Anda di halaman 1dari 16

BAGIAN ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

CASE REPORT
JUNI 2015

UNIVERSITAS HASANUDDIN

CHRONIC OSTEOMYELITIS OF RIGHT CRURIS

OLEH :
Jonathan Jeffry Pratama
C111 10 121
PEMBIMBING:
dr. Nia Irayati
dr. Padlan
SUPERVISOR:
Dr. M. Ruksal Saleh , Ph.D, Sp.OT(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama

Jonathan Jeffry Pratama

NIM

C111 10 121

Judul laporan kasus

Osteomyelitis Right Cruris

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Ortopedi dan
Traumatology Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar,

Juni 2015

Mengetahui,
Pembimbing I,

Pembimbing II,

dr. Nia Irayati

dr. Padlan

Supervisor

Dr. M. Ruksal Saleh , Ph.D, Sp.OT(K)

LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama

: Tn. WE

Umur

: 51 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Pegawai Negeri

RM

: 715391

Tanggal MRS

: 11 Juni 2015

2. Anamnesis
Keluhan Utama

: Keluar cairan dari bekas luka operasi di kaki kanan bawah

Anamnesis Terpimpin

Dialami sejak 3 tahun yang lalu, Cairan yang keluar berwarna kekuningan, dengan
konsistensi cair, tidak disertai adanya darah.
Ada riwayat mengalami kecelakaan lalu lintas, dan dinyatakan mengalami patah tulang
betis kanan bagian bawah 4 tahun yang lalu. Kemudian dilakukan tindakan operasi
pemasangan besi di Palu. 3 bulan setelah operasi, pasien mengeluh tampak 1 buah sekrup dari
luka bekas jahitan, lalu pasien kemudian ke RS dan sekrup tersebut dikeluarkan oleh perawat
UGD. Luka tersebut tidak dijahit kembali dan ditutup dengan perban. 1 tahun setelah itu,
pasien pergi ke RS di Makassar untuk mengeluarkan besi di kakinya, 1 bulan setelah itu,
cairan kekuningan mulai keluar dari luka jahitan.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Umum
b. Tanda Vital

: Sadar / Gizi cukup


:

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 84 x/ min

Pernapasan

: 16 x/ min

Suhu

: 36,7oC

c. Status Lokalis

Regio tungkai bawah kanan

Inspeksi

: Tampak sinus di aspek medial bagian distal dengan ukuran diameter 1 cm.
terdapat bekas luka di aspek medial dan lateral dengan ukuran panjang
masing-masing 8cm dan 7cm. tidak ada deformitas, edema dan hematom

Palpasi

: nyeri tekan (+) di sekitar sinus

Pergerakan : Gerakan aktif dan pasif dari sendi lutut dan sendi pergelangan kaki dalam
batas normal
NVD

: Sensibilitas dalam batas normal


Pulsasi dari arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior teraba, CRT <2
detik.

Gambar 1. Tampak Anterior

Gambar 2. Tampak Medial

4. Laboratorium
1. WBC
2. RBC
3. HGB
4. HCT
5. PLT
6. CT
7. BT
8. GDS
9. HBsAg
10. LED I/II

: 9.800/ul
: 4.950.000/ul
: 15,5 g/dl
: 44,8 %
: 272.000/ul
: 700
: 200
: 139 gr/dl
: Non-reactive
: 7/14

5. Radiologi
Foto Cruris Dextra AP/Lateral

Kesan :
-

Sesuai gambaran osteomyelitis chronic


Union fraktur pada 1/3 distal os fibula dextra
Malunion fraktur pada 1/3 distal os tibia dextra
Disuse Osteoporosis

6. Resume
Seorang laki-laki, 51 tahun datang kerumah sakit dengan keluhan utama keluar cairan
kekuningan dari luka bekas operasi. Ada riwayat mengalami kecelakaan lalu lintas, dan
dinyatakan mengalami patah tulang betis kanan bagian bawah 4 tahun yang lalu. Kemudian

dilakukan tindakan operasi pemasangan besi di Palu. 3 bulan setelah operasi, pasien
mengeluh tampak 1 buah sekrup dari luka bekas jahitan, lalu pasien kemudian ke RS dan
sekrup tersebut dikeluarkan oleh perawat UGD. Luka tersebut tidak dijahit kembali dan
ditutup dengan perban. 1 tahun setelah itu, pasien pergi ke RS di Makassar untuk
mengeluarkan besi di kakinya, 1 bulan setelah itu, cairan kekuningan mulai keluar dari luka
jahitan.
Dari pemeriksaan fisik, didapat adanya sinus pada bagian medial tungkai kanan bagian
bawah dengan ukuran diameter 1 cm. Gerak aktif dan pasif sendi lutut dan pergelangan kaki
dalam batas normal. Sensibilitas dalam batas normal, pulsasi dari arteri dorsalis pedis dan
tibialis posterior teraba, CRT<2 detik.
Dari hasil gambaran radiologis menunjukkan adanya gambaran osteomyelitis kronik
disertai osteoporosis
7. Diagnosis
Osteomyelitis Right Cruris
8. Terapi
- Antibiotik
- Plan for debridement
- Plan for Sequestrectomy

OSTEOMYELITIS

1. Definisi (1)
Osteomyelitis berasal dari kata osteon (tulang) dan muelinos (sumsum) yang berarti
infeksi sumsum tulang. Beberapa literatur menyebutkan bahwa osteomyelitis
merupakan proses inflamasi pada sumsum tulang (cavitas medullaris) yang kemudian
dapat menyebar sampai ke cortex dan periosteum. Pus dan edema yang terbentuk di
cavita medullaris inilah yang kemudian akan menekan periosteum sehingga

menimbulkan obstruksi pembuluh darah, iskemi maupun nekrosis sebagai dasar


patomekanisme osteomyelitis.
2. Epidemiologi (2,3)
Osteomyelitis akut dengan penyebaran hematogen lebih sering menyerang
anak-anak karena daerah metafisis (daerah pusat pertumbuhan tulang pada anak)
memiliki vaskularisasi yang banyak dan rentan terhadap trauma. Lebih dari 50%
kejadian osteomyelitis pada anak terjadi pada pasien kurang dari 5 tahun. Pasien
biasanya menunjukkan gejala-gejala sistemik meliputi demam, iritabilitas selama 2
minggu. Selain itu, didapatkan gejala lokalis seperti eritem, bengkak, dan kekakuan
(tenderness) pada tulang yang mengalami infeksi. Osteomyelitis kronis jarang terjadi
pada anak.
Osteomyelitis kronis dapat terjadi akibat fraktur terbuka, bakterimia, atau
infeksi perkontinuitatum dari jaringan lunak sekitar tulang. Pada operasi elektif post
fraktur tertutup, osteomyelitis kronis terjadi pada 1 5% pasien, dan 3 50% pada
pasien-pasien dengan fraktur terbuka. Sebanyak 10 30% pasien osteomyelitis akut
berlanjut menjadi kronis. Osteomyelitis melalui penyebaran hematogen (balterimia)
dapat terjadi di vertebrae, tulang panjang, pelvis, maupun klavikula dan risikonya
meningkat apabila terdapat underlying disease seperti diabetes mellitus, keganasan
atau gagal ginjal. Angka kejadian osteomyelitis kronis akibat infeksi perkontinuitatum
dari jaringan lunak sekitar tulang meningkat seiring dengan meningkatnya prevalensi
ulkus diabetikum (neuropati dan vaskulopati diabetikum). Manifestasi klinis
osteomyelitis kronis dapat meliputi nyeri kronis, luka persisten, buruknya
penyembuhan luka, malaise, dan demam.

3. Etiologi (4)
Bakteri piogenik penyebab osteomyelitis bergantung pada usia pasien.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang paling sering menjadi
penyebab osteomyelitis (akut maupun kronis) dengan penyebaran hematogen pada
dewasa. Streptococcus hemolithicus grup A dan Streptococcus pneumonia
merupakan bakteri patogen tersering yang menyebabkan osteomyelitis pada anak,
Streptococcus hemolithicus grup A merupakan pakteri penyebab tersering pada bayi
baru lahir. Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa, dan Eschericgia
coli juga bisa menyebabkan osteomyelitis namun dengan angka kejadiannya jarang.

Jamur dan mikobakterium biasanya dapat menyebabkan osteomyelitis pada individu


dengan defisiensi sistem imun.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen mayoritas penyebab
osteomyelitis. Staphylococcus aureus dapat diinternalisasi oleh osteoblas dan sel
endotel secara in vitro dan bertahan di dalam sel tersebut dari sistem imun tubuh
maupun antibiotik. Selain itu, Staphylococcus aureus merupakan bakteri dengan laju
metabolism yang rendah sehingga mudah resisten terhadap antibiotik.
4. Gejala Klinis (4,5,6)
Osteomyelitis hematogenous biasanya memiliki progresivitas gejala yang lambat.
Gejala umum dari osteomyelitis meliputi :
a.

Osteomyelitis hematogenous tulang panjang

Demam yang memiliki onset tiba-tiba tinggi (demam hanya terdapat dalam 50% dari
osteomyelitis pada neonates)

Keterbatasan gerak (pseudoparalisis anggota badan pada neonates)

Edema lokal, eritema dan nyeri.

Adanya riwayat trauma

b. Osteomyelitis hematogenus vertebral

Onset cepat

Adanya riwayat episode bakterimia akut

Diduga berhubungan dengan insufisiensi pembuluh darah vertebra

Edema lokal, eritema dan nyeri

Kegagalan pada anak-anak untuk berdiri secara normal.

c. Osteomyelitis kronik

Ulkus yang tidak sembuh

Terdapat saluran sinus

Discharge dari sinus

Rasa tidak nyaman

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :

Demam (terdapat pada 50% dari neonates)

Edema

Teraba hangat

Fluktuasi

Nyeri tekan tulang (misalnya ketidakmampuan dalam berjalan jika tungkai bawah
yang terlibat atau terdapat pseudoparalisis anggota badan pada neonatus).

Kegagalan pada anak-anak untuk berdiri secara normal.


Drainase saluran sinus (biasanya ditemukan pada stadium lanjut atau jika terjadi
infeksi kronis).

5. Patogenesis (3,4,)
Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi invasi bakteri ke cavitas medullaris dan cortex
tulang. Keempat faktor ini apabila berada dalam keadaan equilibrium (seimbang) tidak
akan menimbulkan infeksi. Namun apabila equilinrium ini terganggu karena minimal 1
faktor, maka infeksi tulang yang dalam dapat terjadi. Keempat faktor tersebut ialah :
a. Jumlah bakteri patogen
Semakin banyak jumlah bakteri yang sampai ke host, semakin besar pula
kemungkinan untuk lolos dari sistem imun dan menimbukan infeksi pada tulang.
b. Virulensi bakteri patogen
Pada osteomyelitis, focus infeksi dibatasi oleh mebran piogenik atau dinding abses
yang membatasi penyebaran infeksi. Apabila agen patogen memiliki jumlah dan
virulensi yang tinggi, barier ini dapat rusak dan menyebabkan invasi sampai ke
tulang. Invasi ini kemudian mengaktivasi respon inflamasi dan menyebabkan
hiperemis, peningkatan permeabilitas capiler, dan pengeluaran enzim proteolitik.
Enzim proteolitik ini dapat menyebabkan nekrosis jaringan tulang dan destruksi dari

agen-agen patogen sehingga membentuk pus (Gambar 3 dan 4.). Destruksi tulang juga
diperparah oleh proses osteolisis yang disebabkan oleh aktivitas osteoklas akibat
stimulasi dari endotoksin bakteri, protein permukaan bakteri, dan beberapa sitokin
inflamasi (IL-1 dan TNF).
Akumulasi pus di dalam cavitas medullaris yang berisi jaringan nekrosis, dan bakteribakteri mati di dalam sel darah putih menyebabkan peningkatan tekanan intra medullaris.
Keadaan ini menyebabkan kolaps vascular, stasis vena, thrombosis, dan lokal iskemi. Pus
mengalir melalui kanalis sistem haver dan kanalis nutrisi yang kemudian terakumulasi di
ruang subperosteum dan menyebabkan elevasi periosteom, terpisah dari cortex tulang.
Elevasi ini lebih sering terjadi pada anak karena pelekatan yang belum begitu kuat. Ketika
akumulasi pus terus terjadi, dapat timbul perforasi dan menyebabkan abses mukosa atau
kutan.

Gambar 3. Proses inflamasi dan perusakan jaringan tulang.

Gambar 4. Patomekanisme osteomyelitis.


c. Imunitas lokal dan sistemik host
Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas (Tabel 1)
Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas.

d. Perfusi lokal jaringan


Perfusi lokal jaringan mempengaruhi kemampuan sel imun dan oksigen mencapai
area infeksi, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan penyebaran bakteri patogen
terutama yang bersifat anaerob. Berikut ini adalah kondisi-kondisi yang mengganggu
perfusi lokal jaringan (Tabel 2)
Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perfusi lokal jaringan.

6. Diagnosis

Kriteria diagnosis ostemyelitis kronik pun meliputi manifestasi klinis (yang didapat
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik), pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologi (Gambar 5). Pemeriksaan laboratorium memang tidak spesifik untuk
osteomyelitis, tetapi kadar C reactive protein (CRP) yang normal dapat menyingkirkan
diagnosis osteomyelitis kronis. Pemeriksaan paling meyakinkan untuk mendiagnosis
osteomyelitis kronis adalah kultur tulang dan pemeriksaan histopatologi. Kultur terhadap
jaringan superfisial luka tidak dapat mendeteksi bakteri penyebab osteomyelitis secara
akurat karena biasanya osteomyelitis disebabkan oleh polimikrobial. Selain itu, anamnesis
yang mendalam menyenai manifestasi sistemik (letargi, malaise, nyeri pada tulang,
demam) dan faktor predisposisi (diabetes mellitus, penyakit pembuluh darah perifer, dan
riwayat trauma) juga penting dalam menunjang proses penegakkan diagnosis.

Gambar 5. Kriteria diagnostik osteomyelitis kronik


7. Penatalaksanaan

Non-operative (4,6)
Terapi pada osteomyelitis akut melalui penyebaran hematogen dapat dilakukan
dengan pemberian antibiotik parenteral (Gambar 6) selama 4 hari dan dilanjutkan dengan
antibiotik oral sampai 4 minggu tebukti mencegah rekurensi. Pada pasien-pasien
immunocompromised, transisi menuju antibiotik oral ditunda dan lama terapi ditambah
menjadi 6 minggu.

Gambar 6.. Pilihan terapi antibiotik pada kasus osteomyelitis


Terapi osteomyelitis kronis terdiri dari terapi antibiotik dan pembedahan. Pilihan
antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur, namun jika tidak ada informasi hasil kultur,
antibiotik spektrum luas dapat diberikan. Antibiotik ini diberikan parenteral selama 2
6 minggu yang kemudian dilanjutkan dengan antibiotik oral sampai total waktu
terapi 4-8 minggu (Gambar 6). Adapun indikasi dilakukannya terapi pembedahan
ialah terapi antibiotik tidak menunjukkan perbaikan, terdapat peralatan yang terpasang
pada tulang dan mengalami infeksi, serta osteomyelitis kronis dengan nekrosis tulang
dan jaringan lunak.
Operative (4,5,6)
Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika, tulang yang
terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik diangkat dan daerah itu
diiringi secara langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Tetapi antibiotik dianjurkan.
Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan adjuvan terhadap debridemen bedah.
Dilakukan sequestrektomi (pengangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah dapat
mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang untuk memajankan
rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan
kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang

permanen.Pada beberapa kasus, infeksi sudah terlalu berat dan luas sehingga satu-satunya
tindakan terbaik adalah amputasi dan pemasangan prothesa.
Indikasi dilakukannya pembedahan ialah :
1.

Adanaya sequester.

2.

Adanya abses.

3.

Rasa sakit yang hebat.

4.

Bila mencurigakan adanya perubahan kearah keganasan (karsinoma


Epidermoid).

Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau dipasang
tampon agar dapat diisi oleh jaringan granulasi atau dilakukan grafting dikemudian hari.
Dapat dipasang drainase berpengisap untuk mengontrol hematoma dan mebuang debris.
Dapat diberikan irigasi larutan salin normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi
samping dengan pemberian irigasi ini.
Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan graft tulang kanselus untuk
merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi dengan transfer
tulang berpembuluh darah atau flap otot (dimana suatu otot diambil dari jaringan sekitarnya
namun dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan
asupan darah; perbaikan asupan darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang
dan eradikasi infeksi. Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan
penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, kemudian memerlukan
stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat penyokong eksterna untuk
mencegah terjadinya patah tulang. Saat yang terbaik untuk melakukan tindakan pembedahan
adalah bila involukrum telah cukup kuat; mencegah terjadinya fraktur pasca pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Chairuddin, M. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Osteomyelitis akut dan kronik.
Makasar : CV.Wiyasana. 2009.
2. Baltensperger, M., G. K. Eyrich. Osteomyelitis of the Jaws. Bristol : Springer. 2009.
3. Herring, John. Tachdjians Pediatric Orthopaedic 4th edition. Philadelphia : Elsevier.
2008.
4. Solomon, L. et al. Apleys System of Orthopaedics and Fractures 9th edition.
Liverpool : Arnold. 2010.
5. Buchols, Robert W. et al. Rockwood and Greens Fractures In Adults 7th Edition .
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2010

6. Staheli, Lynn T. International Pediatric Orthopaedic Pocketbook. Seattle : Williams


and Wilkins. p.384-389. 2010

Anda mungkin juga menyukai