Anda di halaman 1dari 23

.

Latar Belakang
Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan
dapat mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan
trimester pertama. Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami
mual, muntah, nafsu makan berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita
hamil cenderung memperberat kondisi klinis wanita dengan penyakit infeksi antara
lain infeksi HIV-AIDS.
Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu
syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang
menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem
kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit
lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik. Kasus AIDS
pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981 dan
virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 (Yopan, 2012).
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyebab penyakit dan
kematian yang terkemuka di kalangan perempuan dan anak-anak di negara-negara
dengan tingkat infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang tinggi.
Transmisi HIV dari ibu ke anak (Mother To Child Transmission MCTC) adalah
rute infeksi HIV pada anak yang paling signifikan. Beberapa intervensi telah
terbukti efektif dalam mengurangi MTCT termasuk pilihan persalinan secara
caeseran, substitusi menyusui dan terapi antiretroviral selama kehamilan,
persalinan, dan pasca melahirkan. Jika intervensi ini diterapkan dengan benar maka
dapat mengurangi MTCT sebesar 2% (Yopan, 2012) .
Jumlah penderita penyakit HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/
Acquaired Immune Deficiency Syndrome) di dunia maupun di Indonesia, baik

pada orang dewasa maupun anak semakin meningkat jumlahnya setiap tahun.
Diduga jumlah kasus HIV/AIDS ini menyerupai fenomena gunung es, yaitu kasus
yang diketahui hanya sekitar 1/10 dari jumlah kasus yang sebenarnya (Gemari,
2010 dalam Yopan, 2012). Penyakit HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit
pembunuh terbesar di dunia. Hal ini karena pada Januari 2006, UNAIDS dan WHO
memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang
sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Sejak HIV menjadi pandemi di
dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Setiap tahun sekitar
400.000 bayi dilahirkan terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke anak
(penularan vertical). Di Indonesia, hingga Maret 2011, jumlah anak penderita
HIV/AIDS mencapai 1.119 orang, dengan jumlah penderita dibawah lima tahun
dilaporkan mencapai 514 anak (Depkes, 2011 dalam Yopan, 2012). Dilaporkan
juga sebanyak 34 anak usia bawah lima tahun (balita) di propinsi Papua positif
mengidap infeksi HIV(Judarwanto, 2010 dalam Yopan, 2012).
Kasus HIV/AIDS di negara berkembang sungguh sangat mengerikan karena
kasusnya mengalami kenaiakan yang luar biasa yang mempengaruhi angka
kesakitan dan kematian pada penduduk usia produktif. Dan hal ini berdampak
sangat buruk terhadap pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa dan dapat
menyebabkan usia harapan hidup menjadi terhambat atau bahkan menjadi mundur.
Selanjutnya dapat mengancam kehidupan penduduk bahkan kehidupan sebuah
bangsa. Di Indonesia telah dilaporkan pula kasus HIV/AIDS pada bayi yang
tertular dari ibunya yang mengidap HIV dan pada remaja yang tertular karena
berperilaku berisiko.
Dampak dari permasalahan pada anak tersebut diatas dapat mengarah pada
penyebar luasan HIV/ AIDS antara lain melalui hubungan sex yang tidak aman

maupun melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril oleh penyalahguna
narkoba.
Ini semua dapat terjadi pada anak/ remaja penyalahguna narkoba, anak jalanan,
anak/remaja tuna susila atau yang dieksploitasi, anak/remaja nakal karena mereka
termasuk kelompok yang rentan terhadap penularan HIV/AIDS selain itu
pengetahuan mereka terhadap permasalahan HIV/ AIDS masih sangat kurang.
Untuk itu perlu diadakan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS
terhadap kelompok-kelompok rawan, masyarakat termasuk kepada anak/remaja.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menyatakan bahwa saat ini jumlah ibu
rumah tangga yang terinfeksi HIV di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya,
sementara jumlah pekerja seks komersil yang terinfeksi HIV terus menurun. Hal
ini diduga disebabkan oleh penularan HIV dari suami atau pasangan intim yang
memiliki perilaku beresiko. Keadaan ini dapat meningkatkan resiko penularan dari
ibu ke anak. Dengan demikian permasalahan HIV harus segera ditangani dengan
baik. Bila tidak ditangani, epidemi HIV akan merambat masuk ke dalam keluarga
dan masyarakat umum (KPA, 2010 dalam Yopan, 2012).
Semakin tingginya jumlah penderita penyakit ini di Indonesia, selain membebani
pembiayaan sistem kesehatan juga menimbulkan dampak sosial ekonomi yang tak
sedikit karena sebagian besar penderita berada dalam usia produktif (20-39 tahun).
Hal ini memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan
sumber daya manusia sehingga mengakibatkan berkurangnya daya saing bangsa
dalam percaturan global dunia. Makin bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS
terutama pada anak dan wanita menyebabkan terancamnya Millenium
Developmental Goals 2015 (4,5, dan 6) (Syafrawati, 2006 dalam Yopan, 2012).
I.

2. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:


1.

Mengetahui tentang HIV/AIDS

2.

Mengetahui gejala penyakit HIV/AIDS

3.

Mengetahui cara penularan penyakit HIV/AIDS

4.

Memahami pengobatan penanganan penyakit HIV/AIDS

5.

Mengetahui Pencegahan penyakit HIV/AIDS pada ibu hamil

I.

3. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini, antara lain:
1. Apa pengertian HIV/AIDS ?
2. Apa gejala-gejala orang yang mengidap penyakit HIV/AIDS ?
3.

Bagaimana penularan penyakit HIV/AIDS?

4.

Bagaimana pengobatan/ penanganan penyakit HIV/AIDS ?

5.

Bagaimana pencegahan penyakit HIV/AIDS pada ibu hamil ?

I.

4. Manfaat Penulisan

1. Adapun manfaat memberikan informasi kepada pembaca tentang pengertian,


penyebab, penularan, pencegahan dan penanganan HIV/AIDS.
I.
1.

5. Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode pustaka yaitu metode

pengumpulan data dengan cara mengutip sumber-sumber tertulis.

BAB II
PEMBAHASAN
II.

1. Pengertian HIV/AIDS

Menurut Andy (2011), Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired


Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi
(sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat
infeksi virus HIV. Virus penyebab adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV)
merupakan virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih,
sehingga melemahkan kekebalan manusia dan menyebabkan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome). Orang yang terinfeksi virus ini menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor/kanker. Meskipun
penanganan yang ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun
penyakit ini belum bisa disembuhkan.
Virus HIV menyerang sel putih dan menjadikannya tempat berkembang biaknya
Virus. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa
kekebalan tubuh maka ketika tubuh kita diserang penyakit, Tubuh kita lemah dan
tidak mampu melawan penyakit yang datang dan akibatnya kita dapat meninggal
dunia meski terkena influenza atau pilek biasa (Andy, 2011).
Ketika tubuh manusia terkena virus HIV maka tidaklah langsung menyebabkan
atau menderita penyakit AIDS, melainkan diperlukan waktu yang cukup lama
bahkan bertahun-tahun bagi virus HIV untuk menyebabkan AIDS atau HIV positif
yang mematikan (Andy 2011).
Menurut Ayu (2012), HIV, virus penyebab AIDS, juga dapat menular dari ibu yang
terinfeksi HIV ke bayinya. Tanpa upaya pencegahan, kurang-lebih 30 persen bayi

dari ibu yang terinfeksi HIV menjadi tertular juga. Ibu dengan viral load tinggi
lebih mungkin menularkan HIV kepada bayinya. Namun tidak ada jumlah viral
load yang cukup rendah untuk dianggap "aman". Infeksi dapat terjadi kapan saja
selama kehamilan, namun biasanya terjadi beberapa saat sebelum atau selama
persalinan. Bayi lebih mungkin terinfeksi bila proses persalinan berlangsung lama.
Selama persalinan, bayi yang baru lahir terpajan darah ibunya. Meminum air susu
dari ibu yang terinfeksi dapat juga mengakibatkan infeksi pada si bayi. Ibu yang
HIV-positif sebaiknya tidak memberi ASI kepada bayinya. Untuk mengurangi
risiko infeksi ketika sang ayah yang HIV-positif, banyak pasangan yang
menggunakan pencucian sperma dan inseminasi buatan.
AIDS bukan penyakit turunan, oleh sebab itu dapat menulari siapa saja.Virusnya
sendiri bernama HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh
manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik ataupun mudah terkena tumor . Meskipun penanganan yang telah ada
dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benarbenar bisa disembuhkan. Penyakit ini kadang disebut infeksi oportunistik, karena
penyakit ini menyerang dengan cara memanfaatkan kesempatan ketika kekebalan
tubuh menurun sehingga kanker dan infeksi oportunistik inilah yang dapat
menyebabkan kematian.
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS
pada wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah
terinfeksi HIV (Ayu, 2012). Pada negara berkembang isteri tidak berani mengatur
kehidupan seksual suaminya di luar rumah. Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan
ekonomi wanita yang masih rendah, dan isteri sangat percaya bahwa suaminya
setia, dan lagi pula masalah seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan.

Virus HIV dikenal secara terpisah oleh para peneliti di Institut Pasteur Perancis
pada tahun 1983 dan NIH yaitu sebuah institut kesehatan nasional di Amerika
Serikat pada tahun 1984. Meskipun tim dari Institute Pasteur Perancis yang
dipimpin oleh Dr. Luc Montagnie, yang pertama kali mengumumkan penemuan ini
di awal tahun 1983 namun penghargaan untuk penemuan virus ini tetap diberikan
kepada para peneliti baik yang berasal dari Perancis maupun Amerika. Peneliti
Perancis memberi nama virus ini LAV atau Lymphadenopathy Associated Virus.
Tim dari Amerika yang dipimpin Dr. Robert Gallo menyebut virus ini HTLV-3 atau
Human T-cell Lymphotropic Virustype-3 (Ayu, 2012).
Kemudian Komite Internasional untuk Taksonomi Virus memutuskan untuk
menetapkan nama Human Immunodeficiency Virus (HIV) sebagai nama yang
dikenal sampai sekarang. Maka para peneliti tersebut juga sepakat untuk
menggunakan istilah HIV. Sesuai dengan namanya, virus ini memakan imunitas
tubuh (Ayu, 2012).
AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease
Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis
(sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh
Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual diLos Angeles (Ayu,
2012).
Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2.
HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk ke dalam tubuh. HIV-1 adalah
sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan
kebanyakan berada di Afrika Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata.
Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes troglodytes yang ditemukan di

Kamerunselatan. HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet


dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun (Ayu, 2012).
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak
dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging. Teori
yang lebih kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS,
menyatakan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an diKongo
Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary Koprowski terhadap vaksin polio.
Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya berpendapat bahwa skenario
tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada (Ayu, 2012).
Menurut Ayu (2012), berdasarkan hal tersebut diatas maka penderita AIDS
dimasyarakat digolongkan kedalam 2 kategori yaitu :
1.

Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita

AIDS positif).
2.

Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis

(penderita AIDS negatif).


Penyakit AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu singkat
terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara.
Dikatakan pula bahwa epidemi yang terjadi tidak saja mengenai penyakit (AIDS ),
virus (HIV) tetapi juga reaksi/dampak negatif berbagai bidang seperti kesehatan,
sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan demografi. Hal ini merupakan tantangan
yang harus dihadapi baik oleh negara maju maupun negara berkembang (Ayu,
2012).
Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan
masalah penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif dalam

upaya menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus meningkat adalah


upaya pencegahan yang dilakukan semua pihak yang mengharuskan kita untuk
tidak terlibat dalam lingkungan transmisi yang memungkinkan dapat terserang
HIV (Ayu, 2012).
II.

2. Gejala-gejala Penyakit HIV/AIDS

Seseorang yang terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak
memberikan tanda dan gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam
selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus
HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap
sehat dalam beberapa tahun dan perlahan kekebelan tubuhnya menurun/lemah
hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu cara untuk
mendapat kepastian adalah dengan menjalani Uji Antibodi HIV terutamanya jika
seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang berisiko terkena virus HIV
(Andy, 2011).
Menurut Andy (2011), adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita
penyakit AIDS diantaranya adalah seperti dibawah ini :

Saluran pernafasan. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak,

batuk, nyeri dada dan demam seprti terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia).
Tidak jarang diagnosa pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC.

Saluran Pencernaan. Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala

seperti hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur
pada rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diarhea yang kronik.

Berat badan tubuh. Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting

syndrome, yaitu kehilangan berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena

gangguan pada sistem protein dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal
sebagai Malnutrisi termasuk juga karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan
pada sistem pencernaan yang mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan
lemah kurang bertenaga.

System Persyarafan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang

mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak


kebingungan dan respon anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung
(Peripheral) akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki,
reflek tendon yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten.

System Integument (Jaringan kulit). Penderita mengalami serangan virus cacar

air (herpes simplex) atau carar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit
kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami
infeksi jaringan rambut pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak (kulit
lapisan luar retak-retak) serta Eczema atau psoriasis.

Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita. Penderita seringkali mengalami

penyakit jamur pada vagina, hal ini sebagai tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka
pada saluran kemih, menderita penyakit syphillis dan dibandingkan Pria maka
wanita lebih banyak jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah
penderita AIDS wanita banyak yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic
dikenal sebagai istilah pelvic inflammatory disease (PID) dan mengalami masa
haid yang tidak teratur (abnormal).

II.

3. Penularan Penyakit HIV/AIDS

Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh manusia, dan paling banyak ditemukan
pada darah, cairan sperma dan cairan vagina. Pada cairan tubuh lain bisa juga
ditemukan, misalnya air susu ibu dan juga air liur, tapi jumlahnya sangat sedikit
(Andy, 2011)..
Sejumlah 75-85% penularan virus ini terjadi melalui hubungan seks (5-10%
diantaranya melalui hubungan homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang
tercemar (terutama para pemakai narkoba suntik yang dipakai bergantian), 3-5%
dapat terjadi melalui transfusi darah yang tercemar (Andy, 2011).
Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia produktif
(15-50 tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita cenderung
meningkat (Andy, 2011).
Infeksi pada bayi dan anak-anak 90% terjadi dari ibu yang mengidap HIV. sekitar
25-35% bayi yang dilahirkan ibu yang terinfeksi HIV, akan tertular virus tersebut
melalui infeksi yang terjadi selama dalam kandungan, proses persalinan dan
pemberian ASI (Andy, 2011).
Dengan pengobatan antiretroviral pada ibu hamil trimester terakhir, resiko
penularan dapat dikurangi menjadi 8%(Andy, 2011).
Penelitian baru menunjukkan bahwa perempuan HIV-positif yang hamil tidak
menjadi lebih sakit dibandingkan yang tidak hamil. Ini berarti menjadi hamil tidak
mempengaruhi kesehatan perempuan HIV-positif(Andy, 2011).
Menurut Yopan (2012), peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama
kehamilan adalah mereka yang berperilaku seks bebas dan mungkin karena
penyebab biologis yang tidak diketahui.

Ada beberapa cara penularan HIV/AIDS yaitu sebagai berikut :


a. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual
merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini
berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan
dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV
tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis
hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive
untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang
dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual
dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi
terinfeksi virus HIV (Yopan, 2012).
b. Transmisi Non Seksual

Transmisi Parenral

Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang
telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat
juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa
disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari
1%.
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat
sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat

sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko
tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90% (Yopan, 2012).

Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko
sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu
menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah
(Yopan, 2012).
c.

Penularan Masa Prenatal

HIV dapat ditularkan dari ibu ke bayinya dengan tiga cara yaitu di dalam uterus
(lewat plasenta), sewaktu persalinan dan melalui air susu ibu. Pada bayi yang
menyusui kira-kira separuhnya transmisi terjadi sewaktu sekitar persalinan,
sepertiganya melalui menyusui ibu dan sebagian kecil di dalam uterus. Bayi
terinfeksi yang tidak disusui ibunya, kira-kira dua pertiga dari transmisi terjadi
sewaktu atau dekat dengan persalinan dan sepertiganya di dalam uterus (Ayu,
2012).
Kehamilan
Menurut Ayu (2012), kehamilan bisa berbahaya bagi wanita dengan HIV atau
AIDS selama persalinan dan melahirkan. Ibu sering akan mengalami masalahmasalah sebagai berikut :
1) Keguguran
2) Demam, infeksi dan kesehatan menurun.
3) Infeksi serius setelah melahirkan, yang sukar untuk di rawat dan mungkin
mengancam jiwa ibu.

Melahirkan
Setelah melahirkan cucilah alat genitalia 2 kali sehari dengan sabun dan air bersih
sehingga terlindungi dari infeksi (Yopan, 2012).
Menyusui
Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%. Infeksi HIV kadang-kadang
ditularkan ke bayi melalui air susu ibu (ASI). Saat ini belum diketahui dengan pasti
frekuensi kejadian seperti ini atau mengapa hanya terjadi pada beberapa bayi
tertentu tetapi tidak pada bayi yang lain. Di ASI terdapat lebih banyak virus HIV
pada ibu-ibu yang baru saja terkena infeksi dan ibu-ibu yang telah memperlihatkan
tanda-tanda penyakit AIDS. Setelah 6 bulan, sewaktu bayi menjadi lebih kuat dan
besar, bahaya diare dan infeksi menjadi lebih baik. ASI dapat diganti dengan susu
lain dan memberikan makanan tambahan. Dengan cara ini bayi akan mendapat
manfaat ASI dengan resiko lebih kecil untuk terkena HIV (Yopan, 2012).
II.

4. Penanganan Penyakit HIV/AIDS

Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satusatunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak
dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah
kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP).
PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP
juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak
badan, mual, dan lelah (Yopan, 2012).
Berbagai upaya telah dilakukan dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
antara lain: KIE, promosi perilaku seksual aman, penyediaan darah transfusi yang
aman dari HIV, pemasaran kondom, pemeriksaan dan pengobatan IMS, surveilans

HIV/STS, surveilans AIDS, layanan VCT yang masih terbatas pada RS tertentu
dan LSM, pelatihan bagi petugas kesehatan serta lintas sektor (universal
precaution, VCT), pengobatan dan perawatan ODHA yang masih terbatas, dan
penelitian perilaku pada kelompok risiko tinggi (Yopan, 2012).
Kendatipun dari berbagai negara terus melakukan researchnya dalam mengatasi
HIV AIDS, namun hingga saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya termasuk
serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV
penyebab penyakit AIDS. Adapun tujuan pemberian obat-obatan pada penderita
AIDS adalah untuk membantu memperbaiki daya tahan tubuh, meningkatkan
kualitas hidup bagi meraka yang diketahui terserang virus HIV dalam upaya
mengurangi angka kelahiran dan kematian (Yopan, 2012).
Antibiotik adalah pengobatan untuk gonore. Pasangan seksual juga harus diperiksa
dan diobati sesegera mungkin bila terdiagnosis gonore. Hal ini berlaku untuk
pasangan seksual dalam 2 bulan terakhir, atau pasangan seksual terakhir bila
selama 2 bulan ini tidak ada aktivitas seksual. Banyak antibiotika yang aman dan
efektif untuk mengobati gonorrhea, membasmi N.gonorrhoeae, menghentikan
rantai penularan, mengurangi gejala, dan mengurangi kemungkinan terjadinya
gejala sisa (Yopan, 2012).
Ada beberapa cara untuk mengobati atau menangani HIV/AIDS, yaitu:

Terapi Anti Virus

Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif
(highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat
bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah
ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik
HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat ( disebut koktail )

yang terdiri dari paling sedikit dua macam ( atau kelas ) bahan antiretrovirus.
Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse
transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih
cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka
rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk
orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan
HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan
berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai
perawatan awal (Yopan, 2012).
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya
jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV
ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten
terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula,
dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi
HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV
mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka,
sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan
tingkat kematian (mortalitas) karena HIV (Yopan, 2012).
Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan
kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan
selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan
HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun.
Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh
persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena
adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus

sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat (Yopan,
2012).
Ketidaktaatan dan ketidak teraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah
alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari
penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan
tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama
ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial,
penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks,
karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan,
dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin. Berbagai efek samping yang juga
menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara lain
lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem
kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan (Yopan, 2012).
Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia
tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS
tersebut (Yopan, 2012).

Penanganan eksperimental dan saran

Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan
epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya
pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya
dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20
tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin (Yopan,
2012).
Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi
efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan

pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi


adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah
pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani
pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan
untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko terinfeksi. Pasien
yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan
mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis,
demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan
banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut (Yopan, 2012).

Pengobatan alternatif

Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau


mengubah arah perkembangan penyakit. Akupunktur telah digunakan untuk
mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy)
seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri, namun tidak menyembuhkan infeksi HIV.
Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak
terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada
perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek
samping negatif yang serius (Yopan, 2012).
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral
kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa,
meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas)
akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik.
Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa
manfaat. Pemakaian seleniumdengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban
tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium

dapat digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan


antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan
mortalitas dan morbiditas (Yopan, 2012).
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alternatif memiliki
hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat
meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat
psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat
paling penting dari pemakaiannya (Yopan, 2012).
II.

5. Pencegahan Penyakit HIV/AIDS pada ibu hamil

Menurut Yopan (2012), penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat
cara, mulai saat hamil, saat melahirkan, dan setelah lahir yaitu:

Penggunaan antiretroviral selama kehamilan

Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru dilahirkan

Penatalaksanan selama menyusui

Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap virus tersebut
hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV ibu
menembus plasenta. Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari ada
tidaknya antibodi IgG ,erupakan hal yang sia-sia, karena uji ini tidak dapat
membedakan antibody bayi dari antibody ibu. Sebagian besar dari bayi ini, seiring
dengan waktu, akan berhenti memperlihatkan antibody ibu dan juga tidak
membentuk sendiri antibody terhadap virus, yang menunjukkan status seronegatif.
Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan
seperti biakan virus, antigen p24, atau analisis PCR untuk RNA atau DNA virus.

PCR DNA HIV adalah uji virologik yang dianjurkan karena sensitive untuk
mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus (Yopan, 2012).
Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum
diketahui pasti. Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang
tidak menyusui dan tidak diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40%
pada populasi serupa di negara-negara yang sedang berkembang. Tanpa menyusui,
sekitar 20% dari infeksi HIV pada bayi terjadi in utero dan 80% terjadi selama
persalinan dan pelahiran. Penularan pascapartus dapat terjadi melalui kolostrum
dan ASI dan diperkirakan menimbulkan tambahan risiko 15% penularan perinatal
(Yopan, 2012).
Menurut Yopan (2012), factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko
penularan mencakup penyakit ibu yang lanjut, kadar virus dalam serum yang
tinggi, dan hitung sel T CD4+ yang rendah. Pada tahun 1994, studi 076 dari the
Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) membuktikan bahwa pemberian
zidovudin kepada perempuan hamil yang terinfeksi HIV mengurangi penularan ibu
ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika Serikat, insiden
AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun 1992 sampai 1997
akibat uji HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi zidovudin.
Perempuan merupakan sekitar 20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat.
Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih
banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain pemberian
zidovudin oral kepada ibu positif HIV selama masa hamil, tindakan-tindakan lain
yang dianjurkan untuk mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak antaea
lain:

1) seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi


angka penularan sebesar 50%);
2) pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;
3) pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;
4) tidak memberi ASI
Data menunjukkan bahwa perkembangan penyakit mengalami percapatan pada
anak. Fase asimptomatik lebih singkat pada anak yang terjangkit virus melalui
penularan vertical. Waktu median sampai awitan gejala lebih kecil pada anak, dan
setelah gejala muncul, progresivitas penyakit menuju kematian dipercepat. Pada
tahun 1994, CDC merevisi sistem klasfikasi untuk infeksi HIV pada anak berusia
kurang dari 13 tahun. Pada sistem ini, anak yang terinfeksi diklasifikasikan
menjadi kategori-kategori berdasarkan tiga parameter: status infeksi, status klinis,
dan status imunologik (Yopan, 2012).
Perjalanan infeksi HIV pada anak dan dewasa memiliki kemiripan dan perbedaan.
Pada anak sering terjadi disfungsi sel B sebelum terjadi perubahan dalam jumlah
limfosit CD4+. Akibat disfungsi sistem imun ini, anak rentan mengalami infeksi
bakteri rekuren. Invasi oleh pathogen-patogen bakteri ini menyebabkan berbagai
sindrom klinis pada anak seperti otitis media, sinusitis, infeksi saluran kemih,
meningitis infeksi pernapasan, penyakit GI, dan penyakit lain (Yopan, 2012).
Seluruh dunia, pada tahun 2008 diperkirakan 430.000 [240.000-610.000] infeksi
baru karena human immunodeficiency virus (HIV) terjadi pada anak-anak, yang
90% diperoleh melalui motherto-child transmission (MTCT) HIV. Dari 430.000
infeksi baru, antara 280 dan 360.000.000 diperoleh selama persalinan danpada
periode pra-melahirkan. Dari infeksi baruyang tersisa, sebagian besar diperoleh

selama menyusui. Pada bayi yang terjangkit HIV selama waktu persalinan,
perkembangan penyakit terjadi sangat cepat dalam beberapa bulanp ertama
kehidupan, sering menyebabkan kematian. Untuk mengaktifkan antiretroviral
(ARV) profilaksis harus diberikan kepada bayi sesegera mungkin setelah lahir,
semua bayi yang memiliki status pajanan HIV harus diketahui sejak lahir (Yopan,
2012).
Data terbaru yang diterbitkan mengkonfirmasi manfaat kelangsungan hidup
dramatis bagi bayi yang mulai diberikan ART sedini mungkin setelah diagnosis
HIV, diperoleh dari review Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pedoman
pengobatan pediatrik. Pada Juni 2008, pedoman baru dikeluarkan, yang
merekomendasikan inisiasi ART segera pada bayi didiagnosis dengan infeksi HIV.
Dalam rangka untuk mengidentifisikan bayi yang akan membutuhkan ART segera,
konfirmasi awal dari infeksi HIV diperlukan. Pada November 2008, pertemuan
diadakan untuk meninjau rekomendasioleh WHO untuk pengujian
diagnostikinfeksi HIVpada bayi dan anak-anak (Yopan, 2012).
BAB III
PENUTUP
III. 1. Kesimpulan
AIDS merupakan masalah kesehatan internasional yang perlu segera
ditanggulangi. AIDS berkembang secara pandemi hampir di setiap negara di
Dunia, termasuk Indonesia.
Sampai saat ini obat dan vaksin untuk menaggulangi AIDS belum ditemukan.
Untuk itu alternatif lain yang lebih mendekati dalam upaya pencegahan. Upaya

pencegahan dapat dilakukan oleh semua pihak asal mengetahui cara-cara penularan
AIDS.
Penularan AIDS terjadi melalui hubungan seksual, parental dan transplasental,
sehingga upaya pencegahan perlu diarahkan untuk merubah perilaku seksual
masyarakat (terutama yang memilikiki resiko tinggi), menghindari infeksi melalui
donor darah, dan upaya pencegahan infeksi perinatal sebelum ibu hamil.
Perubahan perilaku dilakukan dengan penyuluhan kesehatan.
III. 2. Saran
Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan saran
sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik

Daftar Pustaka
Andy. 2011. HIV/AIDS Pada Ibu Hamil. http://ilmu-pasti-pengungkapkebenaran.blogspot.com/2011/11/hivaids-pada-ibu-hamil.html. Diakses tanggal 09
April 2013
Ayu. 2012. Pengaruh HIV/AIDS Terhadap Sistem Kekebalan Tubuh.
http://ayups87.wordpress.com/2012/06/16/makalah-pengaruh-hivaids-terhadapsistem-kekebalan-tubuh-manusia/. Diakses tanggal 09 April 2013
Yopan. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Ibu Hamil Dengan HIV/AIDS.
http://yopangumilar.blogspot.com/2012/03/makalah-askep-pada-ibu-hamildengan.html. Diakses tanggal 09 April 2013

Anda mungkin juga menyukai