Anda di halaman 1dari 21

Journal Reading

Kadar Brain-derived neurotrophic factor


(BDNF) serum
pada depresi paska stroke

Oleh :
Isnawan Widyayanto

Moderator :
dr. Innawati Jusup, Sp.KJ

Diajukan untuk memenuhi persyaratan stase di Bagian Psikiatri


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP Dr. Kariadi
Semarang

PPDS I ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DR. KARIADI SEMARANG
2015

Kadar Brain-derived neurotrophic factor (BDNF) serum


pada depresi paska stroke
Abstrak
Latar Belakang : Depresi merupakan gangguan mood yang sering
dijumpai dan mengenai sekitar sepertiga pasien stroke serta dihubungkan
dengan keluaran yang lebih buruk. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menentukan apakah terdapat hubungan antara kadar Brain-derived
neurotrophic factor (BDNF) serum dan depresi paska stroke (post-stroke
depression/ PSD)

Metode : Dua ratus enam belas pasien stroke iskemik yang masuk
rumah sakit dalam kurun waktu 24 jam setelah onset stroke dipilih secara
consecutive dan diikuti 3 bulan kemudian. Berdasarkan gejala-gejalanya,
diagnosis depresi dibuat menurut kriteria DSM-IV terhadap pasien paska
stroke pada hari ke-90. Pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) digunakan untuk mengukur kadar serum BDNF pada saat masuk
rumah sakit. Analisis multivariat dengan menggunakan cara logistik
regresi.

Hasil : Pada penelitian ini, 59 pasien (27,3%) didiagnosis memiliki


depresi

mayor

setelah

bulan.

Pasien

dengan

depresi

mayor

menunjukkan kadar serum BDNF yang lebih rendah [8.1 (5.69.4) vs. 13.7
(10.416.5)ng/ ml,

P < 0.0001] pada saat masuk rumah sakit. Pada

analisis multivariat, serum BDNF merupakan prediktor independen untuk


post-stroke depression setelah 3 bulan [odds ratio (OR):

0.79(0.720.87),

P = 0.003]. Kadar serum BDNF < 10 ng/ml secara independen


dihubungkan dengan post-stroke depression (OR, 11.5; 95% CI, 5.623.4,
P < 0.0001) setelah penyesuain terhadap variabel lain yang mungkin
berpengaruh.

Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan hubungan yang kuat antara


kadar serum BDNF pada saat masuk rumah sakit dengan perkembangan
PSD

dalam

bulan.

Penelitian

lebih

lanjut

diperlukan

untuk

mengkonfirmasi hubungan ini, yang mungkin membuka jalan usulan


pilihan terapi baru.

1. Pendahuluan
Depresi

sangat

umum

di

kalangan

penderita

stroke,

yang

mempengaruhi sekitar sepertiga dari penderita stroke (Lindn dkk., 2007).


Pasien dengan depresi mengalami keluaran terkait stroke yang buruk
dalam bentuk cacat fungsional yang lebih besar dan mortalitas yang lebih
tinggi (Ellis dkk., 2010), dan, akhirnya, dengan hasil rehabilitasi yang
buruk. Pengenalan awal gejala depresi dan pendahuluan pengobatan
farmakologis dapat menghantarkan hasil fungsional yang lebih baik
(Zavoreo dkk., 2009), sehingga menjadikan pencegahan dan pengelolaan
depresi paska stroke sebagai area penting penelitian.
Neurotrophin merupakan kelas penting dari molekul pensinyalan di
otak yang bertanggung jawab untuk penargetan akson, pertumbuhan
neuron, pematangan sinaps selama perkembangan, dan plastisitas
sinaptik (Autry dan Monteggia., 2012). Brain-derived neurotrophic factor
(BDNF) adalah neurotrophin yang dikaitkan dengan kelangsungan hidup
neuron dalam sirkuit otak (Molendijk dkk., 2011). Selain pentingnya dalam
proses pembelajaran, penelitian mengungkapkan keterlibatan BDNF
dalam fungsi kognitif serta perilaku terkait mood (Autry dan Monteggia.,
2012).
Satu studi menemukan bahwa beberapa polimorfisme gen BDNF
dapat menjadi faktor yang berkontribusi dalam patogenesis gangguan
bipolar (Sears dkk., 2011), dan beberapa studi melaporkan bahwa kadar
BDNF berkurang pada pasien dengan skizofrenia (Green dkk., 2011). Bukti
terbaru mendukung 'hipotesis neurotrophin pada depresi' dalam hal
prediksinya bahwa BDNF terlibat dalam depresi (Taliaz dkk., 2010).
Beberapa studi menunjukkan penurunan kadar BDNF pada pasien depresi
dan pemulihan kadar BDNF setelah pengobatan antidepresan (Gazal dkk,
2012;. Zhou dkk, 2011.).
Laporan menyatakan BDNF dapat melewati sawar darah-otak, dan
bahwa kadar BDNF dalam otak dan serum mengalami perubahan serupa
selama proses pematangan dan penuaan pada tikus, menunjukkan bahwa
kadar BDNF serum dapat menggambarkan kadar BDNF dalam otak
(Hashimoto, 2010). Pikula dkk. (2013) menemukan bahwa kadar BDNF

serum yang lebih rendah dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian


stroke/ TIA, dan kadar BDNF serum yang lebih tinggi juga dikaitkan
dengan berkurangnya hiperintensitas substansia alba dan memori visual
yang lebih baik. Kim dkk. (2008) melaporkan bahwa polimorfisme
val66met BDNF dapat mengubah hubungan antara stroke dengan depresi.
Dengan demikian, peran BDNF pada pasien dengan stroke dan depresi
menarik minat untuk diteliti. Dalam penelitian besar kohort, Kim dkk.
(2012) menemukan bukti bahwa serotonin dan polimorfisme BDNF serta
interaksi gen-gen antara sistem tersebut sebagai faktor yang dicurigai
untuk depresi pada 2 minggu paska stroke. Menariknya, penelitian masih
jarang yang mempelajari kadar BDNF serum pada pasien Cina dengan
depresi paska stroke (PSD). Satu studi melaporkan bahwa konsentrasi
serum BDNF menurun pada pasien PSD Cina dan BDNF dapat memainkan
peran penting dalam patogenesis PSD. Namun, hanya 93 pasien yang
dilibatkan (Zhou dkk. 2011). Oleh karena itu, tujuan kami adalah untuk
menentukan apakah terdapat hubungan antara serum BDNF dan PSD
dalam studi kohort yang besar.
2. Metode
2.1. Populasi penelitian
Dua ratus sembilan puluh lima pasien dengan serangan pertama
stroke iskemik akut yang dirawat di rumah sakit dalam 24 jam pertama
dari onset stroke, secara prospektif dimasukkan dalam penelitian ini.
Pasien dengan perdarahan subarachnoid atau intrakranial, penurunan
kesadaran, aphasia atau dysarthria parah, gangguan jiwa, penyakit infeksi
menular atau inflamasi yang parah, dan harapan hidup < 3 bulan
dieksklusikan dari penelitian. Seratus enam puluh dari 295 pasien (54,2%)
adalah laki-laki, dengan usia rata-rata 68,9 + 11,3 tahun. Tujuh puluh
sembilan pasien tidak dievaluasi pada 3 bulan kemudian (38 pasien
meninggal, 12 menolak untuk follow-up, 10 pasien memiliki kesulitan
untuk di dibawa ke rumah sakit, dan 19 pasien lost to follow-up); 216
pasien yang tersisa yang valid untuk dianalisis.
Informed consent diperoleh setelah diberikan informasi verbal dan
tertulis kepada peserta atau kerabat terdekat. Persetujuan etika diberikan

oleh Komite Etika Penelitian Medis di Rumah Sakit Xin Qiao, Universitas
Kedokteran Militer Ketiga.
2.2. Variabel klinik
Pada pemeriksaan awal (baseline), usia, jenis kelamin, indeks massa
tubuh dan riwayat faktor risiko diperoleh. Subtipe stroke diklasifikasikan
menurut kriteria TOAST (Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment)
(Adams dkk., 1993). Pemeriksaan darah rutin dan biokimia, CT scan/ MRI
otak dilakukan pada semua pasien saat masuk. MRI dengan diffusion
weighted imaging (DWI) tersedia pada beberapa pasien. Volume infark
dihitung dengan menggunakan rumus 0,5 x a x b x c (Sims et al., 2009).
Keparahan

stroke

dievaluasi

oleh

spesialis

saraf

terlatih

dengan

menggunakan NIHSS saat masuk (Brott et al., 1989). Keluaran fungsional


dievaluasi dengan modified Rankin Scale (mRS) pada 3 bulan (Bonita,
1988). Hasil fungsional yang baik didefinisikan sebagai skor mRS 0 sampai
2 poin, sedangkan hasil fungsional yang buruk itu didefinisikan sebagai
skor mRS dari 3 sampai 6 poin.
2.3. Penilaian psikologi
Penilaian depresi dilakukan oleh spesialis saraf/ psikiater yang tidak
mengetahui jenis, ukuran dan lokasi stroke pada saat 3 bulan setelah
onset stroke. Riwayat penyakit kejiwaan dan depresi, tingkat pendidikan
dan orang yang hidup dengan pasien tercatat pada saat masuk rumah
sakit. Pasien harus menyelesaikan Hamilton Rating Scale untuk Depresi
(HAM-D) pada 3 bulan follow-up (Hamilton., 1960). Klinis depresi
didiagnosis menurut kriteria DSM-III-R menggunakan algoritma yang
didasarkan pada wawancara psikiatri dan pemeriksaan neuropsikiatri.
Terdapatnya gejala anhedonia dan suasana hati depresi merupakan hal
penting untuk diagnosis.
2.4. Tes laboratorium
Darah vena puasa dikumpulkan dari semua pasien dalam tabung
vacutainer dan dengan cepat disentrifugasi untuk menghindari glikolisis.
Sampel serum disimpan pada suhu -80 oC sampai saatnya diukur.
Konsentrasi

biomarker

diukur

di

laboratorium

pusat

oleh

petugas

laboratorium yang tidak mengetahui data keluaran klinis dan temuan


neuroimaging.

Kadar

serum

BDNF

diukur

dengan

sandwich-ELISA,

menggunakan kit komersial sesuai dengan instruksi pabrik (DuoSet ELISA


Development, R & D Systems, Inc., USA). Batas deteksi terrendah adalah
1,6 ng/ ml dan rentang pengukuran adalah 1,6-50 ng/ ml. Intra-assay
Coefficient of variation [CV] dan inter-assay CV berturut-turut adalah 3,56,8% dan 4,4% -7,5%.
2.5. Analisis statistik
Hasil dinyatakan berupa persentase untuk variabel kategorik dan
berupa rerata(standar deviasi, SD) atau median (kisaran interkuartil, IQR)
untuk variabel numerik tergantung pada normalitas distribusi. Tes ShapiroWilk digunakan untuk uji distribusi normal. Proporsi dibandingkan dengan
menggunakan uji Chi-square. Perbandingan dua kelompok yang distribusi
datanya tidak normal dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney
U, dan uji t-test tidak berpasangan two-tailed Students digunakan untuk
variabel numeric yang terdistribusi normal. Korelasi Rank Spearman
digunakan untuk korelasi bivariat. Hubungan antara tingkat keparahan
depresi yang dievaluasi dengan skala HAM-D dan kadar serum BDNF juga
dinilai dengan menggunakan analisis regresi logistik dengan penyesuaian
multivariat untuk kemungkinan variabel perancu, misalnya, usia, jenis
kelamin, indeks massa tubuh, sindrom stroke, etiologi stroke, skor NIHSS,
volume infark, faktor risiko vaskular dan riwayat depresi. Pengaruh kadar
BDNF serum terhadap PSD dilakukan dengan analisis regresi logistik biner,
yang memungkinkan dilakukan penyesuaian untuk faktor perancu di atas.
Hasilnya dinyatakan sebagai adjusted odds ratios (OR) dengan 95%
confidence intervals (CI). Kurva Receiver Operating Oharacteristic (ROC)
digunakan

untuk

mengevaluasi

keakuratan

serum

BDNF

untuk

memprediksi PSD. Area Under Curve (AUC) dihitung untuk mengukur


keakuratan tes. Semua analisis statistik dilakukan dengan SPSS untuk
Windows, versi 19.0 (SPSS Inc, Chicago, IL, USA). Signifikansi statistik
didefinisikan sebagai P < 0,05.
3. Hasil

3.1. Karakteristik subyek penelitian


Studi kohort terdiri dari 295 pasien pada baseline (saat masuk RS
karena stroke). Pada saat follow-up 3 bulan berikutnya, menyisakan 216
pasien yang dimasukkan dalam penelitian ini. Sejumlah 216 pasien ini
serupa dalam hal karakteristik baseline [umur (P=0,632), jenis kelamin
(P=0,803), NIHSS (P=0,654) dan berat (P=0,723)] dibandingkan dengan
keseluruhan kohort. Dalam subyek penelitian, 45,8% adalah wanita dan
usia rata-rata adalah 66,5 + 10,2 tahun. Median (kuartil) skor NIHSS pada
saat masuk adalah 6 (3,12), dan waktu median dari pengenalan gejala
sampai masuk ke rumah sakit adalah 4,8 jam (IQR, 2,4-7,5). Jumlah pasien
yang

mendapat

terapi

tissue

plasminogen

activator

(t-PA)

adalah

65(30,1%).
3.2. Temuan utama
Sembilan puluh empat pasien (43,5%) menunjukkan depresi (mayor
dan minor) pada 3 bulan setelah masuk rumah sakit dan pada 59 pasien
(27,3%) diklasifikasikan sebagai depresi mayor. Karakteristik dasar dari
216

pasien

stroke

dibedakan

dengan

depresi

atau

tidak

depresi

ditunjukkan dalam Tabel 1. Pasien dengan depresi, usianya lebih tua dan
lebih sering pada wanita, hidup dengan keturunannya, menjanda, lebih
parah klinis stroke saat masuk rumah sakit, kadar serum Hs-CRP lebih
tinggi dan kadar serum BDNF yang lebih rendah. Tidak terdapat hubungan
yang ditemukan antara subtipe etiologi atau volume infark dan munculnya
depresi. Demikian pula, jika depresi ringan dimasukkan, didapatkan
kesimpulan yang sama.
Tabel 1. Karakteristik dasar pasien stroke dengan depresi dan tanpa depresi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar BDNF serum


adalah 12.4 (IQR, 8,7-15,5) ng/ml. Kadar BDNF serum secara signifikan
menurun pada pasien PSD pada saat masuk rumah sakit dibandingkan
dengan pasien stroke tanpa depresi [8.1 (IQR, 5.6-9.4) ng/ml vs 13,7 (IQR,
10,4-16,5) ng/ml, P < 0,0001], Gambar. 1a. Demikian pula, jika depresi
ringan dimasukkan, kami juga menemukan bahwa kadar BDNF serum
secara signifikan menurun pada pasien PSD [9.3 (IQR, 7,2-12,5) ng/ml vs
14,5 (IQR, 11,2-17,4) ng/ml,

P < 0,0001], Gambar. 1b. Kadar

BDNF serum menurun dengan meningkatnya keparahan stroke yang


dinilai dengan skor NIHSS. Terdapat korelasi negatif antara kadar BDNF
dan NIHSS (r = - 0,286, P < 0,0001; Gambar 2a). Demikian pula, kadar
BDNF serum yang lebih rendah saat masuk rumah sakit berhubungan
dengan semakin tinggi skor HAM-D pada 3 bulan (r = - 0,361, P < 0,0001;.
Gambar 2b). Kadar BDNF masih secara signifikan berhubungan dengan
nilai HAM-D (= 0,304, P = 0,009), setelah mengontrol usia, jenis kelamin,
indeks massa tubuh, etiologi stroke, skor NIHSS, volume infark, faktor
risiko vaskular dan riwayat depresi. Selain itu, tidak terdapat korelasi
antara kadar BDNF dan jenis kelamin (P = 0,211), dan usia (P = 0,326).

Gb. 1. Kadar BDNF serum pada kelompok pasien stroke dengan depresi dan tanpa depresi.
Mann-Whitney U-test. Semua data berdasarkan nilai median dan interquartile ranges
(IQR). (a) Pasien depresi adalah depresi mayor;
(b) Pasien dengan depresi minor
juga dimasukkan.

Gb. 2. Korelasi antara kadar BDNF serum dan prediktor lainnya. (a) Korelasi antara kadar
BDNF serum dan skor (NIHSS); (b) Korelasi antara kadar BDNF serum dan skor HAM-D.

Berdasarkan kurva ROC, nilai cut-off optimal kadar BDNF serum saat
masuk rumah sakit yang diprediksi akan berkembang menjadi depresi
pada 3 bulan adalah 10,2 ng/ml, yang menghasilkan sensitivitas dan
spesifisitas tertinggi [berturut-turut, 80,3% dan 81,8%; area under curve
(AUC) = 0,854, 95% CI: 0,791-0,917; P < 0.0001]. Lihat Gambar. 3a.
Kadar BDNF memiliki akurasi prognostik yang lebih tinggi dibandingkan
dengan Hs-CRP [AUC 0,58 (0,47-0,65), P = 0,013], HCY [AUC 0,69 (0,510,82), P = 0,008] dan skor NIHSS saat masuk [AUC 0,66 (0,54-0,77), P =
0,007]. Dalam analisis regresi logistik, kadar BDNF saat masuk rumah

sakit secara independen terkait dengan depresi (OR, 0,79; 95% CI, 0,720,87,

P = 0,003) setelah penyesuaian untuk variabel usia, jenis

kelamin, hidup menjanda, hidup dengan keturunan, NIHSS saat masuk


rumah sakit, kadar HS-CRP dan HCY serum. Lihat Tabel 2. Kadar BDNF
serum < 10,2 ng/ml secara independen terkait dengan depresi paska
stroke (OR, 11,5; 95% CI, 5,6-23,4, P < 0,0001), setelah penyesuaian
terhadap variabel di atas.

Gb. 3. Kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) digunakan untuk menilai akurasi
kadar BDNF serum untuk memprediksi PSD. (a) Pasien depresi adalah depresi mayor;
(b) Pasien dengan depresi minor juga dimasukkan.
Tabel 2. Adjusted OR depresi untuk kadar BDNF pada pasien stroke

Tabel 3. Adjusted OR depresi (depresi minor dimasukkan) untuk kadar BDNF pada pasien
stroke

Sekali lagi, jika depresi ringan dimasukkan, didapatkan hasil yang


sama. Berdasarkan kurva ROC, nilai cutoff optimal adalah 11,5 ng/ml,
yang menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas tertinggi [berturut-turut,
73,2% dan 70,7%, area under curve (AUC) = 0.780, 95% CI: 0,717-0,843;
P < 0.0001]. Lihat Gambar. 3b. Dalam analisis regresi logistik, kadar
BDNF saat masuk rumah sakit secara independen berhubungan dengan
depresi (OR, 0,85; 95% CI, 0,76-0,93, P = 0,006) setelah penyesuaian
untuk variabel usia, jenis kelamin, hidup menjanda, hidup dengan
keturunan, NIHSS pada saat masuk rumah sakit, kadar serum HS-CRP dan
HCY. Lihat Tabel 3. Kadar BDNF serum < 11,5 ng/ml secara independen
berhubungan dengan depresi paska stroke (OR, 6.93; 95% CI, 3.89-12.31,
P < 0,0001), setelah penyesuaian terhadap variabel di atas.
4. Diskusi
Sebagian besar sesuai dengan temuan sebelumnya dan dengan
hipotesis neurotrophin depresi (Autry dan Monteggia, 2012;. Molendijk
dkk, 2011;.. Hashimoto, 2010;. Shimizu dkk, 2003), data penelitian ini
menunjukkan bahwa kadar BDNF serum rendah pada pasien PSD
dibandingkan

dengan

pasien

stroke

tanpa

depresi.

Hasil

kami

menunjukkan bahwa kadar BDNF serum merupakan marker biologis yang


kuat dari risiko berkembangnya depresi berat paska stroke pada 3 bulan
setelah penyesuaian dengan variabel lainnya, dan kadar BDNF serum <
10,2 ng/ml dikaitkan dengan 11.5- kali lipat risiko kejadian depresi paska
stroke. Demikian pula, Yang dkk. (2011) melaporkan bahwa kadar BDNF
serum pada hari 1 setelah masuk rumah sakit dapat memprediksi risiko
PSD berikutnya, dan kadar BDNF serum < 5.86 ng/ml secara independen

terkait dengan insiden PSD pada tahap akut stroke (OR = 28,992; 95% CI,
8,014 -104,891; p < 0,001 setelah penyesuaian variabel). Dengan
demikian, dapat membuka jalan untuk usulan pilihan terapi baru pada
pasien dengan stroke iskemik. Sebagai tambahan, hasil kami juga
menunjukkan korelasi negatif signifikan antara skor HAM-D, tingkat
keparahan gejala depresi, dan kadar BDNF serum. Beberapa studi
menunjukkan korelasi negatif antara kadar BDNF dan keparahan gejala
depresi (Shimizu dkk., 2003).
Prevalensi PSD bervariasi dari waktu ke waktu dengan puncak yang
jelas 3-6 bulan setelah stroke dengan kisaran 9-34% selama kurun waktu
ini dan kemudian menurun mencapai sekitar 50% dari angka awal pada
satu tahun (Whyte dan Mulsant., 2002). Dalam penelitian kami, kami
menemukan bahwa 27,3% pasien stroke diklasifikasikan sebagai depresi
mayor pada 3 bulan, sedangkan prevalensi depresi dilaporkan berkisar
antara

17-62,2% di antara pasien stroke Cina (Zhang dkk, 2010;. Tang

dkk ., 2004; Cheng dkk, 2014). Selain itu, konsentrasi BDNF sirkulasi yang
rendah diamati pula pada pasien dengan penyakit arteri koroner, Diabetes
mellitus tipe 2, sindrom metabolik, stroke dan kurangnya aktivitas fisik
(Autry dan Monteggia, 2012; Pikula dkk, 2013). Sesuai dengan hasil
tersebut, dalam penelitian kami, kami menemukan kadar BDNF serum
rendah pada pasien stroke dan pasien depresi. Depresi telah banyak
didokumentasikan dapat mengurangi ekspresi BDNF baik pada studi
hewan maupun studi klinis (Gazal et al., 2012).
Suatu studi meta-analisis menunjukkan bukti kuat bahwa kadar
BDNF lebih rendah pada subyek depresi dibandingkan subyek kontrol
yang sehat (P < 6.8 x 10-8), dan bahwa kadar BDNF secara signifikan (P =
0,003) meningkat setelah pengobatan antidepresan (Sen dkk., 2008).
Studi Meta-analisis lainnya sama menunjukkan bahwa kadar BDNF
meningkat secara signifikan setelah pengobatan antidepresan (ukuran
efek: 0,62), dan bahwa terdapat korelasi yang signifikan (P = 0,02) antara
perubahan kadar BDNF dan perubahan skor depresi (Brunoni dkk., 2008).
Beberapa bukti menunjukkan bahwa ekspresi BDNF mungkin target hilir
berbagai pengobatan antidepresan; Oleh karena itu BDNF mungkin

menjadi target yang penting untuk pemulihan terapi depresi, dan mungkin
juga

memberikan

perlindungan

terhadap

kerusakan

saraf

yang

disebabkan oleh stres (Hashimoto., 2010).


Hubungan antara BDNF dan stroke masih tidak sepenuhnya
dipahami. Terdapat bukti eksperimental bahwa sel neuron dan glial
bertindak sebagai sumber endogen BDNF setelah proses iskemik otak dan
cedera otak lainnya (Sandhofer dkk., 2009). Disfungsi pensinyalan BDNF
oleh pembuluh darah otak, oleh karena itu, dapat berkontribusi terhadap
gangguan unit neurovaskular, sehingga menurunkan respon jaringan
terhadap cedera vaskular (Guo dkk., 2008). Sebuah molekul kecil mirip
BDNF (LM22A-4) bila diberikan segera setelah stroke iskemik pada tikus
dewasa dapat meningkatkan neurogenesis dan memperbaiki pemulihan
motorik fungsional (Han dkk., 2012). Oleh karena itu, BDNF dapat
mengurangi risiko stroke melalui efek neurotropik atau efek vaskularnya
(Pikula dkk., 2013).
Banyak etiologi PSD yang diusulkan tetapi sepertinya tidak mungkin
bahwa

hipotesis

tunggal

manapun

dapat

menjelaskan

apa

yang

tampaknya heterogen. Besar kemungkinan interaksi kompleks antara


hormon, neurotransmiter, dan faktor lingkungan terlibat. Dalam penelitian
kami, satu temuan bahwa penurunan kadar BDNF mungkin penting dalam
patofisiologi depresi. Salah satu hipotesis mungkin penurunan kadar BDNF
mungkin mencerminkan kerentanan genetik pada pasien dengan depresi.
Dua penelitian menggunakan tikus dengan penghapusan (delesi) genetik
dari gen BDNF menunjukkan bahwa BDNF memainkan peran penting
dalam diferensiasi neuronal dan kelangsungan hidup (Ernfors dkk, 1994;.
Jones dkk., 1994). Monteggia dkk. (2007) juga menunjukkan bahwa tikus
yang dikondisikan tidak

produksi BDNF, menampilkan peningkatan

perilaku seperti depresi pada saat dipaksa berenang dan tes preferensi
sukrosa, menunjukkan bahwa produksi BDNF yang rendah dapat memicu
gangguan depresi. Penjelasan lain yang mungkin adalah bahwa stress
yang menginduksi penurunan BDNF mungkin menyebabkan kerusakan
neuronal, yang pada gilirannya akan menyebabkan kerentanan biologis
yang didapat. Stres, yang dapat memicu dan memperburuk depresi,

menyebabkan atrofi dan kematian neuronal, terutama di hippocampus


(Shimizu

dkk.,

menginduksi

2003)

perubahan

membuat

kemungkinan

hippocampus

bahwa

mungkin

menjadi

stress

yang

hal

pokok

terhadap perkembangan depresi pada individu yang rentan secara genetik


(Rajkowska,

2000).

Tingkatan

pada

PSD

mungkin

mencerminkan

runtuhnya sistem adaptasi stres dan kegagalan melindungi otak dari stres
yang menginduksi degenerasi neuronal. Ketiga, BDNF telah terbukti
memiliki efek antidepresan pada hewan model depresi (Hashimoto.,
2010). Telah dilaporkan bahwa pemaksaan berenang dapat menurunkan
mRNA BDNF pada daerah tertentu (CA1, CA3, dan girus dentatus) dari
hippocampus, dan bahwa kombinasi dari aktivitas fisik dan pengobatan
antidepresan meningkatkan kadar mRNA BDNF hippocampal jauh di atas
nilai awal serta meningkatkan waktu berenang pada hewan model (RussoNeustadt dkk., 2001). Pensinyalan BDNF tampaknya mencukupi untuk
efek antidepresan, seperti infus langsung BDNF ke daerah mesencephalon
atau hippocampus menginduksi respon perilaku yang serupa dengan yang
dihasilkan oleh antidepresan (Rantamaki dkk., 2006).
Penelitian ini memiliki sejumlah keterbatasan. Keterbatasan utama
penelitian ini adalah bahwa kami tidak mampu memeriksa faktor risiko
episode depresi termasuk kurangnya dukungan sosial, kemiskinan,
kekerasan keluarga, dan peningkatan stres kehidupan. Selain itu, subyek
penelitian hanya sedikit dan tidak dipilih secara acak. Penelitian ini
dilakukan hanya dalam satu klinik. Oleh karena itu, temuan kami mungkin
tidak bisa digeneralisasikan untuk pasien stroke Cina lainnya. Penelitian
lebih lanjut diperlukan. Ketiga, kadar BDNF serum hanya diukur pada fase
akut stroke pada pasien dan, karenanya, penelitian ini tidak menghasilkan
data mengenai kapan dan berapa lama biomarker berubah pada pasien
ini. Keempat, penilaian depresi dibuat hanya sekali, pada 3 bulan follow
up, sedangkan NIHSS digunakan hanya pada tahap akut. Selain itu, pasien
stroke lebih parah yang meninggal sebelum 3 bulan follow up tidak
dimasukkan dalam penelitian. Beberapa pasien yang meninggal dan
mengalami depresi mungkin dikeluarkan. Terakhir, status depresi mungkin
dipengaruhi oleh tingkat keparahan stroke itu sendiri. Schbitz dkk. (2007)

menemukan bahwa BDNF mungkin memiliki efek negatif pada perjalanan


dan prognosis stroke. Namun, dalam studi ini tingkat keparahan stroke
tidak dievaluasi pada 3 bulan.
Terlepas dari keterbatasan ini, temuan-temuan dari studi ini tetap
penting dan menunjukkan bahwa kadar BDNF serum saat masuk rumah
sakit secara signifikan menurun dan hal ini memberi kesan bahwa
perubahan ini mungkin berpartisipasi dalam patofisiologi gejala depresi
pada pasien stroke. Kadar BDNF serum saat masuk dapat dilihat sebagai
salah satu marker biologis yang kuat dari risiko munculnya depresi paska
stroke mayor pada 3 bulan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
mengkonfirmasi hubungan ini. Brunoni dkk. (2008) menemukan bahwa
kadar

BDNF

antidepresan,

meningkat
dan

secara

menyarankan

signifikan
penerapan

setelah
kadar

pengobatan

BDNF

sebagai

perangkat anti-depresi yang efisien dan baru untuk mengobati depresi


pada pasien dengan stroke iskemik. Di masa datang uji klinis dengan
BDNF harus digalakkan.

Daftar Pustaka
Adams, H.P., Bendixen, B.H., Kappelle, L.J., Biller, J., Love, B.B., Gordon,
D.L., Marsh, E., 1993. Classification of subtype of acute ischemic stroke.
Definitions for use in a multicenter clinical trial. TOAST. Trial of Org 10172
in Acute Stroke Treatment. Stroke 24 (1), 3541.
Autry, A.E., Monteggia, L.M., 2012. Brain-derived neurotrophic factor and
neuropsychiatric disorders. Pharmacol. Rev. 64 (2), 238258.
Brott, T., Marler, J.R., Olinger, C.P., Adams, H.P., Tomsick, T., Barsan, W.G.,
Walker, M., 1989. Measurements of acute cerebral infarction: lesion size
by computed tomography. Stroke 20 (7), 871875.
Bonita, R, Beaglehole, R, 1988. Modification of rankin scale: recovery of
motor function after stroke. Stroke 19, 14971500.
Brunoni, A.R., Lopes, M., Fregni, F., 2008. A systematic review and metaanalysis of clinical studies on major depression and BDNF levels:
implications

for

the

role

of

neuroplasticity

in

depression.

Int.

J.

Neuropsychopharmacol. 11, 11691180.


Cheng, S.Y., Zhao, Y.D., Li, J., et al., 2014. Plasma levels of glutamate
during stroke is associated with development of post-stroke depression.
Psychoneuroendocrinology 47, 126135.
Ellis, C., Zhao, Y., Egede, L.E., 2010. Depression and increased risk of
death in adults with stroke. J. Psychosom. Res. 68, 545551.
Ernfors, P., Lee, K.F., Jaenisch, R., 1994. Mice lacking brain-derived
neurotrophic factor develop with sensory deficits. Nature 368, 147150.
Gazal, M., Motta, L.S., Wiener, C.D., Fernandes, J.C., Quevedo, L.., Jansen,
K., Oses, J.P., 2012. Brain-derived neurotrophic factor in post-partum
depressive mothers. Neurochem. Res. 37 (3), 583587.
Green, M.J., Matheson, S.L., Shepherd, A., Weickert, C.S., Carr, V.J., 2011.
Brain derived neurotrophic factor levels in schizophrenia: a systematic
review with meta-analysis. Molecular psychiatry 16 (9), 960972.
Guo, S., Kim, W.J., Lok, J., Lee, S.R., Besancon, E., Luo, B.H., Lo, E.H., 2008.
Neuroprotection via matrix-trophic coupling between cerebral endothelial
cells and neurons. Proc. Natl. Acad. Sci. 105 (21), 75827587.

Hamilton, M., 1960. A rating scale for depression. J. Neurol. Neurosurg.


Psychiatry 23 (1), 5662.
Han, J., Pollak, J., Yang, T., Siddiqui, M.R., Doyle, K.P., Taravosh-Lahn, K.,
Buckwalter, M.S., 2012. Delayed administration of a small molecule
tropomyosin-related kinase B ligand promotes recovery after hypoxic
ischemic stroke. Stroke 43 (7), 19181924.
Hashimoto, K., 2010. Brainderived neurotrophic factor as a biomarker for
mood disorders: an historical overview and future directions. Psychiatry
Clin. Neurosci. 64 (4), 341357.
Jones, K.R., Farias, I., Backus, C., Reichardt, L.F., 1994. Targeted
disruption of the BDNF gene perturbs brain and sensory neuron
development but not motor neuron development. Cell 76 (6), 989999.
Kim, J.M., Stewart, R., Bae, K.Y., Kim, S.W., Kang, H.J., Shin, I.S., Yoon, J.S.,
2012. Serotonergic and BDNF genes and risk of depression after stroke. J.
Affect. Disord. 136 (3), 833840.
Kim, J.M., Stewart, R., Kim, S.W., Yang, S.J., Shin, I.S., Kim, Y.H., Yoon, J.S.,
2008. BDNF genotype potentially modifying the association between
incident stroke and depression. Neurobiol. Aging 29 (5), 789792.
Lindn, T., Blomstrand, C., Skoog, I., 2007. Depressive disorders after 20
months in elderly stroke patients a case-control study. Stroke 38 (6),
18601863.
Molendijk, M.L., Bus, B.A., Spinhoven, P., Penninx, B.W., Kenis, G.,
Prickaerts,

J.,

Elzinga,

B.M.,

2011.

Serum

levels

of

brain-derived

neurotrophic factor in major depressive disorder: statetrait issues, clinical


features and pharmacological treatment. Mol. Psychiatry 16 (11), 1088
1095.
Monteggia, L.M., Luikart, B., Barrot, M., Theobold, D., Malkovska, I., Nef, S.,
Nestler, E.J., 2007. Brain-derived neurotrophic factor conditional knockouts
show gender differences in depression-related behaviors. Biol. Psychiatry
61 (2), 187197.
Pikula, A., Beiser, A.S., Chen, T.C., Preis, S.R., Vorgias, D., DeCarli, C.,
Seshadri, S., 2013. Serum brainderived neurotrophic factor and vascular

endothelial growth factor levels are associated with risk of stroke and
vascular brain injury framingham study. Stroke 44 (10), 27682775.
Rajkowska, G., 2000. Postmortem studies in mood disorders indicate
altered numbers of neurons and glial cells. Biol. Psychiatry 48 (8), 766
777.
Rantamki, T., Knuuttila, J.E., Hokkanen, M.E., Castrn, E., 2006. The
effects of acute and long-term lithium treatments on trkB neurotrophin
receptor activation in the mouse hippocampus and anterior cingulate
cortex. Neuropharmacology 50(4), 421427.
Russo-Neustadt, A., Ha, T., Ramirez, R., Kesslak, J.P., 2001. Physical
activityantidepressant treatment combination: impact on brain-derived
neurotrophic factor and behavior in an animal model. Behav. Brain Res.
120 (1), 8795.
Sears, C., Markie, D., Olds, R., Fitches, A., 2011. Evidence of associations
between bipolar disorder and the brainderived neurotrophic factor (BDNF)
gene. Bipolar Disord. 13 (78), 630637.
Sandhofer, A., Tatarczyk, T., Kirchmair, R., Iglseder, B., Paulweber, B.,
Patsch, J.R., Schratzberger, P., 2009. Are plasma VEGF and its soluble
receptor sFlt-1 atherogenic risk factors? Cross-sectional data from the
SAPHIR study. Atherosclerosis 206 (1), 265269.
Schbitz, W.R., Steigleder, T., Cooper-Kuhn, C.M., Schwab, S., Sommer, C.,
Schneider, A., Kuhn, H.G., 2007. Intravenous brain-derived neurotrophic
factor

enhances

poststroke

sensorimotor

recovery

and

stimulates

neurogenesis. Stroke 38 (7), 21652172.


Sen, S., Duman, R., Sanacora, G., 2008. Serum brain-derived neurotrophic
factor, depression, and antidepressant medications: meta-analyses and
implications. Biol. Psychiatry 64 (6), 527532.
Shimizu, E., Hashimoto, K., Okamura, N., Koike, K., Komatsu, N., Kumakiri,
C., Iyo, M., 2003. Alterations of serum levels of brain-derived neurotrophic
factor (BDNF) in depressed patients with or without antidepressants. Biol.
Psychiatry 54 (1), 7075.

Sims, J.R., Gharai, L.R., Schaefer, P.W., Vangel, M., Rosenthal, E.S., Lev,
M.H., Schwamm, L.H., 2009. ABC/2 for rapid clinical estimate of infarct,
perfusion, and mismatch volumes. Neurology 72 (24), 21042110.
Taliaz, D., Stall, N., Dar, D.E., Zangen, A., 2010. Knockdown of brainderived neurotrophic factor in specific brain sites precipitates behaviors
associated with depression and reduces neurogenesis. Mol. Psychiatry 15
(1), 8092.
Tang, W.K., Chan, S.S., Chiu, H.F., Wong, K.S., Kwok, T.C., Mok, V., Ungvari,
G.S.,

2004.

Can

the

geriatric

depression

scale

detect

poststroke

depression in Chinese elderly? J. Affect. Disord. 81 (2), 153156.


Whyte, E.M., Mulsant, B.H., 2002. Post stroke depression: epidemiology,
pathophysiology, and biological treatment. Biol. Psychiatry 52, 253264.
Yang, L., Zhang, Z., Sun, D, Xu, Z., Yuan, Y., Zhang, X., Li, L., 2011. Low
serum BDNF may indicate the development of PSD in patients with acute
ischemic stroke. Int. J. Geriatr. Psychiatry 26 (5), 495502.
Zavoreo, I., Bai-Kes, V., Bosnar-Pureti, M., Demarin, V., 2009. Poststroke depression. Acta Clin. Croat. 48 (3), 329333.
Zhang, T., Wang, C., Liu, L., Zhao, X., Xue, J., Zhou, Y., Wang, Y., 2010. A
prospective cohort study of the incidence and determinants of post-stroke
depression among the mainland Chinese patients. Neurol. Res. 32 (4),
347352.
Zhou, Z., Lu, T., Xu, G., Yue, X., Zhu, W., Ma, M., Liu, X., 2011. Decreased
serum brain derived
neurotrophic factor (BDNF) is associated with post-stroke depression but
not with BDNF gene Val66Met polymorphism. Clin. Chem. Lab. Med. 49
(2),185189.

Anda mungkin juga menyukai