Anda di halaman 1dari 22

1

Cognitive-Behavior Therapy: Solusi Pendekatan Praktek Konseling di Indonesia


Oleh
Idat Muqodas[*]
Abstract: Cognitive-Behavior Therapy (CBT) is a counseling approach, which
emphasize on deviation of cognitive restructurization as a result of accident that has
bad impact on their physical and psychological aspect. CBT approach aims for
function modification of thinking, feeling, and acting which utilize brain as a
analyzer, decision maker, asking questions, acting, and re-deciding. Though,
approach about behavior aspect aim for building good relationship between
problems with the problem reaction. CBT invite individuals to learn, changing
behavior, relaxing mind and body to feel better, thinking clearer and helping for
appropriate decision making. CBT help counseling in harmonizing thinking, feeling
and acting.
Keyword: Cognitive-Behavior Therapy (CBT), cognitive, behavior, thinking,
feeling, and acting.
A. Pendahuluan
Berfikir merupakan ciri khas dari manusia yang membedakannya dengan makhluk
lain. Ciri inilah membuat manusia disebut sebagai anima intelectiva, berbeda
dengan anima sensitive dan anima vegetativa. Melalui berfikir, manusia
memutuskan tindakannya, karena berfikir merupakan fungsi kognitif manusia.
Manusia tidak hanya menerima rangsangan dari apa yang dilihatnya melalui
pengindraanya, mengingat peristiwa, serta menghubungkan satu peristiwa dengan
peristiwa lainnya dengan landasan hukum asosiatif, namun mengolah informasi
yang diperolehnya melalui pengalaman hidup serta fungsi kognitifnya. Hal ini
membuat berbagai asumsi mengenai informasi yang diterima manusia di dalam
benaknya dengan mempertimbangkan berbagai hal melalui proses berfikir dan
mengambil keputusan atas dasar pertimbangan yang dipikirkan secara matang.
Inilah ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Beberapa pengalaman para konselor dalam melakukan praktek konseling di
Indonesia, khususnya di sekolah sebagai tempat para konselor atau guru BK
berkerja, sering kali layanan konseling dilakukan dengan cara memberikan nasihat.
Pemberian nasihat diharapkan adanya perubahan pemahaman terhadap perilaku

siswa yang menyimpang. Namun perubahan tersebut hanya beberapa kasus siswa
saja yang mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, sisanya masih banyak
siswa kembali melakukan kesalahannya karena tidak adanya sebuah bantuan untuk
melatih perilaku baru, dan siswa cenderung enggan untuk mendengarkan nasihat.
Monty P. Satiadarma (Oemarjoedi, 2003:x) mengatakan bahwa penyimpangan
prilaku manusia terjadi karena adanya penyimpangan fungsi kognitif. Untuk
memberbaiki perilaku manusia yang mengalami penyimpangan tersebut terlebih
dahulu harus dilakukan perbaikan terhadap fungsi kognitif manusia. Pernyataan ini
menunjukan pentingnya pengaruh aspek kognitif terhadap perilaku manusia. Peran
kognitif dalam mempertimbangkan keputusan untuk malakukan tindakan tertentu
menjadi fokus perhatian dalam pendekatan cognitive-behavior therapy.
Cognitive-Behavior Therapy (CBT) merupakan pendekatan konseling yang
didasarkan atas konseptualisasi atau pemahaman pada setiap konseli, yaitu pada
keyakinan khusus konseli dan pola perilaku konseli. Proses konseling dengan cara
memahami konseli didasarkan pada restrukturisasi kognitif yang menyimpang,
keyakinan konseli untuk membawa perubahan emosi dan strategi perilaku ke arah
yang lebih baik. Oleh sebab itu CBT merupakan salah satu pendekatan yang lebih
integratif dalam konseling. (Alford & Beck, 1997)
CBT merupakan sebuah pendekatan yang memiliki pengaruh dari pendekatan
cognitive therapy dan behavior therapy. Oleh sebab itu, Matson & Ollendick (1988:
44) mengungkapkan bahwasanya CBT merupakan perpaduan pendekatan dalam
psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Sehingga langkah-langkah
yang dilakukan oleh cognitive therapy dan behavior therapy ada dalam konseling
yang dilakukan oleh CBT. Karakteristik CBT yang tidak hanya menekankan pada
perubahan pemahaman konseli dari sisi kognitif namun memberikan konseling pada
perilaku ke arah yang lebih baik dianggap sebagai pendekatan konseling yang tepat
untuk diterapkan di Indonesia.
B. Pembahasan
Untuk memahami lebih jelas mengenai CBT, berikut akan disajikan pembahasan
mengenai definisi CBT, tujuan konseling CBT, fokus konseling, prinsip-prinsip,
teknik, karakteristik CBT, serta fakta-fakta hypnosis dalam CBT.
1. Definisi Cognitive-Behavior Therapy (CBT)
Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan konseling yang
dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan cara

melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang. Pedekatan CBT


didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi perilaku yang
mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau pemahaman
konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari CBT yaitu
munculnya restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayaan untuk
membawa perubahan emosi dan perilaku ke arah yang lebih baik.
Matson & Ollendick (1988: 44) mengungkapkan definisi cognitive-behavior
therapy yaitu pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara spesifik
menggunakan kognisi sebagai bagian utama konseling. Fokus konseling yaitu
persepsi, kepercayaan dan pikiran.
Para ahli yang tergabung dalam National Association of Cognitive-Behavioral
Therapists (NACBT), mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive-behavior
therapy yaitu suatu pendekatan psikoterapi yang menekankan peran yang penting
berpikir bagaimana kita merasakan dan apa yang kita lakukan. (NACBT, 2007)
Bush (2003) mengungkapkan bahwa CBT merupakan perpaduan dari dua
pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi
kognitif memfokuskan pada pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif
memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Terapi kognitif
tidak hanya berkaitan dengan positive thinking, tetapi berkaitan pula dengan happy
thinking. Sedangkan Terapi tingkah laku membantu membangun hubungan antara
situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Individu belajar
mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik,
berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat.
Pikiran negatif, perilaku negatif, dan perasaan tidak nyaman dapat membawa
individu pada permasalahan psikologis yang lebih serius, seperti depresi, trauma,
dan gangguan kecemasan. Perasaan tidak nyaman atau negatif pada dasarnya
diciptakan oleh pikiran dan perilaku yang disfungsional. Oleh sebab itu dalam
konseling, pikiran dan perilaku yang disfungsional harus direkonstruksi sehingga
dapat kembali berfungsi secara normal.
CBT didasarkan pada konsep mengubah pikiran dan perilaku negatif yang sangat
mempengaruhi emosi. Melalui CBT, konseli terlibat aktivitas dan berpartisipasi
dalam training untuk diri dengan cara membuat keputusan, penguatan diri dan
strategi lain yang mengacu pada self-regulation (Matson & Ollendick, 1988: 44).
Teori Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 6) pada dasarnya meyakini pola
pemikiran manusia terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon (SKR), yang

saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di
mana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana
manusia berpikir, merasa dan bertindak.
Sementara dengan adanya keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk
menyerap pemikiran yang rasional dan irasional, di mana pemikiran yang irasional
dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku yang menyimpang, maka
CBT diarahkan pada modifikasi fungsi berfikir, merasa, dan bertindak dengan
menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, bertindak, dan
memutuskan kembali. Dengan mengubah status pikiran dan perasaannya, konseli
diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif.
Berdasarkan paparan definisi mengenai CBT, maka CBT adalah pendekatan
konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif
yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik
maupun psikis. CBT merupakan konseling yang dilakukan untuk meningkatkan dan
merawat kesehatan mental. Konseling ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi
berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa,
pengambil keputusan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Sedangkan,
pendekatan pada aspek behavior diarahkan untuk membangun hubungan yang baik
antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Tujuan dari
CBT yaitu mengajak individu untuk belajar mengubah perilaku, menenangkan
pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu
membuat keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya dengan CBT diharapkan
dapat membantu konseli dalam menyelaraskan berpikir, merasa dan bertindak.
2. Tujuan Konseling CBT
Tujuan dari konseling Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 9) yaitu mengajak
konseli untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan buktibukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi.
Konselor diharapkan mampu menolong konseli untuk mencari keyakinan yang
sifatnya dogmatis dalam diri konseli dan secara kuat mencoba menguranginya.
Dalam proses konseling, beberapa ahli CBT (NACBT, 2007; Oemarjoedi, 2003)
berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting dalam konseling.
Oleh sebab itu CBT dalam pelaksanaan konseling lebih menekankan kepada masa
kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan masa lalu. CBT
tetap menghargai masa lalu sebagai bagian dari hidup konseli dan mencoba

membuat konseli menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan pada
pola pikir masa kini untuk mencapai perubahan di waktu yang akan datang. Oleh
sebab itu, CBT lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk dirubah dari
status kognitif negatif menjadi status kognitif positif.
3. Fokus Konseling
CBT merupakan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau
pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya
baik secara fisik maupun psikis dan lebih melihat ke masa depan dibanding masa
lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain mengubah cara berpikir, kepercayaan,
sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi konseli belajar mengenali dan mengubah
kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek behavioral dalam CBT yaitu
mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan kebiasaan
mereaksi permasalahan, belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan
tubuh sehingga merasa lebih baik, serta berpikir lebih jelas.
4. Prinsip Prinsip Cognitive-Behavior Therapy (CBT)
Walaupun konseling harus disesuaikan dengan karakteristik atau permasalahan
konseli, tentunya konselor harus memahami prinsip-prinsip yang mendasari CBT.
Pemahaman terhadap prinsip-prinsip ini diharapkan dapat mempermudah konselor
dalam memahami konsep, strategi dalam merencanakan proses konseling dari setiap
sesi, serta penerapan teknik-teknik CBT.
Berikut adalah prinsip-prinsip dasar dari CBT berdasarkan kajian yang diungkapkan
oleh Beck (2011):
Prinsip nomor 1: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada formulasi yang terus
berkembang dari permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif konseli.
Formulasi konseling terus diperbaiki seiring dengan perkembangan evaluasi dari
setiap sesi konseling. Pada momen yang strategis, konselor mengkoordinasikan
penemuan-penemuan konseptualisasi kognitif konseli yang menyimpang dan
meluruskannya sehingga dapat membantu konseli dalam penyesuaian antara
berfikir, merasa dan bertindak.
Prinsip nomor 2: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada pemahaman yang
sama antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi konseli.
Melalui situasi konseling yang penuh dengan kehangatan, empati, peduli, dan
orisinilitas respon terhadap permasalahan konseli akan membuat pemahaman yang

sama terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Kondisi tersebut akan


menunjukan sebuah keberhasilan dari konseling.
Prinsip nomor 3: Cognitive-Behavior Therapy memerlukan kolaborasi dan
partisipasi aktif. Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling maka
keputusan konseling merupakan keputusan yang disepakati dengan konseli. Konseli
akan lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi konseling, karena konseli mengetahui
apa yang harus dilakukan dari setiap sesi konseling.
Prinsip nomor 4: Cognitive-Behavior Therapy berorientasi pada tujuan dan
berfokus pada permasalahan. Setiap sesi konseling selalu dilakukan evaluasi untuk
mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini diharapkan adanya
respon konseli terhadap pikiran-pikiran yang mengganggu tujuannya, dengan kata
lain tetap berfokus pada permasalahan konseli.
Prinsip nomor 5: Cognitive-Behavior Therapy berfokus pada kejadian saat ini.
Konseling dimulai dari menganalisis permasalahan konseli pada saat ini dan di sini
(here and now). Perhatian konseling beralih pada dua keadaan. Pertama, ketika
konseli mengungkapkan sumber kekuatan dalam melakukan kesalahannya. Kedua,
ketika konseli terjebak pada proses berfikir yang menyimpang dan keyakinan
konseli dimasa lalunya yang berpotensi merubah kepercayaan dan tingkahlaku ke
arah yang lebih baik.
Prinsip nomor 6: Cognitive-Behavior Therapy merupakan edukasi, bertujuan
mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan menekankan
pada pencegahan. Sesi pertama CBT mengarahkan konseli untuk mempelajari sifat
dan permasalahan yang dihadapinya termasuk proses konseling cognitive-behavior
serta model kognitifnya karena CBT meyakini bahwa pikiran mempengaruhi emosi
dan perilaku. Konselor membantu menetapkan tujuan konseli, mengidentifikasi dan
mengevaluasi proses berfikir serta keyakinan konseli. Kemudian merencanakan
rancangan pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya.
Prinsip nomor 7: Cognitive-Behavior Therapy berlangsung pada waktu yang
terbatas. Pada kasus-kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan antara 6
sampai 14 sesi. Agar proses konseling tidak membutuhkan waktu yang panjang,
diharapkan secara kontinyu konselor dapat membantu dan melatih konseli untuk
melakukan self-help.
Prinsip nomor 8: Sesi Cognitive-Behavior Therapy yang terstruktur. Struktur ini
terdiri dari tiga bagian konseling. Bagian awal, menganalisis perasaan dan emosi
konseli, menganalisis kejadian yang terjadi dalam satu minggu kebelakang,

kemudian menetapkan agenda untuk setiap sesi konseling. Bagian tengah, meninjau
pelaksanaan tugas rumah (homework asigment), membahas permasalahan yang
muncul dari setiap sesi yang telah berlangsung, serta merancang pekerjaan rumah
baru yang akan dilakukan. Bagian akhir, melakukan umpan balik terhadap
perkembangan dari setiap sesi konseling. Sesi konseling yang terstruktur ini
membuat proses konseling lebih dipahami oleh konseli dan meningkatkan
kemungkinan mereka mampu melakukan self-help di akhir sesi konseling.
Prinsip nomor 9: Cognitive-Behavior Therapy mengajarkan konseli untuk
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi pemikiran disfungsional dan
keyakinan mereka. Setiap hari konseli memiliki kesempatan dalam pikiran-pikiran
otomatisnya yang akan mempengaruhi suasana hati, emosi dan tingkah laku
mereka. Konselor membantu konseli dalam mengidentifikasi pikirannya serta
menyesuaikan dengan kondisi realita serta perspektif adaptif yang mengarahkan
konseli untuk merasa lebih baik secara emosional, tingkahlaku dan mengurangi
kondisi psikologis negatif. Konselor juga menciptakan pengalaman baru yang
disebut dengan eksperimen perilaku. Konseli dilatih untuk menciptakan
pengalaman barunya dengan cara menguji pemikiran mereka (misalnya: jika saya
melihat gambar laba-laba, maka akan saya merasa sangat cemas, namun saya pasti
bisa menghilangkan perasaan cemas tersebut dan dapat melaluinya dengan baik).
Dengan cara ini, konselor terlibat dalam eksperimen kolaboratif. Konselor dan
konseli bersama-sama menguji pemikiran konseli untuk mengembangkan respon
yang lebih bermanfaat dan akurat.
Prinsip nomor 10: Cognitive-Behavior Therapy menggunakan berbagai teknik
untuk merubah pemikiran, perasaan, dan tingkah laku. Pertanyaan-pertanyaan yang
berbentuk sokratik memudahkan konselor dalam melakukan konseling cognitivebehavior. Pertanyaan dalam bentuk sokratik merupakan inti atau kunci dari proses
evaluasi konseling. Dalam proses konseling, CBT tidak mempermasalahkan
konselor menggunakan teknik-teknik dalam konseling lain seperti kenik Gestalt,
Psikodinamik, Psikoanalisis, selama teknik tersebut membantu proses konseling
yang lebih saingkat dan memudahkan konelor dalam membantu konseli. Jenis
teknik yang dipilih akan dipengaruhi oleh konseptualisasi konselor tehadap konseli,
masalah yang sedang ditangani, dan tujuan konselor dalam sesi konseling tersebut.
5.

Teknik Cognitive-Behavior Therapy (CBT)

CBT adalah pendekatan psikoterapeutik yang digunakan oleh konselor untuk


membantu individu ke arah yang positif. Berbagai variasi teknik perubahan kognisi,
emosi dan tingkah laku menjadi bagian yang terpenting dalam Cognitive-Behavior
Therapy. Metode ini berkembang sesuai dengan kebutuhan konseli, di mana
konselor bersifat aktif, direktif, terbatas waktu, berstruktur, dan berpusat pada
konseli.
Konselor atau terapis cognitive-behavior biasanya menggunakan berbagai teknik
intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli. Teknik
yang biasa dipergunakan oleh para ahli dalam CBT (McLeod, 2006: 157-158) yaitu:
a. Manata keyakinan irasional.
b.
Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang
menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan.
c.
Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play
dengan konselor.
d. Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi ril.
e. Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas yang dialami
pada saat ini dengan skala 0-100.
f.
Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentikan pikiran negatif
dan mengubahnya menjadi pikiran positif.
g. Desensitization systematic. Digantinya respons takut dan cemas dengan respon
relaksasi dengan cara mengemukakan permasalahan secara berulang-ulang dan
berurutan dari respon takut terberat sampai yang teringan untuk mengurangi
intensitas emosional konseli.
h.
Pelatihan keterampilan sosial. Melatih konseli untuk dapat menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan sosialnya.
i.
Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa bertindak
tegas.
j.
Penugasan rumah. Memperaktikan perilaku baru dan strategi kognitif antara
sesi konseling.
k.
In vivo exposure. Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah dengan
memasuki situasi tersebut.
l.
Covert conditioning, upaya pengkondisian tersembunyi dengan menekankan
kepada proses psikologis yang terjadi di dalam diri individu. Peranannya di dalam
mengontrol perilaku berdasarkan kepada imajinasi, perasaan dan persepsi.

6. Karakteristik Cognitive-Behavior Therapy (CBT)


CBT merupakan bentuk psikoterapi yang sangat memperhatikan aspek peran dalam
berpikir, merasa, dan bertindak. Terdapat beberapa pendekatan dalam psikoterapi
CBT termasuk didalamnya pendekatan Rational Emotive Behavior Therapy,
Rational Behavior Therapy, Rational Living Therapy, Cognitive Therapy, dan
Dialectic Behavior Therapy. Akan tetapi CBT memiliki karakteristik tersendiri
yang membuat CBT lebih khas dari pendekatan lainnya.
Berikut akan disajikan mengenai karakteristik CBT (NACBT, 2007):
a.
CBT didasarkan pada model kognitif dari respon emosional. CBT didasarkan
pada fakta ilmiah yang menyebabkan munculnya perasaan dan prilaku, situasi dan
peristiwa. Keuntungan dari fakta ini adalah seseorang dapat mengubah cara
berpikir, cara merasa, dan cara berprilaku dengan lebih baik walaupun situasi ridak
berubah.
b.
CBT lebih cepat dan dibatasi waktu. CBT merupakan konseling yang
memberikan bantuan dalam waktu yang relative lebih singkat dibandingkan dengan
pendekatan lainnya. Rata-rata sesi terbanyak yang diberikan kepada konseli hanya
16 sesi. Berbeda dengan bentuk konseling lainnya, seperti psikoanalisa yang
membutuhkan waktu satu tahun. Sehingga CBT memungkinkan konseling yang
lebih singkat dalam penanganannya.
c.
Hubungan antara konseli dengan terapis atau konselor terjalin dengan baik.
Hubungan ini bertujuan agar konseling dapat berjalan dengan baik. Konselor
meyakini bahwa sangat penting untuk mendapatkan kepercayaan dari konseli.
Namun, hal ini tidak cukup bila tidak diiringi dengan keyakinan bahwa konseli
dapat belajar mengubah cara pandang atau berpikir sehingga akhirnya konseli dapat
memberikan konseling bagi dirinya sendiri.
d.
CBT merupakan konseling kolaboratif yang dilakukan terapis atau konselor
dan konseli. Konselor harus mampu memahami maksud dan tujuan yang
diharapkan konseli serta membantu konseli dalam mewujudkannya. Peranan
konselor yaitu menjadi pendengar, pengajar, dan pemberi semangat.
e. CBT didasarkan pada filosofi stoic (orang yang pandai menahan hawa nafsu).
CBT tidak menginformasikan bagaimana seharusnya konseli merasakan sesuatu,
tapi menawarkan keuntungan perasaan yang tenang walaupun dalam keadaan sulit.
f.
CBT mengunakan metode sokratik. Terapis atau konselor ingin memperoleh
pemahaman yang baik terhadap hal-hal yang dipikirkan oleh konseli. Hal ini
menyebabkan konselor sering mengajukan pertanyaan dan memotivasi konseli

10

untuk bertanya dalam hati, seperti Bagaimana saya tahu bahwa mereka sedang
menertawakan saya? Apakah mungkin mereka menertawakan hal lain.
g.
CBT memiliki program terstruktur dan terarah. Konselor CBT memiliki
agenda khusus untuk setiap sesi atau pertemuan. CBT memfokuskan pada
pemberian bantuan kepada konseli untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Konselor CBT tidak hanya mengajarkan apa yang harus dilakukan
oleh konseli, tetapi bagaimana cara konseli melakukannya.
h.
CBT didasarkan pada model pendidikan. CBT didasarkan atas dukungan
secara ilmiah terhadap asumsi tingkah laku dan emosional yang dipelajari. Oleh
sebab itu, tujuan konseling yaitu untuk membantu konseli belajar meninggalkan
reaksi yang tidak dikehendaki dan untuk belajar sebuah reaksi yang baru.
Penekanan bidang pendidikan dalam CBT mempunyai nilai tambah yang
bermanfaat untuk hasil tujuan jangka panjang.
i.
CBT merupakan teori dan teknik didasarkan atas metode induktif. Metode
induktif mendorong konseli untuk memperhatikan pemikirannya sebagai sebuah
jawaban sementara yang dapat dipertanyakan dan diuji kebenarannya. Jika jawaban
sementaranya salah (disebabkan oleh informasi baru), maka konseli dapat
mengubah pikirannya sesuai dengan situasi yang sesungguhnya.
j.
Tugas rumah merupakan bagian terpenting dari teknik CBT, karena dengan
pemberian tugas, konselor memiliki informasi yang memadai tentang
perkembangan konseling yang akan dijalani konseli. Selain itu, dengan tugas rumah
konseli terus melakukan proses konselingnya walaupun tanpa dibantu konselor.
Penugasan rumah inilah yang membuat CBT lebih cepat dalam proses
konselingnya.
7. Merencanakan Proses dan Sesi Konseling
Tujuan utama dari konseling yaitu untuk membuat proses konseling mudah
dipahami oleh konselor dan konseli. Konselor akan mencoba melakukan proses
konseling seefisien mungkin, sehingga dapat meringankan atau menyelesaikan
permasalahan secepat mungkin. Dengan demikian perencanaan diperlukan untuk
memudahkan proses konseling, karena CBT bukan konseling yang didasarkan pada
hafalan langkah-langkah konseling namun berpusat pada permasalahan konseli.
Pada umumnya konseli lebih merasa nyaman ketika mereka mengetahui apa akan
didapatkan dari setiap sesi konseling, mengetahui dengan jelas apa yang dilakukan
dari setiap sesi konseling, merasa sebagai tim dalam proses konseling, serta ketika

11

konseli memiliki ide-ide konkret mengenai proses konseling dan ketercapaian


konseling. Kondisi ini bila ditindaklanjuti oleh konselor melalui perencanaan sesi
konseling dengan matang membuat proses konseling berjalan dengan baik.
Perencanaan dari setiap sesi konseling tentunya harus didasarkan pada gejala-gejala
yang ditunjukan oleh konseli, konseptualisasi konselor, kerjasama yang baik antara
konselor dan konseli, serta evaluasi tugas rumah yang dilakukan oleh konseli.
Menurut teori Cognitive-Behavior yang dikemukakan oleh Aaron T. Beck
(Oemarjoedi, 2003: 12), konseling cognitive-behavior memerlukan sedikitnya 12
sesi pertemuan. Setiap langkah disusun secara sistematis dan terencana. Berikut
akan disajikan proses konseling cognitive-behavior.
Tabel 1
Proses Konseling Berdasarkan Konsep Aaron T. Back

Melihat kultur yang ada di Indonesia, penerapan sesi yang berjumlah 12 sesi
pertemuan dirasakan sulit untuk dilakukan. Oemarjoedi (2003: 12) mengungkapkan
beberapa alasan tersebut berdasarkan pengalaman, diantaranya:
a.
Terlalu lama, sementara konseli mengharapkan hasil yang dapat segera
dirasakan manfaatnya.
b.
Terlalu rumit, di mana konseli yang mengalami gangguan umumnya datang
dan berkonsultasi dalam kondisi pikiran yang sudah begitu berat, sehingga tidak
mampu lagi mengikuti program konseling yang merepotkan, atau karena kapasitas
intelegensi dan emosinya yang terbatas.
c. Membosankan, karena kemajuan dan perkembangan konseling menjadi sedikit
demi sedikit.
d.
Menurunnya keyakinan konseli akan kemampuan konselornya, antara lain
karena alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, yang dapat berakibat pada
kegagalan konseling.
Berdasarkan beberapa alasan di atas, penerapan konseling cognitive-behavior di
Indonesia sering kali mengalami hambatan, sehingga memerlukan penyesuaian

12

yang lebih fleksibel. Jumlah pertemuan konseling yang tadinya memerlukan


sedikitnya 12 sesi bisa saja diefisiensikan menjadi kurang dari 12 sesi.
Sebagai perbandingan berikut akan disajikan efisiensi konseling menjadi 6 sesi,
dengan harapan dapat memberikan bayangan yang lebih jelas dan mengundang
kreativitas yang lebih tinggi.
Tabel 2
Proses Konseling Cognitive-Behavior
yang Telah Disesuaikan Dengan Kultur di Indonesia

8. Fakta-Fakta Hypnosis dalam CBT


Fakta-fakta hypnosis dalam CBT yang disajikan berikut merupakan kajian analisis
Aladin (2008: ix) terhadap CBT setelah beliau belajar langsung kepada Aaton T.
Beck yang merupakan father of cognitive-behavior therapy. Beck (Aladin, 2008: ix)
mendorong individu/ konseli memahami dan merekonstruksi proses berfikir yang
menyimpang, kemudian merubah pikiran-pikiran otomatisnya serta merubah
tingkah laku yang menyimpang. Beck melatih konselinya untuk memahami ide-ide
dengan baik serta metode yang sedang dilatihkan untuk mengendalikan pikiran,
perasaan dan tingkah lakunya. Pada tahap restrukturisasi kognitif, Beck melakukan
sesuatu yang menarik yaitu dengan memerintahkan konseli menutup matanya dan
melatih konseli untuk berimajinasi (teknik ini disebut dengan teknik covert
conditioning). Konseli tersebut dilatih memvisualisasikan dirinya dalam berbagai
situasi baik situasi sebelum maupun setelah permasalahan muncul. Beck
menyarankan konseli membayangkan dirinya berada pada situasi yang berbeda,
bahkan pandangan dari sisi lain yang membantu konseli dalam menyelesaikan
masalahnya. Pada proses tersebut Beck juga menyarankan konseli fokus pada
bagaimana pikirannya menyimpang dikoreksi melalui pikiran-pkiran yang baru
melalui self-talk dan homework asigment. Konseli disugestikan untuk
mengasosiasikan pikiran-pikiran baru serta situasi emosi dan perasaan-perasaannya.

13

Setelah itu konseli ditanya mengenai apa yang mereka rasakan setelah disugestikan
pikiran-pikiran positif. Respon positif akan terlihat dari raut muka yang ditunjukan
konseli.
Proses restrukturisasi kognitif yang dilakukan oleh Beck mirip dengan proses
hypnosis, yaitu dengan menutup mata dan memerintahkan konselinya untuk
membayangkan sesuatu yang diperintahkan oleh konselornya. Ketika konseli
berada dalam proses hypnosis, konseli sepenuhnya masih mendengar suara di
sekelilingnya, bahkan konseli masih dapat merasakan apa yang terjadi di
sekelilingnya. Kondisi hypnosis merupakan salah satu kondisi kesadaran (state of
consciousness) bukan kondisi tidak sadar. Para ahli hypnosis lebih senang
menyebutnya dengan alam bawah sadar. Kondisi tersebut diperoleh dengan cara
menurunkan gelombang otak dari betha menjadi alpha atau theta. Kondisi hypnosis
memudahkan konseli untuk menerima saran atau informasi. Mudahnya konseli
dalam menerima saran atau informasi dapat dimanfaatkan oleh konselor untuk
mengeksplorasi penyimpangan struktur kognitif konseli yang tersimpan pada alam
bawah sadarnya.
Prosedur intervensi yang disajkan pada dua paragraph di atas oleh Beck (Aladin,
2008: ix) merupakan prosedur visualisasi yang kemudian disebut sebagai succsess
imagery. Beck menyebut dirinya tidak melakukan hypnosis, namun proses
intervensi tersebut merupakan proses hypnosis. Berdasarkan dimamika
perkembangan hypnosis,
succsess imagery disebut sebagai keberhasilan perkembangan teknik intervensi,
sebuah pengalaman yang tidak hanya menekankan pada aspek kognitif, namun
berorientasi pada masa depan yang mendorong konseli untuk mengembangkan
hubungan antara pikiran, perasaan dan tingkah laku. Hypnosis dapat meningkatkan
sense of personal control seperti internal locus of control dan fleksibilitas kondisikondisi yang muncul. Hypnosis memudahkan konselor dalam melatih konseli
memaknai kualitas respon dari setiap sesi konseling. Pada setiap sesi konseling,
konseli dilatih untuk melakukan self-help/ self-talk/ self-therapy agar perubahan
positif tersebut bersifat permanent.
Para konselor CBT memfokuskan pada pikiran-pikiran otomatis yang lebih
mudah terlihat bila konseli berada pada kondisi non-volitional dan non-conscious.
Dalam hypnosis pikiran-pikiran otomatis tersebut disebut sebagai ideo-cognitive
responses atau ideo-sensory. Baik pikiran-pikiran otomatis maupun ideo-cognitive

14

responses, keduanya sama-sama bertujuan untuk mengurangi proses berfikir yang


menyimpang serta meningkatkan proses berfikir positif.
Salah satu teknik CBT ada yang disebut covert conditioning, sebuah teknik
pengkondisian tersembunyi dengan menekankan kepada proses psikologis yang
terjadi di dalam diri individu dengan mengontrol perilaku berdasarkan imajinasi
(kemudian disebut succsess imagery), perasaan dan persepsi. Proses teknik covert
conditioning ini mirip dengan proses hypnosis. Banyak literatur-literatur yang
menunjukan hypnosis dapat mempermudah proses konseling CBT. Salah satunya
yaitu buku Aladin (2008). Dengan demikian, tidak dipungkiri bahwa dalam
pendekatan CBT terdapat proses hypnosis, dan hypnosis dapat mempermudah
proses konseling CBT. Temuan ini menunjukan berlakunya prinsip CBT nomor 10,
yang bukan sebuah ketabuan adanya teknik lain muncul dalam CBT.
Beberapa teknik dalam hypnosis yang sesuai dengan teknik-teknik atau proses
konseling CBT diantaranya:
a. Desensitization systematic
Desensitization systematic merupakan teknik hypnotherapy untuk merubah respon
takut dan cemas dengan respon relaksasi. Langkah-langkah untuk merubah respon
tersebut dengan cara mengemukakan permasalahan secara berulang-ulang dan
berurutan dari respon takut terberat sampai yang teringan. Teknik ini digunakan
untuk mengurangi intensitas emosional konseli, agar konseli mampu berpikir,
merasa, dan bertindak dengan sehat.
b. Dissociation.
Teknik dissociation mengajak konseli membayangkan dirinya menjadi seorang
pengamat terhadap permasalahan yang sedang dihadapi dari sudut pandang lain.
Teknik ini membawa konseli menemukan proses kognitif yang menyimpang atau
permasalahannya serta membandingkan pandangan dari sudut pandang yang lain
sampai konseli menemukan solusinya sendiri.
c. Ideo Sensory
Konselor membimbing konseli untuk mengungkap keterangan tersembunyi dengan
menggunakan respon yang diinterpretasikan dalam bentuk rasa atau sensasi (ideo
sensory) dan gerakan fisik (ideo motoric). Teknik ini digunakan untuk menggali
informasi yang diperlukan sebagai alat bantu hypnotherapeutic lainnya.
d. Part Therapy
Part therapy merupakan teknk hypnotherapy dengan cara memisahkan dua bagian
permasalahan
yang
bertentangan
dalam
diri
manusia.
Kemudian

15

mengintegrasikannya agar selaras dan dapat mendukung untuk mencapai target


yang telah ditetapkan.
C. Kesimpulan
Karakteristik konseli di Indonesia menginginkan proses konseling yang cepat dan
memiliki hasil yang baik. Konseli enggan untuk melakukan konseling yang
membutuhkan waktu cukup lama. Selain itu, ada baiknya konseling bukan bersifat
menceramahi atau hanya ngobrol antara konselor dan konseli. Oleh sebab itu,
konseling harus berorentasi pada efektivitas waktu dan tidak hanya bersifat wacana
saja.
Cognitive-Behavior Therapy (CBT) menawarkan alternatif konseling yang bukan
berbentuk ceramah, tapi melatih konseli untuk melakukan perubahan-perubahan
tingkah laku untuk membuktikan pikiran yang menyimpang. CBT menekankan
pada restrukturisasi kognitif yang menyimpang, kemudian perubahan-perubahan
kognitif tersebut diperkuat dengan pelatihan tingkah laku. Perubahan antara kognitif
yang diperkuat perubahan tingkah laku membuat permasalahan yang dihadapi oleh
konseli terselesaikan dengan segera sehingga konseli dapat berfikir, merasa, dan
bertindak dengan tepat. Setiap sesi konseling CBT, konseli diajarkan untuk terus
melakukan self-help atau self-therapy. Langkah self-help tersebut tentu memperkuat
konseli untuk terus memperbaiki dirinya.
CBT tidak melarang konselor untuk mempergunakan teknik lain yang lebih kreatif
agar konseling dapat berjalan dengan baik. Prinsip tersebut menunjukan CBT
dipengaruhi oleh teknik-teknik atau teori konseling yang sebelumnya telah ada.
Artinya munculnya teori CBT bukan berarti mematahkan teori atau teknik yang
telah ada bahkan CBT menganggap teknik yang terdahulu dapat dipergunakan
untuk melengkapi teknik CBT. Hal ini menunjukan bahwa dalam proses konseling
CBT terdapat proses hypnosis, walau Beck (Aladin, 2008: ix) menyebut dirinya
tidak melakukan hypnosis. Hypnosis dalam CBT dapat dipergunakan untuk
mengdiagnosis proses kognitif yang menyimpang. Selain itu, restrukturisasi
kognitif pun dapat mempergunakan teknik hypnotherapy desensitization systematic,
dissociation, ideo-sensory, parts therapy. Langkah terakhir yang selalu disebutsebut dalam CBT yaitu self-help, dapat menggunakan pendekatan self-hypnosis.
Inti dari self-help dan self-hypnosis tidaklah berbeda, yaitu untuk memprogram diri
konseli agar melakukan sesuatu tindakan yang mendukung proses konseling.
http://idatmuqodas.blogspot.co.id/2012/02/cognitive-behaviortherapy-solusi.html

16

Konseling Kognitif Behavior


Cognitive Behavior Counseling
Pendahuluan
Menurut Gerald Corey, konseling perilaku (konseling Behavior) adalah penerapan
aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar.
Penerapan prinsip-prinsip belajar ini berakar pada teori pengkondisian klasik dari
Ivan Pavlov maupun teori pengkondisian operan dari B.F. Skinner.
Penekanan istilah belajar dalam pengertian ini ialah atas pertimbangan bahwa
konselor membantu konseli belajar atau mengubah perilaku. Konselor berperan
membantu proses belajar menciptakan kondisi yang sedemikian rupa sehingga
konseli dapat mengubah perilakunya serta memecahkan masalahnya.
Konseling Kognitif Perilaku, merupakan penggabungan teknik-teknik dari
perspektif perilaku dengan teknik-teknik dari perspektif kognitif, karena dalam
perkembangannya para praktisi teori konseling perilaku menyadari, adanya
keterbatasan dalam teori-teori belajar dan mengakui peran kognisi, dalam
mempengaruhi perilaku.
Definisi
Menurut Aaron T Beck (1964) mendefinisikan Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
sebagai pendekatan konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan
konseli pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku
yang menyimpang. Pendekatan ini didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan
dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada
konseptualisasi atau pemahaman konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku
konseli. Harapan dari CBT yaitu munculnya restrukturiasasi kognitif dan system
kepercayaan untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Matson & Ollendick (1988:44) mengungkapkan definsi Cognitive Behavior
Therapy yaitu, pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara spesifik
menggunakan kognisi sebagai bagian utama konseling. Fokus konseling yaitu
persepsi, kepercayaan dan pikiran.
Bush (2003) mengungkapkan bahwa CBT, merupakan perpaduan dari dua
pendekatan dalam psikoterapi, yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi
kognitif memfokuskan pada pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif
memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Tidak hanya
berkaitan dengan positive thingking, tetapi terapi kognitif berkaitan pula dengan
happy thinking.

17

Terapi tingkah laku membantu hubungan antara situasi permasalahan dengan


kebiasaan mereaksi (merespon) permasalahan. Individu belajar mengubah perilaku,
menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan
membantu membuat keputusan yang tepat.
Berdasarkan paparan definisi mengenai CBT, maka dapat disimpulkan bahwa CBT
adalah pendekatan konseling, yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau
pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya
baik secara fisik maupun psikis.
CBT merupakan konseling yang dilakukan untuk meningkatkan dan merawat
kesehatan mental. Konseling ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir,
merasa dan bertindak dengan menekankan otak sebagai penganalisa, pengambil
keputusan, bertanya, bertindak dan memutuskan kembali.
Sedangkan pendekatan pada aspek behavior (perilaku) diarahkan untuk membangun
hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan merespon
masalah.
Isi
Konsep utama dari kognitif-perilaku adalah peleburan antara pendekatan perilaku
dan kognitif. Kognitif-perilaku merupakan pencampuran dari strategi perilaku dan
proses kognitif yang bertujuan untuk mencapai perubahan kognisi dan perilaku
manusia (Capuzzi, 2009).
Konseling kognitif perilaku (CBT) dapat dilaksanakan secara efektif baik dalam
latar individu atau kelompok. Konseling kelompok kognitif-perilaku dapat
dilaksanakan dalam dua format kegiatan :
kelompok homogeny, yaitu dimana semua anggota mempunyai masalah yang
sama dan
-

format kelompok terbuka, dimana anggota kelompok bergiliran


mengungkapkan masalah mana yang ingin dibahas. (Vernon dalam Erford, 2004)
Metode konseling ini juga dapat digunakan untuk menangani berbagai macam
gangguan perilaku yang maladaptive dalam berbagai latar dan kelompok, baik
secara populasi maupun subjek (Darminto,2007).
Pendekatan
Pandangan tentang manusia
Tokoh / pakar seperti Bandura, Kamfer dan Philips (1970), Cautela dan Baron
(1977) dan Ellis (1977), menekankan peranan dari persepsi, pikiran dan keyakinan,
yang semuanya bersifat kognitif, sebagai komponen yang sangat menentukan dalam
rangkaian Stimulus-Respon. Manusia dapat mengatur perilakunya sendiri dengan

18

mengubah tanggapan kognitifnya dan menentukan sendiri Reinforcement yang


diberikan kepada dirinya sendiri.
Peran dan Fungsi Konselor
Pada pendekatan kognitif behavioral, seorang konselor bersifat lebih menjadi
pendengar yang sensitif dan empatik, ketika mendengarkan masalah konseli.
Hubungan yang demikian akan memudahkan konselor mencari informasi dari
konseli. Dengan menggunakan teori behavioral dan kognitif sebagai petunjuk,
konselor mencari secara detail informasi mengenai masalah yang dialami oleh
konseli, sehingga konselor dapat mengetahui bagaimana, kapan dan situasi ketika
masalah itu terjadi.
Pada saat konseling, seorang konselor menggunakan pendekatan kognitif behavioral
sangat jarang menggunakan kata kenapa, seperti kenapa kamu cemas sebelum
ujian? atau kenapa kamu stress saat bekerja?. Biasanya seorang konselor lebih
suka menggunakan kata bagaimana,kapan, dimana, dan apa, ketika
mereka memahami faktor yang menjadi inti dari masalah konseli.
Tugas konselor kognitif behavioral adalah membantu konseli untuk bertindak
seperti ilmuwan dalam menemukan validitas peta atau model pribadinya dan
membuat pilihan berkenaan dengan elemen mana yang dipertahankan dan mana
yang diubah. Konselor kognitif-behavioral biasanya akan menggunakan berbagai
teknik intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli.

Teknik yang biasa digunakan adalah :


Menantang keyakinan irasional
Membingkai kembali isu, missal : menerima kondisi emosional internal sebagai
sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan
Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play
dengan konselor
Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi riil
Mengukur perasaan, missal : menempatkan perasaan cemas yang ada saat ini
dalam skala 0-100.
Menghentikan pikiran. Ketimbang membiarkan pikiran cemas atau obsessional
mengambil alih, lebih baik konseli belajar untuk menyadarkan diri mereka.

Prinsip-prinsip Konseling Kognitif Behavior


Pemahaman terhadap prinsip-prinsip terapi ini akan mempermudah konselor dalam
memahami konsep, strategi dalam merencanakan proses konseling dari setiap sesi,
serta penerapan teknik-teknik Konseling kognitif behavior.
Berikut adalah prinsip-prinsip dasar dari CBT (Cognitive Behavior Therapy)
berdasarkan kajian yang diungkapkan Beck (2011),
1.
Cognitive Behavior Therapy didasarkan pada formulasi yang terus berkembang
dari permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif konseli.

19

2.

Cognitive Behavior Therapy didasarkan pada pemahaman yang sama antara


konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi konseli.
3. Cognitive Behavior Therapy memerlukan kolaborasi dan partisipasi aktif.
4.
Cognitive Behavior Therapy berorientasi pada tujuan dan berfokus pada
permasalahan.
5. Cognitive Behavior Therapy berfokus pada kejadian saat ini.
6.
Cognitive Behavior Therapy merupakan Edukasi, bertujuan untuk mengajarkan
konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri dan menekankan pada
pencegahan
7. Cognitive Behavior Therapy berlangsung pada waktu yang terbatas.
8. Sesi Cognitive Behavior yang terstruktur.
9.
Cognitive Behavior Therapy mengajarkan konseli untuk mengidentifikasi,
mengevaluasi dan menanggapi pemikiran disfungsional dan keyakinan mereka.
10. Cognitive Behavior Therapy menggunakan berbagai teknik untuk merubah
pemikiran, perasaan dan tingkah laku.

a.

b.

1.
2.
3.
4.

c.

Teknik-teknik Terapi Konseling Kognitif Behavior


Operant Conditioning
Terdapat 2 prinsip dalam operant conditioning yaitu bagaimana kebiasaan itu
dipelajari dan teknik yang digunakan untuk memodifikasi tingkah laku. Penggunaan
teknik operan kondisioning dapat digunakan oleh konselor jika tempat konselor
sebaik dengan lingkungan tempat masalah konseli terjadi. Jika konseli merasakan
adanya koneksi positif dengan konselor, maka dia akan menerima apa yang
diarahkan oleh konselor. Konselor dapat menjadi seorang yang memberikan
dukungan potensial untuk mengubah perilaku seorang individu. Konselor
Behavioral memutuskan perilaku apa yang harus diubah dan jika teknik
reinforcement sesuai dengan kondisi konseli maka konselor akan menggunakan
teknik tersebut biasanya dengan dalam bentuk verbal.
Desensitization
Terdapat empat langkah dalam melaksanakan metode Systematic Desensitization,
yaitu :
Memberikan konseli rasionalisasi
Relaksasi training
Konselor dan konseli bekerjasama dalam membangun bayangan tentang hirarki
dan kecemasan
Desensitization proper
Salah satu jenis dari systematic desensitization adalah in vivo desensitization. Jenis
ini memilliki kesamaan prosedur dalam penanganan kecuali masalah hirarki
kecemasan. Pada in vivo desensitization, konselor memegang penuh dalam
penanganan hirarki kecemasan konseli.
Flooding

20

Flooding adalah kebalikan dari systematic desensitization. Flooding menekankan


kepada maksimalisasi kecemasan. Salah satu bentuk dari Flooding adalah in vivo
flooding, yang sangat cocok jika digunakan untuk menghadapi Agoraphobics.
Flooding adalah salah satu metode yang potensial dan memiliki tingkat resiko yang
tinggi. Jika metode ini dilakukan oleh konselor yang tidak berpengalaman akan
menyebabkan seorang konseli merasa stress.
d.

Assertivness dan Social Skill Training


Ketika konselor sedang melakukan konseling kepada seorang konseli, kadangkadang mereka segan untuk menunjukkan ekspresinya dan mereka tidak menjadi
diri mereka yang sebenarnya. Dalam hal ini keahlian seorang konselor behavioralkognitif di uji. Salah satu strategi yang sering digunakan adalah behavioral
rehearsal. Strategi ini berupa upaya konselor membantu konseli dengan cara
bermain peran. Konselor pada strategi ini berperan sebagai seseorang yang
berpengaruh terhadap konseli.

e.

Participant Modeling
Participant Modeling efektif jika digunakan untuk menelong seseorang yang
mengalami kecemasan yang bersifat tidak menentu dan sangat baik digunakan
ketika menolong seseorang yang mengalami ketakutan sosial (social phobia).
Terdapat beberapa langkah yang diperlukan untuk dapat melakukan Participant
Modeling secara baik, yaitu yang pertama mengajarkan kepada konseli teknik
relaksasi seperti mengambil nafas yang dalam. Langkah kedua, konselor dan klien
berjalan bersama dan konseli sambil mengambil nafas dalam. Langkah terakhir
konseli mempraktekan apa yang telah dia pelajari. Dalam setiap langkah diatas
konselor hendaknya melakukan dukungan yang positif kepada setiap perilaku
konseli dengan cara pujian.

f.

Self Control Procedures


Metode self control bertujuan untuk membantu konseli mengontrol dirinya sendiri.
Metode self control menegaskan bahwa konseli adalah sebagai agen aktif yang
dapat mengatasi dan menggunakan pengendalian secara efektif dalam kondisi
mengalami masalah. Metode ini paling tepat digunakan dalam kondisi dimana
lingkungan terdapat penguatan jangkan panjang secara natural.

Terdapat tiga langkah bagian dalam self control procedures, yaitu:


1.
Meminta konseli secara teliti memperhatikan kebiasaannya
2.
Meminta kejelasan target / tujuan yang ingin dicapai
3.
Melaksanakan treatment

21

g.

Contigency Contracting
Contigency Contracting adalah bentuk dari manajemen behavioral dimana hadiah
dan hukuman untuk perilaku yang diinginkan dan perilaku yang tidak dapat
dihindari terbentuk. Konselor dan konseli bekerjasama untuk mengidentifikasi
perilaku yang perlu dirubah. Saat penilaian, konselor dan konseli memutuskan siapa
yang memberikan penguatan dan berupa apa penguatan tersebut. Treatment dapat
berlangsung dengan menggunakan konseli sendiri atau orang lain. Penguatan dapat
diberikan setiap tujuan perilaku yang ingin dibentuk termanifestasi. Setelah hal itu
terjadi, konseli bisa mendapatkan hadiah atau hukuman. Hadiah akan diberikan jika
perilaku yang diinginkan tercapai dan hukuman diberikan jika perilaku yang tidak
diinginkan muncul.

h.

Cognitive Restructuring
Metode ini agak berbeda dengan metode yang lain, karena metode ini
menginginkan perubahan kognitif tidak seperti metode lain yang berakhir ketika
adanya perubahan perilaku. Meichenbaum dan Deffenbacher menjelaskan
cognitions may be in the form of cognitive events, cognitive processes, cognitive
structures, or all these. Peristiwa kognitif dapat berupa apa yang konseli katakan
tentang dirinya sendiri, bayangan yang mereka miliki, apa yang mereka sadari dan
rasakan. Proses kognitif berupa proses pemrosesan informasi. Struktur kognitif
berupa anggaran dan kepercayaan tentang dirinya sendiri dan dunia yang
berhubungan dengan dirinya.

1.
2.
3.
4.
5.

Prosedur dari cognitive restructuring adalah sebagai berikut :


Evaluating how valid and viable are the clients thought and beliefs
Assesing what clients expect, what they tend to predict about their behavior and
others responses to them.
Exploring what might be a range of causes for clients behavior and other
reactions
Training clients to make more effective attributions about these causes
Altering absolutistic, catastrophic thinking styles. (Meichenbaum and
Deffenbacher dalam Charles Gelso dan Bruce Fretz, 2001)
Merencanakan Proses dan Sesi Konseling
Perencanaan diperlukan untuk mempermudah proses konseling. Pada umumnya
konseli lebih merasa nyaman ketika mereka mengetahui apa yang akan didapatkan
dari setiap sesi konseling, mengetahui dengan jelas apa yang dilakukan dari setiap
sesi konseling, merasa sebagai tim dalam proses konseling, serta ketika konseli
memiliki ide-ide konkrit mengenai proses konseling dan ketercapaian konseling.
Perencanaan dari setiap sesi konseling tentunya harus didasarkan pada gejala-gejala
yang ditunjukan oleh konseli, konseptualisasi konselor, kerjasama yang baik antara
konselor dan konseli, serta evaluasi tugas rumah yang dilakukan oleh konseli.

22

Menurut teori Cognitive Behavior, yang dikemukakan Aaron T Beck, konseling


cognitive behavior memerlukan sedikitnya 12 sesi pertemuan. Setiap langkah
disusun secara sistematis dan terencana.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

a.
b.

c.
d.

Proses
Assesmen dan Diagnosa
Pendekatan Kognitif
Formulasi Status
Fokus Konseling
Intervensi Tingkah Laku
Perubahan Core Beliefs
Pencegahan

Sesi
1-2
2-3
3-5
4-10
5-7
8-11
11-12

Oemarjoedi (2003:12)
Namun melihat kultur yang ada di Indonesia, penerapan sesi berjumlah 12 sesi
pertemuan dirasakan sulit untuk dilakukan. Oemarjoedi (2003:12) mengungkapkan
beberapa alasan tersebut berdasarkan pengalaman, diantaranya:
Terlalu lama, sementara konseli mengharapkan hasil yang dapat segera
dirasakan manfaatnya.
Terlalu rumit, dimana konseli yang mengalami gangguan umumnya datang dan
berkonsultasi dalam pikiran yang sudah begitu berat, sehingga tidak mampu lagi
mengikuti program konseling yang merepotkan, atau karena kapasitas intelegensi
dan emosinya yang terbatas.
Membosankan, karena kemajuan dan perkembangan konseling menjadi sedikit
demi sedikit.
Menurunnya keyakinan konseli akan kemampuan konselornya, antara lain
karena alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, yang dapat berakibat pada
kegagalan konseling.
Berdasarkan beberapa alasan tersebut, penerapan konseling kognitif behavior di
Indonesia sering kali mendapatkan hambatan, sehingga memerlukan penyesuaian
yang lebih fleksibel. Jumlah pertemuan konseling yang tadinya memerlukan
sedikitnya 12 sesi bisa saja menjadi kurang dari 12 sesi. Sebagai perbandingan
berikut akan disajikan efisiensi konseling menjadi 6 sesi, dengan harapan dapat
memberikan bayangan lebih jelas dan mengundang kreatifitas yang lebih tinggi.
Proses konseling kognitif behavior yang telah disesuaikan dengan kultur di
Indonesia
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Proses
Assesmen dan Diagnosa
Mencari akar permasalahan yang bersumber dari emosi negatif, penyimpangan proses
berfikir dan keyakinan utama yang berhubungan dengan gangguan
Konselor bersama konseli menyusun rencana intervensi dengan memberikan konsekuensi
positif-negatif kepada konseli
Menata kembali keyakinan yang menyimpang
Intervensi tingkah laku
Pencegahan dan Training Self Help

Sesi
1
2
3
4
5
6

Anda mungkin juga menyukai