Nama
: Vanda Dwi Septika Situmeang
Jurusan/Angkatan
: Ilmu Hubungan Internasional/2015
CNN Indonesia menyatakan dalam artikel berita 5 Mei 2015 bahwa melambatnya pergerakan
roda ekonomi membawa dampak bagi sektor ketenagakerjaan Indonesia, seperti yang dicatat
oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu satu tahun tingkat pengangguran di
Indonesia mengalami pertambahan sebanyak 300 ribu jiwa.
pengangguran untuk lulusan strata satu (S1) pada Februari 2015 menjadi 5,34 persen
dibanding Februari tahun lalu yang hanya 4,31 persen. Begitu juga lulusan diploma
mengalami peningkatan pengangguran dari 5,87 persen menjadi 7,49 persen. Serta
pengangguran lulusan SMK yang bertambah dari 7,21 persen menjadi 9,05 persen. 5 Dalam
artikel tersebut, Suryamin menambahkan bahwa perubahan tingkat pengangguran di
Indonesia terjadi selaras dengan bertambahnya jumlah angkatan kerja yang sebanyak 3 juta
orang dibandingan dengan Februari 2014 atau sebanyak 6,4 juta orang jika dibandingkan
dengan posisi Agustus 2014 namun angka serapan tenaga kerja jauh lebih rendah yakni hanya
1 juta jiwa selama periode Februari 2014-Februari 2015.6
Sekarang bisa dilihat bahwa pengangguran merupakan salah satu dasar masalah dalam
pengembangan era bonus demografi. Dalam kondisi yang diharapkan terutama di daerah
ibukota Jakarta, masyarakat yang termasuk dalam usia angkatan kerja seharusnya masuk dan
berkontribusi dalam pasar kerja. Melihat kuantitas masyarakat di usia produktif melebihi usia
nonproduktif, kemajuan ekonomi bisa dicapai oleh masyarakat Indonesia.
Pengangguran di DKI Jakarta salah satunya juga disebabkan oleh pengusaha yang
terus mengurangi jumlah karyawannya seperti yang dipaparkan oleh Harian Kompas
mengenai pertambahan pengangguran di DKI Jakarta, pengurangan karyawan dilakukan
setiap habis kontrak dan diasumsikan tingginya Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi
pemicunya.7 Selain pengurangan karyawan, pengusaha bahkan berencana memindahkan
usahanya ke Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, bahkan ada yang akan merelokasi ke
Vietnam dengan pertimbangan mencari tempat yang mendukung usahanya.8
Secara teoritis, masalah pengangguran di DKI Jakarta bisa dipandang melalui perspektif
Labour Theory of Value. Untuk memahaminya secara sederhana, teori ini menyatakan bahwa
nilai suatu komoditas secara objektif dapat dihitung/diukur dari kuantitas waktu yang
dikorbankan oleh tenaga kerja sesuai persyaratan untuk memproduksi komoditas tersebut. 9
Marx, dengan prinsip ekonomi klasik menjelaskan bahwa nilai labor power tergantung pada
seberapa banyak waktu yang dibutuhkan pekerja dalam mengurus diri sendiri dan memenuhi
kebutuhannya sehingga memiliki kapasitas untuk bekerja. Labor power merupakan kapasitas
pekerja untuk memproduksi barang/jasa. Sehingga jika pekerja membutuhan lima jam untuk
memenuhi kebutuhan pribadi dalam persiapan bekerja esok hari, dengan satu jam senilai
dengan satu dolar, maka gaji yang tepat bagi pekerja tersebut adalah sebesar lima dolar. Hal
ini mengungkapkan suatu kesebandingan di antara usaha pekerja terhadap hasil yang
diusahakannya, bisa dihitung/diukur sehingga hal ini bisa dibuktikan dari akurasi
6 Ibid.
7 Harian Kompas,Jumlah Pengangguran di DKI Bertambah, diakses pada 11 Oktober 2015,
http://nasional.kompas.com/read/2013/03/25/03592563/Jumlah.Pengangguran.di.DKI.Bertambah.
8 Ibid.
9 David L. Prychitko,The Concise Encyclopedia of Economics Marxism, Library Economics And
Liberty, diakses pada 11 Oktober 2015, http://www.econlib.org/library/Enc/Marxism.html.
Kontribusi masyakarakat, secara khusus yaitu labour, tentu dapat dilihat melalui tingkat
pengangguran yang sedikit karena dengan tuntutan hasil produksi yang tinggi dibutuhkan
tenaga kerja yang sesuai standar pekerjaan tersebut.
Konsep tersebut menjelaskan suatu terma yang melingkupi indikator kualitas dan
kuantitas labour yang secara bersamaan sebagai penentu tingkat produksi dan tingkat
pengangguran, yaitu labour productivity. Produktivitas tenaga kerja mengukur jumlah barang
dan jasa yang dihasilkan oleh satu jam kerja.13 Lebih khusus, produktivitas tenaga kerja
mengukur jumlah GDP riil yang dihasilkan oleh satu jam kerja. 14 Dalam hal ini, ditekankan
bahwa hubungan antara produktivitas dengan tingkat produksi adalah sebanding. Di hal lain,
produktivitas tenaga kerja yang disokong oleh kualitas tenaga kerja tersebut mengurangi
tingkat pengangguran. Kualitas tenaga kerja yang sesuai dengan permintaan lapangan
pekerjaan memberdayakan tenaga kerja tersebut sehingga sesuai dengan prinsip labour
theory of value, bahwa tingkat produksi dan nilai ekonomis barang/jasa ditentukan oleh
jumlah total waktu yang diberdayakan pekerja dengan efektif dan efisien.
Maka hal yang perlu digarisbawahi sebagai strategi menyongsong era bonus
demografi dalam hal pemberdayaan tenaga kerja adalah kualitas tenaga kerja untuk
melengkapi kuantitasnya yang terbilang tinggi. Peningkatan kualitas SDM yang terlibat
sebagai aktor era bonus demografi dapat ditempuh melalui persiapan pematangan
pendidikan dan pelatihan bagi angkatan kerja. Angkatan kerja memiliki karakteristik sesuai
dengan pengajaran yang diperoleh, seperti angkatan kerja terdidik ketika memeroleh
pendidikan, terlatih ketika memeroleh pelatihan, dan angkatan terdidik dan terlatih karena
memeroleh keduanya. Dari latar belakang pendidikan, separuh lebih atau 58,36 juta dari
111,47 juta angkatan kerja berpendidikan SD ke bawah, sisanya SMP 19,91 persen, SMA
20,7 persen, dan perguruan tinggi 5,05 persen. 15 Kita kalah jauh dari negara-negara lain
dalam mencetak SDM berpendidikan tinggi, itu pun tak semuanya siap kerja.
16
Jadi, strategi
penting pertama adalah pemenuhan kebutuhan pendidikan angkatan kerja sedikitnya sampai
tingkat SMP atau SMA.
Kesehatan tidak kalah penting sebagai strategi tepat bagi pemuda untuk
menyongsong era bonus demografi. Dalam cakupan yang sempit, kesehatan fisik dan mental
merupakan indikator penting dalam penerimaan tenaga kerja dalam suatu instansi. Begitu
penting karena kesehatan menentukan secara eksplisit ketahanan fisik dan mental seseorang
dalam beraktivitas secara kontinu, yang mana instansi memerhatikan keuntungan dua pihak
yang bisa diperoleh ketika seseorang tersebut dapat terus bekerja. Dalam cakupan yang luas,
kesehatan merupakan salah satu aspek yang dapat digunakan untuk melihat kesejahteraan
masyarakatnya. Sumamur (1996 dalam Mericana, 2009: 4) menyatakan bahwa:
Tujuan umum kesehatan kerja adalah pencegahan dan pemberantasan
penyakit-penyakit dan kecelakaan akibat kerja, pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan dan gizi tenaga kerja, perawatan dan mempertinggi efisiensi dan
daya produktivitas tenaga manusia, pemberantasan kelelahan kerja dan
menambah semangat serta kenikmatan kerja, perlindungan bagi masyarakat
sekitar suatu perusahaan agar terhindari bahaya-bahaya pengotoran oleh
bahan-bahan dari perusahaan yang bersangkutan dan perlindungan
masyarakat luas dari bahaya-bahaya yan gmungkin ditimbulkan oleh produkproduk industri.17
Usaha konkret dalam perwujudan kesehatan masyarakat terutama bagi angkatan kerja
dapat ditempuh melalui pelayanan kesehatan yang bijaksana dari lembaga kesehatan
masyarakat. Melihat persebaran angkatan kerja di Indonesia yang kebanyakan berstatus
kurang mampu, maka perolehan pelayanan kesehatan secara mudah, murah, dan merata
menjadi penting. Kebijakan pemerintah yang berelevansi dengan pelayanan masyarakat
sebaiknya seperti jaminan kesehatan, penyelenggaraan imunisasi, pemeriksaan kesehatan,
operasi gratis, dan pelayanan lain sebaiknya diikuti oleh seluruh angkatan kerja sesuai
prosedur supaya dapat dijamin status kesehatannya. Kekeliruan dan ketidakefektifan
beberapa kebijakan oleh alasan tertentu bisa kemudian dikoreksi oleh masyarakat terlebih
jika ada ide/gagasan baru yang mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat
17 Mericana Sri Mona Viani,Pelayanan Kesehatan Sebagai Upaya Meningkatkan Derajat Kesehatan Tenaga
Kerja di PT Phapros Tbk Semarang (program D3, Universitas Sebelas Maret, 2009), 4,
http://core.ac.uk/download/pdf/12349052.pdf.
yang
lebih
baik.
Pemerintah
pun
diharapkan
mampu
meninjau
perkembangan
penyelenggaraan kesehatan masyarakat dan memberi performa terbaik dalam bidang ini.
Strategi lain yang mendukung hal tersebut melalui kekuatan softskills untuk
menghadapi era bonus demografi yang penuh atmosfer kompetitif dan ambisi. Sebelum
bergerak lebih jauh memoles softskills, pertama sekali ada beberapa proses yang perlu
dihadapi angkatan kerja yang bisa mempertemukannya dengan minat, kemampuan, hasrat,
dan potensi yang dimiliki dan bisa dijadikan sebagai softskills yang merepresentasikan
dirinya. Proses tersebut meliputi self-assesment, self-motivation, dan self-realization.18
Melalui self-assesment, seseorang dapat belajar dan mengenal dirinya sendiri sebelum
merencanakan dirinya pada masa depan.19 Self-motivation mempertahankan perjalanan
individu terus berlangsung hingga mencapai goals yang membuktikan kesuksesannya, serta
self-realization menyediakan ruang bagi individu menyadari potensialnya terhadap suatu
bidang sehingga membimbing menuju pendekatan dan tantangan yang serius. 20 Ketika
penguasaan ketiga elemen ini telah diusahakan, maka akan tumbuh softskills menurut
kecenderungan masing-masing individu berkaitan dengan pekerjaan yang digelutinya.
Beberapa sofskills umum yang penting dikembangkan yaitu social skills;
communication skills; high-order thinking skills (termasuk problem solving, critical thinking,
dan decision-making); positive self-concept; self-control.21 Social skills membantu individu
untuk tetap berhubungan dengan individu lain, menghargai individu lain dengan sikap yang
sepantasnya, serta menyelesaikan konflik. Communication skills merujuk kepada tipe spesifik
komunikasi seperti oral, tertulis, non-verbal, dan mendengar. High-order thinking dalam
tingkatan dasar adalah kemampuan mengidentifikasi isu dan informasi dari berbagai sumber,
kemudian mengevaluasinya hingga mendapat klonkusi yang masuk akal. Self-control
merujuk kemampuan diri individu untuk mengontrol hasrat dan keinginan, memfokuskan
perhatian, mengatur emosi dan sikap/perilaku. Positive self-concept terdiri dari self-
18 Anonim, The Job Seeking Skills (North Carolina: N.C. ESC, 1981), 1,
https://www.ncesc1.com/individual/careerInfo/job_seeking_skills_handbook.pdf.
19 Ibid.
20 Ibid.
21 Laura H Lippman et al., Workforce connections: Key Soft Skills that Foster Youth Workforce
Success: Toward a Consensus across Fields (USA: Child Trends, Inc., 2015), 5-6.
confidence, self-efficacy, self-awareness, dan kepercayaan. Kedua elemen ini, self-control dan
positive self-concept merupakan produk dari intrapersonal skills.
Dari paparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam menyongsong era bonus
demografi, DKI Jakarta perlu membenahi tingkat pengangguran yang semakin tinggi hingga
tahun-tahun terakhir. Masalah ketenagakerjaan ini perlu diperhatikan karena sesuai dengan
labour theory of value, pengangguran berpengaruh besar terhadap tingkat produksi suatu
wilayah yang menentukan kekuatan ekonominya. Berpegang pada kuantitas masyarakat usia
produktif yang melimpah pada era bonus demografi, maka hal yang perlu dibenahi dalam
masalah pengangguran DKI Jakarta adalah kualitas tenaga kerja melalui pendidikan,
kesehatan, dan soft skills sehingga tercapai labour productivity yang sesuai dengan
permintaan di lapangan pekerjaan.