Anda di halaman 1dari 66

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cedera Otak


Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang
bukan bersifat degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan
mekanis dari luar, yang menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif, dan
psikososial. Gangguan ini dapat bersifat menetap atau sementara dan
disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran (Valadka, 1996).
Berdasarkan mekanismenya cedera otak di bagi atas cedera otak tumpul
dan cedera otak tembus/tajam ( penetrating head injury) (Valadka, 1996).
Kontusio serebri yang dimaksud dalam penelitian ini didasarkan
pada penilaian klinis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dan CT-scan
kepala dimana didapati adanya intracerebral hemorrhage yang tidak ada
indikasi operasi. Cedera kepala kami bagi atas:cedera kepalasedang
(CKS) dengan GCS 9-13 dan cedera kepala berat (CKB) dengan GCS 38.

2.2 Patofisiologi Cedera Otak


Patofisiologi cedera otak ditinjau darisaat kejadiannya terdiri atas
cedera otak primer yaitu kerusakan jaringan otak langsung akibat trauma
dan cedera otak sekunder yaitu akibat perluasan kerusakan pada jaringan
otak melalui proses patologis yang berlanjut (Cohadon , 1995).

12

Universitas Sumatera Utara

2.2.1 Cedera Otak Primer


Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan
mekanik yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek,
memar, dan perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk
kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat
dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak,
yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan
dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus (Valadka,
1996).
Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan / atau pembuluh
darah. Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau diffuse axonal
injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan
epidural, subdural, subarachnoid dan intraserebral (Graham, 1995), yang
dapat dilihat Pada CT-scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri,
perdarahan subarachnoid traumatik dan DAI. Sebagai tambahan sering
terdapat perfusi iskhemik baik fokal maupun global (Valadka, 1996).
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure
(ICP) yang meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan
mikrovaskularpada fase lanjut (late phase), dimana terjadi vasospasme
(Vazquez-Barquero,1992; Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera
kepala dapat dibagi menjadi:
2. Fase awal (fase 1, segera, dengan hipoperfusi),
3. Fase intermediate (fase 2, hari 1-3, tampak hyperemia) dan

Universitas Sumatera Utara

4. Fase lanjut vasospastic (fase 3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran


darah (Ingebrigtsen, et al. 1998).
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional
Cerebral Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti
iskhemik

(ischemic

core)

yang

tidak

memberi

respon

terhadap

bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure (CPP) (Andersson, 2003).

2.2.2 Kontusio Serebri (memar otak)


Kontusio serebri merupakan cedera fokal kepala yang paling sering
terjadi.Dilaporkan

bahwa

89%

mayat

yang

diperiksa

postmortem

mengalami kontusio serebri (Cooper, 1982).Depreitere et al melaporkan


bahwa kasus kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere B,
1982).Kontusio

serebri

adalah

memar

pada

jaringan

otak

yang

disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan


deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan
perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak.Pada kontusio
serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan
jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan
atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang
menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri
sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural,
perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid (Hardman, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Freytag dan Lindenberg (1957) mengemukakan bahwa padadaerah


kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang
mengalami nekrosis dan daerah perifer yang mengalami pembengkakan
seluler yang diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan seluler ini
sering dikenal sebagai pericontusional zone yang dapat menyebabkan
keadaan lebih iskemik sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hail
ini

disebabkan

oleh

kerusakan

autoregulasi

pembuluh

darah

di

pericontusional zone sehingga perfusi jaringan akan berkurang akibat dari


penurunan mean arterial pressure (MAP) atau peningkatan tekanan
intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7 hari.
Penderita yang mengalami kontusio ini memiliki risiko terjadi kecacatan
dan kejang di kemudian hari (Davis G, 2009 ).

Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Kontusio Kepala (Mesiano, 2010)

Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala


yang juga menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta

Universitas Sumatera Utara

pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan


menyebabkan hiperekstensi kepala.Oleh karena itu, otak membentang
batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible
terhadap lintasan asendens retikularisdifus.

Akibat hambatan itu, otak

tidak mendapat input aferen sehingga kesadaran hilang selama blockade


reversible berlangsung (Liau et al, 1996).

2.2.3 Diffuse Axonal Injury


Diffuse axonal injury merupakan istilah yang kurang tepat, sebab ini
bukan merupakan cedera difus pada seluruh daerah otak. Cedera yang
terjadi lebih dominan pada area otak tertentu yang mengalami percepatan
yang tinggi dan cedera deselerasi dengan durasi yang panjang. DAI
merupakan ciri yang konsisten pada cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas dan beberapa olahraga tertentu. Gambaran patologi secara histologi
dari DAI pada manusia adalah terdapat kerusakan yang luas pada akson
dari batang otak, parasagittal white matter dari korteks serebri, korpus
kallosum dan gray-white matter junction dari korteks serebri(Smith et al,
1999).
Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan
pada pemeriksaan radiologi baik CT-scan dan MRI. Namun pada
pemeriksaan mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang membengkak
dan putus. Mekanisme utama terjadinya DAI adalah akibat dari
pergerakkan rotasional dari otak saat akselerasi dan deselerasi. Hal ini
diakibatkan oleh perbedaan densitas dari jaringan otak yaitu jaringan

Universitas Sumatera Utara

white matter lebih berat dibandingkan grey matter. Pada saat otak
mengalami rotasi akibat kejadian akselerasi-deselerasi, jaringan dengan
densitas lebih rendah bergerak lebih cepat dibandingkan dengan jaringan
dengan

densitas

lebih

besar.

Perbedaan

kecepatan

inilah

yang

menyebabkan robekan pada akson neuron yang menghubungkan grey


matter dan white matter(Smith et al, 1999).
Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada
cedera primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer
robekkan akson terjadi akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan pada
fase

lambat

terjadi

perubahan

biokimia

yang

mengakibatkan

pembengkakan dan putusnya akson-akson. Perubahan biokimia yang


terjadi yaitu peningkatan influks natrium yang juga memicu influks kalsium.
Peningkatan kadar kalsium ini akan menyebabkan aktifnya calsiummediated proteolysis. Kerusakan akson menyebabkan kerusakan dari
pengangkutan sehingga terjadi penunmpukan di dalam akson yang
membengkak. Kerusakan akson yang luas akan menyebabkan atrofi otak
dengan ventrikulomegali yang dapat menyebabkan kejang, spastisitas,
penurunan fungsi intelektual dan yang paling berat adalah vegetative state
(Blumbergs, 2011).

2.2.4 Cedera Otak Sekunder


Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer
yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh
neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi

Universitas Sumatera Utara

bakteri.Melalui mekanisme Eksitotoksisitas, kadar Ca++

intrasellular

meningkat, terjadi generasi radikal bebas dan peroxidasi lipid.


Faktor intrakranial (lokal) yang memengaruhi cedera otak sekunder
adalah adanya hematoma intrakranial, iskemia otak akibat penurunan
tekanan perfusi otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, Tekanan
Tinggi Intrakranial (TTIK), demam, vasospasm, infeksi, dan kejang
(Cohadon, 1995).
Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan
istilah nine deadly Hs adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi
(hipovolemia, gangguan jantung, pneumotorak), hiperkapnia (depresi
nafas), hipokapnea (hiperventilasi), hipertermi (hipermetabolisme/respon
stres), hiperglikemia, hipoglikemia, hiponatremia, hipoproteinemia,dan
hemostasis (Cohadon, 1995).Beratnya cedera primer karena lokasinya
memberi efek terhadap beratnya mekanisme cedera sekunder (Li, 2004).

2.3

Penilaian Tingkat Kesadaran Cedera Otak


Metode

yang

dipakai

dalam

mengukur

derajat

keparahan

berdasarkan tingkat kesadaran cedera otak adalah beraneka ragam,


seperti GCS, Glasgow Liege Scale, Glasgow Pittsburg Coma Scoring
system, Head Injury Watch Sheet, Maryland Coma Scale, dan Leeds
Coma Scale. Dalam penelitian ini dipakai GCS. GCS cukup konsisten dan
objektif ketika dilakukan oleh penilai yang berbeda. Penilaian GCS cukup
sederhana, serta dapat berguna sebagai pedoman terapi dan pemberi
informasi tentang prognosis (Stein, 1996). Kendala GCS adalah jika

Universitas Sumatera Utara

penderita mengalami edema palpebra atau terintubasi, maka akan ada


variabel yang tidak bisa dinilai (Feldman et al, 1996).
Penilaian Glasgow Coma Scale

(Teasdale dan Jennett, 1974)

adalah sebagai berikut:


8. Respon buka mata
4.1 spontan 4
4.2 atas perintah 3
4.3 rangsangan nyeri 2
4.4 tidak ada 1
9. Respon motorik
a. menurut perintah 6
b. melokalisir nyeri 5
c. fleksi normal 4
d. dekortikasi 3
e. deserebrasi 2
f. flasid 1
10. Respon verbal
a. orientasi baik 5
b. mengacau/bingung 4
c. kata-kata tidak teratur 3
d. tidak jelas 2
e. tidak ada 1

Universitas Sumatera Utara

2.4 Skala Fungsional Barthels Index


Skala Barthel atau Index Activities of Daily Living (ADL) Barthel
merupakan skala untuk mengukur kemampuan seseorang dalam
melakukan aktivitas dasar dan mobilisasi.Semakin tinggi nilai yang
diperoleh dalam pemeriksaan, semakin tinggi pula kecenderungan atau
kemampuan seseorang untuk hidup mandiri setelah dipulangkan dari
rumah sakit.Skala pengukuran ini diperkenalkan pada tahun 1965 oleh
Mahoney dan Barthel dengan menampilkan rentang penilaian dari 0-100.
Meskipun versi aslinya telah dipergunakan secara luas, skala ini telah
mengalami modifikasi oleh Granger dkk pada tahun 1979, dan rentang
penilaiannya menjadi 0-10 point untuk tiap variabelnya. Perbaikan
selanjutnya diperkenalkan pada tahun 1989.Barthel index diukur pada
saat awal terapi dan secara berkala selama terapi sampai diperoleh
keuntungan yang maksimum (Mahoney and Barthel, 1965).

2.5 Mini Mental State Examination (MMSE)


MMSE merupakan suatu skala terstruktur yang terdiri atas tiga
puluh poin yang dikelompokan menjadi tujuh kategori: orientasi terhadap
tempat (negara, provinsi, kota, gedung dan lantai), orientasi terhadap
waktu (tahun, musim, bulan, hari dan tanggal), registrasi (mengulang
dengan cepat tiga kata), perhatian dan konsentrasi (secara berurutan
mengurangi tujuh, dimulai dari angka seratus, atau mengeja kata WAHYU
secara terbalik), mengingat kembali (mengingat kembali tiga kata yang
telah diulang sebelumnya), bahasa (memberi nama dua benda,

Universitas Sumatera Utara

mengulang kalimat, membaca dengan keras dan memahami suatu


kalimat, menulis kalimat dan mengikuti perintah tiga langkah), dan
kontruksi visual (menyalin gambar) (Lezak, 2004; Tombaugh, 1992).
Skor yang makin rendah mengindikasikan performa yang buruk dan
gangguan kognitif yang makin parah. Skor total berkisar antara 0-30. Skor
ini memiliki ambang MMSE yang pertama kali direkomendasikan adalah
23 atau 24, memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik untuk
mendeteksi demensia.Bagaimanapun, beberapa kajian sekarang ini
menyatakan bahwa skor ini terlalu rendah, terutama terhadap seseorang
dengan status pendidikan tinggi.Skor 27 ini tidak sensitif untuk mendeteksi
demensia pada orang dengan status pendidikan tinggi. Tambahan pula
skor ambang 24 juga tidak spesifik pada orang dengan status pendidikan
rendah (Tombaugh, 1992, Lezak, 2004)
Pada tabel 2.1, ditampilkan Interpretasi MMSE yang didasarkan
pada skor yang diperoleh pada saat pemeriksaan, yaitu:
1. skor 24-30 yang diinterpretasikan sebagai fungsi kognitif normal
2. skor 17-23 yang berarti probable gangguan kognitif
3. skor 0-16 yang berarti definite gangguan kognitif pemerikasaan
(Tombaugh, 1992; Lezak, 2004)

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Interpretasi dari Nilai MMSE (Lezak, 2004).

2.6 Konsep Neuroproteksi pada Penumbra Traumatik


Konsep ini dikemukakan oleh Symon yang mendukung gagasan
bahwa, pada dasarnya ada peluang untuk penyelamatan neuron dan
memperkecil lesi permanen.Konsep neuroproteksi timbul dari hasil
penelitian patologi dan patofisiologi cedera otak iskemik. Penghentian
pemberian oksigen dan glukosa yang tiba-tiba ke jaringan otak akan
menghasilkan serangkaian reaksi beruntun atau cascade patologis
(pathological cascades) (Jain, 2011).
Ada tiga komponen yang aktif pada proses patofisiologis gangguan
otak, yaitu eksitotoksisitas, kerusakan oksidatif dan apoptosis.Ketiga
komponen ini selain sebagai denominator juga menunjukkan adanya
keterkaitan antara faktor dan jalur-jalur penghantaran sinyal yang
ditempuh melalui reaksi molekuler.Neuroproteksi terhadap terjadinya
apoptosis dilakukan dengan cara menghambat jalur-jalur apoptotik
dan/atau merangsang jalur-jalur survival(Jain, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Dari sekian banyak jalur yang telah diidentifikasi, jelas bahwa


keadaan kritis terdapat pada :
aktivasi yang berlebihan reseptor glutamat,
akumulasi ion Ca++ didalam sel,
peran abnormal sel peradangan,
produksi senyawa radikal bebas yang berlebihan sebagai proses
hulu,dan terpicunya apoptosis secara patologis sebagai proses hilir.
(Jain, 2011; Menon, 2003)

a) Eksitotoksisitas
Dengan teknik microdialisis diketahui bahwa faktor signifikan yang
dapat

menyebabkan

cedera

otak

sekunder

adalah

asam

amino

eksitotoksik yang keluar berlebihan, seperti glutamate dan aspartate, dan


juga neurotoxin lain yang terjadi saat cedera otak primer (Gibbons, 1993).
Pada trauma, glutamate yang berlebihan dapat berasal dari sel-sel yang
rusak, bocor, atau karena gangguan reuptake dari Glutamat. Signaling
dari glutamate adalah vital. Aktivasi yang berlebihan dari reseptor
glutamate merupakan awal dari kematian sel yang disebut excitotoxicity
(Hetman dan Kharebava, 2006).
Glutamate sebagai neurotoxin, pertama digambarkan oleh Lucas
dan Newhouse pada 1957.Excitotoxic cell death yang kemudian dijumpai
umumnya terjadi pada semua neuron dengan reseptor glutamate (Olney,
1969). Signal glutamate dihantarkan melalui dua macam reseptor, yaitu
reseptorionotropic yang kerjanya cepat dan reseptor metabotropic yang

Universitas Sumatera Utara

kerjanya lambat. Reseptor ionotropik yangutama bertanggung jawab


terhadap excitotoxicity adalah N-methyl-D-aspartate (NMDA). Reseptor
yang tergabung dengan saluran ion ini akan membuka saluran ionnya
sehingga permiabilitas dinding sel akan meninggi yang mengakibatkan
meningginya aliran kalsium (konsentrasi Ca++ diluar dan didalam sel
berbanding 10.000:1) dan sodium kedalam sel serta aktivasi dari
calcineurin dan calmodulin. Ini cenderung menyebabkan destruksi axon
(Lieberman, 2001 dan Masel, 2004).
Potasium juga keluar dari sel dan diabsorbsi oleh astrosit.Timbul
gangguan keseimbangan ion yang berakibat depolarisasi membrane sel
dan influx cairan yang menyebabkan sel bengkak dan cytotoxic edema
yang akhirnya dapat menyebabkan kematian sel neuron.Glutamat juga
toksik

terhadap

sel-sel

glial,

termasuk

astrosit

dan

oligodendroglia.(Yoshioka, 1995). Astrosit memunyai kapasitas buffer dan


terlibat dalam clearance glutamat dari ruang ekstrasellular. Berkurangnya
energi selama iskemia dapat menyebabkan sistem regulasi glutamat rusak
(Chen dan Swanson, 2003).

b) Kalsium
Proses homeostasis kalsium dalam sel sangat penting. Kadar yang
meninggi setelah cedera kepala merupakan awal dari proses kematian
sel,

dimana

Ca++

merupakan

suatu

second

messenger

dan

signaltransducerpencetus reseptor. Jumlah influks Ca++ bergantung dari


sifat cedera mekanik. Pada cedera kepala yang uniaxial, kadar Ca++

Universitas Sumatera Utara

intrasellular segera meningkat. Namun kadar Ca++ meningkat paling


banyak pada cedera biaxial. Hal ini disebabkan oleh adanya kanal
antagonis yang menghambat peningkatan kalsium pada cedera uniaxial
tetapi tidak pada cedera biaxial. Ini adalah menunjukkan betapa
pentingnya sifat benturan terhadap respon jaringan (Geddes-Klein, 2006).
Kumpulan

Ca++

yang

bersifat

toksik

maupun

non-toksik

jalurmasuknya melalui NMDAR yaitu suatu Ligand Gated Anion Channel


atau L-type voltage sensitive channel disebut juga Voltage Gated Anion
Channel yang terpicu oleh perbedaan potensial pada membran sel berupa
depolarisasi (Tymianski & Charltonet al. 1993). Ca++ intrasellular yang
meningkat akan memicu pelepasan lebih lanjut Ca++ dari sumber internal
seperti retikulum endoplasmic. Kadar kalsium yang tinggi pada sitoplasma
akan

memicu

penumpukkan

kalsium

dalam

matriks

mitokondria.

Mitokondria dapat mengisolasi Ca++ melalui mekanisme electrochemical


gradient generatedpotential dan rantai transportasi elektron dengan akibat
akan terjadi pengurangan sintesa ATP. Kerusakan rantai transportasi
elektron cenderung menghasilkan reactive oxygen species (ROS) secara
berlebihan, sedangkan pada saat yang bersamaan, terdapat peningkatan
kebutuhan ATP untuk mengeluarkan Ca++ melalui plasma membran
pump (Schinder, 1996; Robertson, 2004).
Kalsium dapat mengaktivasi beberapa enzim seperti lipase, kinase,
phosphatase, dan protease. Calpain adalah enzim protease intrasellular
yang dapat mengurangi kadar protein neuronal. Aktivasi Calpain yang

Universitas Sumatera Utara

berlebihan sangat berperan dalam kaskade neurodegeneratif pada cedera


kepala, yaitu memicu kerusakan cytoskeleton dan kematian sel neuronal
serta merusak fungsi neurobiologis (Kampfl, 1997).

c) Radikal Bebas
Meningginya kadar Ca++ sebagai pencetus aktivasi enzim terlibat
dalam

produksi

radikal

bebas.

Pada

keadaan

normal,

oxidative

mitochondrialmetabolism memproduksi sejumlah kecil radikal bebas.Pada


trauma, radikal bebas yang timbul berlebihan diproduksioleh enzimnitric
oxide synthase yang timbul akibat trauma (iNOS) ini dibedakan dengan
eNOS (endothelial NOS yang sifatnya protektif) dan nNOS (neuronal NOS
yang sifatnya konstitutif).Phospholipase, dan xanthine oxidase yang aktif
bersamaan dengan aktivasi jalur Ca++ berpengaruh terhadap kerusakan
rantai transpor elektron mitokondria.Timbulnya asidosis menyebabkan
lepasnya ferrum dari transferrin dan ferritin.Radikal bebas menambah
permiabilitas sel-sel membran melalui peroxidasi lipid yang merusak
komponen phospholipid membran.Superoxide anion dan hydroksil anion
membentuk peroksinitrit (yang lebih reaktif) dengan NO yang dibentuk
iNOS. Penggabungan dengan ion Fe tadi akan membuat proses
peroksidasi lipid pada membran meluas secara geometris. (White, 2000).
Kerusakan DNA akibat radikal bebas akan mengaktivasi Poly ADP Ribose
Polymerase (PARP) suatu enzim untuk perbaikan (repair) kerusakan DNA.
Aktivasi PARP akan memicu enzim perbaikkan DNA. Aktivitas berlebihan
dari PARP akan mengurangi cadangan energi sel yaitu cadangan NAD+

Universitas Sumatera Utara

dan ATP. Kerusakan besar pada DNA akan menguras energi atau ATP
sehingga sel yang dalam proses apoptosis kehabisan energi dan mati
melalui proses nekrosis yang dalam hal ini disebut nekrosis sekunder
(Zhang, 2005). Caspase 3 yang menginaktivasi PARP berperan dalam
proses apoptosis (Isabelle et al, 2010).

d) Inflamasi
Cascade yang kompleks dari respon inflamasi sellular pada TBI
dapat memperbesar kerusakan otak sekunder. Proses inflamasi ini mulai
beberapa jam sampai dengan beberapa hari bertambah terus menerus
pada cedera otak sekunder. Respon inflamasi akibat TBI akut tidak hanya
terbatas pada otak dan sering tampak pada disfungsi organ lain. Molekul
utama pada otak yang melibatkan cascade ini adalah growth factors,
catecholamine, neurokinin, sitokinase, danchemokines. (Agha et al. 2004).
Trauma dapat menyebabkan gangguan BBB yang memisah darah
dari cairan interstitial dari parenkim dan merusak barrier yang normal. Air
dan zat yang dapat larut dapat bebas masuk ke otak dan cenderung
menyebabkan edema vasogenik sedangkan edema sitotoksik, atau sel
yang bengkak terjadi karena perubahan di sekitarnya atau stress terhadap
sel. Chemotaxis, diapedesis, dan gangguan BBB dapat membuka jalur
baru ke dalam otak. Infiltrasi makrofag dari sirkulasi yang berfungsi
membuang debris setelah cedera, bersama dengan neuron-neuron dan
sel-sel glial, akan menyekresi sitokin pro dan antiinflamasi. Pada TBI,
proinflamasi sitokin interleukin IL-1, IL-6 dan TNF- akan meninggi(Hans

Universitas Sumatera Utara

& Kossmann et al, 1999). TNF- sebagai pemicu awal respon inflamasi
merangsang produksi sitokin lain dan molekul adhesi (ICAM dan VCAM).
(Lenzlinger, 2001). TNF- dapat memperburuk cedera otak dan
mengubah sitoskeleton sel endotel sehingga timbul kebocoran, namun
TNF- perannya dualistik karena dapat juga berperan neuroprotective
bersamaan dengan IL-1 yang berfungsi untuk menambah expresi Nerve
Growth Factor (NGF). Peran TNF- penting dalam tingkat akut inflamasi
dan juga bermanfaat pada regenerasi dan/atau perbaikan. Mirip dengan
TNF-, IL-1 juga terlibat dalam fase akut dan dapat menambah
permiabilitas endotel yang mengakibatkan edema (Holmin dan Mathiesen,
2000).
IL-1 memunyai hubungan dengan banyaknya edema di sekitar lesi
dan mortalitas (Elovic , 2003 ; Bruns & Hauser , 2003). IL-6 dan 10 akan
meninggi pada anak-anak dengan TBI. Meningginya IL-10 yang sifatnya
anti-inflamasidapat menurunkan angka mortalitas pada TBI (Kraus et al.
1984 ). Meningginya sitokine (seperti IL-6) TBI merupakan suatu double
edged

sword

karena

menyebabkan

baik

neurotoxicity

maupun

neuroproteksi. Inflamasi sitokine dapat menyebabkan neurotoxicity melalui


dorongan excitotoxicity dan respon inflamasi. Namun, secara bersamaan
inflamasi sitokin dapat mempermudah mekanisme neurotropic dan induksi
sel-sel

menyekresikan

faktor

pertumbuhan

yang

merupakan

neuroproteksi.
Trauma otak memberi risiko terhadap berkembangnya penyakit
neurodegenerative di kemudian hari. Setelah cedera, protein precursor

Universitas Sumatera Utara

amyloid yang terlibat dalam penyakit Alzheimers akan meninggi. Hal ini
berhubungan dengan suatu respon immune terhadap suatu inflamasi akut
yang menjadi kronis (Holmin dan Mathiesen, 1999).
Cedera kepala dapat menyebabkan atropi otak sesuai dengan
derajat cedera (Yount et al, 2002).Pada cedera kepala sedang sampai
berat terdapat insiden atropi hippocampus yang tinggi.Ini merupakan
predisposisi untuk terjadinya penurunan kognitif. Proses inflamasi dan
immunitas menghasilkan endapan amyloid protein dan amyloid proteinlike-protein. Kedua jenis protein ini menyebabkan degenerasi striatum dan
corpus callosum.Degenerasi ini menyebabkan atropi otak progresif dan
kalsifikasi (Pierce, 1998; Hopkins, 2005).
Pada reperfusi terjadi reaksi inflamasi akibat produksi berlebihan
dari radikal bebas yaitu ROS (Reaxtive Oxygen Species). Radikal bebas
ini akan

menyebabkan kerusakan peroksidatif pada membran sel,

mitokondria, makromolekul protein, dan DNA. Semuanya ini akan


mengakibatkan
Reperfusion

kematian

Injury

yang

neuron.

Kejadian

merupakan

ini

dikenal

sebagai

komponen

penting

terhadap

terjadinya cedera sekunder yang disebut Delayed Neuronal Death (White,


2000).

2.7 Kematian Neuron


Kematian sel secara garis besar dibedakan atas dua mekanisme,
yaitu kematian yang tidak terprogram (nekrosis) dan kematian sel
terprogram, yaitu tipe I (apoptosis) dan tipe II (autofagi). Apoptosis,

Universitas Sumatera Utara

autofagi, dan nekrosis merupakan mekanisme yang berbeda, tetapi timbul


oleh rangsangan yang sama, yaitu influks Ca++ ke dalam sitoplasma sel
melalui saluran-saluran ion dengan reseptor ryanodine (RYRs) dan
reseptor inositol-1,4,5 triphosphate (Ins(1,4,5)P3) (Lee et al, 1998).
Iskemia otak akan berlanjut menjadi nekrosis dan apoptosis dengan
ditentukan oleh beberapa faktor berikut:
beratnya iskemia
tingkat maturitas neuronal (sangat penting dalam menentukan
mekanisme kematian sel)
mudah dicapainya support trophic
kalsium intrasel
level sitokin

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Perbedaan Nekrosis dan Apoptosis (Kumar et al, 2008)

Ada perbedaan nekrosis dan apoptosis seperti yang ditampilkan


pada gambar 2. Pada nekrosis, tahapan proses kematian dimulai dari
pembengkakkan retikulum endoplasma dan mitokondria. Kemudian, timbul
bleb pada permukaan sel dan diakhiri dengan pecahnya membran
plasma, organela, dan isi sel. Sebaliknya, pada apoptosis, proses
kematian

sel

dimulai

dari

kondensasi

kromatin

(sel

mengecil),

terbentuknya bleb membran, dan diakhiri dengan fragmentasi dari sel


dimana masing-masing fragmen berisi organelle dan terbungkus oleh
membrane yang utuh dan akan difagositosis oleh sel sekitarnya atau
macrophage (Kumar et al, 2008).
Saraf simpatis yang masih muda sangat bergantung pada trophic
support dibandingkan dengan saraf simpatis dewasa.Trophic support yang
optimal dicapai apabila kadar kalsium intrasellular rendah.
Kalsium homeostasis memunyai sistem modulasi yang kuat :
bila kadar kalsium intrasellular meninggi, neuron memunyai
risiko apoptosis dan sangat bergantung pada trophic support;
apabila kadar kalsium intrasellular intermediate maka kondisi sel
untuk bertahan hidup menjadi optimal dan kebutuhan sel untuk
trophic support menjadi minimal;
apabila kadar kalsium intrasellular rendah maka neuron
mempunyai resiko terjadi sitotoksisitas dan nekrosis.

Universitas Sumatera Utara

Efek neuroproteksi dapat terjadi apabila voltage dependent anion


channels

dihambat,

sehingga

tidak

terjadi

penumpukan

kalsium

intrasellular (Gibbsons, 1993).

Gambar 3. Beberapa Cara Kematian Sel (Fink & Cookson, 2005)

Apoptosis juga berhubungan dengan kadar kalium di dalam sel.


Pada awal proses apoptosis terjadi peningkatan effluks kalium dari dalam
sel. Apabila kadar ion potassium dalam sel lebih rendah dari kadar
fisiologis, maka akan terjadi aktivasi caspase-3 yang akan menyebabkan
apoptosis dimana intensitas transformasi ini bergantung dari pada kadar
kalium (Lee, 1998).
Ekspresi yang berlebihan dari Bcl-2 mencegah apoptosis dan
nekrosis yang berhubungan dengan proses perbaikan akibat kerusakan
tanpa memperhatikan mekanisme kerusakannya (Gibbsons, 1993).
Jaras antiapoptosis diaktivasi oleh:

Universitas Sumatera Utara

- faktor neurotropik,
- beberapa sitokines, dan
- beberapa faktor stress.
Jaras proteksi ini antara lain adalah:
aktivasi faktor transkripsi (seperti NF-) yang menyebabkan
ekspresi stress protein, enzim antioksidan , inhibitor of apoptosis
proteins (IAPs)
aktivasi ekstrasellular signal-regulated kinase (ERK)
modulasi phosphorylation dari kanal-kanal ion dan transporter
membran
perubahan sitoskeletal melalui modulasi kalsium
modulasi protein

yang menstabilasi fungsi mitochondria

(seperti.Bcl-2).
Telah diketahui bahwa sel dapat berkomunikasi satu dengan yang
lain secara transmisi sinyal melalui molekul sinyal (signaling molecule),
yaitu kelompok neurotransmitter dan neuropeptida yang mentransduksi
sinyal ke dalam sel melalui reseptor-reseptor pada membran sel. Jalur
melalui sinyal yang berakhir dengan apoptosis dikenal sebagai Death
Pathways (Sugawara, 2004).
Manusia juga memiliki mekanisme untuk menjaga kelangsungan
hidup sel yang disebut mekanisme pertahanan endogen (endogenous
defense mechanisms). Mekanisme ini merupakan survival pathways untuk
mempertahankan kelangsungan hidup neuron ataupun sel-sel pada organ
lain (Sugawara, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Rangkaian proses biokimiawi patologis terdiri atas:


yang terpicu serentak (simultaneously),
yang berurutan (sequential),
yang saling berkaitan atau memengaruhi (cross-talk

antar

sel/jalur),
yang saling memperkuat dan membentuk positive feed back
loop.
Semua

proses

ini

walaupun

berjalan

secara

individual,

tetapmasing-masing dapat berakibat fatal pada neuron (Blaine et al.


2000).
Meningkatnya growth factor diperkirakan dapat mengaktifkan
mekanisme pertahanan endogen yang disertai dengan meningkatnya
jumlah makrofag untuk menfagositosis sel debris atau apoptotic bodies
yang dihasilkan dari proses apoptosis. Kematian sel akibat apoptosis tidak
disertai dengan lisisnya sel membran dan keluarnya isi sel sehingga tidak
terjadi proses inflamasi. Jadi, hal ini berbeda dengan kematian sel karena
proses nekrosis (Gibbsons, 1993).
Dengan

menggunakan

metode

terminal

deoxynucleotidyl

transferase - mediated biotinylated deoxyuridine triphosphate nick end


labeling (TUNEL), berbagai sel dengan fragmentasi DNA yang luas
terdeteksi pada daerah yang berbeda di dalam otak (Katja et al, 2001).
Ditemukan 2 tipe TUNEL-positif sel yang tampak pada mikroskop electron,
yaitu

Universitas Sumatera Utara

tipe I yang memperlihatkan ciri-ciri morfologi dari necrotic cell


death

tipe II yang memperlihatkan ciri-ciri morfologi apoptotic cell


death yang klasik.
TUNEL-positif sel terdeteksi dalam 72 jam setelah cedera awal. Gel
electrophoresis dari ekstrak DNA pada daerah yang mengalami cedera
berisi tipe I dan tipe II. Gel tersebut dapat memperlihatkan fragmen
internucleosomal dengan interval 180-200 base pair,yaitu suatu ciri khas
dari apoptotic cell death yang sering disebut DNA laddering. Hal ini
memberi kesan bahwa apoptosis dengan necrotic cell death terjadi
setelah cedera kepala, dan fragmentasi internucleosomal DNA juga dapat
berhubungan dengan beberapa tipe necrotic cell death (Blaine, 2000).
Rendahnya pH saat induksi apoptosis cenderung menyebabkan
berkurangnya kematian sel akibat apoptosis.Neuron-neuron diproteksi
pada pH 6.0-6.8.Terrlalu rendahnya pH (pH < 6,0) berhubungan dengan
kejadian hipoksia sehingga kematian sel yang seharusnya diakibatkan
oleh apoptosis berubah menjadi nekrosis.Sebaliknya, pH intermediate
sekitar 6.8 cenderung mengakibatkan berkurangnya apoptosis tanpa
disertai nekrosis. Proapoptotik protein seperti Bax meningkat pada
gangguan transpor elektron, mitochondrial permeability transitions (MPT),
dan lepasnya sitokrom c dari mitokondria. Anti apoptotik protein Bcl-2
berperan mencegah kematian sel dengan cara melindungi fungsi dan
struktur mitokondria. Sementara itu, pemberian inhibitor kaspase tidak

Universitas Sumatera Utara

memberikan efek perlindungan jangka panjang pada sel parenkim


parenkim otak akibat cedera kepala (Blaine, 2000).

2.8 Apoptosis
Istilah apoptosis diperkenalkan oleh ilmuwan inggris Kerr, Wyllie,
dan Currie pada tahun 1972. Apoptosis berasal dari bahasa Greek yang
artinya falling off,seperti gugurnya daun, yaitu kematian sel yang terjadi
melalui fragmentasi menjadi apoptotic bodies yang kemudian difagositose
oleh sel phagocyte yang berdekatan. Pada tahun1964, Lokshin dan
William mempelajari proses kematian sel dan mengusulkan istilah
programmed cell death (PCD) (Alberts, 2002).
Pada tahun 1966, programmed cell death dinyatakan memerlukan
sintesa protein dari sel itu sendiri untuk proses kematiannya. Proses
kematian sel akibat apoptosis memunyai ciri khas berupa perubahan
morfologi sel. Perubahan ini termasuk sel yang mengisut, kondensasi
kromatin, dan membran sel yang membentuk tonjolan-tonjolan. Kemudian,
sel tersebut akan mengalami fragmentasi yang membentuk pecahanpecahan sel atau apoptotic bodies yang berada di sekitar sel tersebut.
Fragmen-fragmen sel tersebut akan cepat difagositosis oleh makrofag
sebelum sel pecah dan menyebabkan kerusakan pada jaringan (Alberts,
2002).

Universitas Sumatera Utara

Fragmen sel terbungkus oleh membran sel dan berisi organela


yang masih utuh. Sel akan kehilangan kontak interseluler yang normal.
Jadi sel tidak mengalami proses inflamasi karena tidak adanya bahanbahan sitosolik yang dilepas ke ruang interseluler. Proses ini memerlukan
energi dalam bentuk ATP (Hetts, 1997).
Sel apoptotik yang berlawanan dengan sel nekrosis tidak dijumpai
berdekatan satu dengan yang lain, tetapi tersendiri atau membuat satu
kelompok-kelompok sel yang kecil dan tersebar di seluruh jaringan yang
terkena.
Karena apoptosis membutuhkan energi, maka bila dijumpai defisit
energi prosesnya akan beralih menjadi nekrosis (secondary necrosis). Selsel yang mati dibuang dari jaringan melalui fagositosis yang terjadi pada
jam jam pertama setelah kematian. Jika kapasitas fagositosis terbatas
sehingga sel apoptosis masih terdapat dalam jaringan selama satu atau
dua hari, maka membrannya akan mengalami disintegrasi dan terjadi
nekrosis sekunder (Yakolev, 2004).
Fragmentasi DNA terjadi sebagai hasil dari calcium-magnesiumdependent endonuclease action. Endonuclease menyebabkan DNA
terbelah menjadi fragmen-fragmen dengan panjang rantai dari 50 sampai
dengan 300 bp. (Yakolev, 2004).
Teknik yang baik untuk menegaskan adanya apoptosis adalah
histochemical technique. Teknik ini tidak hanya mendata fragmentasi
DNA, tetapi juga mengidentifikasikan apoptosis bodies(Yakolev, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Apoptosis dapat terjadi tanpa sintesa protein. Pada cedera kepala


terdapat dua perbedaan tipe sel, yaitu:
Sel-sel tipe 1 memperlihatkan susunan klasik nekrosis ( ini
terjadi pada cedera otak primer) ,dan
Sel-sel tipe 2 memperlihatkan apoptosis klasik. (Rink A et al.
1995; Clark RS et al. 2000).
Mekanisme apoptosis terjadi melalui dua jalur, yaitu caspasedependent dan caspase-independent. Caspase-dependent pathway dapat
melalui jalur intrinsik yang dipicu oleh kegagalan metabolik mitokondria
atau jalur ekstrinsik yang dipicu oleh reseptor kematian, yaitu kelompok
TNF

reseptor.

Caspase-independent

pathway

dipicu

oleh

protein

mitokondria seperti Apoptosis Inducing Factor (AIF) yang keluar dari


membran mitokondria akibat depolarisasi membran luar mitokondria (Van
Cruchten, 2002).
Sepertiga kematian sel berhubungan dengan caspase dependent
apoptosis, sepertiga yang lain caspase independen, dan sepertiga sisanya
berhubungan dengan nekrosis. Famili Bcl-2 mengatur kematian sel atau
survival melalui pengaturan permiabilitas membran luar mitokondria dan
pembentukan membran permeability transition protein (PTP). Sinyal
apoptotik ditransduksi oleh reseptor-reseptor ke dalam sel dan berjalan
melalui jalur yang mengarah kepada proses kematian sel yang disebut
jalur kematian (death pathway). Di samping itu, ada jalur yang berfungsi
untuk mempertahankan hidup sel yang disebut survival pathway (Van
Cruchten, 2002).

Universitas Sumatera Utara

2.8.1 Caspase-Dependent Apoptosis


Capase-Dependent apoptosis ini berjalan melalui jaras intrinsik dan
ekstrinsik.
a) Jalur Intrinsik
Pemicu apoptosis melalui jalur intrinsik adalah cell-stress yang
merusak fungsi mitokondria dan retikulum endoplasmik. Membran
mitokondria mengalami depolarisasi dan sitokrom c suatu enzim yang
terletak di antara membran dalam dan luar mitokondria akan keluar ke
sitoplasma melalui suatu pori yang disebut Mitochondrial Permeability
Transition Pore (MPTP) (Dumas, 2001).
Selain cell stres, glucocorticoid, radiasi, kekurangan makanan,
infeksi virus, dan hypoxia juga menjadi faktor pencetus. Pada sel yang
sehat dijumpai ekspresi protein Bcl-2 pada permukaan membran luar
mitochondria. Bcl-2 mengelilingi/berbatasan dengan protein Apoptotic
Protease

Activating

Factor-1

(APAF-1).

Kerusakan

dalam

sel

menyebabkan Bcl-2 melepaskan Apaf-1 dan selanjutnya membuka MPTP


yang melepaskan sitokrom c ke dalam cytosol. Sitokrom c dan Apaf-1

Universitas Sumatera Utara

akan mengikat molekul caspase-9. Hasil kompleks sitokrom c, Apaf-1,


caspase-9, dan ATP disebut apoptosome (Liu et al. 1996).

Gambar 4. Aktivasi Apoptosis dari Dalam Sel (Intrinsic Pathway) (Hillet al.
2003)
Apoptosome mengaktifkan caspase 3. Rangkaian aktivasi dari
caspase ini akan membuat protein dalam sitoplasma dan DNA kromosom
mengalami degradasi (Fiskum, 2000; Kluck, 1997; Yang, 1997).

b) Extrinsic Pathway
Jalur ini dipicu oleh ikatan dengan Death Receptor, yaitu reseptor
yang tergolong TNF-receptor family, seperti Fas receptor.

Universitas Sumatera Utara

Ligand yang dapat memicu adalah FasL atau Apo-1/CD 95 dan


TRAIL. Reseptor tersebut memunyai bagian yang disebut:

Fas Associated Death Domain (FADD),


TNF-receptor Associated Death Domain (TRADD) atau
Caspase and RIP-adaptor with Death Domain (CRADD)
Receptor Interacting Protein (RIP).
Saat diaktivasi, reseptor akan merekrut protein adaptor yang
kemudian

merekrut

pro-caspase

(precursor

caspase

8)

dan

menjadikannya caspase 8 yang aktif. Caspase 8 akan mengaktifkan


caspase 3 untuk mengeksekusi proses selanjutnya. Caspase 8 dan 9
disebut initiator caspases atau upstream caspases dan caspase 3, 6, dan
7 disebut executioner caspases atau down stream caspases (Katja, 2001).
Reseptor Fas berikatan dengan Fas ligand (FasL), yaitu suatu
protein transmembran. Interaksi antara reseptor Fas dan FasL membentuk
death-inducing signaling complex (DISC) yang berisi FADD, caspase-8,
dan caspase-10. Dalam interaksi tersebut terdapat dua tipe aktivasi
kaskade caspase, yaitu tipe I dan tipe II. Tipe I yaitu dengan pengaktifan
caspase-8 maka akan terjadi aktivasi anggota lain dari caspase family
yang berperan sebagai pencetus apoptosis. Tipe II, yaitu ikatan Fas-DISC
akan membentuk feedback loop untuk menambah lepasnya faktor proapoptosis dari mitochondria dan memperkuat aktivasi caspase-8. Fas
diketahui memunyai dua jaras apoptosis.Daxx adalah suatu Fas yang
mampu menghambat Bcl-2. Jaras Fas yang lain adalah melalui ikatan
FADD, yang tidak menghambat Bcl-2 (Yang, 1997).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5. Aktivasi Apoptosis dari Luar Sel (Extrinsic Pathway)


(Demedtset al, 2006).

Gambar 5 menunjukkan bahwa sinyal faktor ekstrasellular seperti


hormon, growth factor, nitric oxide, atau sitokin mengaktivasi apoptosis
melalui jaras ekstrinsik. Sinyal ini bisa menambah atau menghambat
proses apoptosis. (Mohamadet al, 2005). TNF adalah suatu sitokin utama
yang diproduksi oleh makrofag aktif dan merupakan mediator ekstrinsik

Universitas Sumatera Utara

utama dari apoptosis.Kebanyakan sel-sel dalam tubuh manusia memunyai


dua reseptor untuk TNF, yaitu TNF-R1 dan TNF-R2.Ikatan terhadap
reseptor TNF-R1 secara tidak langsung dapat mengaktivasi faktor
transkripsi yang terlibat dengan cell survival.

Gambar 6. Jaras Apoptosis Intrinsik dan Ekstrinsik (Crighton et al, 2004).

Gambar 6 menjelaskan mengenai hubungan jalur intrinsik dengan


jalur ekstrinsik. Homodimer pro-apoptotic Bax yang dibentuk pada
membran luar mitokondria diperlukan untuk membentuk saluran yang
meningkatkan permeabilitas membran mitochondria dan melepaskan
aktivator caspase, seperti cytochroma c dan SMAC (Secondary
Mitochondrial Activator of Caspase).

Universitas Sumatera Utara

c) Cross-talk
Antara jalur intrinsik dan ekstrinsik bisa timbul kerjasama, misalnya
caspase 8 dapat membelah anggota famili Bcl-2 protein yang proapoptotik, yaitu Bid. Bid yang terbelah ini (truncated Bid) bertranslokasi ke
mitokondria dan menyebabkan pelepasan sitokrom c dari mitokondria
serta

menimbulkan

perobahan

konformasi

pada

Bax

dan

Bak

(menyebabkan homo atau heterodimerisasi) yang hasilnya juga dapat


membocorkan sitokrom c. (Desagher et al, 1999).
Demikian juga caspase 3 yang aktif dapat mengaktifkan caspase
lain seperti caspase 2,6,8, dan 10 dan dapat membelah procaspase 9
menjadi caspase 9 yang aktif serta menciptakan amplifikasi dari jalur
apoptotik melalui suatu positive feed-back loop.

2.8.2 Caspase-Independent Apoptosis


Jalur

ini

tidak

membutuhkan perantara caspase.

Jalur

ini

mempunyai mekanisme tersendiri menuju kematian sel. Yang berperan di


sini adalah molekul protein mitokondria, yaitu apoptosis inducing factor
(AIF) dan Endonuclease G.
Mitokondria masih memiliki beberapa jenis protein lainnya untuk
mencetuskan apoptosis antara lain HtrA2/Omi dan second mitochondrial
activator of caspases (Smac). Mitokondria juga memunyai senjata untuk
mendukung pengaruh faktor survival yang berfungsi menghentikan proses

Universitas Sumatera Utara

apoptotik, yaitu inhibitors of Apoptosis Protein (IAP seperti celluar IAP1,cIAP-2, X-chromosome-linked IAP (XIAP) (Ulrich et al, 1999). HtrA2/Omi
dan Smac menghentikan aktifitas IAP dan mendukung terjadinya
apoptosis.

Bcl-2

dan

Bcl-xL

adalah

oncoprotein

yang

bersifat

antiapoptotik. Bcl-2 mampu memblokir mobilisasi AIF melalui membran


mitokondria dan juga berperan besar pada jalur-jalur ekstrinsik dan
intrinsik. Smac dan Htr2A/Omi memblokir kerja IAP menghambat kerja
XIAP sehingga mendukung terjadinya apoptosis. Hal ini menunjukkan
bahwa mitokondria merupakan salah satu pusat penentu hidup sel.

Gambar 7. Jaras Caspase Independent Apoptosis (Hoh et al, 2010)

Universitas Sumatera Utara

Pada gambar 7, ditunjukkan jalur apoptosis yang caspase


independen.

Bila

sel

mendapat

rangsangan

apoptotik

(inhibisi

proteinkinase, ekspresi berlebihan oncoprotein yang pro-apoptotik atau


obat sitostatika pada kemoterapi), AIF bertranslokasi dari mitokondria ke
nukleus dan mengakibatkan fragmentasi nuclear DNA (Polster et al,
2005).
Bcl-2 menghambat permiabilitas membran mitokondria. Apabila
Bcl-2 diinhibisi maka, pori membran mitokoondria akan terbuka dan AIF
bisa keluar ke cytosol. (Van Cruchten, 2002).

2.9

Bcl-2 Family Protein


Bcl-2 family protein memiliki Bcl-2 homology (BH) domain. Pada

struktur protein ini anggotanya ada yang anti-apoptotik, yaitu Bcl-2, BclxL, Bcl-W, Mcl-1, dan A1 (memiliki domain BH1, BH2, BH3, dan BH4) dan
yang pro-apoptotik, yaitu Bax, Bak, dan Bok (memiliki domain BH1, BH2,
dan BH3) ; serta Bad, Bid, Bim, dan Bik (hanya memiliki BH3 domain saja)
yang disebut : BH3-only proteins. Kompleks dari domain BH3 seperti Bax,
Bid (tBid), dan Bad menfasilitasi pelepasan sitokrom c melalui kapasitas
pembentukan pori oleh BH3-only proteins yang berdimerisasi. Proteinprotein pro-survival seperti Bcl-2, Bcl-xl, dan mcl-1 mampu mencegah
keluarnya protein mitokondria, seperti sitokrom c, endonuclease G, dan
AIF melalui pori tersebut (Zhang et al, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 8. Famili Bcl-2 yang Anti-apoptotik dan Pro-apoptotik

Sebagai contoh, bila tidak ada faktor survival, maka BH3-only


protein akan mengikat dan menggeser Bcl-2 dan/atau Bcl-xl pada
membran luar mitokondria. Dengan adanya faktor survival maka terjadi
aktivasi seri kinase. Kemudian BAD mengalami phosphorilasi dan
memisahkan diri dari Bcl-2 dan/atau Bcl-xl yang memberikan survival (Van
Cruchtenet al, 2002; Zha et al, 1996). Heterodimerisasi dari kelompok
protein BH3 (Chittenden et al, 1995) tidak diperlukan untuk pro-survival,

Universitas Sumatera Utara

tetapi diperlukan untuk pro apoptosis. Domain transmembran (Tm) dari


protein Bcl-2 family terlibat dalam survival dan kematian sel yang
diperantarai mitochondria (Graham et al, 2000). Semua anggota Bcl-2
family memunyai domain Tm kecuali Bid.
Aktivasi famili Bcl-2 protein terjadi melalui carboxy terminal
hydrophobic domain yang melekat pada membran luar mitochondria. Dari
membran luar ke dalam, terdapat lobang Permiabilitas Transisi (PT).
Lobang PT memunyai mega channels dengan diameter <2nm yang dapat
dilewatiion-ion Reactive Oxygen Species (ROS), tetapi bukan molekul
besar (sitokrom c, ATP, AIF) yang diperlukan untuk induksi apoptosis
(Wagner, 2005).

Gambar

9.

The

Intrinsic

Mitochondrial

Apoptosis

Pathway

(Serotech)

Universitas Sumatera Utara

Melalui gambar 9 ditampilkan jalur apoptosis melalui mitokondria


dengan

pelepasan

sitokrom

yang

melalui

serangkaian

reaksi

membentuk apoptosome yang akan mengaktifkan caspase 3.


Posisi normal kromosom Bcl-2 adalah pada 18q21 (Tsujimoto,
1984). Bcl-2 di encode oleh suatu gen 230kb yang menghasilkan protein
22-26 kDa. Bcl-2 memunyai sekitar 239 asam amino. Gen Bcl-2
memunyai tiga exon dimana yang pertama tidak ditranslasikan. Gen Bcl-2
mempunyai 2 regio promotor yang potensial yaitu P1 yang kaya GC
dengan SP1 multipel (suatu sekuensi spesifik dengan protein pengikat
DNA yang penting pada fase transkripsi) dan lebih dominan digunakan.
Sedangkan P2 yang memiliki TATA dan CAAT-box yang klasik dan motif
SV40 decamer/Ig octamer yang penggunaan ini lebih minimal.Bcl-2 family
memunyai struktur umum yang terdiri atas suatu hydrophobic helix yang
dikelilingi oleh tujuh amphipathic helices (Duan et al, 2005).

Gambar 10. Struktur Bcl-2 (Riley, 2009)

Pada gambar 10 ditunjukkan gambaran 3 dimensi Bcl-2.Bad


diaktifkan

oleh

Calcineurin

yang

terpicu

oleh

konsentrasi

Ca++

intraseluler yang meningkat (kaitan dengan eksitotoksisitas). Bad akan

Universitas Sumatera Utara

berikatan dengan Bcl-2 dan Bcl-xL dan menyebabkan inhibisi terhadap


efek anti-apoptosis IAP, dua protein proapoptotik lainnya yaitu Bax dan
Bak dapat aktif dan menyebabkan pelepasan sitokrom c dari mitokondria.
Melalui mekanisme inilah Bad dapat memicu terjadinya apoptosis yaitu
dengan menghambat efek perlindungan dari Bcl-2 dan Bcl-cL. Bad yang
bebas dapat dinonaktifkan melalui proses fosforilasi. Bad yang telah
difosforilasi akan diikat oleh chaperone protein dimana salah satunya
adalah protein 14-3-3 (Desagher et al, 2000).
Konsentrasi Bcl-2 (U/mL) telah dianalisis pada cedera otak. Dengan
pemeriksaan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) diperoleh
bahwa puncak konsentrasi Bcl-2 adalah pada hari ke-3 dan ke-4 setelah
trauma (Lee et al, 2004; Xiong et al, 2001).
Konsentrasi Bcl-2 lebih tinggi pada wanita daripada laki-laki karena
pengaruh estrogen (Soustiel et al, 2005; Wise et al, 2000 ; Zhang et al,
2004) dan Bcl-2 lebih berperan sebagai neuroprotektor pada wanita.
Estrogen juga terdapat pada laki-laki sebagai testosteron yang dirubah
menjadi estradiol pada otak. Estrogen memunyai efek neuroproteksi
dengan

cara

mempertahankan

CBF,

memiliki

sifat

antioxidant,

menghalangi cedera excitotoxic, dan mempromosikan produksi growth


factor (Soustiel et al, 2005; Wise et al, 2000).

2.10 Polimorfisme Gen Bcl-2


Berdasarkan penelitian dari Hoh dan kawan-kawan (2010), yang
memeriksa hubungan antara variasi genetik pada gen Bcl-2 dengan hasil

Universitas Sumatera Utara

akhir cedera kepala, ternyata terdapat hubungan antara genotip Bcl-2dan


fungsi global setelah cedera kepala. Penggunaan tagging single
nucleotide polymorphisms (tSNP) untuk Bcl-2menunjukan karakteristik
seluruh variasi genetik di dalam dan sekeliling gen serta kumpulan
polimorfisme di dalam gen secara efisien. Berdasarkan data Hapmap
dijumpai 20 tSNP untuk gen Bcl-2dengan minor allele frequency (MAF)
30% dan r2 0,8 yaitu rs1026825, rs12454712, rs12968517, rs1381548,
rs1481031, rs17756073, rs17759659, rs1801018, rs1944419, rs3810027,
rs4456611, rs4941185, rs7230970, rs7236090, rs8083946, rs899968,
rs949037, rs7231914, rs8089538, dan rs2850762 (gambar 23).

Gambar 11. Gen Bcl-2dengan tSNP pada Kromosom 18q21(Hoh et al,


2010).
Berdasarkan analisis multivariat diperoleh bahwa ada empat tSNP
yang signifikan berpengaruh pada hasil akhir klinis setelah cedera kepala,
yaitu rs17759659, rs1801018, rs7236090 dan rs949037.Pada penelitian

Universitas Sumatera Utara

ini dicari hubungan antara polimorfism gen Bcl-2(rs17759659, rs1801018,


rs7236090 dan rs949037) dengan Glasgow Outcomes Scale (GOS) dan
Disability Rating Scale (DRS). Kematian dan Neurobehavioral Rating
Scale-Revised (NRS-R) pada cedera kepala berat yang dianalisis pada
bulan ke 3, 6, 12 dan 24 (Hoh et al, 2010).Dari hasil penelitian diperoleh
bahwa alell variant untuk rs17759659 dan rs1801018 berhungan dengan
hasil yang lebih jelek (GOS dan DRS), tingkat kematian yang lebih tinggi,
dan NRS-R yang jelek. Sebaliknya, homozigot alell wild-type untuk
rs7236090 dan varian homozigot dari rs949037 berhubungan dengan
hasil yang lebih baik (GOS dan DRS). Hasil data ini mendukung
kemungkinan bahwa polimorfisme genetik pada gen Bcl-2memengaruhi
hasil akhir setelah cedera kepala berat (Hoh et al, 2010).

2.11 Polimorfisme Genetik


Pada manusia gen BDNF terletak pada kromosom 11. Allel
Val66Met (rs6265) adalah suatu single polymorphism nucleotide dalam
gen yang menyebabkan adenine dan guanine allel. Hasil dalam variasi
antara valine dan methionine ada pada codon 66 (Bath et al,2006).
Polimorfisme genetik adalah perbedaan dalam urutan DNA di
antara individu, kelompok, dan populasi. Akibat dari Single Nucleotide
Polymorphisms

(SNPs),

pengulangan

urutan,

insersi,

delesi,

dan

rekombinasi. Polimorfisme genetik dapat disebabkan oleh faktor kebetulan


(mutasi) atau faktor eksternal (seperti virus atau radiasi) (Purohit, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Dalam Mendels Principles of Heredity karangan William Bateson


(1902), digunakan istilah allelomorph untuk menggambarkan adanya
alelleyang terbentuk akibat variasi pada urutan basa nitrogen. Variasi
tersebut merupakan akibat peristiwa mutasi yang diikuti oleh aksi evolusi,
seperti seleksi alam atau drift yang akan menyebarkan alelle mutan ke
dalam populasi.

Lokus telah dideskripsikan menjadi polimorfik dan

monomorfik dengan memperhatikan adanya variasi alelle dalam suatu


populasi. Sebuah definisi yang praktis dan berguna menyebutkan bahwa
lokus polimorfik adalah suatu keadaan ketika ada dua atau lebih alelle
yang membentuk populasi yang sama dan alelle yang paling umum
memiliki frekuensi kesamaan sekitar 99% atau kurang (Harris, 1980).
Individu dengan alelle yang sama pada suatu lokus akan disebut
genotipe homozigot, yang berbeda disebut genotipe heterozigot. Fenotipe
yang diekspresikan menimbulkan perbedaan klinis antar-individu dalam
suatu populasi. Alelle dengan frekuensi yang kurang dari 1% disebut
sebagai varian langka dan alelle yang memiliki frekuensi varian yang lebih
tinggi disebut polimorfik. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 2% dari
populasi akan menjadi heterozigot pada lokus polimorfik (Harris, 1980;
Fisher, 1930).
Selain itu, telah diketahui bahwa kurang dari 5% dari genom
manusia merupakan coding DNA dan sebagian besar polimorfisme
genetik terjadi pada area non-coding DNA yang merupakan area yang
relatif tidak memiliki kemaknaan klinis (Fisher, 1930).

Universitas Sumatera Utara

2.12 Autofagositosis
Istilah autofagi yang berasal dari bahasa Yunani, yang berarti to eat
oneself merupakan proses self-cannibalization melalui jaras degradasi
lysosomal. Konsep ini telah dievaluasi dengan menggunakan sel-sel dan
organisme yang defisiensi gen autofagi, dimana hasilnya menunjukkan
bahwa sel-sel dengan apoptotic machinery dan mekanisme autofagi yang
intak lebih mampu bertahan hidup (Todde, 2009).
Secara umum,
apoptosis

secara

terdapat

tidak

hubungan

langsung.

antara autofagi dengan

Autofagi

merupakan

regulasi

homeostasis, yaitu proses dinamik intrasel yang mendaur ulang protein


dan organella yang tua (Todde, 2009; Singh et al, 2009).
Rangsangan klasik autofagi adalah kelaparan atau kekurangan
nutrisi. Protein-protein yang meregulasi dan menginduksi autofagi antara
lain adalah autophagyassociated protein 4 (Atg4), Beclin-1 (Atg6), Atg7,
microtubule-associated protein light chain-3 (MAP-LC3/Atg 8), Atg12, dan
Atg5 (Klionky, 2008).
Laporan pertama kali yang disampaikan oleh Diskin et al pada
tahun 2005 menyatakan bahwa cedera otak mungkin menstimulasi
autofagi. Protein-protein yang terlibat pada cedera otak adalah Beclin1(Atg6) yang melalui domain BH-3nya berinteraksi dengan Bcl-2 dan
kemudian dapat menyebabkan lebih banyak Beclin-1 bebas yang
menstimulasi terjadinya autofagi. Pada keadaan homeostasis interaksi
Beclin-1(Atg6) dan Bcl-2 berguna untuk memperbaiki sel dan mengurangi
komponen dalam sel yang mengalami kerusakan (Diskin et al,

Universitas Sumatera Utara

2005).Selain Beclin-1, protein MAP-LC3(Atg 8) dan LC3 lipidation/LC3


shift juga terlibat pada cedera otak (Kuono et al, 2005).
Pada apoptosis klasik terjadi pengerutan elemen sitoskeletal
dimulai dari awal periode, sedangkan organella tetap baik sampai proses
akhir. Sebaliknya, pada autophagi terdapat degradasi organel pada awal
proses, elemen sitoskeletal tetap baik sampai akhir periode. Baik
apoptosis maupun autofagi adalah proses kematian sel yang tidak disertai
reaksi inflamasi (Schweichel, 1973)

Gambar 12 : Perbedaan Kematian Sel Apoptosis dan Autofagi (Levine,


2005).

Seperti pada gambar 12, autofagi dan apoptosis memiliki morfologi


yang berbeda dalam proses kematian. Mekanisme penghambatan
kematian sel melaui autofagi yaitu dengan aktivasi RNA interference. RNA
interference (RNAi) yang aktif akan menghambat 3 gen autofagi yaitu
atg5, atg7, dan becline 1 (Mills et al, 2004).
Satu pertanyaan yang tidak terjawab adalah apakah kejadian
autofagi setelah cedera otak menguntungkan atau merugikan?

Universitas Sumatera Utara

Gambar 13: Peranan Autofagi setelah TBI (Mills et al, 2004)

Seperti yang ditunjuk pada gambar 13, terdapat peranan autofagi


dalam kontusio serebri, yaitu proses degradasi protein oleh proteosom.
Antara autofagi dan apoptosis terdapat cross-talkmelalui ekstrinsik
apoptosis pathway dan Tumor necrosis factor Related Apoptosis-Inducing
Ligand (TRAIL) (Jia et al, 1997; Mills et al, 2004; Thorburn et al, 2005;
Prins, 1998).

2.13 Nekrosis
Nekrosis berasal dari bahasa Yunani yang artinya mati.Pengertian
nekrosis dalam hal ini adalah kematian sel yang dini akibat dari faktor
eksternal, seperti trauma, toxin, atau infeksi. Proses apoptosis yang terjadi
mempunyai manfaat terhadap organisme. Sebaliknya, proses nekrosis
merusak struktur (membran sel pecah dan isi sel tumpah) dan fungsi
suatu jaringan (Van Cruchten, 2002).
Nekrosis terjadi dalam kondisi akut akibat lesi non-fisiologik,
misalnya di daerah inti-nekrotik, daerah yang mengalami toksisitas, akibat

Universitas Sumatera Utara

gangguan metabolisme seluler sehingga sel tidak dapat mempertahankan


homeostatik ion-nya. Sel-sel nekrotik akan mengalami pembengkakan sel
yang kemudian lisis dan melepaskan isi sitoplasma ke dalam ruang
interseluler dan selanjutnya merangsang terjadinya proses inflamasi.
Nekrosis tidak terlihat pada perkembangan sel normal, tetapi sebagai
respon terhadap trauma atau toksin.Proses nekrosis tidak membutuhkan
energi dalam bentuk ATP (Van Cruchten, 2002).
Nekrosis hanya bisa dicegah dengan menyingkirkan faktor
patogenik. Nekrosis didahului oleh gangguan homeostasis ion seperti a.l
++

Ca ,Na+dan K+, dimana defisit energi menyebabkan gagalnya ion


exchanger dan ion pumps, Na+ masuk kedalam sel dan K+ keluar dari sel,
terjadi depolarisasi membrane sel dan aktifasi Voltage Dependent Anion
Channels (VDAC), Ca++ masuk dalam jumlah besar, air akan ikut Na+
masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan akhirnya pecah.
Adanya defisit energi dan gangguan autolisis akan menyebabkan
pecahnya membran sel. Isi sel yang berisi enzim dan organela akan
masuk ke ruang ekstraseluler dan menimbulkan reaksi inflamasi.
Influx Ca++ yang besar akan memicu enzim lipase, protease dan
endonuclease dan menimbulkan peroksidasi lipid pada dinding sel dan
kerusakan membrane. NO yang dibentuk iNOS (inducible Nitic Oxide
Synyhase) bereaksi dengan radikal bebas yang dilepas Mitochondria dan
Endoplasmic Reticulum akibat terpicu influx Ca++ akan membentuk
peroxynitrit, radikal bebas yang daya rusaknya sangat besar, bila
peroxynitrit bertemu dengan ion Fe dari ferritin, peroksidasi akan berlipat

Universitas Sumatera Utara

ganda (White, 2000) Endonuclease G akan menimbulkan kerusakan DNA


pada inti sel dan memicu apoptosis. Walaupun prosesnya sama-sama
dipicu kalsium, proses nekrosis terjadi dalam beberapa menit, sedangkan
apoptosis

baru

terjadi

setelah

beberapa

jam

dan

bisa

berlangsungberharihari hingga beberapa minggu (Haque, 2004; White,


2000; Ulrich, 1999).

2.14 Struktur BDNF


BDNF merupakan suatu protein dasar yang berukuran 27 kDa yang
berikatan secara nonkovalen terhadap subunit yang berukuran 13,5 kDa,
yang berikatan dengan nerve growth factor. BDNF dihasilkan oleh sel glia
pada susunan saraf pusat (Robinson et al, 1999).
BDNF merupakan neurotropin yang terbanyak pada otak dan
sangat penting dalam kelangsungan hidup neuron selama perkembangan
dan integrasi neuron pada otak orang dewasa.BDNF juga terlibat dalam
plastisitas sinaps, diferensiasi neuron dan daya tahan neuron.BDNF juga
diekspresikan pada hati, otot skeletal, dan berperan pada perkembangan
sistem kardiovaskular.BDNF dalam darah terutama disimpan dalam
trombosit dan hanya fraksi kecil saja yang tersimpan di dalam plasma.
Kadar BDNF dalam serum dapat ditentukan dengan menggunakan ELISA
(Klein, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 14. Struktur Brain-derived Neurotrophic factor (Robinson et al,


1999)
Observasi dari penurunan kadar BDNF pada pasien dengan
gangguan neuropsikiatri telah menjadikan BDNF sebagai suatu biomarker
yang potensial. Namun, sejauh ini belum ada studi langsung yang
membandingkan kadar BDNF dalam serum dengan kadar BDNF pada
otak (Klein, 2011).
BDNF merupakan anggota dari neurotrophin family dari growth
factor, yang berhubungan dengan NGF. Dalam otak, BDNF aktif pada
hippocampus, cortex, dan basal forebrain yaitu daerah vital untuk memori,
belajar serta untuk berpikir lebih tinggi. BDNF sendiri penting untuk
penyimpanan ingatan jangka panjang (Bekinschtein et al, 2008). BDNF
sebenarnya terdapat dalam berbagai jaringan dan sel, yaitu pada retina,
CNS, neuron motor, ginjal, dan prostat, serta saliva manusia. Konsentrasi
BDNF paling tinggi pada hippocampus dankorteks serebral (Mandel,
2009).
BDNF merupakan faktor neurotropik spesifik kedua setelah NGF.
Walaupun mayoritas utama dari neuron otak mammalian dibentuk

Universitas Sumatera Utara

prenatal, tetapi sebagian otak dewasa menyimpan kemampuan untuk


menumbuhkan neuron baru dari stem cells neural dimana proses ini
dikenal sebagai neurogenesis. Neurotrophin merupakan senyawa kimia
yang merangsang dan mengontrol neurogenesis. BDNF merupakan salah
satu dari neurotrophin yang aktif. Tikus yang baru lahir tanpa kemampuan
membentuk BDNF akan menderita defek perkembangan otak dan sistem
sel saraf sensori. Biasanya tikus tersebut akan mati segera setelah lahir.

Gambar 15. Proses Signaling dalam Persarafan (Choi-Lundberg et al,


1997)

Universitas Sumatera Utara

Gambar

15 menunjukkan perkembangan dalam

otak.Faktor

neurotrophik dilepas oleh neuron atau sel pendukung, seperti astrosit dan
berikatan

dengan

reseptor

neuron

yang

di

dekatnya.Ikatan

ini

menghasilkan sinyal yang dikirim ke nukleus dari neuron yang


menerimanya.Hasilnya yaitu terjadi peningkatan sintesa protein yang
berhubungan dengan survival dan fungsi neuron. (Choi-Lundberg et al,
1997).
BDNF berikatan dengan dua reseptor yang terletak pada
permukaan sel. TrkB (Tyrosine kinase B) dan p75 yang merupakan Lowaffinity nerve growth factor receptor (LNGFR) untuk BDNF.BDNF juga
dapat memodulasi aktivitas dari berbagai reseptor neurotransmitter,
termasuk alpha-7 nicotine receptor. TrkB adalah suatu reseptor tyrosine
kinase yang dapat memfosforilasi tyrosine dalam sel dan mengaktifkan
sinyalintra-sellular. Faktor neurotropik lain yang berhubungan dengan
BDNF, adalah NGF, NT-3 (neurotrophin-3), dan NT-4 (neurotrophin-4).
TrkB memediasi efek BDNF dan NT-4, TrkA mengikat NGF, dan TrkC
mengikat NT-3. NT-3 dapat berikatan dengan TrkA dan TrkB, walaupun
afinitasnya rendah (Patapoutian, 2001).
Reseptor BDNF yang lain, yaitu p75 memiliki peranyang kini masih
kurang jelas. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa p75NTR
berfungsi

sebagai

suatu

sink

untuk

neurotrophin.

Sel-sel

yang

mengekspresi p75NTR dan reseptor Trk memunyai aktivitas yang lebih


besar karena memunyai microkonsentrasi neuroptrophin yang lebih besar.
P75NTR dapat memicu apoptosis apabila sel tersebut tidak memiliki

Universitas Sumatera Utara

reseptor

Trk.

BDNF

diproduksi

di

endoplasmic

reticulum

dan

diekspresikan melalui dense-core vesicle setelah berikatan dengan


reseptor carboxypeptidase E (CPE). Kerusakan ikatan ini dapat
menyebabkan hilangnya kemampuan sel untuk mengekspresikan BDNF
melalui dense-core vesicle (Fernandes, 2008).

2.15 Polimorfisme Gen BDNF


BDNF memiliki peranan penting pada kognisi, terutama harapan
hidup neural dan plastisitas. Terdapat beberapa polimorfisme SNPs didalam gen BDNF yaitu rs1519480, rs7124442, rs6265, rs7934165,
rs11030121, rs12273363 dan rs908867. Salah satunya SNPs yaitu rs6265
yang berhubungan dengan kognisi setelah cedera kepala. Berdasarkan
penelitian, rs6265 memperlambat proses perbaikkan kognitif. Selain
rs6265 terdapat juga polimorfisme lain yang berkontribusi dalam fungsi
memori setelah cedera kepala. Terdapat 2 SNP yaitu rs1519480 dan rs
7124442yang secara signifikan berhubungan dengan perbaikan fungsi
kongnitif setelah cedera kepala yaitu menginduksi plastisitas (Rostami et
al, 2011).

2.16 Plastisitas Otak


Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak untuk
melakukan reorganisasi dalam bentuk interkoneksi baru pada saraf.
Plastisitas merupakan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi
terhadap

kebutuhan

fungsional.

Mekanisme

ini

termasuk

proses

Universitas Sumatera Utara

neurogenesis angiogenesis, gliagenesis and synaptogenesis,

dan

melibatkan perubahan kimia saraf (neurochemical), penerimaan saraf


(neuroreceptive) , perubahan struktur neuron saraf dan organisasi otak.
Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan kematangan
sistem saraf (Ganong, 2002).
Plastisitas otak berlangsung seumur hidup dengan kecepatan
maksimal pada beberapa tahun pertama kehidupan. Plastisitas ini juga
lebih tinggi pada beberapa bagian otak dibandingkan dengan bagian otak
yang lain. Hal ini menjelaskan bahwa anak mampu pulih dari cedera
kepala jauh lebih cepat dan lebih baik.Plastisitas otak tidak terbatas pada
keadaan yang tidak direncanakan, seperti kecelakaan, trauma otak, dan
kasus penting lain yang memerlukan rewiring untuk membangun kembali
hubungan fungsional (Ganong, 2002).

2.17 Neuroproteksi
Secara historis konsep neuroproteksi sudah dikenal dan dipakai
oleh praktisi kedokteran Yunani kuno dengan menggunakan pendinginan
untuk mengobati cedera otak dan stroke. Hipotermia kembali berperan
seiring dengan kemajuan pada bidang bedah saraf sejak tahun 1960.
Penelitian tahun 1990 menunjukkan hasil percobaan preklinis yang
mengesankan dimana kerusakan jaringan otak dapat dikurangi secara
bermakna.
Neuroproteksi bertujuan menyelamatkan sebanyak mungkin
neuron akibat cedera kepala, meminimalkan defisit neurologis dan

Universitas Sumatera Utara

tentunya selain menyelamatkan nyawa pasien juga memaksimalkan


kwalitas hidupnya pasca cedera.
Konsep neuroproteksi terutama didukung dan lahir dari penelitian
patologi dan patofisiologi cedera otak iskemi (Cheng, 2004), yaitu bila
terjadi penghentian pasokan oksigen dan glukosa yang tiba-tiba ke
jaringan otak, maka akan terjadi serangkaian reaksi beruntun atau
cascade patologis. Jenis neuroproteksi yang digunakan berdasarkan
mekanisme

kerja

obat

tersebut

dalam

mencegah

infark

otak.

Neuroproteksi ini dibagi menjadi dua macam, yaitu neuroproteksi primer


dan neuroproteksi sekunder (White, 2000).
Neuroproteksi primer bertujuan untuk mencegah kematian sel
nekrotik pada awal kejadian cedera kepala sehingga pemberian
neuroproteksi primer harus pada tiga jam pertama setelah kejadian cedera
kepala. Beberapa senyawa yang berperan dalam neuroproteksi primer
adalah potential-dependent calcium-channel antagonists, inhibitors of
synthesis and presynaptic release of Glutamate, GABA antagonists, dan
golongan glycine serta glutamate receptor antagonists seperti NMDA
receptor antagonist non-competitive, NMDA receptor antagonist selective,
dan Polyamines.
Neuroproteksi sekunder bertujuan menghambat pro-inflammatory
cytokines, adhesi sel, pro-oxidant enzymes, menambah trophic support,
dan mencegah apoptosis, dimana ini mulai diberikan dalam 3-6 jam
pertama dan dilanjutkan selama 7 hari. Senyawa-senyawa yang
merupakan neuroproteksi sekunder adalah free radical scavenger, NO-

Universitas Sumatera Utara

synthese blockers, inhibitors of local inflammation, statin, estrogens,


neurotrophic factors, neuropeptide: ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10., regulators
of receptors structure (Gusev &Skvortsova, 2003).

2.17.1. Neuropeptida
Neuromodulator yang telah digunakan secara klinis dengan efek
neuroprotektif yang terdokumentasi adalah senyawa ACTH 4-10 Pro8-Gly9Pro10. Setelah pemberian intranasal, 60-70% ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10
akan diabsorpsi secara cepat melalui membran mukosa nasofaring dan
masuk ke dalam sistem sirkulasi dalam waktu 1-5 menit. Konsentrasi
puncaknya dicapai setelah 60 menit pemberian. Biotransformasi dilakukan
oleh aminopeptidase dan angiotensin converting enzyme. Waktu paruh
obat ini dalam tubuh manusia hanya beberapa menit, tetapi efek terapi
dapat bertahan selama 20-24 jam. Hal ini disebabkan oleh senyawa yang
terbentuk setelah degradasi MEHFPGP, yaitu EHFPGP (Glu-His-Phe-ProGly-Pro)

dan

HFPGP

(His-Phe-Pro-Gly-Pro),

juga

merupakan

neuropeptida yang stabil yang dapat memodulasi neurotransmitter


cholinergic dan membentuk NO secara independen. Senyawa ini
diekskresikan melalui ginjal dan dibuang melalui urin (Gusev dan
Skvortsova,2003; Husada, 2006; Bashkatova, 2001)
ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 dapat melindungi sel-sel neuron dengan
menghambat apoptosis melalui mekanisme penghambatan produksi NO
yang berlebihan oleh iNOSdan pembentukan SOD yang berfungsi
mencegah efek merusak dari ROS (Reactive Oxygen Species) yaitu

Universitas Sumatera Utara

radikal bebas oksigen, menghambat runtun reaksi kaspase dengan


meningkatkan protein ant-apoptotik Bcl-2 dan meningkatkan kadar NGF
dan BDNF di serum maupun CSF. ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 ini telah
terbukti mampu memicu secara cepat produksi mRNA growth factors yang
bersifat melindungi sel otak, antara lain Nerve Growth Factor (NGF) dan
BDNF

(Shadrina

M,

2000).ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10juga

dapat

menurunkan High Mobility Group Box-1 (HMGB-1) (Fink, 2007).


Pada sel-sel yang mengalami iskemia ataupun nekrosis, HMGBI
akan terekspresi dan merangsang ekskresi IL-1, IL-1, IL-6, IL-8, TNF-
atau lipopolisakarida (LPS). Sitokin-sitokin tersebut dapat merangsang
kembali produksi HMGBI. ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10 memunyai kerja
multipotensial dan bekerja melalui reseptor melanocortin (MC4) untuk
menjalankan fungsi modulatorisnya (Fink, 2007; Jung BK, 2006).
ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 ini dapat meregulasi aktivasi dan inhibisi
reseptor NMDA (glutamat, aspartat, glisin dan taurin) yang ada pada
sistem saraf sentral dan saraf perifer. Senyawa ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10
ditemukan juga memiliki potensi untuk memelihara keseimbangan dinamis
antara kadar serotonin dan dopamin pada satu sisi dan kadar dopamin
dan asetilkolin pada sisi yang lain, sehingga dapat memperbaiki kondisi
gangguan psikis, emosional, kognitif, dan gangguan vegetatif. Substansi
ini juga dapat meregulasi kardiak output dan laju respirasi serta dapat
mempercepat proses adaptasi yang dapat meningkatkan daya tahan
tubuh. ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 dapat menurunkan sitokin proinflamasi,
seperti IL-8, IL1, dan apoptosis (Fink, 2007; Jung BK, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Uji klinis double blind, placebo-controlledterhadap 160 pasien


dengan

stroke

iskemia

carotid

akut

denganACTH 4-10 Pro8-Gly9-

Pro10menunjukkan penurunan mortalitas sebesar 76,6% pada cedera


kepala sedang dan ringan serta 77,3% pada cedera kepala berat. Setelah
pemberian ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 terjadi peningkatan Bcl-2 sebanyak
dua puluh kali lipat dalam CSF pada hari ketiga dan serum pada hari
ketujuh. Pada hari ketiga

TGF-1 meningkat sebesar 30%, NGF naik

18,2%, dan BDNF naik 50%. Kadar SOD (Superoxide Dismutase) naik
100% dan IL-10 (antiinflamasi) meningkat 60% yang diikuti dengan
penurunan IL-8 dan IL-1 (proinflamasi) masing-masing sebesar 62% dan
25%. Dari data-data di atas tampak bahwa ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10
bekerja melalui modulasi positif mekanisme Survival Pathways dan
modulasi negatifDeath Pathways secara serentak (Gusev dan Skvortsova,
2003; Husada, 2006).
Di samping itu, ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 secara nyata dapat
menurunkan produksi S100, Myelin Basic Protein (MBP) dan aktivitas
leukocytic elastase (LE) di serumpenderita stroke iskemia yang diberikan
dosis 12-18 mgr per hari selama 3 hari. Ini menggambarkan adanya
pengurangan respon peradangan dan penurunan reaksi autoimmune,
sehingga terjadi perbaikan kondisi sawar darah otak (BBB) dan penurunan
volume infark. S100 juga merupakan suatu marker untuk trauma otak
(Gusev dan Skvortsova, 2003).
ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 juga memunyai efek menurunkan Glial
Fibrillary Acidic Protein (GFAP) yang meningkat pada pasien-pasien

Universitas Sumatera Utara

trauma otak. ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10dapat memperbaiki kerusakan saraf


mata (optik nerve) dan memperbaiki lapangan pandang dan visus pada
pasien-pasien dengan gangguan penglihatan oleh karena cedera ataupun
iskemia pada mata seperti pada tekanan intra-okuler akibat glaucoma.
ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 dapat meningkatkan kapasitas kognitif seperti
memori, proses berpikir, dan meningkatkan aktivitas bekerja dengan cara
modulasi aktivitas Acetylcholine esterase. Obat ini juga memberi hasil
positif

pada

kasus

depresi

dan

anxietas

dengan

cara

melancarkantransmisi serotonergik dan noradrenergic di otak (Gusev dan


Skvortsova, 2003).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10
juga memunyai efek analgetik. Dengan memberikan dosis sebesar 0.5
mg/kgBB pada hewan coba, ternyata ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10dapat
mengurangi nyeri. Selain itu, ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 juga berfungsi
sebagai

senyawa

antihipoksik,

antipiretik

dan

antihemmorhagik.

ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 juga berperan dalam mencegah stress ulcer


dengan dosis sebesar 50mg/kgBB yang diberikan intraperitoneal selama 5
hari (Umarova et al, 2003)
ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 dapat mencegah serebral iskemia dan
hipoksia dengan cara meningkatkan protein antioksidan (SOD) dan
meningkatkan resistensi mitokondria terhadap gangguan oksidatif dan
imbalans ion kalsium (peningkatan ekspresi Bcl-2), serta toksisitas
glutamate yang sering terjadi pada kondisi iskemia ataupun trauma
(Storozhevykh et al, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Profil keamanan ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 cukup tinggi, tidak dijumpai


efek samping yang berarti pada pemberian dosis yang tinggi,.Tidak
dijumpai interaksi dengan obat-obat yang lain ataupun reaksi alergi. Akan
tetapi dapat dijumpai mukosa hidung yang pucat sebanyak 10 % dan
kadar gula darah yang meningkat 7,4% pada penderita diabetes melitus
(Gusev dan Skvortsova,2003; Ashmarin, 1989; Cherkasova, 2001)
Dosis

ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10

yang

diberikan

pada

hewan

percobaan bervariasi bergantung pada efek yang diinginkan antara lain


efek antioksidatif, antihipoksia, angioprotektif dan pencegahandampak
iskemia

dimana

percobaan,

rentangnya

antara

3-30

ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10

g/kgBB.

dapat

Pada

berfungsi

hewan
sebagai

antioksidan, antihipoksik, dan angioprotektif dengan rentang dosis antara


150-300 g/kgBB, sedangkan pada manusia dosis yang diberikan berkisar
antara 3 -18 mg/kgBB.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 16. Skema Pemberian Obat Secara Intranasal ke CNS/Blood


Brain Barrier (Chiaretti et al, 2008).
Gambar 16 menunjukkan proses pemberian obat secara intranasal
hingga mencapai otak. setelah pemberian melalui tetesan kerongga
hidung,obat berdiffusi melalui rongga perineural traktus olfaktorius dan
cabang nervus trigeminus, retrograde axonal transport, mikrosirkulasi
kapiler hidung, hingga mencapai CNS. Dalam waktu 1-4 menit, pemberian
ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 intranasal sudah dapat mencapai sawar darah
otak dan cairan CSF, serta efeknya dapat bertahan hingga 20-24 jam
walaupun senyawa sudah dielimasi oleh tubuh.(Qiu, 2008; Utgaard et al,
1998; Chiaretti et al, 2008; Heinrich et al, 2003; Gopcevic et al, 2007)
Kadar ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 di jaringan otak dengan pemberian
intranasal mencapai 3-4 kali lipat dibandingkan dengan pemberian
intravena. Hal ini dapat terjadi karena pemberian nasal

diuntungkan

dengan adanya proses fisik difusi melalui CSF dalam rongga perineural
langsung ke CSF dalam otak menempuh jarak yang pendekdan juga
memanfaatkan retrograde axonal transport serta tidak melaluiFirst pass
metabolism di hepar. Waktu pemberian dianjurkan sedini mungkin setelah
terjadinya cederayang berakibat iskemia agar mendapatkan hasil yang
maksimal, karena perinsip penanganan iskemia otak adalah time is brain
(Born et al, 1992; Stephanie et al, 2006; Janson, 2004; Jadhay, 2007;
Talegaonkar et al, 2004; Gozes 2001).

2.17.2 Statin

Universitas Sumatera Utara

Statin telah lama digunakan sebagai inhibitor yang poten terhadap


biosintesis kolesterol. Statin dapat menurunkan kadar low-density
lipoprotein (LDL) dan risiko kejadian kardiovaskular (Golsteinet al, 1990).
Perkembangan

penelitian

menyebutkan

bahwa

statin

memunyai

kegunaan tambahan sebagai neuroprotektor (Cucchiara et al, 2001;


Rikitake et al, 2005).

Gambar 17. Struktur Kimia Simvastatin (Wikipedia, 2010)

Jenis-jenis statin adalah lovastatin, pravastatin, dan simvastatin


yang berasal dari jamur; atorvastatin, rosuvastatin, fluvastatin, pravastatin
yang sintetis (Schachter, 2005).Atorvastatin dan simvastatin meskipun
farmakokinetiknya berbeda, tidak banyak menunjukkan perbedaan dalam
penanganan cedera otak. Efek terapi statin pada cedera otak dibagi
berdasarkan mekanisme akut sampai kronis (Wang et al, 2007).
Statin sebagai inhibitor 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzim A
(Inhibitor HMG CoAreduktase) dapat menghambat perubahan dari HMG
CoA menjadi mevalonate (Wang et al, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 18. Skematik Mekanisme Kerja Statin dalam Signaling Seluler


dan Neuroproteksi ( Van der Most et al, 2009).

Pada gambar 18, ditunjukkan mekanisme kerja statin. Selain


digunakan

untuk

pengobatan

dislipidemia,

statin

juga

berfungsi

meningkatkan fungsi endothelial, mengurangi agregisasi platelet, dan


mengurangi proses inflamasi dengan cara menghambat produksi C
reactive protein (CRP) (Wang et al, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 19. Beberapa Mekanisme Brose Perpindahan Molekul melalui


Membran Sel (Brunton, 2006)
Simvastatin yang diberikan secara oral akan diserap oleh usus
antara 30% hingga 85%. Simvastatin diserap dalam bentuk laktone inaktif
sehingga perlu ditransformasi di hati menjadi bentuk aktif, yaitu -hydroxy
acid dan asam simvastatin.

Hampir seluruh Simvastatin yang diserap

akan mengalami first pass metabolism di hati. Mekanisme simvastatin


masuk ke dalam hati melalui difusi sederhana karena sifat simvastatin
yang lipofilik, seperti yang ditunjukkan pada gambar 19. Akibat first pass
metabolism, bioavabilitas sistemik simvastatin dan metabolitnya bervariasi
antara 5% hingga 30% dari dosis yang diberikan (Brunton, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 20. Farmakokinetik Statin (McDonagh et al, 2011)

Farmakokinetik statin ditunjukkan pada gambar 19. Di dalam


plasma, lebih dari 95% simvastatin dan metabolitnya akan berikatan
dengan protein. Setelah pemberian oral, konsentrasi simvastatin dalam
plasma akan mencapai puncak dalam waktu 1 hingga 4 jam. Begitu juga
dengan waktu paruh dari simvastatin, yaitu 1 hingga 4 jam. Simvastatin
dan metabolitnya diekskresikan melalui feses sebanyak 70% dan sisanya

Universitas Sumatera Utara

melaui urin.Efek samping Simvastatin yang paling sering dijumpai adalah


hepatotoksisitas dan miopati (Brunton, 2006; Lennernas, 1997)
Statin telah terbukti memunyai efek perlindungan yang baik
terhadap neuron primer kortikal dan sel neuroblastoma. Simvastatin
dengan pemberian yang lama mampu mencegah kematian neuron
dengan cara menstimuli gen kelangsungan hidup sel, yaitu gen Bcl-2.
Simvastatin melindungi produksi Bcl-2 dari penghambatan pada tingkat
post-transkripsi, sehingga terjadi peningkatan jumlah mRNA Bcl-2 dan
protein. Selain meningkatkan Bcl-2, simvastatin juga memengaruhi
ekspresi dari c-fos, c-myc dan hexokinase 1 yang semua ini berperan
dalam kematian dan keselamatan sel. Hubungan antara Bcl-2 dengan
neuroproteksi telah dibahas sebelumnya ( Johnson-Anuna, 2007)

Gambar 21. Efek Statin dalam Cedera Kepala (Butterick et al, 2010)

Universitas Sumatera Utara

Pada

gambar

21

tampak

beberapa

mekanisme

statin

sebagai

neuroprotektor pada cedera kepala, yaitu (Butterick et al, 2010; Van der
Most et al, 2009)
1. Meningkatkan

aliran

darah,

yaitu

dengan

menurunkan

mikrotrombosis, menurunkan aktivitas thrombin, menurunkan vWF,


meningkatkan integritas endotelial, dan meningkatkan eNOS.
2. Mengurangi proses neuroinflamasi, yaitu menurunkan sitokin
inflamasi, meningkatkan integritas sawar darah otak, menurunkan
edema serebral, menurunkan aktivasi mikroglial, dan menurunkan
stress oksidatif.
3. Mengurangi cedera neuronal, yaitu menurunkan kematian akibat
excitotoksik
4. Mengurangi apoptosis, yaitu menurunkan Bax dan caspase 3.
5. Meningkatkan neurogenesis dan plastisitas, yaitu meningkatkan
BDNF

dan

VEGF,

meningkatkan

PI3K,

dan

meningkatkan

synaptophysin.
6. Meningkatkan angiogenesis melalui peningkatan VEGF, VEGFR2,
akt/PKB dan eNOS.

2.18 Harapan Ke Depan


Penelitian dan penatalaksanaan cedera otak secara biologi
molekuler, baik biokimia maupun immunologi semakin maju. Peningkatan
jumlah penelitian neuroproteksi yang memasuki fase III memberikan
harapan dalam pengobatan cedera kepala.Namun, Semua inimemerlukan

Universitas Sumatera Utara

pemahaman dan penilaian yang akurat tentang keabsahan dan faedahnya


terhadap penatalaksanaan cedera otak (Bath, 2006).

2.19 Kerangka Teori Penelitian

Keterangan: H: inhibitor HMG CoA Reduktase


A: ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai