Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DIAGNOSIS
dimakan beberapa jam sebelumnya) merupakan tanda adanya retensi cairan lambung karena
komplikasi ulkus (gastric outlet obstruction atau stenosis pilorus).
4.3.
Pemeriksaan Penunjang
Pada ulkus peptikum dapat dilakukan beberpa pemeriksaan penunjang, tetapi Gold
Biopsi diambil dari pinggiran dan dasar ulkus minimal 4 sampel untuk 2
kuadran. Bila ukuran ulkus besar, sampel diambbil dari 3 kuadran yaitu dari dasar,
pinggir, dan sekitar ulkus.
Dianjurkan untuk biopsi & endoskopi ulang 8-12 minggu setelah terapi
eradikasi. Keunggulan endoskopi dibanding radiologi adalah : dapat mendeteksi lesi
kecil diameter < 0,5 cm, dapat melihat lesi yang tertutupi darah dengan
penyemprotan air,dapat memastikan suatu tukak ganas atau jinak, dapat menentukan
adanya kuman H.Pylorisebagai penyebab tukak.
Mendeteksi
adanya
keberadaan
urea
yang
4.4.
Diagnosis Banding
1.
2.
3.
4.
GERD
Gastritis
Kanker Lambung
Infark Miokard akut
BAB V
PENATALAKSANAAN
Istirahat
Istirahat yang cukup dapat mempercepat penyembuhan. Secara umum pasien tukak
peptik dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila kurang berhasil atau ada kompliksai baru
dianjurkan rawat inap. Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat inap walaupun
Diet Lambung
Jenis diet yang termasuk dalam diet gangguan sistem pencernaan yakni diet
lambung, diet rendah sisa, dan diet tinggi serat. Penyakit lambung atau gastrointestinal
meliputi gastritis akut dan kronik, ulkus peptikum, pasca operasi lambung yang sering
diikuti dengan dumping syndrome dan kanker lambung. Gangguan gastrointestinal
sering dihubungkan dengan emosi atau psikoneurosis dan/atau makan terlalu cepat karena
kurang dikunyah serta. Dan juga gangguan pada lambung umumnya berupa sindrom
dispepsia, yaitu kumpulan gejala yang terdiri dari mual, muntah, nyeri epigastrium,
kembung, nafsu makan berkurang, dan rasa cepat kenyang. Pemberian diet lambung ini
bertujuan memberikan makanan yang tidak merangsang, dapat mengurangi pengeluaran
sekresi lambung dan dapat menetralkan kelebihan asam hidroklorid. Diet ini di berikan
pada pasien dengan ulkus peptikum, esofagitis, thypus abdominalis, dan pasien paska
bedah saluran pencernaan.
Syarat-syarat pemberian diet lambung, yaitu :
1. Mudah dicerna, pola makan yang diberikan sedikit dengan frekuensi sering.
2. Cukup protein untuk mengganti jaringan rusak.
3. Makanan memenuhi kebutuhan gizi normal secara bertahap.
4. Makanan tidak merangsang secara mekanis, termis dan kimia lambung.
Diet lambung di bagi menjadi 4 :
1. Diet lambung I
Diet ini di berikan pada pasien dengan ulkus peptikum akut, ulkus
peptikum di sertai pendarahan, esofagitis, gastritis akut, dan thypus abdominalis
berat. Bahan makanan yang di berikan berupa susu dan bubur, susu yang di
berikan hanya 2 hari karena kandungan kalorinya, zat besi, thiamin, dan vitamin
C sangat kurang. Cara pemberian diet ini di lakukan tiap 3 jam dengan porsi
kecil.
2. Diet lambung II
Diet ini di berikan sebagai pengalihan dari diet lambung I, dimana kondisi
fase akut telah di atasi, pada pasien dengan thypus abdominalis dengan suhu
tubuh tinggi, dan pasien dengan pasca bedah saluran pencernaan tertentu.
Makanan ini di berikan selama beberapa hari saja. Bentuk makanan yang di
berikan makanan saring atau cincang dalam tiap 3 jam.
3. Diet lambung III
Diet ini di berikan sebagai peralihan dari diet lambung II, atau di berikan
pada pasien dengan ulkus peptikum ringan, thypus abdominalis dengan suhu
tubuh yang sudah kembali normal. Kandungan makanan yang ada yaitu cukup
kalori, protein, mineral, vitamin C, tetapi kurang thiamin. Bentuk makanan yang
di berikan makanan lunak.
4. Diet lambung IV
Diet lambung ini di beriakan sebagai makanan peralihan dari diet lambung
III atau pasien yang mengalami,ulkus peptikum ringan, gastritis ringan, esofagitis
ringan dan thypus abdominalis masa penyembuhan. Kandungan makanan pada
diet ini cukup kalori dan semua zat-zat gizi. Bentuk makanan yang di berikan
adalah makanan lunak dan biasa.
3.
lambung untuk mempertahankan pH lambung yang normal (3 - 4). Dilihat dari sudut efek
yang merusak dari asam dan pepsin maka pencapaian pH yang ideal adalah pH 5 dimana
kapasitas proteolitik pepsin dapat dihilangkan
diminimalkan.
Ada bermacam-macam antasida yang beredar di pasaran, baik jenis dan merk dagang.
Antasid merupakan senyawa basa yang dapat menetralkan asam secara kimiawi misalnya
kalsium karbonat, alumunium hidroksida, magnesium hidroksida dalam kombinasi.
Indikasi Antasida adalah pengobatan simptomatik nyeri epigastrum, nyeri lambung dan
rasa kembung yang menyertai hipersiditas lambung, gastritis, ulkus lambung dan ulkus
duodenum.
Antasida diberikan bersama simetidin atau tetrasiklin oral dapat mempengaruhi
penyerapan obat-obat tersebut. Karena itu diberikan dengan interval 2 jam. Antasida sampai
sekarang masih tetap digunakan secara luas dalam kombinasi dengan obat-obat antiulkus
karena memberikan pengurangan rasa nyeri di ulu hati dengan cepat dan efektif walaupun
bersifat sementara. Nyeri dapat diatasi dengan meningkatkan pH isi lambung diatas 2 dan
keadaan ini mudah dapat dicapai dengan pemberian antasida, tetapi untuk menyembuhkan
ulkus diperlukan pemberian antasida yang sering dengan dosis yang mencukupi.
Pemberian dosis tinggi yang menyebabkan peningkatan pH yang tinggi disertai acid
rebound yang akan menurunkan pH kembali, sehingga diperlukan pemberian antasida dengan
interval yang makin pendek (makin sering) agar pH tetap tinggi secara kontinyu. Dikenal 2
regimen dosis yaitu:
1. Pengobatan antasida yang intensif
Pengobatan ini bertujuan menyembuhkan ulkus, antasida diberikan 1 dan 3 jam
setelah makan dan sebelum tidur (dibagi dalam 7 kali pemberian).
2. Pengobatan antasida yang tidak intensif
Termasuk disini pengobatan untuk menghilangkan ras nyeri. Untuk keperluan
ini antasida cukup diminum sesuai kebutuhan. Makanan dan minuman juga
mempunyai kemmpuan untuk menetralkan asam lambung, sehingga dikenal istilah
pain food reliefe, tetapi netralusasi ini hanya bersifat sementara, oleh karena 1 jam
kemudian sekresi asam mencapai puncaknya. Karena itu rasa nyeri akan timbul
kembali, biasanya mulai kurang lebih 90 menit setelah makan. Adanya makanan akan
memperlambat pengosongan lambung sehing daya kerja antasida lebih panjang, yaitu
sekitar 2 jam.
Pada lambung yang kosong, daya kerja antasida hanya 20 - 40 menit, karena
antasida dengan cepat masuk ke duodenum. Satu jam sesudah makan sekresi asam
lambung mencapai maksimal, karena itu pemberian antasida yang tepat adalah 1 jam
sesudah makan dan daya kerja antasida akan bertahan lebih lama karena makanan
akan memperlambat pengosongan lambung. Antasida diberikan lagi 3 jam sesudah
makan dengan maksud untuk memperpanjang daya kerja antasida kira-kira 1 jam lagi.
Pada keadaan yang lebih parah misalnya pada ulkus berat atau terjadi
misoprostol dan telah diakui oleh FDA. Dosisnya 4 x 200 mg atau 2 x 400 mg pagi
dan malam hari. Efek sampingnya berupa diare, mual, muntah, dan menimbulkan
kontraksi otot uterus/perdarahan sehingga tidak dianjurkan pada ibu hamil.
4. Antagonis Reseptor H2
Obat golongan ini mempunyai satu persamaan, yaitu memiliki gugus imidazol
histamin yang dianggap penting sekali menghambat reseptor Histamin-2 yang
merupakan mediator untuk sekresi asam.
a. Cimetidin
Cimetidin mempunyai fungsi menghambat sekresi asam basal dan nokturnal.
Obat ini juga akan menghambat sekresi asam lambung, oleh karena rangsangan
makanan. Obat ini dapat juga digunakan untuk pengobatan gastritis kronis
dengan hipersekresi asam lambung dan tukak peptik yang mengalami
perdarahan.1
Dosis cimetidin yang dianjurkan sehari, 3 kali 200 mg, ditambah 200 mg
sebelum tidur malam yang diberikan 4-6 minggu, kemudian dilanjutkan 200 mg
tiap malam. Adapula yang memberikan 400 mg sehari 2 kali, yang juga cukup
efektif. Obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan pada wanita hamil. Cimetidin
200-400 mg yang diberikan pada malam hari, cukup efektif untuk mencegah
kambuhnya kembali tukak peptik.1
b. Ranitidin
Ranitidin banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tukak peptik baik yang akut
maupun yang kronis, dan khasiatnya 4-10 kali cimetidin. Ranitidin menghambat
sekresi asam lambung baik dalam keadaan basal maupun sebagai respon
terhadap berbagai rangsangan. Sifat inhibitor terhadap sekresi asam lambung
tergolong kuat dengan masa kerja lama, sehingga cukup diberikan dua kali
sehari. Ranitidin tidak mempengaruhi fungsi hati. Sebagian besar ranitidin baik
yang diberikan peroral maupun parenteral secara intravena.1
Pemberian ranitidin dalam dosis terapi menunjukkan tidak terjadi interaksi
dengan obat lain. Ranitidin selain digunakan untuk mengobati tukak peptik, juga
digunakan untuk mengobati gastritis dengan hipersekresi asam lambung.
Ranitidin juga bermanfaat untuk pengobatan kelainan lambung akibat
pemberian obat antirematik (NSAID = Non Steroid Anti Inflammatory Disease)
baik dengan atau tanpa perdarahan. Dosis peroral yang dianjurkan dua kali 100
mg, yang diberikan 4-6 minggu, untuk selanjutnya dilanjutkan 150 mg diberikan
tiap malam.1
c. Roxatidin
Pemberian roxatidin asetat terbukti sangat kuat menghambat sekresi asam
lambung pada malam hari. Pengeluaran asam lambung basal juga berkurang
sekitar 90% setelah 3 jam pemberian peroral 50 mg roxatidin asetat. Efektivitas
roxatidin asetat setara dengan cimetidin dan ranitidin dalam mempertahankan
bebas tukak, tetapi dengan roxatidin hal ini dapat dicapai dengan dosis rendah.1
Berdasarkan hasil penelitian obat ini lebih aman daripada cimetidin. Dosis
yang dianjurkan yaitu dua kali 75 mg sehari atau 150 mg yang diberikan malam
hari sebelum tidur. Pada tukak peptik sebaiknya diberikan selama 4-6 minggu
dengan dosis 150 mg/hari, selanjutnya diberikan 75 mg tiap malam hari untuk
mencegah kekambuhan. Pada gangguan fungsi ginjal sebaiknya dosis roxatidin
dikurangi menjadi 75 mg/hari.1
d. Famotidin
Famotidin dapat diberikan pada penderita tukak peptik yang disertai sirosis
hati, dan juga pada gangguan faal ginjal yang ringan. Dosis yang dianjurkan
adalah 20 mg sehari atau 40 mg yang diberikan hanya sekali sebelum tidur
malam hari. Pada tukak peptik diberikan pengobatan selama 4-6 minggu,
selanjutnya diberikan 20 mg tiap malam selama 4 minggu guna mencegah
kekambuhan. Penderita tukak peptik yang mengalami perdarahan atau pada
stress ulcer dengan perdarahan sebaiknya diberikan famotidin 20 mg secara
intravena dua kali sehari. Pemberian ini selama 3-5 hari dan biasanya
perdarahan akan berhenti, kemudian dilanjutkan peroral. Penderita dengan
gastritis dapat diberikan dosis lebih rendah yaitu 20 mg tiap malam sebelum
tidur.1
cepat dengan pompa proton dan menghambatnya secara efektif yaitu menghambat
sekresi asam sebanyak 95 % selama 24 jam. Untuk menghindari pemecahan
omeprazole dalam rongga lambung yang asam, adalah formulasi oralnya mengandung
granul selaput enterik yang tahan asam. Jadi omeprazole menghambat sekresi asam
pada tahap akhir mekanisme sekresi asam yaitu di pompa proton. Sifat omeprazole
yang lipofilik sehingga mudah menembus membran sel parietal tempat sel dihasilkan.
Omeprazole hanya aktif dalam lingkungan asam dan tidak aktif pada pH fisiologis,
sehingga tidak menghambat pompa proton di tempat lain. Hal ini membuat
omeprazole aman karen hanya menghambat pompa proton di sel parietal lambung.
Dengan menghambat produksi asam pada tahap ini, berarti omeprazole mengontrol
sekresi asam tanpa terpengaruh rangsangan lain (histamin, asetilkolin).
Contoh obat ini adalah omeprazol, lansoprazol, pantoprazol, dll. Mekanisme
kerjanya adalah memblokir kerja enzim K+H+ ATPase yang akan memecah K+H+ ATP
untuk menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCl dari
kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. Efek penekanan sekresi asam
maksimal 2-6 jam dan lama efek kerjanya 72-96 jam. Dosis yang diberikan untuk
omeprazole 2 x 20 mg/ standar dosis atau 1 x 40 mg/ dobel dosis, dan
lanzoprazole/pantoprazole 2 x 40 mg/standar dosis atau 1 x 60 mg/ dobel dosis. Efek
sampingnya pada jangka panjang akan menimbulkan kerusakan gastrin darah dan
menimbulkan tumor karsinoid.
5.2.3.
antibiotik (triple therapy) merupakan cara terbaik, yang masing-masing diberikan 710 hari.
a. PPI
Amoksisilin
Klaritromisin 2x500mg
b. PPI
Amoksisilin
2x1
2x1 gr/hari
Metronidazol 2x500mg
c. PPI
2x1
Klaritromisin 2x500mg/hari
Metronidazol 2x500mg
5.2.4.
5.2.5.
5.2.6.
Obat-obat koagulansia yang dapat diberikan seperti tranexamic acid. Obat ini bekerja agar
darah beku yang terbentuk tidak terlepas lagi
5.2.7.
Terapi endoskopi
Terapi hemostatik per endoskopik dengan adrenalin atau etoksisklerol atau obat
fibrinogen trombin atau tindakan hemostatik dengan heat probe atau terapi laser atau
terapi koagulasi listrik atau bipolar probe.
5.3.
Terapi Bedah
pada
daerah
antrum
dilakukan
anterektomi,
dan
Bilroth
BAB VI
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
6.1.
Komplikasi
dapat menimbulkan fistula gastrokolik. Penetrasi adalah suatu bentuk perforasi yang tidak
terbuka/tanpa pengeluaran isi lambung karena tertutup oleh omentum/organ perut di
sekitar. Komplikasi ini sering terjadi, dan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu :
a. Tahap I
Nyeri dirasakan sangat hebat dan perut terasa tegang, karena cairan lambung dan
makanan masuk dalam kavum peritonii, sehingga menimbulkan rangsangan pada
peritoneum. Selain itu penderita juga mengeluh nausea dan vomitus. Kulit penderita
menjadi dingin walaupun suhu normal, auskultasi di abdomen tidak ditemukan bising
usus, frekuensi inspirasi biasanya bertambah dangkal, terdapat pernapasan kostal, nadi
normal atau bertambah cepat, tekanan darah biasanya normal tetapi jika tekanan darah
sistol di bawah 100 mmHg, mempunyai prognosa jelek.
b. Tahap II
Tahap ini terjadi 2-6 jam setelah perforasi. Nyeri bertambah berat, menjalar ke
punggung dan bahu kanan. Dinding abdomen keras seperti papan (board like
abdominal rigidity), disertai dengan pernapasan kostal, makin cepat dan dangkal.
Suhu badan naik dengan tanda syok positif dan bising usus negatif.
c. Tahap III
Pada tahap ini timbul peritonitis generalisata, yang terjadi 6-12 jam setelah perforasi.
Hal ini disebabkan karena invasi bakteri ke dalam kavum peritonii. Keluhan
bertambah berat, suhu bertambah naik, takikardi, dan pernapasan bertambah cepat
serta dangkal. Perasaan sangat nyeri dan nyeri tekan perut, perut diam tanpa terdengar
peristaltik usus merupakan tanda peritonitis.
3. Obstruksi
Retensi lambung adalah komplikasi yang sering pada tukak peptik dan mungkin
disebabkan karena pilorospasme atau akibat terjadinya parut (cicatrix). Obstruksi pilorus
menyebabkan vomitus bertambah hebat, dan lama-kelamaan akan terjadi dehidrasi dengan
serum Na, K, dan Cl akan menurun, serta akan terjadi hemokonsentrasi dan kadar urea
dalam darah naik.
4. Stenosis pilorus
Stenosis pilorus biasanya merupakan komplikasi dari tukak duodeni. Selain itu bisa juga
disebabkan oleh tukak lambung yang lokasinya dekat pilorus dan karsinoma lambung
stadium lanjut.
Keluhan pasien akibat obstruksi mekanik berupa cepat kenyang, muntah berisi
makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah makan,dan berat badan turun. Serangan
nyeri hebat mungkin timbul bersamaan dengan periode peristaltik lambung. Lama
kelamaan lambung semakin membesar, rasa nyeri berkurang, rasa penuh di perut tetap
ada yang disertai dengan rasa mual, dan keluhan muntah berkurang. Badan lemah, dan
kadang timbul konstipasi.
5. Penetrasi
Tukak yang terletak pada dinding posterior lambung dapat mengakibatkan perlengketan
dengan organ di sekitarnya, dan dari proses ulserasi dapat terjadi penetrasi ke organ-organ
tersebut, tanpa disertai keluarnya isi lambung ke dalam kavum peritonii. Penetrasi
biasanya terjadi ke hepar, pankreas, dan omentum minus. Penetrasi tukak yang mengenai
pankreas menyebabkan nyeri yang timbul tiba-tiba dan menjalar ke punggung.
6. Lambung bilokuler (lambung gelas jam = hour-glass stomach)
Keadaan ini disebabkan karena tukak lambung kronik yang berbentuk seperti pelana pada
kurvatura minor, dimana saat penyembuhan terjadi parut yang menimbulkan korpus
lambung mengalami konstruksi yang hebat, sehingga lambung terbagi menjadi 2 bagian
oleh segmen stenotik. Hal ini dapat juga terjadi peda tukak penetrasi yang melengket pada
pankreas atau hepar, atau pada dinding anterior abdomen. Komplikasi ini jarang terjadi.
6.2.
Prognosis
Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit dan komplikasi yang terjadi.
Kebanyakan pasien berhasil diobati dengan eradikasi infeksi H pylori, menghindari NSAID,
dan penggunaan yang tepat terapi anti sekresi. Eradikasi infeksi H pylori menurunkan tingkat
kekambuhan ulkus 60-90% menjadi sekitar 10-20%.
Tingkat mortalitas dari ulkus peptikum, yang telah menurun dalam beberapa dekade
terakhir, sekitar 1 kematian per 100,000 kasus. Jika suatu pertimbangan semua pasien dengan
ulkus duodenum, tingkat mortalitas karena perdarahan ulkus sekitar 5%. Selama 20 tahun
terakhir, tingkat mortalitas pada perdarahan ulkus tidak berubah walaupun muncul histamin-2
reseptor antagonis (H2RAs) dan PPI. Bagaimanapun, bukti dari meta- analisis dan studi lain
telah menunjukkan penurunan tingkat mortalitas dari perdarahan ulkus peptikum ketika PPI
intravena digunakan setelah terapi endoskopi berhasil.
BAB VI
KESIMPULAN
Pemeriksaan fisik untuk ulkus peptikum juga tidak banyak ditemukan selain
kemungkinan adanya nyeri palpasi epigastrium. Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk
memperkuat diagnosis. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan
radiologis (Barium meal), pemeriksaan endoskopi, test antibodi (tes serologi), dan lain-lain.
Penatalaksanaan terapi ulkus peptikum ditujukan untuk menghilangkan gejala-gejala
utama seperti nyeri epigastrium, mempercepat penyembuhan ulkus secara sempurna,
mencegah terjadinya komplikasi, dan mencegah terjadinya kekambuhan. Meliputi terapi non
medikamentosa: 1.) Istirahat, dalam hal ini pasien diusahakan untuk mengurangi stress dan
kecemasan; 2.) Diet makanan biasa, lunak, tidak meransang kerusakan mukosa lambung,
merokok dan alkohol; 3.) hindari obat-obatan NSAID. Terapi medikamentosa berupa obatobatan golongan H2RA, PPI dan prostaglandin.
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
1. Amandeep. K. et. al. 2012. Peptic Ulcer: A Review on Etiologi and Pathogenesis.
International Research Journal of Pharmacy.
2. Chandrasoma. P. 2005. Controversies of the cardiac mucosa and Barrett's
oesophagus. Histopathology.
3. Djuanda. 2007. MIMS Petunjuk Konsultasi. Edisi 7. Indonesia: Edisi Indonesia
4. Freddy A. E. Tambunan. 2008. Manfaat Klinis Sukralfat secara Topikal Sebagai
Terapi Iritasi Kulit pada Peristoma. Fakultas USU. Sumatera Utara
5. Herlan.
2001.
Angka
Kejadian
Penyakit
Gastritis
di
Indonesia.