Anda di halaman 1dari 5

KORELASI ANTARA TINGKAT PENGANGGURAN DENGAN HUMAN

TRAFFICKING SEBAGAI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


PENGEMBANGAN KARAKTER MASYARAKAT DI INDONESIA
Hendra Dwinanto Prakoso (G64120095).
Esai Mata Kuliah Pengembangan Karakter Pertemuan 1 dan 2.
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia (FEMA).
Institut Pertanian Bogor.
2015
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang
sangat besar dengan populasi kepadatan penduduk yang sangat tinggi.
Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Indonesia tahun 2014 mencapai kisaran 255 juta jiwa, yang dapat dibagi ke
dalam 3 Kelompok Umur, yakni Kelompok Umur 0-14 (+/- 69 juta jiwa),
Kelompok Umur 15-64 (+/- 171 juta jiwa), dan Kelompok Umur > 65 (+/13 juta jiwa). Dari jumlah tersebut yang termasuk ke dalam kategori
angkatan kerja sebesar 121 juta jiwa, yang terdiri dari 114 juta jiwa yang
bekerja, sedangkan sisanya masih menganggur atau belum tertampung ke
dalam bursa kerja. Selain itu bila dilihat dari pendidikan terakhir yang
ditamatkan tercatat angka pengangguran yang dihasilkan dari berbagai
tamatan masih cukup tinggi, yakni sekitar 5-11% untuk tiap strata
pendidikan (BPS 2014).
Kemudian berdasarkan data Bareskrim Mabes Polri, diperoleh data
peningkatan kasus human trafficking (perdagangan manusia) di Indonesia
dengan uraian sebagai berikut: tahun 2009 terdapat 142 kasus; tahun 2010,
105 kasus; dan tahun 2011, 126 kasus. Sedangkan pada tahun 2013
berdasarkan data dari International Organization for Migration (IOM),
laporan mengenai human trafficking (perdagangan manusia) berjumlah
1045 kasus. Adapun lokasi terjadinya tindak pidana perdagangan manusia
sebagian besar terjadi di wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Gorontalo, Riau
dan Kalimantan Timur. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Larsen,
Andrevski dan Lyneham (2013) diketahui sebanyak 71% atau sekitar 2179
orang Indonesia yang menjadi korban human trafficking (perdagangan
manusia) mengalami penahanan gaji atau gaji tidak dibayarkan. Selain itu,

sebanyak 950 orang dari 2115 orang yang merupakan korban human
trafficking

(perdagangan

manusia)

memiliki

hutang

untuk

biaya

rekrutmen; sebanyak 643 orang dari 2115 orang tersebut memiliki hutang
biaya transportasi dan pengurusan dokumen; dan sisanya memiliki hutang
untuk biaya akomodasi (Kemlu 2015).
Dari kedua data di atas menunjukkan bahwa masih tingginya angka
pengangguran dan human trafficking yang terjadi pada masyarakat di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain :
a. Karena faktor ekonomi. Hal ini bisa terlihat dari korelasi yang
ditimbulkan dari tingginya angka pengangguran yang dihasilkan
dengan jumlah korban human trafficking yang semakin meninggi
pula. Ketika seseorang tersebut belum mendapatkan pekerjaan
(biasanya terjadi di pelosok daerah atau angkatan kerja yang baru
lulus dari strata pendidikan) atau yang baru saja di PHK dari
perusahaan, seseorang tersebut menjadi putus asa dan berusaha
mencari jalan pintas untuk keluar dari himpitan ekonomi yang
menimpanya, salah satunya yakni dengan menjual dirinya kepada
trafficker dengan dijanjikan akan mendapatkan penghasilan yang lebih
besar dibandingkan bekerja biasa. Walaupun pada akhirnya mereka
tertipu dengan yang dijanjikan dan akhirnya yang terjadi adalah
pelanggaran atas hak asasi manusia di mana manusia hanya
diperlakukan sebagai objek eksploitasi (Sumunar 2009). Martino Sardi
(2006) mengungkapkan bahwa hak-hak mereka dilecehkan dan
diperlakukan sebagai objek transaksi ekonomi, dan keuntungan dari
hasil penjualan tubuhnya bukan diperuntukkan untuk korban
melainkan dirampas oleh para penjual.
b. Kurangnya penegak hukum dalam menyelesaikan masalah human
trafficking. Sebenarnya sudah terdapat UU yang mengatur mengenai
larangan human trafficking, yakni UU No 21/2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Perda 4/2007
tentang Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Orang. Sedangkan
pelaku trafficking akan dijatuhi tuduhan pidana dengan UU Imigrasi
No. 9/1992 dan UU No. 21/2007 tentang Perdagangan Orang. Akan

tetapi banyak kasus seperti ini yang tak sempat diselesaikan secara
hukum, dan sebagian lainnya diselesaikan secara hukum namun
hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tak sesuai dengan yang
diharapkan (Sumunar 2009).
c. Kurang kuatnya karakter yang dimiliki oleh orang tersebut untuk tetap
menaati aturan-aturan yang ada, seperti budi pekerti, norma, dan nilainilai agam yang mereka anut dan pahami. Selain itu, menurut Freud
kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan
membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Dari
pernyataan tersebut, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya kegagalan dalam pengembangan karakter di usia dini,
antara lain pengaruh keluarga yang kurang dalam memberikan edukasi
mengenai pendidikan karakter yang baik, lingkungan mereka yang
kurang kondusif dan tak sesuai dengan kriteria untuk mengembangkan
karakternya,, pengaruh pergaulan sosial yang tak mengenal batas (tak
ada filter yang membatasi) menjadikan karakter yang dibentuk
menjadi gagal dan belum meresap ke diri seseorang tersebut, yang
pada akhirnya dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi
dirinya dan negara.
B. Pentingnya Membentuk Karakter Sejak Dini
Peran keluarga sebagai lingkungan sosial terkecil sangat diperlukan
untuk mencegah hal-hal seperti ini terulang kembali. Menurut Megawangi
(2004), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila
dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap
anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara optimal. Selain itu
peran lingkungan juga mempengaruhi perkembangan karakter mereka dan
bagaimana nantinya karakter tersebut akan terbentuk, mengingat
lingkungan mereka (dalam hal ini seorang anak) bukan saja lingkungan
keluarga yang sifatnya mikro, melainkan banyak pihak-pihak lain yang
terlibat dalam proses pembentukannya dan menjadi tanggung jawab semua
pihak. Walaupun demikian, hal seperti ini bukanlah hal yang mudah.
Terlebih melihat kondisi karakter bangsa saat ini yang memprihatinkan

serta kenyataan bahwa manusia tidak secara alamiah (spontan) tumbuh


menjadi manusia yang berkarakter baik.
Pendidikan karakter ini hendaknya dilakukan sejak usia dini,
karena usia dini merupakan masa emas perkembangan (golden age) yang
keberhasilannya sangat menentukan kualitas anak di masa dewasanya.
Montessori (2013) menyebutnya dengan periode kepekaan (sensitive
period). Penggunaan istilah ini bukan tanpa alasan, mengingat pada masa
ini, seluruh aspek perkembangan pada anak usia dini, memang memasuki
tahap atau periode yang sangat peka. Artinya, jika tahap ini mampu
dioptimalkan dengan memberikan berbagai stimulasi yang produktif, maka
perkembangan anak di masa dewasa, juga akan berlangsung secara
produktif.
Selain itu diperlukan juga pengenalan Pendidikan Karakter sejak
dini melalui pendidikan secara formal. Ini diperlukan mengingat sumber
pembentukan karakter seseorang tak selalu berasal dari pihak keluarga,
namun lingkungan juga berpengaruh terhadap hal ini, salah satunya
melalui hal ini. Dengan pendidikan formal, akan diajarkan bagaimana cara
menyikapi beberapa hal yang terkait dengan realita yang ada sekarang dan
tindakan apa saja yang harus dilakukan untuk mencegah diri agar tak ikut
terjerumus ke dalam hal-hal demikian. Ini dilakukan secara kontinu, dari
tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Ini agar karakter anak
tersebut menjadi kuat dan siap untuk ditempa bila diberikan kasus seperti
demikian di kemudian hari dan bisa menjaga diri dengan baik dan sesuai
dengan norma, budi pekerti, dan aturan agama yang dianutnya.
Peran pemerintah juga diperlukan dalam hal penguatan karakter
kebangsaan. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia harus sudah
dipahami dan diresapi sebagai landasan yang kuat dan kokoh dalam
membentuk karakter seorang warga negara Indonesia. Melalui Pancasila
inilah, karakter seseorang tersebut menjadi lebih kuat dan siap membantu
negara dalam upaya pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat
sehingga berdampak pada menurunnya angka pengangguran dan human
trafficking karena masing-masing dari mereka sudah mempunyai perisai
yang kuat untuk melindungi diri mereka dari pengaruh buruk dan terus

berkarya demi kemajuan bangsa dan masyarakat. Selain penegakan hukum


yang adil, nilai-nilai budaya lokal yang arif, dan peran tokoh agama juga
turut serta membentuk karakter seseorang tersebut sehingga terhindar dari
hal-hal yang sifatnya merugikan, baik bagi dirinya maupun negara.
C. Referensi
Joudo Larsen J, Andrevski H & Lyneham S 2013. Experiences of
trafficked persons: an Indonesian sample. Trends And Issues In
Crime And Criminal Justice No. 449 [Jurnal]. Canberra (AUD):
Australian Institute of Criminology.
Sumunar, Prastika Ratri. 2009. Human Trafficking, Persoalan Kita
Bersama [Artikel]. Jakarta (ID): Universitas Islam Indonesia.
Sardi, Martino. 2008. Solidaritas Gereja kepada Korban Perdagangan
Manusia [Seminar]. Baturraden (ID): Diskusi Seminar
Perdagangan Manusia.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter [Buku]. Jakarta (ID):
Indonesia Heritage Fondation.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. How Our School can
Teach Respect and Responsibility [Buku]. New York (US): Bantam
Books.
Montessori, Maria. 2013. Metode Montessori (edited by Lee Gutek
Gerald) [Buku]. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. 2015. Human Trafficking:
Manusia
Bukan
Komoditas
[terhubung
berkala]
http://www.kemlu.go.id/Pages/InformationSheet.aspx?
IDP=114&l=id (terakhir akses 22 September 2015).
Wardaya, Cep Unang. 2015. Pengembangan Pendidikan Karakter Anak
Usia
Dini
Dalam
Keluarga
[terhubung
berkala]
http://www.tkplb.org/index.php/11-warta/73-pengembanganpendidikan-karakter-anak-usia-dini-dalam-keluarga (terakhir akses
22 September 2015). Bandung (ID): Pusat Pengembangan Dan
Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Taman KanakKanak Dan Pendidikan Luar Biasa.

Anda mungkin juga menyukai