.00 secara sectio secaria di RS mitra keluarga, dari ibu
G2P1A0 hamil 38 minggu, keadaan bayi saat lahir yaitu menangis kuat, air
ketuban keruh dan skor APGAR 7-8-9, dengan berat lahir 2500 gram, panjang
badan 48 cm, lingkar kepala 31.5 cm dan lingkar dada 32 cm. Namun 2 jam
setelah kelahiran, bayis sesak, merintih dan ditemukan adanya napas cuping
hidung serta retraksi pada dada dan menangis kurang kuat.
Selama kehamilan ibu melakukan kontrol rutin ke bidan tiap bulan, hingga
mencapai usia kehamilan 36, Satu hari sebelum masuk rumah sakit, tanggal 26
oktober 2015 ibu pasien mulai terasa mulas-mulas sekitar pukul 23.00 WIB dan
tanggal 27pasien dibawa ke RS Mitra keluarga. Di RS Mitraara keluargaibu
pasien diobservasi selama 1x24 jam, Ibu pasien mengaku ketuban belum pecah,
dan pada tanggal 27 september 2015 pukul 17.30.00 dilakukan SC atas indikasi
riwayat SC ,bayi lahir bugar.
Menurut ibu pasien awalnya bayi sempat melakukan inisiasi menyusui dini
namun 2 jam kemudian, bayi merintih dan ditemukan adanya napas cuping
hidung, sehingga inisiasi menyusui dini tidak dilanjutkan. Lalu pada tanggal 28
oktober bayi di rujuk ke rs kardinah selama perjalanan menurut ayah pasien
mengaku tidak ada henti nafas. Sesampainya di PONEK IGD RSU Kardinah
pada tanggal 28 oktober 2015 pukul 18.00 WIB. Pasien diperiksa .Kemudian bayi
dilaporkan kepada dokter spesialis anak, dan setuju untuk dilakukan perawatan di
Ruang Perinatologi Dahlia RSUD Kardinah dan mendapat terapi sesuai dengan
dokter spesialis anak
Kemudian observasi pasien tampak sesak, nafas cuping hidung,merintih,
dan terdapat retraksi dada, dan gerak kurang aktif. Kemudian pasien dirawat
dalam inkubator dan dipindahkan ke ruang dahlia, diberikan oksigen sungkup 2
liter/menit dan.
Selama perawatan di Dahlia bayi dipasang cpap vent O2 nasal dan
observasi selama satu jam.setelah satu jam observasi, bayi masih merintih, masih
ditemukan napas cuping hidung dan retraksi dada. Kemudian bayi langsung
dilaporkan lagi kepada dokter spesialis anak dan dilakukan intubasi dan memakai
vent sim v. Dalam 24 jam pasien dapat buang air kecil dan buang air besar.
2
Tempat kelahiran
Penolong persalinan
: Dokter
Cara persalinan
: Sectio secaria
Masa gestasi
: 38minggu G2P1A0
Air ketuban
: keruh
: 2500 gram
: 48 cm
Lingkar kepala
: 31.5 cm
Lingkar dada
: 32 cm
Langsung menangis
: Ya
Nilai APGAR
: 7-8-9
Plasenta
Kelainan bawaan
: Tidak ada
4
Kesan: Neonatus aterm, lahir sectio secaria, berat badan lahir cukup dan
bayi bugar.
i. Riwayat Pemeliharaan Postnatal
Riwayat pemeliharaan postnatal belum dapat dievaluasi
j. Corak Reproduksi Ibu
Ibu P2A0, anak pertama laki laki meninggal saat berusia berusia 2 hari, dan
anak kedua (pasien) berusia 4hari.
.
k. Riwayat Keluarga Berencana
Belum menggunakan KB.
l. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Pertumbuhan
o Berat badan lahir 2500 gr, panjang badan lahir 48cm, lingkar kepala
31,5 cm lingkar dada 32cm.
Perkembangan
o Riwayat perkembangan belum dapat dievaluasi.
m. Riwayat Makan dan Minum Anak
Riwayat makan dan minum belum dapat dievaluasi.
n. Riwayat Imunisasi
VAKSIN
DASAR (umur)
ULANGAN (umur)
BCG
DPT
POLIO
CAMPAK
HEPATITIS B
Keterangan:
= Laki-laki
= Perempuan
= Pasien
= meninggal
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari sabtu, tanggal 31 oktober 2015, pukul
14.30 WIB, di Ruang Dahlia.
a. Kesan Umum
Menangis
: cukup kuat
Pucat
: (-)
Gerak
: cukup aktif
Sianosis
: (-)
Kejang
: (-)
Retraksi
: (+)
Ikterik
: (+) kramer 3
Sesak
: (+)
b. Tanda Vital
Tekanan darah
: tidak dilakukan
Nadi
Laju nafas
Suhu
: 36,40 C (aksila)
SpO2
: 99%
c. Data Antropometri
Berat badan sekarang
: 2250 gr
: 48 cm
d. Status Internus
6
Mata
Thorax
Pulmo:
Inspeksi
Palpasi
o
o
Perkusi
Auskultasi
Cor:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen:
Inspeksi
Urogenital
Anorektal
Ekstremitas
Akral Hangat
Akral Sianosis
Akral Ikterik
CRT
Oedem
Tonus Otot
Trofi Otot
Superior
+/+
-/-/ <2
-/Normotonus
Normotrofi
Inferior
+/+
-/-/<2
-/Normotonus
Normotrofi
Refleks primitif
a) Refleks oral
IV.
Refleks hisap
: (+)
b) Refleks moro
: tidak dilakukan
: (+)
: (+)
PEMERIKSAAN KHUSUS
1. Maturitas Bayi (Lubchenko)
Berat Lahir
: 2500 gram
Usia Kehamilan
: 48 minggu
Kesan
2. Ballard Score
Ballard Score
3. APGAR Score
0
Apperance
Seluruh tubuh
biru/pucat
Pulse
Grimmace
Tidak ada
Tidak bereaksi
Activity
Lumpuh
1
Tubuh
kemerahan,
ekstremitas biru
<100x/menit
Gerakan sedikit
Ekstremitas fleksi
sedikit
Respiratory
Tidak ada
Lambat
APGAR score: menit pertama
12122=7
: menit kelima
12122=8
: menit kesepuluh
22122=9
2
Seluruh tubuh
kemerahan
>100x/menit
Reaksi melawan
Gerakan aktif
Menangis
2
10
Frekuensi Napas
Retraksi
< 60 x/menit
Tidak ada retraksi
Sianosis
Tidak sianosis
60-80 x/menit
Retraksi ringan
Sianosis hilang
dengan O2
Penurunan
Air Entry
Udara masuk
ringan udara
masuk
Dapat didengar
Merintih
Tidak merintih
dengan
stethoscope
Downe Score 5 distress pernapasan sedang
> 80 x/menit
Retraksi berat
Sianosis menetap
walaupun diberi
O2
Tidak ada udara
masuk
Dapat didengar
tanpa alat bantu
V.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Eritrosit
18.6
14.2
55
275
5.31
g/dl
103/ul
%
10^3/uL
106/ul
15.3 23.6
9.400-34000
44-72
150 450
4.30 6.30
MCV
MCH
MCHC
103
35
34
U
Pcg
g/dl
98-122
33-41
26-34
Natrium
Kalium
Chlorida
GDS
131
5.08
99
84
Mmol/l
Mmol/l
Mmol/l
Mg/dl
132-147
3.60-6.10
95-116
70-140
12
Cor : ctr 47%bentuk dan letak jantung masih dalam batas normal
Pulmo: corakan bronko vaskular menigkat, tampak bercak kesuraman pada perihilier dan
parakardial kanan kiri.tak tampak airbronkogram
Abdomen : distribusi udara usus masih baik. Tak tampak dilatasi maupun distensi.
Kesan : Cor normal
Pulmo : Pneumonia neonatal
Abdomen tak tampak kelainan
VI.
DAFTAR MASALAH
Daftar masalah pada kasus ini berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Dari hasil anamnesis didapatkan bayi lahir usia kehamilan 38 minggu dan selama masa
kehamilan, kandungan ibu dikatakan kecil untuk kehamilannya. Bayi lahir bugar dengan
APGAR skor 7-8-9 dan melakukan inisiasi menyusui dini. Kemudian 2 jam setelah lahir
bayi merintih dan terlihat sesak, kemudian bayi diberi oksigen sungkup 2 liter/menit dan
di observasi.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan bayi merintih, pernapasan yang cepat dan napas
cuping hidung disertai retraksi dinding dada menunjukkan bahwa adanya gangguan
13
pernafasan. Menurut Ballard Score usia gestasi 38 minggu yang menunjukan bayi lahir
aterm.
Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan dari kadar bilirubin total dan
bilirubin direk yang menunjukan adanya hiperbilirubinemia.
Neonatus aterm
Bayi
sesuai untuk
masa kehamilan
Bayi kecil untuk
Hiperbilirubinemia
Fisiologis
Non fisiologis
masa kehamilan
Bayi besar untuk
Observasi
neonatal infeksi
Infeksi postnatal
Infeksi durante
natal
Infeksi antenatal
masa kehamilan
VIII. DIAGNOSIS KERJA
a) Neonatus aterm
b) Bayi berat lahir cukup sesuai masa kehamilan
c) Distress pernapasan
d) hiperbilubinemia
e) Obs neonatal infeksi
IX. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
IVFD D5 NS 12 tpm
Inj pycin 2x150 mg
Inj gentamisin 2x7 mg
Inj aminopilin 2x3 mg
Inj ca glukonas 1x0,6 cc%
Sibital 50 mg (jika kejang)
O2 CPAP PEEP 6 cmH2O / FiO2 40%
b. Nonmedikamentosa
X.
Pasang OGT
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
XI.
SARAN PEMERIKSAAN
-
Darah lengkap
SGOT / SGPT
AGD
29 oktober 2015
Hari perawatan ke-1
Saat di dalia
06.00
Demam (-)
Kejang (-)
Sesak (+)
BAB (+)
BAK (+)
Pucat (-)
Sianosis (-)
30 oktober 2015
Hari perawatan ke-2
Saat di dalia
06.00
Demam (+),
Kejang (-)
Sesak (-)
BAB (+)
BAK (+)
Pucat (-),
Sianosis (-)
15
Pucat (-)
Sianosis (-)
Ikterik (-)
Merintih (+)
ASI (-)
Refleks hisap (+)
Ikterik (-)
Merintih (+)
ASI (+)
Refleks hisap (+)
Ikterik (+)
Merintih (-),
ASI (+)
Refleks hisap (+)
O KU:Menangis kurang
kuat(merintih) gerak
kurang aktif, retraksi (+) ,
subcostal, nafas cuping
hidung (+)
N: 155x/m
P : 75x/m
S : 36.4oC
SpO2 : 88%
BB 2500 gr
Kepala:
Mesosefali, UUB datar,
tegang(-), molase(-)
Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Toraks:
SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/S1-S2 reg, M(-), G(-)
Retraksi (+) sedang
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas: dbn
A Neonatal aterm
Distress pernafasan
Obs. neonatal infection
Neonatal aterm
Distress pernafasan
Obs. neonatal infection
Neonatal aterm
Distress pernafasan
Obs. neonatal infection
P Langkah awal
O2 CPAP nasal vent / PEEP
6 / fiO240 %
IVFD D5 NS 12 tpm
16
31 oktober 2015
Hari perawatan ke-4
Saat di dahlia
06.00
Demam (-)
Kejang (-)
Sesak (-)
BAB (+)
BAK (+)
Pucat (-)
Sianosis (-)
Ikterik (+)
Merintih (-)
ASI (+)
Refleks hisap (+)
01november 2015
Hari perawatan ke-5
Saat di dahlia
06.00
02 november 2015
Hari perawatan ke-6
Saat di dalia
06.00
Demam (-)
Kejang (-)
Sesak (+)
BAB (+)
BAK (+)
Pucat (-)
Sianosis (-)
Ikterik (+)
Merintih (-)
ASI (+)
Refleks hisap (+)
Demam (+),
Kejang (-)
Sesak (-)
BAB (+)
BAK (+)
Pucat (-),
Sianosis (-)
Ikterik (+)
Merintih (-),
ASI (+)
Refleks hisap (+)
A Neonatal aterm
Distress pernafasan
hiperbilirubinemia
Neonatal aterm
Distress pernafasan
Hiperbilirubinemia
Neonatal aterm
Distress pernafasan
Hiperbilirubinemia
17
Terapi lanjut
Diet asi 8x30cc(sonde)
Terapi lanjut
Diet asi 8x30cc(sonde)
03 november 2015
Hari perawatan ke-6
Saat di dahlia
06.00
Demam (-)
Kejang (-)
Sesak (-)
BAB (+)
BAK (+)
Pucat (-)
Sianosis (-)
Ikterik (-)
Merintih (-)
ASI (+)
Refleks hisap (+)
04november 2015
Hari perawatan ke-7
Saat di dahlia
06.00
05 november 2015
Hari perawatan ke-8
Saat di dalia
06.00
Demam (-)
Kejang (-)
Sesak (+)
BAB (+)
BAK (+)
Pucat (-)
Sianosis (-)
Ikterik (+)
Merintih (-)
ASI (+)
Refleks hisap (+)
Demam (-),
Kejang (-)
Sesak (-)
BAB (+)
BAK (+)
Pucat (-),
Sianosis (-)
Ikterik (+)
Merintih (-),
ASI (+)
Refleks hisap (+)
tegang(-), molase(-)
Mata: CA (-/-), SI (+/+)
Toraks:
SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/S1-S2 reg, M(-), G(-)
Retraksi (+) sedang
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas: dbn
Kebutuhan cairan:
2.2 x 150 = 330 cc/hari
tegang(-), molase(-)
Mata: CA (-/-), SI (+/+
)
Toraks:
SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/S1-S2 reg, M(-), G(-)
Retraksi (+)ringan
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas: dbn
Kebutuhan cairan : 2.2x150
=330cc/hari
A Neonatal aterm
Distress pernafasan
hiperbilirubinemia
Obs. neonatal infection
Neonatal aterm
Distress pernafasan
Hiperbilirubinemia
Obs. Neonatal infection
Neonatal aterm
Distress pernafasan
Hiperbilirubinemia
Obs. Neonatal infection
P O2 low flow
O2 low flow
Terapi lanjut
Fototerapi 1x24 jam
Terapi lanjut
06 november
Hari perawatan ke-7
Saat di dahlia
06.00
Demam (-)
Kejang (-)
Sesak (-)
BAB (+)
BAK (+)
Pucat (-)
Sianosis (-)
Ikterik (-)
Merintih (-)
ASI (+)
Refleks hisap (+)
Terapi lanjut
Diet asi 8x30cc
07november 2015
Hari perawatan ke-8
Saat di dahlia
06.00
Demam (-)
Kejang (-)
Sesak (+)
BAB (+)
BAK (+)
Pucat (-)
Sianosis (-)
Ikterik (-)
Merintih (-)
ASI (+)
Refleks hisap (+)
N: 126x/m
P : 44x/m
S : 37.0oC
BB 2270 gr
Kepala:
Mesosefali, UUB datar,
tegang(-), molase(-)
Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Toraks:
SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/S1-S2 reg, M(-), G(-)
Retraksi (+) sedang
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas: dbn
Kebutuhan cairan
2.2x150= 330 cc/hari
P : 44x/m
S : 36.4oC
BB 2285 gr
Kepala:
Mesosefali, UUB datar,
tegang(-), molase(-)
Mata: CA (-/-), SI (+/+)
Toraks:
SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/S1-S2 reg, M(-), G(-)
Retraksi (+) sedang
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas: dbn
Kebutuhan cairan:
2.2 x 150 = 330 cc/hari
A Neonatal aterm
Distress pernafasan
hiperbilirubinemia
Obs. neonatal infection
Neonatal aterm
Distress pernafasan
Hiperbilirubinemia
Obs. Neonatal infection
P Terapi lanjut
Diet asi 8x10-20cc(sonde)
Fototerapi 24 jam
Acc pulang
20
ANALISIS KASUS
Pasien bayi perempuan usia 4hari, didiagnosis dengan Neonatus aterm, Bayi Berat
Lahir Cukup Sesuai Masa Kehamilan, Distress pernapasan dan Hiperbilirubinemia.
Dasar diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Masalah
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan bahwa
Interpretasi
Distress pernapasan pada bayi ini dapat
tampak sesak.
disebabkan
Tachypnea
Membrane
of
oleh
Transient
Newborn,
Disease,
Hyalin
Aspiration
Dari
faktor
kelainan
SSP,
hernia
21
Electrolyte
Imbalance.
pernapasan
yang
cepat,
bayi
Pemeriksaan Fisik
Pasien
menangis
tidak
(merintih)
Retraksi dinding dada
Tachypnea
Downe skor 5
Sklera ikterik, kulit ikterik kramer 3
kuat
Dari
pemeriksaan
fisik
didapatkan
distress
pernapasan
yang
Tachypnea
of
Newborn.
yang
dapat
(defisiensi
enzim
hati,
22
ekskresi
bilirubin
direk
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI
Ikterus (jaundice) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,
sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan. Pada
orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2 mg/dL (> 17 mol/L),
sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL ( >86mol/L).
(Etika, Harianto, Indarso, & Damanik)
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah
ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut Excessive Physiological Jaundice. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonatus > 95 % menurut Normogram Bhutani. (Etika, Harianto,
Indarso, & Damanik)
23
Transport bilirubin
Pengambilan bilirubin oleh sel hati
Konjugasi
Sekresi bilirubin terkonjugasi
Sirkulasi enterohepatik
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel
hati dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali
untuk pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang dieksresikan ke dalam
paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air secara cepat akan diubah menjadi bilirubin
24
melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik
dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin (Abdurrahman,
2014)
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. 1 gram haemoglobin akan menghasilkan 34 mg
bilirubin dan sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan
heamoglobin karena eritropoiesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan
yang mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme
bebas. Bayi baru lahir akan memproduksi 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa
sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan
masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa
(120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga
reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat melalui sirkulasi enterohepatik
(Abdurrahman, 2014).
Transportasi bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang
rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang berikatan dengan albumin
tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga
mempunyai afinitas tinggi terhadap obat-obatan bersifat asam seperti penisilin dan
sulfonamid. Obat-obatan tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk
bilirubin sehingga bersifat kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan
albumin. Obat-obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara
menurunkan afinitas albumin adalah digoksin, gentamisin, furosemid, dll.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:
Proses ekskresinya sendiri merupakan proses yang memerlukan energi. Setelah berada di
usus halus, bilurubin terkonjugasi tidak langsung diresorbsi, kecuali jika dikonversikan
kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat
dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk
dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
Terdapat perbedaaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim -glukoronidase yang dapat
mengidrolisia monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak
terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir,
lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi
sterkobilin.
Bayi baru lahir mempunyasi konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang relatif
tinggi di dalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis
bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan di
dalam mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk mengurangi
bilirubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool bilirubin usus
dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa. Peningkatan hidrolisis
bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas -glukoronidase mukosa
yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi. Pemberian substansi oral yang
tidak larut seperti agar atau arang aktif yang dapat mengikat bilirubin akan meningkatkan
kadar bilirubin tinja dan mengurangi kadar bilirubin serum, hal ini menggambarkan peran
kontribusi sirkulasi enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada
bayi baru lahir (Abdurrahman, 2014).
27
Cara untuk melihat jaundice adalah dengan cara menekan kulit secara hati-hati dengan jari
dibawah penerangan yang cukup.
II.1.2.a. KLASIFIKASI
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada harihari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis tertentu
pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus,
masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 3 dan mencapai puncaknya
pada hari ke 5 7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10 14. Kadar
bilirubin pun biasanya tidak > 10 mg/dL (171 mol/L) pada bayi kurang bulan dan <
12 mg/dL (205 mol/L) pada bayi cukup bulan. Masalah timbul apabila produksi
bilirubin ini
itu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila telah dibuktikan bukan suatu
keadaan patologis. Berikut adalah perbedaan ikterus fisiologi dan ikterus patologis:
1. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang
bulan maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan. Ikterus jenis ini
juga merupakan penyebab umum hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Keadaan
ini adalah diagnosis eksklusi yang dibuat setelah menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain yang lebih serius, seperti hemolisis, infeksi, dan penyakit metabolik
(Marcdante, Kliegman, Jenson, & Behrman, 2014). Peningkatan kadar bilirubin
tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi
peningkatan
ketersediaan
bilirubin
dan
penurunan
clearance
bilirubin
(Abdurrahman, 2014).
Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis:
Dasar
Peningkatan bilirubin yang tersedia
Peningkatan produksi bilirubin
Penyebab
Peningkatan sel darah merah
Penurunan umur sel darah merah
Peningkatan early bilirubin
Peningkatan aktifitas -glukoronidase
Tidak adanya flora bakteri
Pengeluaran mekonium yang terlambat
enterohepatik shunt
Penurunan bilirubin clearance
Penurunan clearance dari plasma
Penurunan metabolisme hepatik
30
12 mg/dL). Kadar yang lebih tinggi ini mungkin terjadi karena kurangnya
e)
f)
g)
h)
Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih sering dan bayi
dengan aspirasi mekonium atau pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai
insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu
formula cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari
pertama kehidupan jika dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat
ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi
yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.
Pemberian ASI merupakan faktor yang berhubungan dengan neonatal jaundice.
Bayi-bayi yang mendapat ASI mempunyai kadar bilirubin serum yang lebih tinggi
dibandingkan bayi-bayi yang mendapat susu formula. Hal ini terjadi karena diduga
sirkulasi bilirubin enterohepatik dapat dipicu oleh glukoronidase atau zat lain dalam ASI
yang menyebabkan kadar lemak bebas yang dapat menghambat glukoroniltransferase
hepatik. Faktor lain yang berhubungan dengan jaundice pada bayi yang mendapat ASI
antara lain intake kalori, intake cairan, penurunan berat badan, keterlambatan pasase
mekonium, flora intestinal, dan hambatan bilirubin glukoronil transferase oleh suatu faktor
dalam susu yang tidak dapat diidentifikasi (Martiza, 2012).
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early
(berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan dengan ASI). Bentuk early
onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset diyakini
dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang memperngaruhi proses konjugasi dan ekskresi.
Penyebab late onset tidak diketahui, tetapi telah dihubungkan dengan adanya faktor
spesifik dari ASI yaitu: 2-20-pregnanediol yang mempengaruhi aktivitas UDPGT atau
pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit; peningkatan aktifitas lipoprotein lipase yang
kemudian melepaskan asam lemak bebas ke dalam usus halus; penghambatan konjugasi
akibat peningkatan asam lemak unsaturated; atau -glukorunidase atau adanya faktor lain
yang mungkin menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.
2. Ikterus Patologis
31
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tandatandanya sebagai berikut (Marcdante, Kliegman, Jenson, & Behrman, 2014):
a) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b) Kadar puncak bilirubin melebihi 13 mg/dL pada neonatus cukup bulan,
c)
d)
e)
f)
g)
Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan oleh proses fisiologis atau patologis atau
kombinasi keduanya. Resiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI,
bayi kurang bulan, dan bayi mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi
karena peningkatan produksi atau penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi
pada bayi immatur.
Bayi yang diberi ASI memiliki kadar bilirubin serum yang lebih tinggi
dibandingkan bayi yang diberi susu formula. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain; frekuensi menyusui yang tidak adekuat, kehilangan berat
badan/dehidrasi
Asupan cairan:
Kelaparan
Frekuensi menyusui
Kehilangan berat badan/dehidrasi
Hambatan ekskresi bilirubin hepatik
Pregnandiol
Lipase-free fatty acids
Unidentified inhibitor
Intestinal reabsorption of bilirubin
32
II.1.2.b. ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum dapat
dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat
untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan
infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom CrigglerNajjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan
penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Selain itu, neonatal beresiko untuk mengabsorbsi bilirubin intestinal karena
empedu neonatus mengandung kadar bilirubin monoglukoronida yang tinggi
sehingga lebih mudah dikonversikan menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah
glukoronidase dalam lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi
menjadi bilirubin yang mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus kurang
mengandung flora intestinal untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi
urobilid dan mekonium. Keadaan-keadaan yang memperlama pasase mekonium
(penyakit Hirschprung, ileus mekonium, meconium pluge syndrome) berhubungan
dengan hiperbilirubinemia. Pasase dini mekonium berhubungan dengan kadar
bilirubin serum yang lebih rendah.
33
II.1.2.c. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh
dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri
kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini
umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin. Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl.
Ikterus akan muncul pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru
lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan
oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya
atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang
dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi
hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin
tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 22,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning.
Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Etika, Harianto, Indarso, & Damanik).
II.1.2.d. PENCEGAHAN dan TATALAKSANA
Pencegahan dititik beratkan pada pemberian minum sesegera mungkin, sering
34
2) Pencegahan sekunder
- Harus melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal
o Golongan darah : semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah
ABO dan rhesus
Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif,
dilakukan pemeriksaan antibody direk (tes coombs), golongan
4) Penyebab kuning
- Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus
-
Bayi keluar RS
72 jam
96 jam
120 jam
bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang
terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan (luminal).
Obat-obatan seperti sulfonamid dan seftriakson diketahui dapat menggeser bilirubin
sehingga potensial untuk menyebabkan bilirubin ensefalopati. Untuk itu pilihan terapi
untuk menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara lain foto terapi, exchange
transfusion, pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim (Martiza, 2012).
Penggunaan farmakoterapi
Digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan merangsang induksi enzim-enzim
hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi penghancuran heme, atau untuk mengikat
bilirubin dalam usus halus sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun, antara lain:
-
sinar
tersebut.
Teori
terbaru
mengemukakan
halus. Terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12
mg/dL dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus
pada hari pertama kelahiran. Secara umum fototerapi digunakan untuk mencegah agar
bilirubin tidak mencapai kadar yang memerlukan exchange transfusion. Pada
penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan
sesudah transfusi dikerjakan.
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu
neon yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang berventilasi. Agar
bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada
jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi
untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah
lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala.
Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area
sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke
arah bayi.
Pilihan lampu yang digunakan masih diperdebatkan. Sinar biru khusus
tampaknya lebih baik daripada sinar putih atau hijau. Saat ini tersedia fototerapi dengan
menggunakan woven fibrotic pads yang efektif (dibandingkan dengan foto
konvensional) dan aman.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat
seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubahubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua
mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin
dan hemoglobin bayi di pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar
bilirubin <10 mg/dL (<171 mol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100
jam Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila
ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan
antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi
dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang
penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.
38
Transfusi tukar
Usia
Bayi sehat
Faktor Risiko*
mg/dL mol/L
Hari 1
mg/dL
mol/L
Bayi sehat
Faktor Risiko*
260
13
220
Hari 2
15
260
13
220
25
425
15
260
Hari 3
18
310
16
270
35
510
20
340
Hari 4 dst
20
340
17
290
30
510
20
340
0
(Dikutip
dari
American
Academy
of
Pediatrics.
Subcommittee
on
teknik
yang
serta
penatalaksanaan
pemberian.
Apabila
ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain
yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang
bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai
darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada,
maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah
darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB.
Macam Transfusi Tukar:
1. Double Volume artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
41
pendekatan
farmakologis
untuk
mencegah
dan
mengobati
42
43
44
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurrahman, S. (2014). Hiperbilirubinemia. Dalam A. Y. M. Sholeh Kosim, Buku
Ajar Neonatologi (hal. 147-169). Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Etika,
R.,
Harianto,
A.,
Indarso,
F.,
&
Damanik,
S.
M.
(t.thn.).
(HYPERBILIRUBINEMIA IN
Academy
of
Pediatrics.
Subcommittee
on
Hyperbilirubinemia.
46