sebanyak 950 orang dari 2115 orang yang merupakan korban human
trafficking
(perdagangan
manusia)
memiliki
hutang
untuk
biaya
rekrutmen; sebanyak 643 orang dari 2115 orang tersebut memiliki hutang
biaya transportasi dan pengurusan dokumen; dan sisanya memiliki hutang
untuk biaya akomodasi (Kemlu 2015).
Dari kedua data di atas menunjukkan bahwa masih tingginya angka
pengangguran dan human trafficking yang terjadi pada masyarakat di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain :
a. Karena faktor ekonomi. Hal ini bisa terlihat dari korelasi yang
ditimbulkan dari tingginya angka pengangguran yang dihasilkan
dengan jumlah korban human trafficking yang semakin meninggi
pula. Ketika seseorang tersebut belum mendapatkan pekerjaan
(biasanya terjadi di pelosok daerah atau angkatan kerja yang baru
lulus dari strata pendidikan) atau yang baru saja di PHK dari
perusahaan, seseorang tersebut menjadi putus asa dan berusaha
mencari jalan pintas untuk keluar dari himpitan ekonomi yang
menimpanya, salah satunya yakni dengan menjual dirinya kepada
trafficker dengan dijanjikan akan mendapatkan penghasilan yang lebih
besar dibandingkan bekerja biasa. Walaupun pada akhirnya mereka
tertipu dengan yang dijanjikan dan akhirnya yang terjadi adalah
pelanggaran atas hak asasi manusia di mana manusia hanya
diperlakukan sebagai objek eksploitasi (Sumunar 2009). Martino Sardi
(2006) mengungkapkan bahwa hak-hak mereka dilecehkan dan
diperlakukan sebagai objek transaksi ekonomi, dan keuntungan dari
hasil penjualan tubuhnya bukan diperuntukkan untuk korban
melainkan dirampas oleh para penjual.
b. Kurangnya penegak hukum dalam menyelesaikan masalah human
trafficking. Sebenarnya sudah terdapat UU yang mengatur mengenai
larangan human trafficking, yakni UU No 21/2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Perda 4/2007
tentang Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Orang. Sedangkan
pelaku trafficking akan dijatuhi tuduhan pidana dengan UU Imigrasi
No. 9/1992 dan UU No. 21/2007 tentang Perdagangan Orang. Akan
tetapi banyak kasus seperti ini yang tak sempat diselesaikan secara
hukum, dan sebagian lainnya diselesaikan secara hukum namun
hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tak sesuai dengan yang
diharapkan (Sumunar 2009).
c. Kurang kuatnya karakter yang dimiliki oleh orang tersebut untuk tetap
menaati aturan-aturan yang ada, seperti budi pekerti, norma, dan nilainilai agam yang mereka anut dan pahami. Selain itu, menurut Freud
kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan
membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Dari
pernyataan tersebut, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya kegagalan dalam pengembangan karakter di usia dini,
antara lain pengaruh keluarga yang kurang dalam memberikan edukasi
mengenai pendidikan karakter yang baik, lingkungan mereka yang
kurang kondusif dan tak sesuai dengan kriteria untuk mengembangkan
karakternya,, pengaruh pergaulan sosial yang tak mengenal batas (tak
ada filter yang membatasi) menjadikan karakter yang dibentuk
menjadi gagal dan belum meresap ke diri seseorang tersebut, yang
pada akhirnya dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi
dirinya dan negara.
B. Pentingnya Membentuk Karakter Sejak Dini
Peran keluarga sebagai lingkungan sosial terkecil sangat diperlukan
untuk mencegah hal-hal seperti ini terulang kembali. Menurut Megawangi
(2004), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila
dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap
anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara optimal. Selain itu
peran lingkungan juga mempengaruhi perkembangan karakter mereka dan
bagaimana nantinya karakter tersebut akan terbentuk, mengingat
lingkungan mereka (dalam hal ini seorang anak) bukan saja lingkungan
keluarga yang sifatnya mikro, melainkan banyak pihak-pihak lain yang
terlibat dalam proses pembentukannya dan menjadi tanggung jawab semua
pihak. Walaupun demikian, hal seperti ini bukanlah hal yang mudah.
Terlebih melihat kondisi karakter bangsa saat ini yang memprihatinkan