Anda di halaman 1dari 15

Berpikir apresiatif

Pembicaraan Anda membantu menciptakan dunia Anda. Berbicaralah tentang kebahagiaan,


bukan ketidakpuasan. Berbicaralah tentang harapan, bukan keputusasaan. Biarkan kata-kata
Anda membalut luka, bukan menyebabkannya (William Martin, penafsir modern kitab Tao Te
Ching).

Penulis mengutip kalimat dimuka dari buku Appreciative Inquiry yang ditulis oleh duet Diana
Whitney & Amanda Trosten. Satu hal, apakah kita merasa tulisan dimuka menyindiri diri kita?
Mungkin ya mungkin tidak. Namun hal yang perlu ditekankan adalah bahwa dunia disekitar kita
(akhir-akhir ini) terlalu terfokus pada nuansa negatif/keputuasaan/ketidakpuasan (wacana
defisit). Terlalu banyak perbincangan yang mengarah ke area negatif. Para komentator politik
misalnya, terlalu sering membicarakan sisi negatif dari partai/pemimpin yang menjadi objek
bahasan. Mahasiswa, terlalu kerap membahas masalah sulitnya mata pelajaran, betapa tidak
menyenangkannya cara dosen X mengajar, betapa kurangnya fasilitas kampus, betapa banyaknya
tugas yang harus dikerjakan dan lain-lain. Keluarga-kelurga di meja makan, terlalu sering
membahas masalah kesulitan ekonomi, anak yang tidak mau belajar, harga sayur yang
membumbung, dan lain sebagainya. Karyawan kantor hampir selalu membaha rendahnya upah
mereka, betapa tidak adilnya bos mereka, betapa beruntungnya kerja di perusahaan lain dan lain-
lain. Sehingga se-positif apapun kita, jika setiap hari dibombardir seperti itu, akan sulit sekali
melepaskan diri dari nuansa negatif dan wacana defisit itu.

Merujuk pada tulisan dimuka, maka kita akan dapat menemukan satu kalimat yang menarik,
yaitu; pembicaraan Anda membantu menciptakan dunia Anda. Haruskah kita percaya dengan
pernyataan tersebut? Tentu saja terserah masing-masing. Namun mari kita lihat sejarah. Ada
banyak orator ulung dunia yang mengubah dunia dengan kata-katanya. Bung Karno adalah salah
satu tokoh yang mampu menginspirasi rakyat Indonesa akan hak-hak atas kemerdekaan. Tentu
masih banyak tokoh lain, Mahatma Gandi, Martin Luther King, John F. Kennedy dan seterusnya.
Apa yang mereka lakukan? Mereka mengubah dunianya sendiri dan lingkungan sekitarnya
dengan pemilihan kata-kata yang paling aspiratif. Bisakah mereka berbuat sebaliknya? Mungkin
saja bisa, karena justru hal tersebut lebih mudah. Namun, dengan keyakinannya atas visi yang
lebih besar, mereka memilih untuk menginspirasi dirinya sendiri dan orang banyak. Dengan
sengaja, mereka memilih kata-kata yang membangkitkan semangat, mendorong daya juang,
meledakkan potensi dan meletakkan pikiran apresiatif di tempat yang benar.

Sekarang, mari kita tanya pada diri sendiri. Benarkan kata-kata dapat mengubah diri kita?
Mungkin pertanyaan ini tidak usah dijawab. Namun pernahkan emosi atau antusiasme kita
berubah setelah kita membaca kata-kata yang bagus dari sebuah buku? Pastinya pernah. Artinya,
kata-kata memang mengandung mejik. Biasanya kita tergugah ketika kisah/bacaan tersebut
mendorong kita untuk berpikir lebih positif. Berbagai penelitian psikologi menyimpulkan bahwa
manusia yang selalu berpikir positif, hidupnya akan jauh lebih sehat dan bahagia. Apa makna
berpikir positif? Yaitu membuang/mengganti pikiran/perasaaan negatif menjadi pikiran/perasaan
yang positif. Sederhana, namun tidak selalu mudah untuk dilakukan. Namun, perkembangan
kajian psikologis, saat ini telah melampui batas-batas itu. Kita, tidak lagi sekedar diajak untuk
berpikir positif, namun lebih jauh lagi, yaitu berpikir apresiatif. Artinya, kita harus apresiatif
terhadap berbagai kisah/aspek kehidupan manusia. Apresiatif berarti menghargai, memberi nilai
tambah, mengambil pelajaran. Praktik apresiatif akan membuat kita menjadi mahluk yang
menghargai segala sesuatunya, termasuk menghargai hal-hal kecil di sekeliling kita. Dan, dengan
berpikir apresiatif, kita tidak hanya akan mengubah yang negatif menjadi positif, namun kita
akan belajar menghargai apa yang sudah kita miliki/kita capai. Kita akan terdorong untuk
melihat, apa yang sebenarnya saya miliki, atau ada ada dibalik segala pencapaian kita (walaupun
belum maksimal) dan bukan sebaliknya, berusaha mengorek luka lama yang menyebabkan
kegagalan kita. Berpikir apresiatif adalah meningkatkan yang sudah ada alih-alih mengoreksi
kesalahan.. Atau menyuburkan dan menyehatkan tanah yang belum ditanami, alih-alih
menyemprot dengan pestisida untuk menghilangkan hama. Mendorong gaya hidup sehat, alih-
alih mengobati penyakit dengan berbagai cara. Sekali lagi, meningkatkan yang sudah ada, bukan
mengoreksi kesalahan.

Agar menjadi lebih jelas penulis akan mengutip tulisan dari Diana Whitney & Amanda Trosten
tentang berpikir apresiatif sebagai berikut: berpikir apresiatif bukan berarti menafikan apa yang
negatif. Bukan membutakan diri terhadap kelemahan. Bukan tidak mengakui kekurangan. Setiap
orang pasti pernah salah. Setiap keluarga pasti punya aib. Setiap organisasi pasti pernah
mengalami kegagalan. Maka, berpikir apresiatif adalah upaya menghargai apa yang ada pada diri
kita, mengambil hikmah dari setiap kejadian yang kita lalui. Melalui berpikir apresiasi, kita
diajak untuk lebih fokus pada apa yang terbaik dari manusia dan sistem manusia, apa yang
memberi nafas pada kehidupan. Contoh, jika Anda adalah seorang mahasiswa yang belum
memiliki IPK seperti yang dicita-citakan, maka tidak harus untuk selalu melihat dimana
masalahnya, sebaliknya Anda perlu menghargai semangat Anda sendiri. Hargai bahwa sampai
saat ini Anda masih punya semangat tinggi untuk mencapai IPK impian tersebut. Mencoba
mengorek apa kesalalah yang telah dilakukan, seringkali justru membuka luka lama dan
menurunkan motivasi. Sebaliknya, fokus pada apa yang telah dimiliki yaitu semangat,
antusiasme, kemampuan memahami pelajaran, teman-teman yang mendukung, lingkungan
belajar yang kondusif dan lain-lain, pada gilirannya justru akan menambah motivasi. Jadikan
angka IPK yang sudah diraih sebagai gelas setengah isi, bukan setengah kosong. Sehingga kita
akan termotivasi untuk mengisinya lebih lanjut, bukan malah mengorek-ngorek luka dan mencari
sumber masalah mengapa gelas tersebut hampir kosong.

Berdasarkan uraian dimuka, kita dapat mengatakan bahwa pemilihan kata/kalimat/pertanyaaan,


dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan. Ingat, pilihlah kata-kata yang menginspirasi.
Hal ini perlu dilakukan, karena sebenarnya kita sudah sangat tau bahwa kata-kata mampu
mengubah dunia kita. Hanya, yang belum dilakukan adalah, kita belum menjadikan kata-kata
inspiratif sebagai ritual diri. Mengapa? Karena di lingkungan sekitar kita sudah terlalu banyak
kata-kata negatif. Jadi, sudah saatnya bagi kita untuk serius dalam memiliih kata-kata, terutama
jika dikaitkan dengan diri sendiri.

Apabila kita coba menengok kedalam agama kita, bukankah Islam mengajarkan kita untuk
berkata-kata dengan baik, atau kalau tidak lebih baik diam saja? Jadi, mari mulai memilih kata-
kata yang membentuk dunia yang akan kita jalani sehari-hari. Ingat, kata-kata kita membentuk
dunia. Dan satu hal lagi, ternyata dari empat belas abad yang lalu, Al Qur’an yang agung telah
mengajarkan kita untuk berpikir apresiatif (yaitu selalu mencari hikmah dari kisah inspitatif).
Mengapa kita baru mengetahuinya sekarang? Mungkin selama ini Qur’an yang dimiliki hanya
dijadikan hiasan dinding, jarang dibaca dan jarang dikaji. Ingat, bahwa terdapat banyak sekali
kisah inspiratif dan penuh hikmah dalamnya. Artinya, wacana untuk berpikir apresiatif –dan
tidak hanya berpikir positif- sudah ada sejak ratusan tahun. Lalu, kemana aja kita

Hidup untuk belajar

Manakah yang benar? Belajar untuk hidup atau hidup untuk belajar? Tentunya tidak sederhana
menjawab pertanyaan ini, tapi satu hal, kita dikaruniai akal untuk dapat menganalisisnya. Jika
pernyataannya adalah belajar untuk hidup, maka proses belajar dapat dilakukan dengan asal-asalan dan
berbagai cara (bahkan jika perlu penuh dengan rekayasa, manipulasi, plagiatisme, kolegianisme bahkan
korupsi sekalipun), yang penting menghasilkan uang untuk hidup. Namun sebaliknya, jika pernyataannya
adalah hidup untuk belajar, maka maknanya adalah bahwa kita (akan terdorong) untuk menghabiskan
waktu hidup kita di dunia ini (jam demi jam, hari demi hari) untuk belajar. Nah inilah yang kelihatannya
lebih tepat, yaitu kita mengisi waktu-waktu kita dengan terus menerus mempelajari hal-hal yang baru.

Sayidina Ali, sahabat Rasul yang juga merupakan singa padang pasir, sering dijuluki sebagai gerbangnya
ilmu, karena beliau memiliki banyak sekali filosofi yang bagus tentang belajar. Ia dengan tegas dan yakin
menyatakan bahwa ilmu lebih utama daripada harta, dengan beberapa alasan sebagai berikut

- ilmu adalah pusaka para Nabi, sedangkan harta adalah pusaka Firaun, Karun dll

- ilmu akan menjaga kita, sedangkan harta justru kita yang harus menjaganya

- pemilik harta disebut dengan nama bakhil (kikir) sedangkan pemilik ilmu, disebut dengan nama keagungan
dan kemuliaan

- pemilik harta memiliki banyak musuh, sedangkan pemilik ilmu memiliki banyak teman

- harta bisa dicuri maling/pencuri sedangkan ilmu tidak

- harta akan hancur jika ditimbun, sedangkan ilmu tidak

- pemilik harta akan keras hatinya, sedangkan pemilik ilmu justru akan memiliki hati yang bercahaya

- pemilik harta yang sangat besar, dapat mengaku sebagai tuhan, sedangkan pemiliki ilmu, dengan
kebijaksanaannya justru akan mengaku sebagai hamba

Luar biasa bukan? Ternyata banyak sekali filiosofi yang mendukung bahwa hidup memang untuk belajar,
yaitu belajar untuk mengejar ilmu yang dapat mendekatkan kita pada Sang Pencipta. Artinya lagi, sangat
rugi bagi kita, jika lewatkan satu hari hidup di dunia, tanpa mendapatkan ilmu baru. Satu hari tanpa
dapat harta, mungkin rugi juga, tapi satu hari tanpa dapat ilmu rugi sekali. Karena sekecil apapun ilmu
yang didapat, jika diresapi dan disyukuri dengan ikhlas, akan dapat menambah kebijaksanaan dan
kedewasaan kita, sekaligus juga mendorong kita untuk merasa kecil dan tidak berharga di tengah alam
semesta yang begitu luas ini. Artinya, semakin kita banyak mengetahui hal baru, kita semakin sadar
bahwa ada banyak sekali hal yang kita belum ketahui, yang bahkan belum terbayangkan sebelumnya.
Al Qur’an, sebagai pegangan hidup umat Islam, banyak sekali mengingatkan kita tentang pentingnya
belajar dan menggali ilmu. Surat yang paling terkenal tentu saja Al Alaq (1-5)

Bacalah, dengan (menyebut) Nama Tuhan-mu yang Menciptakan

Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah

Bacalah, dan Tuhan-mulah yang Maha Pemurah

Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam

Dia Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya

Sangat jelas bahwa kita (apaun status dan kondisinya) diajak untuk membaca (belajar) dengan
menyebut nama-Nya. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa apa yang kita pelajari (seyogianya)
dapat membawa kita untuk dekat lebih dekat dengan-Nya (karena kita tidak dianjurkan untuk belajar
tanpa menyebut nama-Nya/mengingatNya). Apa saja hal yang dapat dipelajari? Tentu saja ada banyak
sekali pelajaran yang dapat digali, mulai dari yang ada di tubuh kita (organ tubuh, sel, otak, darah dll)
sampai ke isi bumi dan semesta alam (bumi, bebatuan, bintang, galaksi dll). Allah SWT, selalu
mendorong manusia untuk mengamati segala apa yang ada di alam (dimana dalam implementasinya,
hal inilah yang merupakan cikal bakal ilmu pengetahuan), seperti di surat Al Ghasyiyah (17-20)

Maka, apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan?

Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?

Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan?

Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

Paling tidak dari ayat dimuka kita dapat melihat bahwa terdapat sekian banyak ilmu yang tersirat mulai
dari biologi, astronomi, ekologi, geografi, geologi dan lain-lain. Luar biasa bukan? Jelas sekali bahwa
manusia sangat didorong untuk mengeksplorasi akal dan pikiran yang telah dimilikinya sejak lahir.
Sehingga pada gilirannya, ia dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan potensi dirinya, yang
berujung pada kemampuannya untuk dapat hidup mandiri, berkeluarga, berketurunan dan lain-lain.
Atau dengan kata lain, kita diajak untuk memulainya dari mendalami ilmu, alih-alih mengumpulkan
harta terlebih dahulu. Pahami ilmu terlebih dahulu (sehingga hati kita penuh dengan rasa syukur), baru
kemudian gunakan sebaiknya-baiknya dengan bijaksana.

Sekarang, mari kita lihat diri kita sendiri. Kita akan tergolong orang yang ketinggalan jaman ketika untuk
belajar saja, masih harus disuruh-suruh, diingatkan atau bahkan diancam. Apalagi bagi mereka yang
telah duduk di bangku univesitas, mengingat diluar sana, banyak sekali anak yang untuk dapat
mengeyam pendidikan dasar saja sulitnya bukan main. Novel Laskar Pelangi misalnya, telah dapat
menyentil mereka yang masih malas untuk belajar, karena didalam cerita tersebut dikisahkan
bagaimana perjuangan anak-anak di pulau Belitong, yang dengan segala keterbatasannya (sekolah yang
hampir runtuh, SDM guru yang terbatas, fasilitas penunjang yang hampir tidak ada) mampu memupuk
dan memelihara motivasi belajarnya dengan begitu luar biasa. Lalu bagaimana dengan kita yang setiap
saat memangku laptop dengan akses internet gratis?

Grand flora

Miun baru saja selasei mengikuti pembahasan kurikulum permanency planning and child protection di
hotel grand flora kemang. Sebuah diskusi yang luar biasa memang pikir Miun, karena dihadiri oleh
empat orang Amerika yang sengaja datang ke Indonesia untuk membantu merancang kurikulum dengan
baik. Dari satu sisi memang bagus, karena artinya terjadi kerjasama yang baik antara praktisi pendidikan
Indonesia dengan Amerika dalam membangun sistem pembelajaran atau proses belajar mengajar agar
menjadi lebih baik. Namun jika dilihar dari sisi yang lain, terutama dari sisi konten adalah cukup miris.
Konten yang dibahas secara umum berbicara tentang perlindungan anak di Indonesia. Artinya
seharusnya ini menjadi fokus perhatian orang Indonesia untuk terus memperbaikinya. Namun, ternyata
ada pihak-pihak yang tinggal jauh dari Indonesia yang lebih peduli untuk mendiskusikan, meningkatkan
dan menyempurnakan kurikulumnya. Luar biasa, guman Miun dalam hati.

Pukul 12.50 Miun telah menyelesaikan makan siangnya dan bergegas menuju lobi hotel yang eropa
tersebut. Lobi Grand Flora sangat minimalis. Luas ruangan yang sekitar 8×6 meter tersebut, diisi dengan
dua meja pendek untuk resepsionis. Ini tidak biasa, karena biasanya lobi hotel   selalu dilengkapi dengan
meja yang cukup tinggi, sehingga membuat para tamu harus berdiri untuk berhadapan dengan
resepsionis hotel. Disamping meja tersebut terdapat sebuah grand piano yang besar dan satu meja
untuk keperluan parkir mobil dan pemanggilan taksi. Miun tidak sempat mengamati itu semua, ia hanya
ingin bergegas menuju stasiun Gambir, karena mengejar kereta Api Argo Bromo pukul 14.30. dengan
bantuan pegawai hotel taksi sebuah blue bird biru segera parkir di lokasi dan segera meluncur
menembus kepadatan jalan raya Jakarta. Miun tidak ingin terlibat dengan spekulasi pemikiran tentang
apakah ia akan terlambat atau tidak di stasiun Gambir, jadi ia berusaha memfokuskan pendengarannya
pada lagu-lagu dari Gen FM Jakarta.

Setelah berhasil melewati jalan-jalan yang macet, taksi melaju kencang menuju stasiun yang sudah
hampir sepuluh tahun ini mengangkat rel kereta api ke lantai 4, tidak lagi konvensional seperti jaman
dulu. Begitu taksi berhenti dan memberi supir taksi tips secukupnya, Miun setengah berlari menuju
tempat pembelian tiket Argo Gede, dan menunggu satu orang antrian. Sial beribu sial, ternyata itu
adalah tiket terakhir untuk kereta api Argo Gede yang berangkat pukul 14.30. Setengah mati Miun
menelan kekesalannya. Harapannya untuk segera tiba di Bandung sirna sudah. Beberapa agen travel
dihubungi namun semua memberikan jawabannya yang sama “sold out”. Ketika kekesalah memuncak,
ia ingat dengan satu konsep berpikir apresiatif

Berpikir apresiatif adalah lebih dari sekedar berpikir positif. Ini adalah tingkatan berpikir yang tidak
hanya mendorong otak untuk mengenyahkan pikiran negatif, namun lebih dari itu memaksa otak untuk
mencari sesuatu dibalik setiap kejadian. Berpikir apresiatif adalah memberi penghargaan pada peristiwa
tidak terduga yang menimpa kita. Berpikir apresiatif adalah

“ wah, saya ketinggalan kereta. Oke tidak apa-apa. Karena pasti ada maksud baik dibalik semua ini.
Mungkin keterlambatan ini akan membuat saya sempat untuk membaca buku atau menulis artikel”

“wah, mati lampu. PLN mungkin salah dalam hal ini karena tidak becus mengurus listrik, tapi inilah
kesempatan saya untuk belajar menyanyi dengan gitar”

“wah dosennya tidak masuk. Oke tidak apa-apa, karena setiap dosen memang harus melaksanakan tri
dharma perguruan tinggi, sehingga tidak hampir tidak mungkin ia dapat hadir diseluruh pertemuan.
Waktu kosong ini, sudah pasti berguna buat saya. Paling tidak saya dapat membaca buku teks dengan
lebih konsentrasi, karena pada waktu yang lain hampir tidak mungkin itu dilakukan”

Berpikir apresiatif adalah menghargai detik demi detik yang berjalan. Orang dengen pemikiran ini, tidak
akan membiarkan dirinya menjadi pencari kambing hitam. Ia tidak akan menyalahkan berbagai situasi
atas ketidaksempurnaan dirinya. Ia tidak akan menjelek-jelekkan nasib/takdir atas kekurangsuksesan
dirinya. Ia tidak akan memberi label buruk pada lingkungan disekelilingnya atas kebelumtercapainya apa
yang dicita-citakan. Karena hal melakukan hal-hal tersebut sama dengan menurunkan potensi berpikir
kita, harga diri kita atau bahkan kemanusiaan kita. Atau meminjam istilah Paolo Friere dehumanisasi,
atau merujuk kepada Andrias Harefa pembinatangan.

Manusia adalah mahluk yang berpikir, dengan tingkat kemampuan berpikir yang mengalahkan
komputer. Itulah yang membedakannya dengan mahluk lain. Maka, jika manusia tidak menggunakan
kemampuan berpikirnya, berarti ia tidak memanusiakan dirinya dan cenderung menyamakan dirinya
dengan mahluk lain yang kurang memiliki kemampuan berpikir. Itulah dehumanisasi. Yaitu menafikan
kenyataan bahwa sebenarnya ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Manusia yang membiarkan
dirinya tidak berpikir atau mempersilakan dirinya berpikir negatif, berarti mengalah pada situasi
linkungan. Ia menyerahkan langkah hidupnya, atau bahkan cita-citanya pada kondisi lingkungan yang
memang selalu berubah dan tidak pernah statis. Ia merelakan gerak langkah kehidupannya pada
stimulus luar yang tidak selalu terprediksi. Anehnya, hal ini lebih mudah dilakukan dan cenderung lebih
menyenangkan. Contoh kita sudah berniat akan bangun subuh dan belajar, ternyata hujan turun, dan
kita kembali menarik selimut karena hawa yang dingin. Nah, inilah yang dikatakan sebagai menyerah
pada stimulus luar. Hujan, dapat terjadi kapan saja. Maka jika kita mood belajar kita tergantung pada
datang tidaknya hujan, maka hal tersebut sama saja dengan menyerahkan cita-cita masa depan kita
(yang disimbolkan dengan belajar) pada hujan. Mari kita lihat, jika kita menunda kegiatan belajar
tersebut sampai esok hari, maka kita akan kehilangan beberapa jam di esok hari untuk melakukan
kegiatan lain. Ingat setiap orang hanya memiliki 24 jam sehari atau 100 persen waktu. Artinya jika kita
tidak menggunakan waktu kita 100 persen hari ini (misalnya hanya 70-80%) maka kita tidak akan
mendapatkan gantinya di hari esok. Mengapa? Karena di esok hari kita juga hanya memiliki waktu 100%
bukan 120 atau 130 persen.

Setelah merenung cukup lama, Miun mulai dapat menghilangkan kekesalannya, dan semangatnyapun
kembali timbul. Ia ingat bahwa artikel yang akan dimasukkan ke majalah belum selesai diketik. Maka ia
segera memilih satu restoran yang kira-kira ia dapat duduk dalam waktu yang cukup lama. Laptop
dibuka, dan tulisanpun mengalir.

Miun kembali berujar, “mmmh memang benar, tidak ada gunanya berpikir negatif setelah berusaha
dengan maksimal. sekarang saya yakin saya dapat mencapai apapun yang saya inginkan. Sebab,
sebenarnya tidak ada yang namanya hambatan, yang ada hanya jalan alternatif untuk kembali ke jalan
utama. Tidak ada yang namanya rintangan, yang ada hanya pikiran yang kreatif untuk kembali ke
gagasan utama. Tidak ada yang namanya gangguan, yang ada hanya alat-alat fitness untuk membuat
otot sukses menjadi lebih kuat dan bebas dari lemak kemalasan. Tidak ada yang namanya kendala, yang
ada hanya kesempatan untuk menambah kemampuan otak mengatasi masalah yang berbeda. Sebab
situasi yang berbeda selalu terjadi setiap hari tanpa dapat diprediksi, dan adalah sebuah
kegilaan  (insanity) menghadapi masalah yang berbeda dengan cara yang sama”. Begitu kata Einstein.

Bus way

Suatu pagi, Mi’un sudah siap berangkat ke tempat kerjanya. Karena motor satu-satunya sedang di
bengkel, maka Mi’unpun memilih moda transportasi yang ternyaman dan tercepat di Jakarata, yaitu
Busway. Setelah membayar tiket masuk, ia pun duduk dengan manis di bangku busway, sambil
mengamati orang-orang disekitarnya. Karena tidak memiliki teman ngobrol, Mi’un kemudian
mengarahkan telinganya untuk mendengarkan percakapan orang-orang disekitarnya. Disebelahnya,
duduk seorang dua orang wanita karir yang sedang bercakap-cakap

“Mbak tau tidak, saya hari ini sedang sedih, kesal, marah dan kecewa” kata wanita yang satu.
“Memangnya ada apa?” jawab rekannya

“Suami saya tidak mau membelikan saya hp yang terbaru..”

“Loh bukannya kamu sudah punya hp yang mahal?”

“Iya sih, tapi bukan yang terbaru..kan saya malu menjadi orang yang tidak up to date di arisan…”
“Ya ampun, kamu ini gak bersyukur banget sih…. orang lain tuh buat makan sehari-hari aja sudah repot.
Sedangkan kamu, gak dibeliin hp, terbaru udah ribut kayak petasan. Padahal hp yang kamu punya juga
masih tergolong baru…”
Malas mendengar lanjutannya, Mi’un kemudian mencoba mengalihkan indra pendengarannya ke
percakapan lain di busway tersebut, yaitu pada orang yang duduk di sebelah kirinya. Ia adalah seorang
berusia 30 tahunan yang sedang melakukan pembicaraan dengan telepon selularnya.

“Jack aku lagi kesal nih, tadi pagi bangun kesiangan. Jadinya sekarang gue lagi was-was neh takut telat.
Soalnya tadi malem tiba-tiba ada tetangga yang minta tolong gitu deh.. wah pokoknya tadi malem gue
bt banget deh..”Belum juga Mi’un selesai mendengarkan lanjutan ceritanya, ia kembali mendengar
berbagai percakapan orang lain di dalam bis itu. Karena penumpangnya semakin banyak, maka semakin
banyak pula yang didengar oleh Mi’un. Dan dengan sengaja, Mi’un membuka telinganya lebar-lebar
untuk mendegarkan percakapan-percakapan di sekelilingnya
“waduh… jalannya macet lagi, aku pasti terlambat sampai di Kantor”
“wah, buswaynya jelek nih, nunggunya lama…”“Wah Jakarta memang butuh sosok yang tegas dalam
masalah lalu lintas, lihat saja walaupun sudah ada jalur khusus busway tapi masih banyak pengemudi
yang melanggar ikut berdesakan di jalur busway… wah mau jadi apa bangsa ini?..”

“Wah kalo ternyata naik busway juga masih macet seperti ini, mendingan dari tadi saya naik taksi saja,
sehingga jalurnya tidak perlu muter-muter seperti ini..!”

Mi’un tertegun dalam hati, “Kok semua orang mengeluh ya?”

Hal apakah yang paling sering dilakukan oleh kita, manusia yang sok sibuk? Ya benar, mengeluh. Inilah
hal yang tidak pernah lupa untuk dilakukan, inilah pernyataan yang tak pernah khilaf untuk diucapkan.
Dari mulai bangun pagi misalnya, ketika kita terlambat bangun, kita langsung mengeluh. Ketika ingin
mandi, tiba-tiba airnya mati, kita juga langsung mengeluh. Ketika koran terlambat datang, kita juga
kembali mengeluh. Selanjutnya, kita berangkat ke kantor dan kembali mengeluh karena jalanan macet
dan seterusnya. Pertanyaannya adalah mengapa kita mudah mengeluh? Apakah mengeluh adalah suatu
aktivitas yang menyenangkan sehingga setiap hari kita ‘mau’ melakukannya? Kelihatannya memang
seperti itu, sebab tanpa terasa kegiatan mengeluh dapat melepaskan ketegangan dan pada gilirannya
dapat mengurangi stres. Bahkan, mengeluh dapat mengurangi (bahkan menghilangkan) tanggung jawab
yang seharusnya kita pikul. Namun, rasanya semua orang juga setuju bahwa mengeluh lebih banyak
negatifnya daripada postitifnya –dan mari kita tidak usah perpanjang lagi mengenai masalah keluh
mengeluh ini-. Sebaliknya, mari kita mulai berpikir, darimana sumber keluhan itu berasal? Tepat sekali,
dari pikiran kita. Pikiran kitalah sumber segala keluhan yang kita lontarkan. Pikiran kitalah yang
memproses imformasi ataupun berbagai kejadian yang kita alami, untuk kemudian diolah menjadi
keluhan ataupun justru menjadi semangat kita. Hal inilah yang membedakan kita dengan orang lain,
yaitu bagaimana kita berpikir. Sebagai contoh, ketika sekelompok orang terjebak macet, isi pikirannya
sangat boleh jadi berbeda-beda. Ada yang mengeluh dan ada pula yang berpikir sebaliknya. Mengapa
bisa berbeda-beda? Karena masing-masing orang memilih jalan pikirannya masing-masing, sebagai
respon dari situasi yang menimpanya. Artinya, kita sepakat bahwa kita bisa memilih pemikiran kita.

Kita bisa memilih pemikiran kita.

Apabila kepada Anda diberikan sebuah pena dan selembar kertas kosong, maka Anda bisa memilih
untuk menggambar apapun di atas kertas tersebut. Anda bisa menggambar binatang, benda, manusia,
tumbuhan, dan apapun yang ada di pikiran Anda saat itu. Demikian juga ketika Anda dihadapkan pada
seperangkat alat masak dan sekeranjang buah dan sayuran, Anda bisa memilih untuk membuat masakan
yang Anda pikirkan saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa kita manusia memiliki kebebasan penuh untuk
menentukan pikiran-pikiran kita. Ketika kita dapat menggambar apapun dalam sebuah kertas kosong,
maka sebebas itulah sebenarnya kita dapat memilih pemikiran-pemikiran kita ketika kita bangun di pagi
hari.

Mari kita telaah apa yang dapat terjadi pada orang-orang ketika bangun di pagi hari. Ada sebagian orang
yang ketika bangun di pagi hari mengharapkan hari itu akan cerah, jalanan tidak macet, atasannya
berbaik hati, klien-kliennya tidak rewel, kolega-koleganya siap membantu pekerjaannya, dan lain-lain.
Golongan ini menyerahkan hidupnya pada daya-daya dari luar yang sulit untuk dipengaruhi. Parahnya,
mereka hampir menghayati ini setiap hari. Sebagian orang-orang yang lain, memutuskan jenis hari
seperti apa yang ingin mereka jalani setiap hari. Apakah hari yang menyenangkan, penuh tantangan,
banyak antusias, dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang yang berani menentukan pilihan. Mereka
memilih untuk mengendalikan hari-harinya, tidak peduli apakah matahari bersinar atau tertutup awan,
jalanan macet atau lancar, atasan bersikap manis atau jahat, dan lain-lain. Mereka memilih untuk tidak
akan membiarkan berbagai kejadian-kejadian di luar mempengaruhi mood, semangat, dan antusias
mereka setiap hari. Bagaimana dengan Anda?

Yunus Timotheus dalam bukunya yang terkenal “seandainya semua orang berpikir positif ”menyatakan
bahwa berpikir positif akan menuntun Anda untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk,
sekaligus akan mendorong untuk melakukan apa yang baik dan menjauhi apa yang buruk”.

Apakah mudah berpikir positif? Mudah tentu saja, sama dengan mudahnya kita berpikir negatif. Nah,
jika kita sudah mengetahui bahwa keduanya mudah, maka kemudian tugas kita selanjutnya adalah
mempersering berpikir positf, karena toh hal tersebut (ternyata) sama mudahnya dengan berpikir secara
negatif. Sekali lagi hanya itulah tugas kita, yaitu berusaha berpikir positif sesering mungkin. Mengapa
demikian? Karena ketika kita sudah berusaha sesering mungkin berpikir positif pun, masih sesekali
kecolongan berpikir negatif. Artinya, sudah saatnya kita selalu ‘memaksa’ diri untuk berpikir positif,
daripada ‘membiarkan’ diri kita berpikir secara negatif. Siap?

Positive feeling

Tulisan kali ini adalah tulisan yang membahas masalah perasaan dan tidak hanya pikiran (yang sangat
terilhami oleh berbagai buku pengembangan diri terutama Quantum Ikhlas). Loh apa bedanya? Secara
awam, bedanya adalah, jika pikiran itu berasal dari kerja otak, maka perasaan berasal dari hasil kerja
hati. Namun penelitian menemukan bahwa ketika kita menyebut hati, ternyata dari sisi anatomi organ
tubuh, ternyata tidak menunjuk ke hati/ulu hati(liver) melainkan ke jantung (heart). Telah dipelajari
bahwa jantung, memiliki mekanisme berpikir sendiri, mampu memompa dari secara otomatis (super
canggih) dan memiliki koneksi yang sangat baik dan kuat dengna otak. Sebagai contoh ketika otak
berpikir bahwa individu sedang mengalami rasa takut, maka hati akan berdegup lebih kencang dan lain-
lain. Artinya ada hubungan yang sangat sinkron antara jantung dan otak.

Pemahaman ini, kemudian oleh para ahli dikembangkan ke arah bagaimana sebenarnya manusia itu
berpikir dan merasa. Salah satu pemikiran yang fenomenal pada awal abad ke 20 adalah ditemukannya
teori atau hukum tarik menarik (The Law of Attraction); “Manusia adalah magnet, dan setiap detail
peristiwa yang dialaminya, datang atas daya tarik (undangannnya) sendiri (Elizabeth Towne, 1906). Atau
lebih jelasnya Hukum Tarik Menarik ini menyatakan: “Sesuatu akan menarik pada dirinya segala hal yang
satu sifat dengannya” (Erbe Sentanu, 2008; 49). Sebagai contoh sederhana misalnya ketika Anda bangun
tidur dengan perasaan kurang enak, dan kemudian mengawali hari dengan perasaan BT, maka yang
terjadi adalah pada hari tersebut Anda akan dipenuhi dengan berbagai kejadian yang kurang
menyenangkan/mengenakkan. Untuk lebih jelasnya, saya akan mengutip Erbe Sentanu (2008; 51)
sebagai berikut: Hukum Tarik Menarik berlansung secara otomatis. Ia tidak menanyakan kepada Anda
apakah Anda suka. Apakah Anda setuju dengan efek yang ditimbulkannya. Hukum ini berlaku otomatis
di alam, dan terlebih lagi sebenarnya berlaku pada pikiran dan perasaan Anda. Ingat, pikiran dan
perasaan adalah benda kuantum yang dasyat kekuatannya. Melalui kekuatan Hukum Tarik Menarik
Anda menarik apapun yang paling sering Anda pikirkan, apakah Anda memikirkannya atau tidak. Jadi,
jika Anda memikirkan apa ‘yang Anda suka’, maka hidup anda akan dipenuhi oleh hal itu. Dan
sebaliknya, jika Anda selalu memikirkan hal-hal ‘yang Anda tidak suka’ maka yang terjadi dalam
hiduppun akan mencerminkan hal itu. Luar biasa bukan? Menyitir pernyataan beberapa tokoh filsafat,
sebenarnya kita akan ‘the centre of the World’, atau ‘How the World work, is depending on us’. Nah,
seberapa yakin Anda akan pernyataan-pernyataan tersebut, maka hal itu akan sangat mempengaruhi
perjalanan Anda bersama tulisan kita ini kedepan.

Perkembangan pemahaman yang luar biasa mengenai bagaimana otak kita bekerja tersebut –atau lebih
sering dikenal dengan positive thinking-, ternyata masih berkembang lagi. Artinya ada bagian tubuh kita
–selain otak- yang mampu memberikan kepada kita energi yang luar biasa besar menuju kesuksesan,
yaitu hati (yang organnya adalah jantung). Ya, inilah era positife feeling, bukan hanya positive thinking.
Mari kita lihat bedanya menurt Erbe Sentanu (2008; 120), pada versi lama ketika kita berpikir positif,
maka kita akan mendapatkan apa yang paling sering kita pikirkan. Sedangkan pada versi baru, kita
dianjurkan untuk berperasaan positif, sehingga diharapkan kita akan mendapatkan apa yang paling
sering kita rasakan – ketika kita memikirkannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kita sering tidak/belum
sukses karena kehendak hati seringkali tidak sinkron dengan kehendak pikiran. Kita ingin mendapat nilai
bagus, tapi selalu menunda-nunda belajar. Ingin IPK tinggi tapi tidak mau mengulang pelajaran. Ingin
badan sehar tapi sangat malas untuk menggerakkan badan dan berolah raga. Ingin terlihat ‘charming’
tapi malas merawat tubuh dan lain-lain. Ingin badan seperti ‘Ade Rai’ tapi tubuh justru lebih sering
dibawa ke kasur. Ingin bermain gitar seperti ‘Steve Vai’ tapi yang diulik justru lagu Lupa dari Band
Kuburan. Pikiran ingin tapi hati merasa malas. Ingin tapi malas. Malas sekali rasanya, tapi sebenarnya
ada keinginan yang kuat di pikiran. Jadi? Ya, tidak sinkron. Memendam rasa rindu, tapi sekaligus juga
benci. Kangen, tapi kesal kalo sudah bertemu. Sayang, tapi cemburu buta.

Berbagai konflik inilah yang sering kali membuat langkah kita jadi maju mundur. Mengapa? Karena
hampir setiap saat kita melibatkan dua keputusan di bagian tubuh yang berbeda, pikiran diputuskan di
otak, dan perasaan diputuskan di hati. Solusi yang ditawarkan adalah, mengapa tidak diselaraskan?
Mengapa kita tidak (mencoba) merubah kebiasaan, untuk mulai melibatkan hati (selain pikiran).
Mengapa tidak mencoba merasa positif, selain berpikir positif? Inilah tantangannya, kita terlalu biasa
untuk memberikan beban ini pada otak, dan kurang terbiasa untuk membaginya dengan hati. Padahal
hal ini tidak mustahil untuk dilakukan

Mari kita lihat diri kita sendiri ketika sedang memulai menyelesaikan sebuah pekerjaan dengan hati
terpaksa, gundah dan kukulutus (bersungut-sungut dan mengeluh berkepanjangan), seperti apa
hasilnya? Bedakan dengan ketika kita memulai sebuah pekerjaan dengan tenang, ikhlas dan penuh
syukur. Mana yang lebih baik? Ketika baru bangun tidur, ada yang membersihkan tempat tidurnya
dengan ikhlas dan dengan kukulutus, mana yang lebih rapih? Ketika belajar ada yang ikhlas dan sadar
sepenuhnya bahwa ini untuk masa depannya, dan ada yang terpaksa dan gundah.
Maka, sebagai manusia dewasa, rasanya kita sudah mulai dapat memilih untuk tidak hanya berpikir
positif tapi merasakan secara positif/menghayati energi perasaan positif. Mulailah hari dengan ikhlas.
Bagaimana caranya? Tunggu tulisan selanjutnya. Stay tuned di For Magz..

Keputusan menentukan tujuan.

Jika berbicara mengenai motivasi berprestasi, maka pasti kita tidak akan lupa kisah perjuangan Thomas
Alfa Edison dan Kolonel Sanders. Mereka adalah para pejuang keyakinan. Mereka orang-orang yang
berjuang mempertahankan keyakinannya untuk menggapai sukses yang diidamkan. Thomas Alfa Edison
kita kenal sebagai sosok yang tak kenal menyerah dalam menciptakan lampu listrik. Ia didera oleh
berbagai kegagalan, bahkan laboratoriumnya sempat meledak, sehingga ia perlu mengulang kembali
berbagai penelitian dan percobaannya. Sementara disisi lain Kolonel Sanders adalah pejuang resep ayam
KFC yang paling tangguh, tanpa kenal lelah ia menawarkan resepnya ke berbagai pihak. Urat malunya
diputus untuk menerima penolakan. Dan kini kita sama-sama tau bahwa KFC dapat dinikmati hampir di
seluruh dunia, dan di restorannya, pasti menggunakan lampu listrik ciptaan Eyang Edison. Itulah hasil
dari keyakinan akan kesuksesan. Pertanyaannya, dari manakah keyakinan berawal?

Hanya satu jawabannya, yaitu dari sebuah keputusan. Inilah yang sering kita lupakan. Kita sering
mengeluh mengapa kita tidak sukses/tidak berhasil. Sungguh sangat lucu. Mengapa lucu? Karena
sebelum memulai sesuatu kita sangat jarang (bahkan sebagian tidak pernah) untuk memutuskan bahwa
saya akan memulai ini dan menyelesaikannya. Kita jarang benar-benar memutuskan untuk mengerjakan
sesuatu dari awal hingga akhir. Mari kita lihat, mengapa kita tidak mendapatkan IPK yang kita inginkan?
Jawabannya mungkin sederhana, karena kita belum pernah memutuskan level IPK yang kita inginkan
diawal semester. Mengapa kita lulus sesuai target kita? Jelas, karena kita belum pernah memutuskan
kapan tepatnya kita ingin lulus. Satu hal, bukan proses, bukan sumber daya, bukan lingkungan saja yang
paling berpengaruh terhadap pencapaian tujuan, tetapi keputusan kita untuk mencapai tujuan kita.
Ingat keputusanlah yang menentukan tujuan.

Mari kita lihat hari-hari kita. Apakah kita terbiasa untuk memutuskan apa yang harus saya dapat hari ini?
Mungkin belum. Akhirnya hari demi hari mengalir seperti air, tanpa mendapatkan sesuatu yang berarti.
Ingat, satu keputusan sederhana, bisa mengubah hari-hari kita. Misalnya, di pagi hari kita memutuskan
untuk mendapat pemahaman baru dari surat Al Ikhlas, maka percayalah segala pikiran, perasaan,
bahkan khayalan kita turut mendukung untuk pencapaian keputusan kita tersebut. Di setiap menit di
hari itu, kita akan teringat menuntaskan apa yang telah kita putuskan. Atau kita bisa memutuskan untuk
membaca Al Qur’an minimal satu ayat setiap hari. Maka, lihatlah dampaknya. Bagaimana jika kita tetap
melupakan keputusan yang kita buat? Jawabannya sederhana, berarti kita belum serius dalam membuat
keputusan. Ingat, tidak membuat keputusan adalah juga sebuah keputusan. Atau sederhananya, jika kita
tidak membuat keputusan apa-apa mengenai target harian kita, berarti kita memang memutuskan
untuk tidak mendapatkan hasil apa-apa. Maka tidak usah heran jika kita tidak pernah mendapatkan apa-
apa yang kita inginkan. Sederhana bukan?
Seorang Ustadz sholat Jumat pernah bercerita tentang seorang murid pengajiannya yang berhasil
menamatkan satu juz Al Qur’an setiap hari. Bagi sebagian orang hal ini terasa berat, karena boro-boro
satu juz, satu ayatpun sulit untuk kita membacanya. Ketika ditanya mengapa ia mampu melakukannya,
jawabannya sederhana; karena saya mau, dan saya telah memutuskan untuk melakukanya. Itulah
kekuatan keputusan. Keputusan yang baik adalah yang mampu membuat kita melesat dan tidak
berhenti melangkah. Keputusan yang benar adalah yang membuat kita merasa bersalah ketika berhenti
melangkah. Keputusan yang berpengaruh adalah yang mampu membuat kita tetap berada di rel yang
benar untuk menjalankan lokomotif kereta hati dan pikiran kita menuju stasiun yang dicita-citakan.

Ada beberapa kisah klasik lagi yang akan kita bahas. Yang pertama ialah seorang tokoh Entrepreneurship
dari Indonesia yaitu Dr. Ir. Ciputra. Prestasi terhebatnya ialah ia ditunjuk sebagai wakil dari Indonesia
untuk penobatan entrepreneurship of the year oleh lembaga internasional Ernst & Young. Apa kira-kira
resepnya? Hanya satu, yaitu bahwa sejak kecil ia telah memutuskan untuk meleburkan diri dan seluruh
jiwa raganya untuk entrepreneurship, sehingga sejak itu setiap langkah, pemikiran dan perasaannya
adalah hanya untuk entrepreneurship. Maka, tidak heran ketika saat ini bisnisnya telah melebar tidak
hanya diseluruh Indonesia, tapi mulai merambah negara-negara di ASEAN. Satu tagline beliau yang
terkenal yaitu entrepreneurship akan merubah kotoran dan rongsokan menjadi emas. Kini beliau telah
membuktikannya.

Kisah terakhir pada tulisan ini adalah tentang Walt Disney. Ia adalah tokoh panutan ketika sebuah
seminar/training/workshop berbicara atau membahas masalah visi. Ia adalah figur yang dianggap
memiliki visi yang sangat kuat tentang apa yang ingin diraihnya. Tentunya Anda mengenal taman
bermain Walt Disney yang sangat terkenal di Amerika dan kini ada juga di berbagai belahan dunia.
Awalnya, tidak ada seorang pun yang bermimpi bahwa hal tersebut dapat diwujudkan. Namun
keputusannya sudah bulat, bahwa ia akan membangun sebuah pusat rekreasi keluarga yang lengkap dan
dapat dinikmati oleh orang dari berbagai belahan dunia. Sayang, ketika visi tersebut terwujud, ia sudah
meninggal, sehingga upacara pembukaannya hanya dihadiri oleh istrinya. Pestanya cukup meriah, dan
banyak wartawan yang hadir. Kemudian ada seorang wartawan yang bertanya pada sang istri, “Bu, kira-
kira bagaimana perasaan suami Ibu kalau ia masih hidup? Sayang sekali, ketika hasil karyanya selesai, ia
bahkan tidak sempat melihatnya..” Sang istri dengan tenang menjawab,”Beliau tidak akan menyesal,
karena beliau sudah melihatnya..” Luar biasa, itulah kekuatan sebuah visi, Itulah dahsyatnya sebuah
keputusan. Walt Disney sudah membuat keputusan dan tidak mengubahnya sampai akhir hayatnya.
Bahkan ia sudah melihat hasil dari keputusannya tersebut, sebelum dilaksanakan.

Mari, mulai saat ini, kita tidak membiarkan hari-hari kita berlalu tanpa didahului oleh keputusan-
keputusan yang positif. Karena waktu tidak akan berulang, dan jarum jam tidak dapat diputar mundur.
Ingat, tidak membuat keputusan adalah bentuk dari keputusan, yaitu keputusan untuk membiarkan
hari-hari kita berlalu tanpa makna.

Pantai parai
Miun mendesah, “luar biasa..”. Dihadapannya tampak hamparan pasir putih halus dan bersih tanpa
kotoran kertas, plastik dll membentang dari ujung horizon barat ke timur. Sebuah pantai yang sangat
landai, sehingga mungkin seseorang dengan tinggi normal dapat berjalan tanpa tenggelam sampai
sejauh 70-90 meter menuju laut. Tidak hanya pasirnya yang selembut sutra, kawasan ini juga dihiasi
dengan batu-batu besar berukuran mulai dari lemari baju sampai rumah tipe 21. Ratusan batu-batu
raksasa berwarna abu kehitaman ini berserak dari mulai bibir pantai sampai radius jarak 100 meter ke
arah laut. Konon batu ini berasal dari letusan gunung berapi ratusan tahun yang lalu. Walaupun tidak
ada yang tahu pastinya. Namun yang jelas kehadirannya menambah eksotik pantai yang diberi nama
Pantai Parai ini, karena keberadaannya yang tidak teratur –ada yang berkumpul dan ada yang terpisah
sendiri- justru menambah kesan alami. Kawasan ini terletak di Kabupaten Bangka sekitar 50 menit
perjalanan darat dari ibu kota propinisi Bangka Belitung, Pangkal Pinang.

Miun kembali menghela nafas, karena ternyata investor yang menangani pantai ini telah melengkapi
kawasan tersebut dengan cottage-cottage berbagai ukuran, ruang pertemuan, ruang makan, kafe,
lapangan volley pantai dengan tribun penontonnya dan yang sedang dibuat; landasan helikopter. “Luar
biasa” gumamnya dalam hati. Inilah propinsi baru yang sedang menggeliat. Inilah kawasan penghasil
timah yang sedang mendorong dirinya keatas untuk dapat sejajar dengan propinsi lain. Dengan potensi
pantai plus air laut yang bening dan jernih, tidak berlebihan jika pulau ini dapat menjadi Bali ke dua di
Indonesia. Dengan wisata kuliner ikan dan makanan laut dengan bumbu lokal, kawasan ini juga dapat
menjadi kompetitor wisata bahari di Losari Makasar. Inilah kekayaan Indonesia yang tidak akan pernah
habis digali. Inilah potensi yang belum sepenuhnya tersentuh untuk dikembangkan. Dan inilah intan
permata yang menunggu digosok, dipahat dan dipoles oleh sang pakar.

Sambil duduk diatas salah satu batu yang lonjong terlentang, pikiran Miun kembali melayang ke
pelajaran yang ia dapat dikantor tempat ia bekerja. Ia terngiang-ngiang kata-kata bijaksana dari gurunya,
yaitu bahwa setiap tempat, kantor, lembaga, hewan atau pendek kata pada setiap mahluk, selalu
terdapat potensi dan masalah. Potensi adalah peluang untuk berkembang secara maksimal, sementara
masalah adalah hal yang berpotensi memperkecil peluang tersebut untuk berkembang sedara optimal.
Pantai ini adalah potensi terpendam dari kawasan yang terletak di sisi pulau Sumatra ini. Inilah sumber
daya alam yang menunggu digali dan ditumbuhkembangkan. Area tepi laut tenang yang eksotik, waktu
tempuh yang hanya sekitar dua jam dari Jakarta (termasuk perjalanan darat), penduduk yang giat
berwirausaha mengembangkan kearifan lokalnya, hanyalah merupakan bagian kecil dari potensi daerah
yang perlu diasah.

Bosan duduk diatas batu, Miun kemudian berjalan menyusuri pantai yang berlaut biru dan bening
tersebut. Beberapa umang (sejenis kerang kecil) dilihatnya sedang bermain-main dibawah terik mentari.
Seekor kadal berlari dari satu tumpukan batu ke tumpukan lainnya. Namun semua itu tidak menarik
perhatian Miun. Pandangannya melekat pada siluet dirinya yang terpantul di beningnya air pantai. Ia
memperhatikan dirinya.

“Sebenarnya apakah potensi yang saya miliki?” tanyanya dalam hati. Rupanya pikirannya masih belum
beranjak dari konsep potensi dan masalah yang diterangkan oleh gurunya tersebut. Miun berpikir
bahwa selama ini belum ada yang dapat dibanggakan dari dirinya dalam arti belum ada potensi yang
betul-betul dikembangkannya. Tanpa sadar ia mulai membuat perhitungan neraca potensi pribadi (1)
Kemampuan bahasa Inggris; pas-pasan, (2) Komputer; ala kadarnya, (3) Kemampuan berpikir
konseptual; masih belum stabil, (4) Kemampuan menyanyi; masih membuat orang lain tutup telinga,dll.
Sambil membenamkan kaki hitamnya ke dalam air, ia kembali merenung,”Rupanya saya masih tergolong
orang yang memiliki masalah lebih besar dari potensi. Coba sekarang saya coba hitung neraca masalah
yang saya miliki”, gumamnya dalam hati,”(1) Males belajar, (2) Tukang tidur, (3) Jarang membaca buku,
(4) Kurang serius jika mendengarkan dosen, (5) Masih sering menghabiskan waktu dengan hal-hal yang
tidak berguna dan lain-lain, dan masih banyak lagi”

Pandangannya kemudian tertuju pada bangunan utama hotel Parai. Disisi kiri dari bangunan bernuansa
kayu tersebut ada kolam renang yang didesain dengan gaya Yunani. Di lima sisi kolam tersebut ada
patung dewi cilik yang memegang gentong air, yang mengucurkan airnya tanpa lelah, sehingga
membuat air kolam beriak-riak. Disalah satu sudut dari kolam prisma itu ada bangunan luncur untuk
bermain anak-anak. Sambil mengagumi kolam renang yang hanya berjarak kurang dari 20 meter dengan
bibir pantai itu, Ia terngiang pembicaraannya dengan salah satu pegawai pemerintah daerah yang
ditemuinya kemarin sore.

“Pemilik hotel ini masih berusia cukup muda. Ia orang yang sangat ambisius dan tidak pernah lelah
mengejar cita-citanya. Beberapa tahun yang lalu pantai ini belum banyak diketahui oleh orang banyak,
namun ia menangkap potensi yang luar biasa dari pasir putih halus dan ombak yang tenang ini.
Selanjutnya, mudah ditebak, ia melakukan berbagai usaha dari A sampai Z sehingga hotel Parai yang
lengkap dengan fasilitas yang –paling tidak- setara dengan hotel bintang empat ini tercipta. Hasilnya,
bisa dilihat sendiri, hampir seluruh tamu-tamu besar dari domestik maupun mancanegara selalu
menyempatkan diri untuk menginap di sini, sehingga tingkat huniannya selalu diatas rata-rata”

Miun kembali melihat bayangan dirinya di air. Ia seperti melihat pria paruh baya yang sedang bingung.
“Lihatlah dirimu Miun” ucapnya dalam hati, “Karya besar apa yang sudah kamu hasilkan? Orang lain
yang kurang lebih seumur denganmu sudah mengubah pantai berbatu ini menjadi berlian, sedangkan
kamu? Hari-harimu masih berisi keluhan dan keluhan. Keluhan tentang gaji yang tidak seberapa, motor
yang sering kempes, kemacetan lalu lintas, komputer yang sering rusak dan lain-lain. Pernahkah kamu
memikirkan bahwa sesungguhnya potensi yang kamu miliki jauh diatas itu. Mana Miun yang selalu tiga
besar saat sekolah dulu? Mana Miun yang katanya punya cita-cita membuat Bandung menjadi Training
City? Kamu kalah Miun, kalah sebelum berperang..” Nurani Miun terus berkicau. Ia menyepak air
dikakinya sehingga beberapa riak ombak tercipta, menciptakan ombak kecil yang menjauh dan
berangsur menghilang. Setelah airnya kembali tenang ia kembali melihat umang yang sedang berjuang
melawan ombak untuk dapat merapat kepantai. Seluruh kakinya dikeluarkan dari rumahnya untuk dapat
menahan aliran ombak kecil itu. Ia tampak kepayahan namun jelas sekali terlihat bahwa semangatnya
tidak pernah padam. Berkali-kali ombak menyeretnya, namun ia selalu berusaha melawannya.

Miun seperti terkecat dengan pemandangan itu. Tangannya kemudian mengeras membentuk kepalan
tinju. “Oke aku akan bangkit. Aku ingat bahwa kesuksesan seseorang bukanlah diukur dengan
membandingkan seorang individu dengan orang lainnya, melainkan bagaimana pencapaian individu
tersebut dibandingkan dengan optimalisasi potensinya. Umang tersebut sama sekali tidak pernah
membandingkan dirinya dengan umang yang lain, namun setiap hari ia selalu memaksimalkan
potensinya untuk dapat bertahan hidup. Artinya, kesuksesan seseorang bukanlah ketika dia menjadi
lebih kaya secara materi dengan rekan sebayanya, namun seberapa jauh ia dapat mengembangkan
potensinya, sehingga ia hidup tenang dan damai dari keringatnya”. Miun kembali menggoreskan tekat di
lempengan hatinya. “Hai bayangan di air” ujarnya pada siluet dirinya di pasir yang tertutupi air laut
itu,”kamu adalah saksi kebangkitan saya hari ini. Saya akan bangkit, karena mengeluh tidak ada
gunanya. Sekali lagi,mengeluh tidak ada gunanya. Bayangkan jika umang itu mengeluh dan menyerah,
maka ia akan terbawa laut selamanya. Masalah bukan untuk diratapi melainkan untuk dihadapi dan
dicarikan jalan keluarnya. Potensi bukan untuk didiamkan, melainkan untuk dilecut, dilatih dan
diledakkan. Beda antara orang yang sukses dan tidak sukses hanya setipis kertas. Orang yang sukses
melakukan sedikit lebih banyak dari yang dilakukan orang yang tidak suskses. Orang yang sukses belajar
10 kali sehari, sementara orang yang tidak sukses berhenti di angka delapan bahkan enam. Pelari juara
dunia dan juara kampung hanya dibedakan oleh hitungan detik. Artinya, jangan berhenti sebelum
selesai, jangan menyerah sebelum memulai. Siap grak!

Anda mungkin juga menyukai