PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia dikarunia akal untuk digunakan sebagaimana fungsinya
yaitu berfikir. Dengan karunia tersebut, mereka dituntut untuk berfikir mengenai
semua hal yang ada di sekelilingnya. Berkali-kali Al-Quran maupun Kitab
memerintahkan manusia untuk berfikir. Jika berbicara mengenai berfikir, secara
langsung kita juga membincangkan filsafat. Ketika manusia berfikir, maka
mereka disebut telah berfilsafat. Terdapat tiga hal pokok yang muncul saat
manusia berfikir, yaitu: pertama, tentang hal yang menjadi bahasan atau disebut
ontologi. Kedua, hal tentang pengetahuan akan kebenaran sejati yang menjadi
bahasan atau disebut epistemologi. Ketiga ialah hal tentang nilai yang menjadi
bahasa atau disebut dengan aksiologi. Epistemologi merupakan salah satu objek
kajian dalam filsafat. Pokok kajian epistemologi akan sangat menonjol jika
dikaitkan dengan pembahasan mengenai hakekat epistemologi itu sendiri. Secara
linguistik, kata epistemology berasal dari bahasa Yunani yaitu Episteme yang
artinya pengetahuan. Sedangkan kata logos berarti teori, uraian atau alasan.
Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam
bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge.
Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan
yang benar dan dalam bahasa Indonesia lazim disebut filsafat pengetahuan.
Secara terminologi, epistemologi adalah teori mengenai hakekat ilmu
pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan. Dengan kata lain
epistemologi dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji asal mula,
struktur, metode, dan validiti pengetahuan. Menurut Hamlyn, epistemologi atau
teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan
lingkungan pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta
pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
BAB II
KAJIAN TEORI
pengetahuan
diartikan
sebagai
upaya
dalam
mencari
akar
selengkapnya berbunyi, semua adalah air, dan dunia penuh dengan dewa-dewa.
Dari ungkapan Thales tersebut, dapat diketahui bahwa perhatiannya bukanlah
epistemologi, melainkan ontologi. Dalam pemikirannya, Thales mencoba
memecahkan masalah tentang asas penyusun alam, tanpa meninggalkan
kepercayaan tentang dzat adikodrati. Ia menganggap air sebagai sumber
kehidupan, dengan begitu dia mengatakan bahwa semua yang ada di dunia
berawal dari air.
Perdebatan ranah epistemology tidak dimulai sebelum aba ke-5 SM.
Meskipun sebelum abad ke-5 SM., telah ada rumusan dari dua tokoh, yaitu
Parmenides dan Heraklitos, namun penalaran secara mendalam belum terbentuk
secara utuh. Kendati demikian, mereka telah memainkan peran yang besar dalam
wacana filsafat di kemudian hari. Kedua sering dianggap mewakili dua
kecenderungan yang berlainan. Parmenides (lahir 540 SM) dikategorikan sebagai
pioneer kelompok rasionalis, sedangkan Herakleitos (540-480 SM) merupakan
kelompok empiris. Parmenides menganggap pengetahuan manusia diperoleh dari
kemampuan akal. Adapun Heraklitos menganggap pengalaman sebagai sumber
pengetahuan. Pengetahuan bagi keduanya merupakan keniscayaan, dengan kata
lain siapapun dapat memperoleh pengetahuan.
Selama berabad-abad berikutnya, pemahaman tentang pengetahuan itu
tetap terpelihara dan terjamin seutuhnya dalam pola pikir masyarakat Yunani
hingga abad ke 5 SM. Pada abad tersebut, pandangan mengenai pengetahuan di
atas mendapatkan kritikan dari kaum Sofis. Mereka adalah kalangan terpelajar
yang memulai menyebarkanluaskan filsafat ke tengah-tengah masyarakat. Seni
berdebat adalah salah satu yang diajarkan kaum Sofis, termasuk mata pelajaran
favorit. Di antara mereka adalah guru dan teladan berilmu. Jasa kaum Sofis
adalah menyebarluaskan dan memelihara ide-ide besar dalam bidang saintifik
yang sudah ada di Yunani. Mereka disebut-sebut sebagai pembawa pertama dan
terutama terjadinya pencerahan Yunani9 . Secara etimologis, Sofisme berasal dari
kata Yunani sophisma dari asal kata sophizo yang berarti saya bijaksana.
Kemudian kata sophistes berarti orang yang melakukan kebijaksanaan dan kata
sophos berarti orang bijak. Saat ini, kata Sofisme telah mengalami perubahan
arti menjadi argumentasi salah yang kelihatan valid, sebuah arti yang sangat
berbeda dari makna aslinya. Kaum sofis tidak memberikan kaidah baku terkait
masalah epistemologi, sehingga apa yang diajukan terjerumus ke dalam
relativisme. Inilah batu sanding kaum sofis. Kebebasan yang digemborgemborkan oleh para kaum Sofis malah menarik mereka pada gerbang kegagalan.
Karena kebebasan, mereka lupa untuk memberi batasan dari kebebasan tersebut.
Sikap mereka inilah yang menyebabkan masyarakat Yunani berangsur-angsur
beralih memihak Socrates dan para muridnya (470-399 SM).
Wacana epistemologi pada babak berikutnya dirumuskan lebih jelas oleh
Plato (428-347 SM), seorang murid Socrates yang paling setia. Plato merupakan
orang pertama yang mengajukan pertanya mendasar tentang epistemologi: apa
yang bisa kita ketahui?. paparan epistemology dalam pembahasan selanjutnya,
lebih diarahkan kepada masa tertentu sejak perumusan awalnya, dan langsung
dilarikan ke zaman modern. Periodesasi ini dipilih, mengingat akar sejarah
kemunculannya sangat diperlukan guna memetakan perkembangannya dari awal,
dan zaman di saat perdebatan itu begitu ramai ketika Immanuel Kant hidup.
Sebagaimana disebutkan Bertrand Russel, filsafat pada masa itu berada di bawah
kendali agama Kristen. Filsafat digunakan untuk membentengi peran agama
sebagai alat penalaran yang memperkokoh iman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epistemologi merupakan salah satu objek kajian dalam filsafat. Pokok
kajian epistemologi akan sangat menonjol jika dikaitkan dengan pembahasan
DAFTAR PUSTAKA
Ackermann, Robert, 1965, Theories of Knowledge: A Critical Introduction,
New York: McGraw-Hill Company.
Bakhtiar, Amsal, 2010, Filasafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hamlyn, D.W., 1972, Epistemology, in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia
of Philosophy, vol., III, New York, Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free
Press.
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern.
Kuehn, Manfred, Kant: A Biography.
Mautner, Thomas, 2000, The Penguin Dictionary of Philosophy, London:
Penguin Books Ltd.