PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya
(laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik-menarik antara
satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis dapat
dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan bathin dengan tujuan
menciptakan suatu keluarga/rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan
abadi.1
Hal ini bukanlah suatu keharusan, agar orang berpendapat kepada
persetubuhan belaka, walaupun hal persetubuhan adalah faktor yang juga penting
sebagai penunjang atau pendorong dalam rangka merealisir keinginan hidup
bersama, baik untuk mendapatkan keturunan, maupun sekedar memenuhi
kebutuhan biologis atau keinginan hawa nafsu belaka. Seseorang yang hidup
bersama, kekuatan untuk bersetubuh bukanlah merupakan suatu syarat yang
tidak boleh tidak harus ada, karena hal ini tidaklah selalu terdapat pada semua
golongan orang, seperti misalnya orang yang sudah lanjut usia. 2 Hal ini seperti
yang dikemukakan oleh Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH:
bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang
sudah sangat lanjut usianya, bahkan diperbolehkan pula suatu
perkawinan dinamakan In ex tremis, yaitu pada waktu salah satu
pihak sudah hamper meninggal dunia. 3
Masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis
dan kehendak kemanusiaan semata tetapi lebih dari itu, yaitu suatu ikatan atau
hubungan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina
rumah tangga dan keluarga sejahtera dan bahagia di mana kedua
suami istri memikul amanah dan tanggung jawab, si isteri oleh
karenanya akan mengalami suatu proses pshykologis yang berat
yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan. 4
1 Djoko Prakoso dan I Ketut Muartika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di IndonesiaI,
(Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hlm. 1.
2 Ibid.
3 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia,(Jakarta: Penerbit Sumur
Bandung, 1984), hlm. 7.
atas
perundang-undangan
maupun
agama.
Sebagaimana
tujuan
Sementara
itu
agama,
menekankan
esensi
perkawinan
untuk
satu
syarat
sah
dari
suatu perkawinan
menurut
ketentuan
1974
menyebutkan
laki-laki
bahwa
adanya
ikatan
lahir
batin
antara
yang
dan
kesatuan
kelurga
yang
tersebut
dan
menyalahi
kodrati
yakni
Perkawinan
sejenis
dipandang
4 Majalah Nasehat Perkawinan No. 109 ke X Jni 1981, Penerbit Badan Penasehat
Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4), hlm. 14.
melakukan ikatan
bersama
lawan
sejenis
dan mendapat
B. ISSUE HUKUM
Belakangan ini pernikahan sesama jenis kembali menjadi pembicaraan
yang hangat baik di media cetak maupun elektronik. Pro kontra terhadap
pernikahan sesama jenis memang sejak lama dibicarakan khalayak ramai. Namun
tepatnya beberapa pekan kemarin media massa kembali memblow-up berita
terkait pernikahan sesama jenis. Pasalnya pada hari Jumat, 26 Mei 2015 yang
lalu, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan untuk diberlakukan aturan
secara nasional (sebanyak 50 Negara Bagian) pernikahan sesama jenis, dimana
sebelumnya hanya 37 Negara Bagian pernikahan sesama jenis ini secara sah
diberlakukan.
Masyarakat Indonesia sendiri dihebohkan dengan beredarnya
perkawinan
sejenis
di
laman
Facebook.
Foto-foto
yang
foto-foto
diunggah
itu
pesta
pernikahan
atau
bukan.
Foto-foto
di
itu
memperlihatkan adegan prosesi seperti sebuah pernikahan antara pria bule dan
pria Indonesia. Salah satu gambar berlatar belakang seorang pemangku
(rohaniwan Hindu). Ada pula foto salah satu pria meminta restu kepada pasangan
orang tua.6
Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali menyikapi serius foto heboh
pernikahan sejenis di Facebook tersebut. Ketua MUDP Jero Gede Suwena Putus
Upadhesa mengatakan pihaknya sudah membentuk tim khusus untuk menyelidiki
5 Nur Chasanah, Studi Komparatif Hukum Positif Dan Hukum Islam Di Indonesia Mengenai
Perkawinan Sejenis, Jurnal Cendekia Vol. 12 No 3 Sept 2014, hlm. 67-68.
6 Rofqi Hasan, Heboh Pernikahan Sejenis di Bali, Majelis Adat: Ini Cuntaka!
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/16/058701212/heboh-pernikahan-sejenis-di-balimajelis-adat-ini-cuntaka diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015
C. PEMBAHASAN
Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.
Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang lakilaki dengan seorang wanita.7 Oleh sebab itulah, beberapa ahli memandang dan
memberikan arti yang sangat penting terhadap institusi yang bernama
perkawinan. Asser, Scholten, Pitlo, Petit, Melis, dan Wiarda, memberikan definisi
bahwa perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dengan seorang
wanita yang diakui oleh negara untuk bersama/bersekutu yang kekal. Esensi dari
yang dikemukakan para pakar tersebut adalah bahwa perkawinan sebagai
lembaga hukum, baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa
yang terdapat di dalamnya. 8
Sementara menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa
perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita yang
dikukuhkan secara formal dengan undang-undang (yuridis) dan kebanyakan
religius. Pendapat lain disampaikan Subekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum
7 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),hlm. 61.
Perdata yang mengatakan, bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara
seorang lelaki dan seoarang perempuan untuk waktu yang lama. 9
Begitupun dengan Kaelany H.D. yang mengatakan bahwa perkawinan
adalah akad antara calon suami isteri untuk memenuhi hajat sejenisnya menurut
yang diatur oleh syariah. Dengan akad itu kedua calon akan diperbolehkan
bergaul sebagai suami isteri.10
Pengertian perkawinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar
pribadi
suatu pranata
dan
yang
merupakan
yang
faktor-faktor
yang
bahwa
kelima
faktor tersebut
memiliki
esensi
yang
perkawinan
itu
sendiri
kekerabatan.12
yang
kemudian
muncul
adalah menyoal
stimulus
value
role,
yang
(stimulus)
Kebebasan
yang
sudah dipisahkan dengan pakem atau adat istiadat dan juga agama. Salah
satu kebebasan perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan sesama jenis
atau sering disebut dengan pernikahan gay atau homoseksual. Pernikahan
sesama jenis adalah
sosial
diakuai
pernikahan
hanya berjenis
yang
ditinjau
kelamin
sama
secara normatif
(laki-laki
ataupun
dengan laki-laki
(kaum
gay
dan
kaum
lesbian). Konfik
tersebut menuntut kaum gay dan kaum lesbian atas dasar persamaan hak
asasi manusia dan juga kodrati.
Sementara itu, berkaitan dengan permasalahan diatas perkawinan sesama
jenis di Indonesia mengindikasikan bahwa belum ada keinginan masyarakat
(individu gay atau lesbian) untuk melakukan keinginan berpasangan untuk
membentuk keluarga melalui perkawinan. Hal ini disebabkan masyarakat
Indonesia paham akan pakem dan juga menjunjung hukum dan adat (norma).
Namun,
perkawinan
sejenis
juga mereka
(gay
dan
sebuah
Undang-Undang
No.
seorang
laki-laki
dan
asasnya
dilakukan
oleh
hubungan
memperoleh keturunan dan membina rumah tangga yang diharapkan. Hal ini
6
13 Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU. No. 1 Tahun 1974, Lembaran Negara
No. 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.,Pasal 1.
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha esa.
Pengertian perkawinan seperti yang tercantum dalam UU Perkawinan Pasal 1,
bila diperinci sebagai berikut:14
-
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
yang
bersangkutan,
karena
hukum
dan
agama
dari
yang
d. Undang-Undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus
telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan,
agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa
berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
UU ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita,
ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita;
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan sejahtera, maka UU ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian;
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.
Selain itu, di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan 16 dikatakan juga
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Ini berarti selain negara hanya mengenal
perkawinan antara wanita dan pria, negara juga mengembalikan lagi hal tersebut
kepada agama masing-masing.
Mengenai perkawinan yang diakui oleh negara hanyalah perkawinan
antara pria dan wanita juga dapat kita lihat dalam Pasal 34 ayat (1) UndangUndang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan 17
Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk:
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana
di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari
sejak tanggal perkawinan.
dijelaskan
jenis di
atas,
di
Indonesia
tidak
dapat
disebutkan
substansi jiwanya yang berasal dari kehendak hawa nafsu manusia yang ingin
melampiaskan seks di luar ketentuan hukum Islam. Namun, dari sisi agama
Islam, perkawinan antara sesama jenis secara tegas dilarang. Penyimpangan
biologis yang melanggar fitrah manusia seperti perkawinan sejenis dalam hukum
Islam menentang secara keras, karena telah menyalahi aturan yang telah ada
dalam Al-Quran dan Al-Hadist sebagai dasar hukum Islam yang telah ada.18
Lebih
lanjut menekankan
bahwa
Islam
perbuatan yang tercela yang pernah terjadi pada kaum Nabi Nuh dan Nabi Luth
yang terbukti telah membawa malapetaka yang luar biasa baik berujud kutukan
wabah penyakit dan lainnya (QS. Al-Ankabut (29): 28-35.
Al-Quran melarang segala hubungan seks selain hubungan seks di dalam
ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Sebagian besar
penikmat
homoseksualitas
mengklaim
bahwa
mereka
terlahir
dengan
kecenderungan seks sesama jenis itu. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak
18 Terdapat 7 (tujuh) surat yang menyatakan lingkupan homoseksual atau gay, yakni
QS. Al-A;raf (7):80-102, QS. Hud (11):77-82, QS. Al-Anbiya (21):74, QS. Al-Syuara
(26): 160-173, QS. An-Naml (27):54-58, dan QS. Al-Ankabut (29): 26-35, dikutip dari
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1975), hlm. 165.
10
sesama
dan
Amerika
perkawinan
Serikat.
sejenis karena
Alasan
bentuk
Negara-Negara tersebut
toleransi
guna
melegalkan
menekan diskriminasi
diperkuat
oleh
oleh
keuangan,
psikologis
dan
fisik
anak
guna
kedua orangtua
memberikan manfaat
gay
maupun
lesbi,
dan
selain
itu
karena
formulasi
nikah
versi
KHI
ini
sudah
tidak
lagi
11
sedikitpun tidak menyiratkan adanya peluang bagi legalisasi pernikahan gay dan
lesbian. Karena dalam pasal lain disebutkan bahwa asas perkawinan adalah
monogami.
Pernikahan yang di anggap wajar dalam masyarakat adalah pernikahan
heteroseksual atau nikah dengan lawan jenis. Maka tidaklah salah ketika
pernikahan homoseksual atau nikah dengan sesama jenis banyak mendapat
kontroversi di masyarakat karena di anggap aneh, menyimpang dari hukum
syara, dan yang lebih ironis lagi di bilang sakit jiwa.
Selain itu juga, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempertegas
dengan beberapa Pasal yang tidak jauh berbeda dengan hukum normatif,
yakni syarat perkawinan yang sah adalah ikatan batin dan biologis antara lakilaki dan perempuan sebagaimana ketentuan Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf d,
Pasal 29 ayat (3) serta Pasal 30 KHI.
Pasal 1 huruf a KHI:
Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Pasal 30 KHI:
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai
wanita dengan jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah
pihak.
Artinya,
pasal-pasal KHI
tersebut
dengan
tegas
menyatakan melarang
perkawinan sesama jenis apabila tidak ada ketentuan baku syarat sahnya
sesuai dengan peraturan Undang-Undang dan juga agama. Lebih lanjut, dalil
12
fikih ulama secara umum mekankan hukum haram bagi perkawinan sejenis,
yakni;
1) Pelaku (gay) harus dibunuh secara muthlak,
2) Pelakunya (gay) harus di hadd sebagaimana hadd zina, yakni dengan
hukuman muhsan maupun dirajam, dan
3) Pelakunya harus disanksi sesuai perlakuannya.20
Selain itu, mengenai perkawinan sejenis ini, beberapa tokoh juga
memberikan pendapatnya. Di dalam artikel hukumonline yang berjudul Menilik
Kontroversi Perkawinan Sejenis, sebagaimana kami sarikan, Ketua Komisi Fatwa
MUI KH Ma'ruf Amin dengan tegas menyatakan bahwa pernikahan sejenis adalah
haram. Lebih lanjut Ma'ruf Amin mengatakan, Masak laki-laki sama laki-laki atau
perempuan sama perempuan. Itu kan kaumnya Nabi Luth. Perbuatan ini jelas
lebih buruk daripada zina. Penolakan serupa juga dikatakan oleh pengajar hukum
Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Farida Prihatini. Dia mengatakan
bahwa perkawinan sejenis itu tidak boleh karena dalam Al Quran jelas perkawinan
itu antara laki-laki dan perempuan.21
3. Ditinjau dari Hukum Hak Asasi Manusia
Di sisi yang lain berdasarkan
HAM,
perspektif hak
asasi
manusia
atau
dilahirkan
di
dunia dengan
keadaan
yang
menyimpang
dibenarkan adanya suatu kaidah hukum apapun membedakan orang yang satu
dengan yang lain. Artinya, hubungan seksual yang menyimpang
seperti
perkawinan sejenis tidak dapat dianggap perbuatan dosa dan aib, karena
telah mendapat pengakuan dan pengaturannya.
Pengakuan hukum perkawinan sesama jenis kadang-kadang disebut
sebagai kesetaraan perkawinan atau pernikahan setara, terutama oleh para
pendukungnya.
Adapun
faktor-faktor
yang
melatarbelakangi
timbulnya
13
wilayah
masyarakat
yang
yang
menurutnya
pluralis dan
belum
multikultural
dapat
diterimanya
seperti
di
di
Indonesia,
diskrimanisi
hubungan
stereotype
masyarakat
memandang
gay dan
gender
di
sehingga
kalangan
masyarakat kebanyakan,
lesbian
memiliki
dan
lesbian
atau
yang
lainnya.24
Mengenai perkawinan disinggung dalam Pasal 16 Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM). Menurut Pasal ini, pria dan wanita yang sudah dewasa,
tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk
menikah dan untuk membentuk keluarga. Keduanya mempunyai hak yang sama
atas perkawinan, selama masa perkawinan dan pada saat perceraian. Syarat
perkawinan hanya dilihat dari faktor persetujuan saja. Perkawinan hanya dapat
dilakukan bila keduanya setuju tanpa syarat.
Menurut DUHAM, keluarga merupakan sebuah kesatuan alamiah dan
fundamental dari masyarakat. Oleh sebab itu, hak ini harus mendapat
22 Komisi Persamaan Kesempatan (EOC), 2010,Memahami Undang-Undang Diskriminasi
Ras, Taikoo Shing, Hong Kong, diunduh pada Kamis, 8 Oktober 2015, melalui eoc.org.hk
14
HAM hubungan
seksual yang menyimpang tidaklah dianggap perbuatan dosa dan aib, karena itu
penyimpangan perilaku seksual telah mendapat pengakuan dan pengaturannya,
seperti yang dilakukan
melalui perkawinan oleh mereka yang sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki,
perempuan dengan perempuan). Bagaimanakah hal itu di Indonesia untuk
waktu yang akan datang? Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat dilihat dalam
ketentuan UUD 1945 Bab XA Pasal 28B (1) yang menyatakan25
Setiap
orang
15
yang
menyatakan
bahwa
Untuk menegakkan
dan
yang
demokratis,
maka
Hak
Asasi
Manusia
dalam
hubungan
seksual
menyimpang
(sesama
jenis)
tentu
pelayanan
saja
hukum
keabsahan
bagi
hubungan
mereka
dalam
peraturan
perkawinan.
Pelaksanaan HAM dalam hal itu cukup mengupayakan, bagaimana
penyakit yang diderita itu bisa diobati atau setidaknya diringankan deritanya dan
tidak menular. Hal ini disadari bahwa bila membentuk pengukuhan hukum atas
hubungan mereka, berarti menumbuh suburkan suatu poenyakit yang konon
tidak ada obatnya akan berakhir kepada kesulitan negara untuk mengatasinya.
Bila tidak berakibat demikian, ulasan tentang prilaku seks yang menyimpang
(homoseksual dan lesbian) patut menjadi kajian tersendiri dalam korelasinya
dengan HAM, mengingat siapapun di dunia ini tidak ingin diciptakan sebagai
mahkluk yang berprilaku menyimpang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkawinan sejenis yang akan
26 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Op. Cit., Pasal 28 I ayat (5).
16
D. KESIMPULAN
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
perkawinan sesama jenis tidak dapat dilakukan karena menurut hukum,
perkawinan adalah antara seorang pria dan seorang wanita. Pada sisi lain, hukum
agama Islam secara tegas melarang perkawinan sesama jenis.
Perkawinan sesama jenis (gay dan lesbian) secara kodrati telah melawan
fitrah hidup maniusia yang dilahirkan untuk menjalin ikatan batin dan biologis
antar lawan jenisnya, yakni antara laki-laki dan perempuan. Tinjauan hukum
positif di Indonesia menekankan bahwa dalam Undang-Undang Perkawinan
menyebutkan bahwa perkawinan dibangun atas dasar hukum perkawinan yang
menetapkan suatu perkawinan merupakan ikatan lahir batin seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga dan
meneruskan keturunan serta bertujuan menegakkan ajaran agama dan
menjalankan adat istiadat.
Selain itu, perspektif HAM juga memberikan jaminan bahwa perkawinan
sejenis dapat membentuk keluarga melalui lembaga perkawinan sepanjang
hubungan mereka tidak berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat seperti
menularkan penyakit seks menular.
Sedangkan tinjauan hukum Islam secara jelas dan keras mengaskan
perkawinan sejenis digolongkan dalam hukum haram, hal ini dikarenakan sudah
tidak sesuai lagi dengan dalil syari, hal ini dikarenakan bertentangan dengan
nash-nash dalam Al-Quran dan Al-Hadist sebagai dasar hukum Islam. Oleh
karenanya, perlu diupayakan dengan menekan hubungan gay dan lesbian guna
menghindari adanya ketercelaan bahkan disertai ancaman-ancaman.Salah satu
upaya yang dapat dilakukan, yakni melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir
keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum
17
18
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abu Ameenah Bilal Philips, Islam dan Homoseksual, (Jakarta: Pustaka Zahra,
2003).
Endang Sumiari, Gender dan Feminisme, (Yogyakarta:
2004).
Djoko Prakoso dan I Ketut Muartika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di IndonesiaI,
(Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987).
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1975).
Kaelany H.D., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, (Bandung: Bumi Aksara).
Mohammad Thalib, As-Sayid Sabiq Cet. Ke-13., Fikih Sunnah, (Bandung: AlMaarif, 1997)
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga,
(Surabaya: Airlangga Press University, 2008).
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia ,(Jakarta: Penerbit
Sumur Bandung, 1984).
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika,
2002).
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2000).
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005).
Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, UUD 1945.
Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU. No. 1 Tahun 1974,
Lembaran Negara No. 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019.
Republik Indonesia, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, UU. No. 23
Tahun 2006, Lembaran Negara No. 124 Tahun 2006, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4674.
Kompilasi Hukum Islam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Jurnal
19
Nur Chasanah, Studi Komparatif Hukum Positif Dan Hukum Islam Di Indonesia
Mengenai Perkawinan Sejenis, Jurnal Cendekia Vol. 12 No 3 Sept 2014.
Kamus
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1988).
Majalah
Majalah Nasehat Perkawinan No. 109 ke X Jni 1981, Penerbit Badan Penasehat
Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4).
Artikel dalam Internet
Hukum Perkawinan
Sesama
Jenis
di
Indonesia,
Hukum
Online,
20