Hubungan Agama Dan Budaya Dalam Kristen Protestan
Hubungan Agama Dan Budaya Dalam Kristen Protestan
http://kandiolimei.blogspot.com/2012/05/hubungan-agama-dan-budaya-dalam-kristen.html
By Pdt. Dr. A. Ginting Suka
Pertemuan Injil dan kebudayan
Injil diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh kebudayaan yang bentuknya dapat
diumpamakan seperti kue lapis. Lapisan-lapisan kebudayaan itu misalnya di Indonesia terdiri
darilapisan yang diwarnai oleh agama pribumi, Hinduisme, Buddhisme, Islam, Kristen dan terakhir
modernisme.
Intensitas
pengaruh
itu
berbeda
satu
dengan
lain
bergantung
pada
berfusidengan Stoa dan Plato. Menurut pendapatnya, tidak ada hubungan Kristus dengan filsafat.
WalauTertullianus tidak menolak seluruh kebudayaan, tapi Niebuhr menyebutnya termasuk dalam
posisiGereja lawan kebudayaan.
2. Gereja dari kebudayaan
Kelompok yang menganut paham ini merasa tidak ada ketegangan besar antara gereja dan
dunia,antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat Illahi dengan karya manusia.
Merekamenafsirkan kebudayaan melalui Kristus danberpendapat bahwa pekerjaan dan pribadi
Kristusadalah sangan sesuai dengan kebudayaan. Dipihak lain, kelompok ini berpendapat jika
Kristusditafsirkan melalui kebudayaan, maka hal-hal yang terbaik dalam kebudayaanadalah cocok
denganajaran dan kehidupan Kristus. Namun penyesuaian ini bukan sembarangan, sebab telah
dilakukanjuga penjungkiran bagian-bagian kebudayaan yang tidak sesuai dengan Injil dan bagianbagian Injilyang tidak sesuai dengan adat istiadat sosial (Niebuhr : 94).
Tetapi kaum Gnostik Kristen menafsirkan Kristus sepenuhnya sesuai dengan konsep
kebudayaan,tidak ada pertentangan antara keduanya. Dengan demikian ada perdamaian Injil
dengankebudayaan dan karena itu kekristenan telah menjadi sistem agama dan filsafat dan Gereja
hanyasebagai perhimpunan religius bukan sebagai gereja atau masyarakat baru. Tokoh-tokoh
penyesuaianini dalam sejarah Gereja adalah Clemens (200) dan Origines (185-254)- (FuklaanBerkhof, 1981 : 41).Pada abad pertengahan posisi Gereja dari kebudayaan dilanjutkan oleh Petrus
Abelardus (1079-1142) yang mengakui karya Filsuf Socrates dan Plato sebagai guru mendidik
walaupun lebih rendahtingkatnya tyetapi bersesuaian dengan ajaran Yesus (Niebuhr, 100).
Tokoh yang lain adalah Ritschl yang menggagasi untuk merekonsiliasi kekristenan
dengankebudayaan. Kelompok ini secara keseluruhan disebut Protestantisme kebudayaan melalui
gagasantentang kerajaan Allah yang telah disamakan dengan suatu kerajaan umat manusia yang
terhimpundalam suatu keluarga, di bawah ikatan kebajikan, perdamaian, keperluan bersama.
Perhimpunan initerbentuk melalui aksi moral secara timbal balik dari anggota-anggotanya yaitu
suatu aksi melaluipertimbangan alamiah (Niebuhz, 109). Dalam gagasan ini, kesetiaan orang
kepada Kristusmenentukan orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam karya kebudayaan
(Niebuhr, 110).
3. Gereja diatas kebudayaan.
Pandangan ini berawal dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan spiritual
(rohani).Menurut Thomas Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan aturan suatu kehidupan
sosialyang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh semua yang berakal sehat
sebabbersifat hukum alam. Tapi disamping hukum alam ada hukum Ilahi yang dinyatakan Allah
melaluipara Nabi yang melampaui hukum alam. Sebagian hukum Ilahi adalah harmonis dengan
hukumalam dan sebagaian lagi melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural
manusia(ordo supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang kamu
miliki,berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat dalam perintah kamu tidak
bolehmencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh akal manusia dan didalam wahyu. Dari
contohitu Thomas Aquinas menyimpilkan bahwa hukum alam yang ditemuiyang terdapat dalam
kodrathidup manusia berada dubawah ordo supernaturalis.
Manusia dalam hidupnya sudah kehilangan ordo supernaturalis dan untuk dapat
memulihkannya kembali hanyalah melalui sakraman. Gereja berada dalam ordo supernatulis. Oleh
karena itu kebudayaan berada di bawah hirarkisgwereja. Dengan itu pada abad pertengahan gereja
menguasai seluruh kebudayaan dalam tatananCorpus Christianum.
4. Hubungan Gereja dan kebudayaan dalam paradoks.
Dalam pandangan ini, iman dan kebudayaan dipisahkan. Orang beriman (Kristen) berada
dalam dua suasana yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam anugerah Allah
dalamKristus. Oleh sebab itu orang beriman dihimpit oleh dua suasana yaitu hidup dalam iman dan
hidupdalam kebudayaan. Dalam sejarah Gereja, Marcian seorang tokoh gereja abad ke 2 yang
berpendirian bahwa dalamkebudayaan manusia di bawah Allah yang rendah derajadnya yang
dinamainya domiurgos sedangdalam pembaharuan ciptaan, manusia hidup di bawah Allah
Rahmani. Dengan itu ia telahmempelopori hidup secara dualisme. Ajaran ini ditolak gereja pada
masa itu dan dikategorikansebagai ajaran sesat.
Pandangan dualisme kelihatan juga secara samar dalam ajaran Marthin Luther yang
mencetuskanreformasi pada tahun 1517 Menurut dia orang beriman hidup dalam dua kerajaan,
yaitu kerajaanAllah yang rohani dan kerajaan duniawi. Kerajaan Allah adalah suatu kerajaan
anugerah dankemuliaan, tetapi kerajaan duniawi adalah suatu kerajaan kemurkaan dan kekerasan.
Keduakerajaan itu tidak dapat dicampur adukkan. Masing-masing lingkungan menurutaturannya.
Jadimanusia hidup dalam dua tatanan yaitu tatanan kebudayaan berdasarkan hukum alam dan
tatananrohani yaitu tatanan surgawi. Ada kesan bahwa Marthin Luther tidak menghubungkan
tatananduniawi dengan yang surgawi sehingga kehidupan dalam kebudayaan dan surgawi
tidakberhubungnan. Dengan itu ada kemungkinan orang tidak lagi membawa imannya dalam
kehidupandalam kebudayaan (Niebuhr, 194).
Pada abad ini pandangan itu dipertahankan oleh seorang Teolog bernama William Roger.
Manusiamenurut Roger, harus berbakti kepada Allah maupun raja, kendati ada ketegangan antara
keduanya.Orang beriman seyogianya hanya berbakti kepada Allah tetapi tidak dapat tidak harus
berbaktikepada kebudayaan. Kita tidak dapat tidak hidup seperti ampibi, yaitu hidup dalam rahmat
Allah dansekaligus dalam kebudayaan. Kedua lingkungan ini terpisah dan tidak saling
berhubungan. Hal inimungkin bahwa seorang dapat hidup berdasarkan imannya pada lingkungan
rohani atau hidupmenurut imannya pada lingkungan rahmat dan pada pihak lain ia hidup menurut
aturan duniawidalam lingkungan dunia (Niebuhr:207).
5. Gereja pengubah kebudayaan
Banya orang Kristen sepanjang abad tidak menyetujui keempat pendirian tersebut baik dalam
teorimaupun dalam politik. Mereka juga tidak bersedia menyerah kepadakebudayaan karena
merekamemahami kebudayaan mempunyai kelemahan-kelemahan. Mereka juga menolak takluk
kepadakebudayaan yang dipaksakan gereja sebab kebudayaan yang dipaksakan gereja selalu
berbentuksintesa antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia dan ada kecenderungan memandang
kebudayaanyang masih berdosa ini dianggap suci sebab berada di bawah gereja. Tapi adalah tidak
benar, jikadikatakan bahwa kerajaan Allah telah diwujudkan dalam kebudayaan yang diciptakan
gereja(Verkugl, 1982 : 49).
Sikap gereja yang tepat menurut H. R. Niebuhr adalah sikap gereja pengubah kebudayaan.
Seorang
teolog
bernama
Augustinus
(354-430)
telah
mempelopori
sikap
gereja
pengubahkebudayaan. Posisi ini berangkat dari pendirian bahwa tidak ada suatu kodrat yang
tidakmengandung kebaikan, karena itu kodrat setan sendiripun tidaklah jahat, sejauh itu adalah
kodrat,tapi ia menjadi jahat karena dirusak (Niebuhr, 239).
Tetapi Allah kata Augustinus, memerintah dan mengatasi manusia dalam pribadi dan sosial
merekayang rusak. Pandangan ini berasal dari pemahaman bahwa oleh sifat kreatifitas Allah maka
Allahtetap menggunakan dengan baik kehendak manusia yang jahat sekalipun, sehingga m,anusia
dapatmemenuhi kebutuhan hidupnya melalui kebudayaannya. Sikap Allah ini mendapat wujudnya
dalamYesus Kristus yang telah datang kepada manusia yang telah rusak untuk menyembuhkan
danmemperbaharui apa yang telah ditulari melalui hidup dan kematiannya, ia mengatakan
kebesarankasih Allah dan tentang begitu dalamnya dosa manusia (241). Denganjalan Injilnya ia
memulihkanapayang telah rusak dan memberi arah baru terhadap kehidupan yang telah rusak
(242). Ataspemikiran teologis tersebut, Agustinus meletakkan gagasan Injil pengubah kebudayaan
atau Injiladalah Conversionis terhadap kebudayaan. Pemikiran Augustinis ini dilanjutkan oleh
Johanes Calvinpada awal abad ke 16. Titik tolak pikirannya berawal pada pandangannya bahwa
hukum-hukumkerajaan Allah telah ditulis dalam kodrat manusia dan dapat terbaca dalam
kebudayaannya. Denganitu hidup dan kebudayaan manusia dapat ditransformasikan sebab kodrat
dan kebudayaan manusiadapat dicerahkan, sebab mengandung kemungkinan itu pada dirinya
sebagai pemberian Ilahi. Olehsebab itu Injil harus diaktualisasikan dalam kebudayaan supaya
kebudayaan lebih dapatmensejahterakan manusia (245-246).
Upaya ini nampak jelas dalam penerimaan gereja terhadap tatanan masyarakat Batak yang
dinamaidilikan na tolu, yaitu tiga tungku (Batak toba, Angkola, Simalungun dan Dairi) atau
sangkep si telu(Batak Karo). Tatanan ini bersumber darikepercayaan orang Batak kepada tiga
Dewata, yangpertama berkediaman di dunia atas, yang kedua di dunia tengah dan ketiga di dunia
bawah.Berdasarkan pandangnan kosmologis tersebut, maka masyarakat Batak dibagi atas unsur
hula-hulaatau kalimbubu (Karo) yaitu kelompok si pemberi dara, dongan atau senina (Karo) yaitu
kelompoksatu klan dan boru atau anak beru (Karo) yaitu kelompok si pengambil dara.
Ketiga dewata itu diharapkan selalu harmonis agar kehidupan manusia di dunia tengah
tidakdiganggu oleh dunia bawah dan atas. Harapan ini terungkap dalam doa orang Karo
bunyinya :turunlah dewata diatas, naiklah dewata di bawah dan duduklah dewata ditengah.
Sebagaimanaharus ada keharmonisan antara dunia atas, tengah dan bawah, demikian juga ketiga
unsur kerabattersebut harus selalu bertindak dalam keserasian. (Ph. L. Tobing, the structure of
Batak Belief in theHigh God: 1963:28-29) Bahwa orang batak memahamiseluruh kosmos sebagai
keselueruhan duniabawah, tengah dan atas. Dalam totalitas ini, masing-masing dunia yang tiga itu
mempunyai fungsi,melalui mana keserasian dan keberadaan manusia itu mungkin. Penghapusan
salah satu daritotalitas itu berarti pemusnahan jagad raya dan juga keberadaan masing-masing.
Demikian jugakeberadaan kosmos yang menjadi bagian dari pada ruang adalah kesatuan totaliter.
Tanpamemandang
luas
kecil
operasinya,
ia
adalah
kesatuan
dari
kuasa-kuasa
yangbertentangan(terjemahan : penulis).
Gereja mengadopsi tatanan dalihan na tolu tau sangkep si telu tersebut dengan mencopot
unsurmythologisnya dan menanamkan nilai-nilai etis agama Kristen kedalamnya agar peran
masing-masing unsur lebih rasional dan fungsional. Hal yang sama dilakukan gerja-gereja dalam
kebudayaan setempat di Indonesia antara lain gereja diAmbon mengadopsi tatanan pela gandong
yaitu suatu ikatan sosial masyarakat berdasarkan ikrarnenek moyang pada waktu yang tidak
diketahui lagi, tetapi tetap diteruskan kepada generasi-generasi seterusnya tanpa membedakan
agama yang merekla anut. Kepatuhan orang terhadap tatanan dalihan na tolu maupun pela gandong
tersebut bukan semata-mata oleh ikatan hukum, tapi mengandung nilai-nilai moral dan oleh sebab
itu kepatuhan tersebutbersifat devasi atau ibadah dan orang yang melanggarnya dikategorikan
sebagai pelanggar moral.Dapatlah kita simpulkan bahwa sikap gereja terhadap kebudayaan adalah: